Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

FILSAFAT UMUM

“Teori Interaksionisme, Teori Paralelisme, Teori Identitas”

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Pada Mata Kuliah Filsafat Umum

Dosen Pengampu : Fahril Umaroh, S.H., M.H.

Disusun Oleh

Kelompok 4:

Geby Putioningsih (102190120)

Gita Puspita Ningrum (102190121)

Hisyam Syafruddin Yusuf (102190122)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO

2019/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya.
Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang berilmu
pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Filsafat Umum dengan ini penulis
mengangkat judul “Teori Interaksionisme, Teori Paralelisme, Teori Identitas”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.

Ponorogo, 17 Oktober 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Filsafat Ilmu .............................................................................................. 3


B. Tujuan Mempelajari Filsafat Ilmu .......................................................................... 5
C. Teori Kebenaran Dalam Filsafat Ilmu .................................................................... 6
D. Teori Interaksionisme ............................................................................................. 10
E. Teori Paralelisme .................................................................................................... 13
F. Teori Identitas ......................................................................................................... 14

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN ................................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara etimologi filsafat berasal dari bahasa Arab falsafah yang dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah philosophy, adalah berasal dari bahasa Yunani philosophia.
Kata philosophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love) dan Sophia yang berarti
kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan
(love of wisdom) dalam arti yang sedalam dalamnya1.
Arti terminologi maksudnya arti yang dikandung oleh istilah atau statemen
‘filsafat’. Jadi, secara terminologi dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan
sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut2.
Cabang filsafat yang membahas masalah ilmu adalah filsafat ilmu. Tujuannya
mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana pengetahuan
ilmiah itu diperoleh. Jadi, filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri – ciri
pengetahuan ilmiah dan cara untuk memperolehnya3. Pokok perhatian filsafat ilmu
adalah proses penyelidikan ilmiah itu sendiri. Istilah lain dari filsafat ilmu adalah theory
of science (teori ilmu), metaxcience (Adi – ilmu), dan science of science (ilmu tentang
ilmu).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari filsafat ilmu?
2. Apakah tujuan dari filsafat ilmu?
3. Apasajakah teori dalam filsafat ilmu?
4. Apakah yang dimaksud teori interaksionisme?
5. Apakah yang dimaksud teori paralelisme?

1
Surajiyo, Filsafat Ilmum. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), 3.
2
https://ridhowater.wordpress.com/definisi-filsafat-secara-etimologi-dan-terminologi/. Diakses pada tanggal 28
Oktober 2019, pukul 20:50.
3
Surajiyo, Filsafat Ilmum. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), 45.

1
6. Apakah yang dimaksud teori identitas?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi filsafat ilmu.
2. Mengetahui tujuan dari filsafat ilmu.
3. Mengetahui teori yang berada dalam filsafat ilmu.
4. Mengetahui mengenai teori interaksionisme.
5. Mengetahui mengenai teori paralelisme.
6. Mengetahui mengenai teori identitas.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Filsafat Ilmu


Cabang filsafat yang membahas masalah ilmu adalah filsafat ilmu. Tujuannya
mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaiamana cara bagaimana
pengetahuan ilmiah itu diperoleh. Jadi, filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri –
ciri pengetahuan ilmiah dan cara untuk memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu
adalah proses penyelidikan ilmiah itu sendiri. Istilah lain dari filsafat ilmu adalah theory
of science (teori ilmu), metascience (Adi - ilmu), dan science of science (ilmu tentang
ilmu).
Namun sebenarnya berbicara mengenai filsafat ilmu sulit untuk memberikan suatu
batasan yang posistif. Banyak pendapat yang memiliki makna serta penekanan yang
berbeda tentang filsafat ilmu. Menurut Prof. Dr. Conny R. Semiawan, dkk. (1998) untuk
menetapkan dasar pemahaman tentang filsafat ilmu sangat bermanfaat untuk menyimak
empat titik pandang di dalam filsafat ilmu, yaitu sebagai berikut.
1. Pandangan yang menyebutkan bahwa filsafat ilmu adalah perumusan world views
yang konsisten dengan, dan pada beberapa pengertian didasarkan atas teori – teori
ilmiah yang penting. Menurut pandangan ini, merupakan tugas dari filsuf ilmu untuk
mengolaborasikan implikasi yang lebih luas dari ilmu.
2. Pandangan yang mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah suatu eksposisi dan
presuppositions dan predispositions dari para ilmuwan. Filsuf ilmu mungkin
mengemukakan bahwa para ilmuwan menduga (presuppose) alam tidak berubah –
ubah, dan terdapat suatu keteraturan di alam sehingga gejala alam yang tidak begitu
kompleks cukup didapat oleh peneliti. Sebagai tambahan, peneliti mungkin tidak
menutupi keinginan deterministik para ilmuwan lebih dari hukum statistic, atau
pandangan mekanistik lebih dari penjelasan teleologis. Pandangan ini cenderung
mengasimilasikan filsafat ilmu dengan sosiologi.
3. Pandangan yang mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah suatu disiplin yang di
dalamnya konsep dan teori tentang ilmu dianalisis dan diklasifikasikan4. Hal ini

4
Ibid.

3
berarti memberikan kejelasan tentang makna dari berbagai konsep seperti partikel,
gelombang, potensial, dan kompleks di dalam pemanfaatan ilmiahnya.
4. Pandangan yang menyebutkan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu patokan tingkat
kedua (second-order-criteriology).
Adapun The Liang Gie mendefinisikan filsafat ilmu adalah segenap pemikiran
reflektif terhadap persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia5.
Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
a. Filsafat ilmu dalam arti luas: menampung permasalahan yang menyangkut hubungan
ke luar dari kegiatan ilmiah, seperti:
1) Implikasi ontologik-metafisik dari citra dunia yang bersifat ilmiah.
2) Tata susila yang menjadi pegangan penyelenggara ilmu.
3) Konsekuensi pragmatic-etik penyelenggara ilmu dan sebagainya.
b. Filsafat ilmu dalam arti sempit: mengandung permasalahan yang bersangkutan
dengan hubungan yang ke dalam yang terdapat di dalam ilmu, yaitu yang menyangkut
sifat pengetahuan ilmiah, dan cara – cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan
ilmiah.
Untuk mendapatkan gambaran singkat tentang pengertian filsafat ilmu dapatlah
kiranya dirangkum tiga medan telaah yang tercakup di dalam filsafat ilmu. Ketiganya itu
adalah sebagai berikut.
1) Filsafat ilmu adalah suatu telaah kritis terhadap metode yang digunakan oleh ilmu
tertentu, terhadap lambang yang digunakan dan terhadap struktur penalaran tentang
system lambing yang digunakan. Telaah kritis ini dapat diarahkan untuk mengkaji
ilmu empiris dan juga ilmu rasional, juga untuk membahas studi bidang etika dan
setetika, studi kesejarahan, antropologi, geologi, dan sebagainya. Dalam hubungan ini
yang terutama sekali ditelaah adalah ihwal penalaran dan teorinya.
2) Filsafat ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan mengenai dasar – dasar konsep,
sangka wacana, dan postulat mengenai ilmu dan upaya untuk membuka tabir dasar –
dasar keempirisan, kerasionalan, dan kepragmatisan. Aspek filsafat ini erat
hubungannya dengan hal ihwal yang logis dan epistimologis. Jadi, peran filsafat ilmu

5
Surajiyo, Filsafat Ilmum. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), 46-47.

4
di sini berganda. Pada sisi pertama, filsafat ilmu mencakup analisis kritis terhadap
anggapan dasar, seperti kuantitas, kualitas, waktu, ruang, dan dan hukum. Pada sisi
yang lain filsafat ilmu mencakup studi mengenai keyakinan tertentu, seperti
keyakinan mengenai dunia ‘sana’, keyakinan mengenai keserupaan di dalam alam
semesta, dan keyakinan mengenai kenalaran proses – proses alami.
3) Filsafat ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas beberapa studi yang beraneka
macam yang ditujukan untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu tertentu.
Tempat kedudukan filsafat ilmu di dalam lingkungan filsafat sebagai keselurhan
meliputi being (ada) yang terbagi menjadi Ontologi dan Metafisika, knowing (tahu) yang
terbagi menjadi Epistemologi, Logika dan Metodologi, serta Filsafat Ilmu, axiologi (nilai)
Etika dan Estetika.
Tempat kedudukan filsafat ilmu ditentukan oleh dua lapangan penyelidikan
filsafat ilmu berikut.
a) Sifat pengetahuan ilmiah. Dalam bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat dengan
epistemology yang mempunyai fungsi menyelidiki syarat – syarat pengetahuan
manusia dan bentuk – bentuk pengetahuan manusia.
b) Menyangkut cara – cara mengusahakan dan mencapai pengetahuan ilmiah. Dalam
bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat dengan logika dan metodologi. Ini berarti cara –
cara mengusahakan dan memperoleh pengetahuan ilmiah berkaitan erat dengan
susunan logis dan metodologis serta tata urutan berbagai langkah dan unsur yang
terdapat dalam kegiatan ilmiah pada umumnya.
Baik bidang pertama dan kedua di atas dibahas dalam filsafat ilmu umum6.
Adapun dalam filsafat ilmu khusus membicarakan kategori serta metode yang digunakan
dalam ilmu atau dalam kelompok ilmu tertentu seperti kelompok ilmu alam, ilmu
masyarakat, ilmu teknik, dan sebagainya.
B. Tujuan Mempelajari Filsafat Ilmu
Adapun tujuan mempelajari filsafat ilmu menurut Amsal Bakhtiar sebagai berikut.
1. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu sehingga secara menyeluruh kita dapat
memahami sumber, hakekat dan tujuan ilmu.

6
Ibid.

5
2. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu di berbagai
bidang sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara
historis7.
3. Menjadi pedoman untuk membedakan studi ilmiah dan non ilmiah.
4. Mempertegas bahwa persoalan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
Sedangkan bagi mahasiswa dan peneliti atau para ilmuwan, tujuan mempelajari
filsafat ilmu sebagai berikut.
1. Seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami persoalan ilmiah dengan melihat
ciri dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis.
2. Seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan
tepat dan benar dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu
kedokteran, ilmu teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi
dan sebagainya) tetapi juga persoalan yang menyangkut seluruh kehidupan manusia,
seperti lingkungan hidup, peristiwa sejarah, kehidupan sosial politik dan sebagainya.
3. Seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami bahwa terdapat dampak kegiatan
ilmiah (penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan oleh
bidang medis, teknik, komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung jawab dan
implikasi etis. Contoh dampak tersebut misalnya masalah euthanasia dalam dunia
kedokteran masih sangat dilematis dan problematik, penjebolan terhadap sistem
sekuriti komputer, pemalsuan terhadap hak atas kekayaaan intelektual (HAKI) ,
plagiarisme dalam karya ilmiah.
C. Teori Kebenaran Dalam Filsafat Ilmu
Dalam epistemologi dan filsafat ilmu pengetahuan dikenal sejumlah teori
kebenaran, yaitu teori kebenaran korespondensi, teori kebenaran koherensi, teori
kebenaran pragmatis, teori kebenaran performatif dan teori kebenaran paradigmatic.
Berikut akan dijelaskan secara ringkas teori – teori kebenaran tersebut.
1. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi menyatakan bahwa suatu teori/proposisi benar
bila proposisi atau teori itu sesuai dengan fakta (kenyataan). Kebenaran adalah

7
https://nurhibatullah.blogspot.com/2015/12/makalah-filsafat-ilmu.html diakses pada tanggal 29 Oktober 2019,
pukul 19:20.

6
kesetiaan pada realitas objektif. Aristoteles menyebut ini dengan teori
penggambaran/cermin yang ia rumuskan sebagai “veritas est adaequatio intellectus et
rhei”.
Teori kebenaran ini didukung dan diterima oleh pendukung epistimologi empiris
(positivism ilmiah), seperti pada ilmu – ilmu alam atau ilmu sosial-budaya yang
menuntut penerapan metode ilmu alam pada ilmu sosial-budaya. Kaum positivism
menganggap bahwa teori menggambarkan realitas apa adanya (copy theory, mirror
theory). Karena itu, bagi positivisme verifikasi dijadikan sebagai kriteria untuk
keilmiahan. Karena itu, bagi positivisme verifikasi dijadikan sebagai kriteria untuk
keilmiahan8. Masalah yang muncul pada teori ini adalah bagaimana kita tahu bahwa
ide, gagasan, dan teori kita sama dengan kenyataan (realitas)? Apakah mungkin fakta
(realitas) itu bicara tanpa bantuan teori? Apakah mungkin objektivitas tanpa ada
subjek (tivitas)?
Tokoh post-positivisme dan postmodernisme menjelang akhir abad ke 20 banyak
mengkritik pandangan postivisme dan teori korespondensi ini, dengan
mengemukakan argument – argument yang sangat menarik.
2. Teori Kebenaran atau Koherensi
Dalam teori konsistensi atau koherensi, kebenaran adalah apabila adanya saling
hubungan antar putusan – putusan atau kesesuaian/ketaatasaan dengan kesepakatan
atau pengetahuan yang telah dimiliki. Teori kebenaran ini umumnya terdapat dalam
matematika dan logika atau kelompok epistemology idealism (epistemological
idealism). Bagi penganut teori kebenaran ini, konsistensi suatu pernyataan (atau teori)
dengan sitem pernyataan sebelumnya sudah diandaikan kebenarannya dan menjadi
tolak ukur kebenaran9.
Kelemahan teori kebenaran ini adalah bahwa orang dapat saja membangun satu
teori/system yang koheren (konsisten), akan tetapi sebenarnya salah karena tidak
didukung oleh fakta. Jadi, teori kebenaran ini tidak membedakan antara teori yamg
“konsisten-salah” dengan teori yang “konsisten-benar”.

8
Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmum Klasik Hingga Kontemporer. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), 52.
9
Ibid.

7
3. Teori Kebenaran Pragmatis
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat akhir abad ke-19,
yang menekankan pentingnya akal budi (rasio) sebagai sarana pemecahan masalah
(problem sloving) dalam kehidupan manusia baik masalah yang bersifat teoritis
maupun praktis. Tokoh prakmatisme awal adalah Charles Sander Pierce (1834-1914)
yang dikenal juga sebagai tokoh semiotic, William James (1842-1910) dan john
Dewey (1859-1952)10.
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah
segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada
akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis11. Dengan demikian,
bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana
kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu12.
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan
pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan
terpisah satu sama lain13. Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima
begitu saja. Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat
pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta umum. Ide menjadi benar ketika memiliki
fungsi pelayanan dan kegunaan. Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau
direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat
metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam
sejarah14.
4. Teori Kebenaran Performatif
Teori kebenaran ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960), seorang
filsuf Inggris yang mengemukakan teori tindak bahasa (speech-acts). Austin tidak
begitu tertarik membicarakan bahasa sebagai pemaparan realitas (fakta atomik). Ia
mengarahkan analisisnya pada pemakaian bahasa sehari – hari. Ia membedakan dua
macam penggunaan bahasa, yaitu proposisi atau tuturan konstatif dan proposisi atau

10
Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmum Klasik Hingga Kontemporer. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), 53.
11
Harun Hadiwijono. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. (Yogyakarta: Kanisus). 130-131.
12
Adi Armin. 2003. Richard Rorty. (Jakarta:Teraju). 20-28, 96.
13
Ibid.
14
Ibid.

8
tuturan performatif dengan aturan/kriterianya sendiri. Selain melaporkan sesuatu
(fakta) yang dapat diverifikasi (sebagaimana yang dilakukan kaum positivism melalui
bahasa ilmiah yang disebutnya sebagai tuturan konstatif), bahasa dapat pula bersifat
performatif. Artinya, dalam suatu tuturan terkandung satu komitmen untuk
melakukan apa yang dikatakan. Jadi, bahasa tidak hanya menyatakan sesuatu
(locutionary act), akan tetapi juga melakukan apa yang dikatakan (illocutionary act),
dan menghasilkan sesuatu (perlocutionary). Disamping itu, bahasa juga dapat
menciptakan komunikasi (interlocutory act)15.
Teori kebenaran performatif ini, yang disebut juga “tindak bahasa” mengaitkan
kebenaran satu tindakan yang dihubungkan dengan satu pernyataan. Apabila seorang
menteri misalnya menyatakan “Dengan ini, seminar resmi saya buka”, maka sang
menteri tidak menyatakan suatu benda atau objek indrawi akan tetapi suatu
pernyataan yang berkaitan dengan tindakan. Di sini ada perbuatan yang dilakukan
bersamaan dengan pengucapan kata – kata itu. Dengan pernyataan itu suatu
penampilan atau perbuatan (performance) dilakukan. Lantaran tuturan itu menyatakan
suatu perbuatan, maka disebut dengan tuturan performatif. Dengan demikian,
kebenaran performatif maksudnya adalah bahwa satu pernyataan dikatakan bendar
jika apa yang dinyatakan (oleh seseorang) dilakukan sesuai dengan tindakan dan
kewenangan yang ada padanya.
5. Teori Kebenaran Paradigmatis dan Konsensus
Teori kebenaran paradigmatic ini dapat diturunkan dari konsep paradigm Thomas
Samuel Kuhn. Menurut Kuhn, ilmu pengetahuan dikonstruksi atas paradigm tertentu.
Dalam dunia ilmiah ada sekelompok ilmuwan (komunitas ilmuwan) yang mendukung
paradigm tertentu (misalnya dalam psikologi terdapat paradigma psikoanalisa,
paradigm behaviorisme, paradigma humanistic, dan lain – lain). Ada kriteria yang
berbeda antara satu paradigm dengan paradigm lain, sehingga kebenaran tergantung
pada paradigma yang digunakan (paradigmatic).
Kuhn mengemukakan teori konsensus paradigmatic berkaitan dengan konsep
paradigm sebagai dasar atau model yang diterima oleh kelompok ilmuwan dalam

15
Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmum Klasik Hingga Kontemporer. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), 54-
55.

9
mengembangkan dan menguji teorinya16. Teori ilmiah dengan demikian
dianggap/dinyatakan benar kalau dapat disetujui oleh komunitas ilmuwan pendukung
paradigm tersebut.

D. Teori Interaksionisme
Menurut interaksionisme, di samping hubungan sebab musabab fisik, dan
hubungan sebab musabah jiwa, akal dapat menyebabkan perubahan-perubahan dalam
badan, dan perubahan badan dapat menimbulkan efek mental. Banyak orang yang merasa
terkesan oleh yang mereka anggap sebagai hubungan sebab musabab atau hubungan
timbal balik antara proses mental dan badan. Kondisi fisik kita mempengaruhi keadaan
mental kita, perubahan-perubahan badan mempengaruhi pandangan mental kita. Penyakit
dalam otak mempengaruhi kehidupan mental dan fikiran kita. Suatu pukulan kepada
kepala kita atau uap chloroform mungkin menyebabkan kita akan kehilangan kesadaran.
Pengaruh mental dari obat bius, alkohol dan kopi telah diakui hampir oleh seluruh dunia.
Jika pencernaan atau pembuangan kotoran badan terganggu orangnya menjadi sedih.
Biasanya kita tidak dapat berfikir secara jernih atau berkonsentasi kecuali jika proses
badan kita berjalan lancar. Lebih dari itu, jika otak dan sistem syaraf kita berkembang
baik, kekuatan akal kita juga bertambah.
Pengalaman mental juga mempengaruhi proses badan kita. Sesuatu ide menarik
kita, kita menjadi bersemangat dan melakukan aktivitas yang berat. Keresahan jiwa dapat
mengganggu kesehatan. Ketakutan menyebabkan jantung dan anggota badan lainnya
bereaksi. Marah atau tenaga mental yang biasa dapat menyebabkan tekanan darah tinggi.
Telah terdapat keyakinan yang makin bertambah, khususnya dalam dunia kedokteran,
bahwa kondisi mental dapat menyebabkan penyakit organik atau fungsional, dan bahwa
daya tahan terhadap penyakit dapat dipengaruhi oleh keadaan mental. Untuk mengatakan
bahwa gigi akan menjadi rusak lebih cepat jika seseorang selalu mengalami emosi.
Dahulu hipnotisme dipakai untuk bius (anesthesia), untuk menyembuhkan alkoholisme
dan mengontrol proses dan gerak-gerik. Kulit seorang pasien yang sudah dihipnotis

16
Ibid.

10
melepuh pada waktu yang melakukan hipnotisme memberitahu kepadanya bahwa ia
sedang terbakas; padahal logam yang menyentuh kulitnya itu dingin, tidak panas17.
Layaknya sebuah bangunan yang terdiri atas sejumlah komponen, interaksionisme
juga memiliki tiga elemen. Teori interaksionisme simbolik dikonstruksikan atas sejumlah
ide- ide dasar yang mengacu kepada beberapa masalah kelompok manusia. Berikut
uraiannya secara singkat.
a. Sifat masyarakat
Secara mendasar, masyarakat atau kelompok manusia berada dalam
tindakan dan harus dilihat dari segi tindakan pula. Prinsip utama dari interaksi
simbolik adalah apapun yang berorientasi secara empiris masyarakat, dan
darimana pun sumbernya, haruslah mengingat kenyataan bahwa masyarakat
merupakan sekumpulan manusia yang tengah bersama- sama dalam sebuah aksi
sosial.
b. Sifat interaksi sosial
Masyarakat merupakan bentukan dari interasksi antar individu. Teori
interaksionisme ini melihat pentingnya interaksi sosial sebagai sebuah sarana
ataupun sebagai sebuah musabbab ekspresi atau tingkah laku manusia.
c. Ciri- ciri obyek
Posisi teori interaksionisme simbolik adalah bahwa dunia- dunia yang ada
untuk manusia dan kelompok mereka merupakan kumpulan dari obyek sebagai
hasil dari interaksi simbolis. Obyek adalah sesuatu hal[3] (yang dapat
diindikasikan atau ditunjukkan). Obyek yang sama mempunyai arti yang berbeda
untuk tiap individu. Dari proses indikasi timbal balik, obyek- obyek umum
bermunculan. Obyek- obyek umum inilah yang akan dipandang secara universal.
Blumer menyebutkan bahwa sesuatu obyek memiliki tiga macam bentuk yaitu
benda fisik (things), benda sosial (social things), dan ide (abstract things).
d. Manusia sebagai makhluk bertindak
Teori interaksionisme simbolis memandang manusia sebagai makhluk
sosial dalam pengertian yang mendalam. Maksudnya ialah manusia merupakan
makhluk yang ikut serta dalam interaksi sosial dengan dirinya sendiri dengan

17
Aldous Huxley, Ends and Means. (New York: Harper, 1937). 299.

11
membuat sejumlah indikasi sendiri, serta memberikan respon pada indikasi.
Manusia bukanlah makhluk yang sekedar berinteraksi lalu merespon, tetapi juga
makhluk yang melakukan serangkaian aksi yang didasarkan pada perhitungan
yang matang.
e. Sifat aksi manusia
Manusia individual adalah manusia yang mengartikan dirinya dalam dunia
ini agar bertindak. Tindakan atau aksi bagi manusia terdiri atas penghitungan
berbagai hal yang ia perhatikan dan kenampakan sejumlah tindakan berdasarkan
pada bagaimana ia menginterpretasikannya. Dalam berbagai hal tersebut,
seseorang harus masuk ke dalam proses pengenalan dari pelakunya agar mengerti
tindakan atau aksinya. Pandangan ini juga berlaku untuk aksi kolektif dimana
sejumlah individu ikut diperhitungkan.
f. Fertalian aksi
Aksi bersama dari situasi baru muncul dalam sebuah masyarakat yang
bermasalah. Proses sosial dalam kehidupan kelompok lah yang menciptakan dan
menegakkan kehidupan kelompok. Aksi bersama mengacu kepada aksi- aksi yang
merubah sangat banyak kehidupan kelompok manusia, dan tidak hanya
menyajikan pertalian horizontal tetapi juga tali vertikal dengan aksi sebelumnya.
g. Orientasi Metodologis
Menurut Blumer teori interaksionisme simbolik telah diamati dengan
menggunakan dua pendekatan utama yaitu eksplorasi dan inspeksi18.
Berangkat dari kedua pemikiran diatas, muncul beberapa implikasi metodologis
para ahli interaksi simbolik terhadap kehidupan kelompok dan aksi sosial yang
dapat kita amati pada empat hal, yaitu individu, kolektivitas manusia, tindakan-
tindakan sosial, serta tindakan yang memiliki pertalian kompleks.
h. Prinsip Metodologis
Interaksionisme simbolik meliputi serangkaian prinsip metodologis yang
memiliki perbedaan khas antara aliran Chicago dan aliran Iowa. Blumer
berargumen bahwa metodologi yang khas untuk meneliti perilaku manusia
merupakan metode yang biasa digeneralisasi. Sebaliknya, Manford Kuhn

18
Poloma, M Margareth. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2006.

12
menekankan kesatuan metode ilmiah, semua medan ilmiah, termasuk sosiologi
harus bertujuan pada generalisasi dan kesatuan hukum. Mereka tak bisa sepakat
mengenai bagaimana suatu hal harus diteliti. Blumer cenderung menggunakan
interspeksi simpatik yang bertujuan untuk dapat masuk ke dalam dunia cakrawala
pelaku dan memandangnya sebagaimana sudut pandang si pelaku. Para sosiolog,
menurutnya, harus menggunakan intuisinya untuk bisa mengambil sudut pandang
para pelaku yang sedang mereka teliti, bahkan bila diperlukan, juga menggunakan
kategori yang sesuai dengan apa yang ada di benak pelaku19.
Sedangkan Kuhn lebih tertarik dengan fenomena empiris yang sama,
namun dia mendorong para sosiolog untuk mengabaikan teknik- teknik tak
ilmiah. Dan menggantinya dengan indikator- indokator yang tampak, seperti
tingkah laku, untuk mengetahui apa yang sedang berlangsung dalam benak
pelaku.

E. Teori Paralelisme
Meskipun sudah banyak buktinya serta sudah mendapat dukungan yang luas, teori
interaksionisme mendapat kritik yang tajam. Terdapat pertanyaan-pertanyaan di sekitar
seperti bagaimana dua substansi yang berlainan wataknya dapat mengadakan interaksi
(pengaruh timbal balik), suatu hubungan sebab musabab antara perubahan dalam otak
atau sistem syaraf dan gerak otot dapat dimengerti. Tetapi hubungan sebab musabab
antara suatu ide dan gerak fisik sukar dimengerti. Dua bidang ini nampak masing-masing
berdiri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri (self-sufficient).
Untuk menghadapi penolakan-penolakan terhadap interaksionisme timbullah
aliran paralelisme. Menurut aliran tersebut, tak ada interaksi atau hubungan sebab
musabab antara dua bidang. Proses mental dan proses fisik, keduanya adalah nyata tetapi
tak ada hubungan sebab musabab di antara mereka, yang ada adalah yang satu
mendampingi yang lain dalam waktu. Hubungan sebab musabab itu dapat diterima dalam
bidang mental, karena suatu kejadian mental dapat menyebabkan kejadian mental lain.
Hubungan sebab musabab juga dapat diterima dalam bidang fisik. Untuk menjelaskan hal

19
https://lauraerawardani.blogspot.com/2014/04/interaksionisme-simbolik.html diakses pada tanggal 31 Oktober
2019, pukul 19:09.

13
tersebut, digambarkan dua kereta api yang masing-masing berjalan di samping lainnya di
atas dua rel yang sejajar. Walaupun kedua kereta api itu paralel dan nampak bergerak
bersama, pada hakikatnya mereka itu berjalan masing-masing menurut sistemnya sendiri
dan tak terdapat hubungan sebab musabab di antara mereka.
Paham ini adalah merupakan kebalikan dari paham monoisme. Kalau paham
monoisme menyatakan bahwa hakikat yang ada itu adalah satu, maka paham
paralelisme/dualism menyatkan bahwa hakikat yang ada itu ada dua20. Aliran ini
berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu
hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, serta ruh bukan muncul dari benda,
sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri,
sama-sama asal dan abadi. Hubungan keduanya meciptakan kehidupan dalam alam ini.
Contoh yang paling jelas tentang adanya kerjasama kedua hakikat ini ialah dalam diri
manusia. Tokoh dari paham ini adalah Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai
bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran
(ruhani) dan dunia ruang (kebendaan). Descartes terkenal dengan teorinya Cogito
Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Selain Descartes, ada juga
Benedctus De Spinoza (1632/1677 M), dan Gitifried Wilhelm Von Leibniz (1646-1716
M).

F. Teori Identitas
Menurut teori identitas baik akal maupun badan tidak merupakan kesatuan yang
terpisah dan berdiri sendiri, sehingga disebutkan bahwa sifatnya identik. Jika
dianalogikan yaitu seperti sebuah koin mata uang, dimana memiliki dua sisi yang
berbeda, setiap sisi tidak bisa disatukan namun ketika salah satunya dihilangkan maka
tidak bernilai. Teori identitas yang kedua yaitu Teori Identitas Kontemporer. Teori ini
mengatakan bahwa keadaan-keadaan mental itu sama dengan keadaan otak. Pembenaran
yang diberikan kepada teori identitas adalah bahwa otak meskipun bersifat fisik, namun
memiliki hubungan yang mungkin cukup rumit dengan akal. Terdapat aliran materialisme
dalam teori identitas kontemporer ini, yaitu rasa sakit, fikiran, ingatan, kenangan semua
itu memang ada, namun merupakan proses sistem syaraf saja. Pandangan teori ini

20
https://www.academia.edu/10723917/filsafat_ilmu diakses pada tanggal 31 Oktober 2019, pukul 19:39.

14
menghilangkan pemisah antara akal dan badan. Kritik mengenai teori ini yaitu kurangnya
bukti-bukti yang meyakinkan bahwa keadaan mental itu sama dengan proses mental.
Teori identitas yang ketiga adalah teori identitas sosial yang digambarkan sebagai
teori yang memprediksi perilaku antar kelompok tertentu berdasarkan perbedaan status
kelompok, legitimasi dan stabilitas yang dipersepsikan akibat adanya perbedaan status
tersebut, dan kemampuan yang dipersepsikan dalam berpindah dari satu kelompok ke
kelompok lainnya21. 22
Hal ini berbeda dengan istilah 'teori identitas sosial' yang
digunakan dalam menjelaskan tentang manusia sosial (identitas kolektif)23. Walaupun
beberapa peneliti telah menggunakannya untuk hal tersebut24, 25teori identitas sosial tidak
pernah dimaksudkan untuk membuat generalisasi kategorisasi sosial26. Kesadaran akan
terbatasnya lingkup teori identitas sosial, menyebabkan John Turner dan rekannya
27
mengembangkan teori yang mirip dari bentuk teori kategorisasi diri, yang dibangun di
atas wawasan teori identitas sosial untuk menghasilkan gagasan yang lebih umum tentang
proses pembentukan diri dan kelompok ini. Istilah 'pendekatan identitas sosial' atau
'perspektif identitas sosial', disarankan dapat menggambarkan kontribusi bersama antara
teori identitas sosial dengan teori kategorisasi diri.

21
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). "An integrative theory of intergroup conflict". Dalam W. G. Austin & S.
Worchel. The social psychology of intergroup relations. Monterey, CA: Brooks/Cole. hlm. 33–47.
22
Turner, J. C. (1999). Ellemers, N.; Spears, R.; Doosje, B., ed. "Some current issues in research on social identity
and self-categorization theories". Social identity. Oxford: Blackwell: 6–34.
23
Ibid.
24
Brown, R. J.; Zagefka, H. (2006). "Choice of comparisons in intergroup settings: the role of temporal information
and comparison motives". European Journal of Social Psychology. 36 (5): 649–671.
25
Ashmore, R. D.; Deaux, K.; McLaughlin-Volpe, T. (2004). "An organizing framework for collective identity:
Articulation and significance of multidimensionality". Psychological Bulletin. 130 (1): 80–114.
26
Turner, J. C. & Reynolds, K. J. (2010). "The story of social identity". Dalam T. Postmes & N. Branscombe.
Rediscovering Social Identity: Core Sources. Psychology Press.
27
Ibid.

15
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri – ciri pengetahuan ilmiah dan cara
untuk memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu adalah proses penyelidikan ilmiah
itu sendiri.

Menurut interaksionisme, di samping hubungan sebab musabab fisik, dan


hubungan sebab musabah jiwa, akal dapat menyebabkan perubahan-perubahan dalam
badan, dan perubahan badan dapat menimbulkan efek mental.

Menurut teori paralelisme tersebut, tak ada interaksi atau hubungan sebab
musabab antara dua bidang. Proses mental dan proses fisik, keduanya adalah nyata tetapi
tak ada hubungan sebab musabab di antara mereka, yang ada adalah yang satu
mendampingi yang lain dalam waktu. Hubungan sebab musabab itu dapat diterima dalam
bidang mental, karena suatu kejadian mental dapat menyebabkan kejadian mental lain.
Hubungan sebab musabab juga dapat diterima dalam bidang fisik.

Menurut teori identitas baik akal maupun badan tidak merupakan kesatuan yang
terpisah dan berdiri sendiri, sehingga disebutkan bahwa sifatnya identik. Teori identitas
yang kedua yaitu Teori Identitas Kontemporer. Teori ini mengatakan bahwa keadaan-
keadaan mental itu sama dengan keadaan otak. Pembenaran yang diberikan kepada teori
identitas adalah bahwa otak meskipun bersifat fisik, namun memiliki hubungan yang
mungkin cukup rumit dengan akal. Teori identitas yang ketiga adalah teori identitas sosial
yang digambarkan sebagai teori yang memprediksi perilaku antar kelompok tertentu
berdasarkan perbedaan status kelompok, legitimasi dan stabilitas yang dipersepsikan
akibat adanya perbedaan status tersebut, dan kemampuan yang dipersepsikan dalam
berpindah dari satu kelompok ke kelompok lainnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Surajiyo, Filsafat Ilmum. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009).


Harun Hadiwijono. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. (Yogyakarta: Kanisus).

Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmum Klasik Hingga Kontemporer. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2016).
Adi Armin. 2003. Richard Rorty. (Jakarta:Teraju).

Aldous Huxley, Ends and Means. (New York: Harper, 1937).

https://ridhowater.wordpress.com/definisi-filsafat-secara-etimologi-dan-terminologi/ diakses
pada tanggal 28 Oktober 2019, pukul 20:50.
https://nurhibatullah.blogspot.com/2015/12/makalah-filsafat-ilmu.html diakses pada tanggal 29
Oktober 2019, pukul 19:20.
https://www.scribd.com/upload-
document?archive_doc=364112947&escape=false&metadata=%7B%22context%22%3A%22arc
hive_view_restricted%22%2C%22page%22%3A%22read%22%2C%22action%22%3A%22dow
nload%22%2C%22logged_in%22%3Atrue%2C%22platform%22%3A%22web%22%7D
diakses pada tanggal 29 Oktober 2019, pukul 19:45.

https://id.wikipedia.org/wiki/Pragmatisme#cite_note-Armin-2 diakses pada tanggal 31 Oktober


2019, pukul 18:48.

https://lauraerawardani.blogspot.com/2014/04/interaksionisme-simbolik.html diakses pada


tanggal 31 Oktober 2019, pukul 19:09.

https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_identitas_sosial diakses pada tanggal 31 Oktober 2019, pukul 20:18.

17

Anda mungkin juga menyukai