Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

STUDI FIQIH

“Fiqih Muamalah Konsep dan Ruang Lingkup Ijarah, Tijarah, Salam,


Qard”

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Pada Mata Kuliah Studi Fiqih

Dosen Pengampu : M. Ilham Tanzilullah, M.HI.

Disusun Oleh

Kelompok 4:

Gita Puspita Ningrum (102190121)

Hisyam Syafruddin Yusuf (102190122)

FAKULTAS SYARIAH

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO

2019/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya.
Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang berilmu
pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Studi Fikih dengan ini penulis
mengangkat judul “Fiqih Muamalah”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.

Ponorogo, 07 September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep dan Ruang Lingkup Ijarah ......................................................................... 3


B. Konsep dan Ruang Lingkup Tijarah ....................................................................... 9
C. Konsep dan Ruang Lingkup Salam ......................................................................... 13
D. Konsep dan Ruang Lingkup Qard ........................................................................... 18

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN ................................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut terminologi, fiqih pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang
mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah, akhlak, maupun amaliah (ibadah),
yakni sama dengan arti Syari’ah Islamiyah. Namun, pada perkembangan selanjutnya,
fiqih diartikan sebagai bagian dari Syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum
Syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan
berakal sehat yang diambil dari dalil – dalil yang terinci.
Sedangkan secara bahasa Muamalah berasal dari kata amala yu’amilu yang
artinya bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan. Sedangkan menurut istilah
Muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan
cara yang ditentukan. Muamalah juga dapat diartikan sebagai segala aturan agama yang
mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya
tanpa memandang perbedaan.
Sedangkan pengertian fiqih muamalah sendiri menurut terminologi terbagi
menjadi dua, yaitu pengertian fiqih muamalah dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Fiqih muamalah dalam arti luas adalah aturan – aturan (hukum) Allah SWT., yang
ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang
berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.
Menurut pengertian ini, manusia, kapanpun dan di manapun, harus senantiasa
mengikuti aturan yang telah ditetapkan Allah SWT., sekalipun dalam perkara yang
bersifat duniawi sebab segala aktivitas manusia akan dimintai pertanggungjawabannya
kelak di akhirat.
Dengan kata lain, dalam Islam, tidak ada pemisahan antara amal dunia dan amal
akhirat, sebab sekecil apapun aktivitas manusia di dunia harus didasarkan pada ketetapan
Allah SWT., agar kelak selamat di akhirat.

1
Fiqih muamalah dalam arti sempit menekankan keharusan untuk mentaati aturan –
aturan Allah SWT., yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia
dengan cara memperoleh, mengatut, mengelola, dan mengembangkan mal (harta benda).
Fiqih muamalah tidak mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan harta, seperti
cara mengatur tirkah (harta waris), sebab masalah ini telah diatur dalam disiplin ilmu itu
tersendiri, yaitu dalam Fiqih Mawaris.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dan ruang lingkup ijarah?
2. Bagaimana konsep dan ruang lingkup tijarah?
3. Bagaimana konsep dan ruang lingkup salam?
4. Bagaimana konsep dan ruang lingkup qardh?

C. Tujuan
Sebagai seorang mahasiswa kita juga harus mengetahui tentang Fiqih Muamalah,
sepatutnya kita mengetahui sebagian ilmu tentang Ijarah, Tijarah, Salam, dan Qardh. Di
samping itu, karya tulis ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Studi Fiqih
semester 1.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep dan Ruang Lingkup Ijarah


1. Pengertian Ijarah
Pengertian ijarah diderivasi dari bentuk fi’il “ajara-ya’juruajran”. Ajran
semakna dengan kata al-‘iwadh yang mempunyai arti ganti dan upah1, dan juga dapat
berarti sewa atau upah2. Secara istilah, pengertian ijarah ialah akad atas beberapa manfaat
atas penggantian3. Adapun pengertian ijarah yang dikemukakan oleh para ulama
madhhab sebagai berikut:
a) Pengertian ijarah menurut ulama Hanafiyah ialah:
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b) Pengertian ijarah menurut ulama Asy-Syafi’iyah ialah:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta
menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c) Pengertian ijarah menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah ialah:
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan
pengganti.”
2. Sifat dan Hukum Ijarah
1. Sifat Ijarah

Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang didasarkan pada firman
Allah SWT. : ‫ا َ ْوفُ ْوابا ِْلعُقُ ْو ِِد‬, yang boleh dibatalkan. Pembatalan setrsebut dikaitkan pada
pasal, bukan didasarkan pada pemenuhan akad4.

Sebaliknya, jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak
dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya, seperti
hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun mendasarkan pendapatnya pada ayat Al-Qur’an di
atas.

1
A.W. al-Munawwir. Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 9.
2
Fathrrahman Djamil, “Fiqh Mu’amalah”, vol. 3, 155.
3
Ibid.
4
Ibid., juz IV. 201.

3
Berdasarkan dua pandangan di atas, menurut ulama Hanafiyah, ijarah batal
dengan mendinggalnya salah seorang yang akad dan tidak dapat dialihkan kepada ahli
waris. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal, tetapi berpindah kepada ahli
warisnya5.

2. Hukum Ijarah
Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya
upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’quad ‘alaih, sebab ijarah termasuk
jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan6.
Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah
mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih
kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat.
Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan
perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya7.
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual-beli
fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang
sewaan8.
3. Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun iajarah hanya terdiri dari ijab dan qabul.
Karena itu akad ijarah sudah dianggap sah dengan adanya ijab-qabul tersebut, baik
dengan lafadh ijarah atau lafadh yang menunjukkan makna tersebut9. Sedangkan menurut
jumhur ulama rukun ijarah terdiri dari mu’jir, masta’jir, ajr, manfaat dan shighah (ijab-
qabul)10.
Adapun mengenai syarat ijarah yang harus dipenuhi oleh mu’jir dan musta’jir
(pihak yang melakukan akad ijarah), sama dengan syarat pada akad lainnya, seperti
keduanya harus berakal sehat dan dewasa. Tetapi kalangan ulama berbeda pendapat
mengenai keabsahan (kebolehan) orang yang belum dewasa bertindak sebagai para pihak

5
Ibn Rusyd, Op.Cit., juz II. 328.
6
Al-Kasani, op,cit., juz IV. 201.
7
Ibid., 195.
8
Muhammad Asy-Syarbini, Op.Cit., juz II. 358.
9
Abd. Ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Madhahib al-Arba’ah, Juz. 3, 87-88.
10
Rukun ijarah menurut ulama malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah tidak ada perbedaan, meskipun diantara
mereka ada yang masih memerincinya, seperti yang dilakukan oleh ulama Syafi’iyah, lihat. Ibid., 91-96.

4
dalam akad ijarah tersebut. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, bahwa seseorang
yang belum dewasa (mummayyiz) dapat berperan sebagai pihak yang melakukan akad
ijarah, dengan syarat harus ada izin dari walinya. Karena itu akad ijarah seorang anak
yang belumdewasa bersifat maufuq (ditangguhkan), sampai ada izin dari walinya11.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan hanabilah berpendapat bahwa akad ijarah harus
dilakukan oleh seseorang yang sudah cakap dalam melakukan tindakan hukum. Karena
itu, kedewasaan yang menjadi unsur utama dari kecakapan harus dijadikan sebagai syarat.
Jumhur ulama juga menetapkan syarat lain yang berhubungan dengan para pihak yang
melakukan akad ijarah. Syarat – syarat tersebut antara lain:
1) Para pihak yang berakad harus rela melakukan akad tersebut, tanpa merasa adanya
paksaan dari pihak lain. Maka, apabila seseorang dipaksa untuk melakukan akad,
dianggap tidak sah akadnya.
2) Kedua belah pihak harus mengetahui secara jelas tentang manfaat yang diakadkan
guna menghindari pertentangan atau salah faham, dengan cara menghindari
pertentangan atau salah paham, dengan cara melihat benda yang akan disewakan atau
jasa yang akan dikerjakan, serta mengetahui masa mengerjakannya12.
Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam sewa atau imbalan, menurut
kesepakatan ulama, adalah bahwa sewa itu harus berupa barang atau benda yang bernilai.
Menurut ulama Hanafiyah, bahwa disyaratkan pula sewa atau imbalan tidak boleh sama
dengan manfaat yang dijadikan obyek ijarah. Misalnya sewa rumah dibayar dengan sewa
rumah yang lain. Menurut mereka, praktek seperti ini mengandung riba fadhl (ada
kemungkinan terdapat kelebihan di satu pihak). Tetapi ulama Syafi’iyah membolehkan
adanya proses sewa seperti di atas13.
Menurut jumhur ulama ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan
manfaat atau obyek akad ijarah.
1) Manfaat yang akan dijadikan obyek ijarah harus diketahui dengan pasti, mulai dari
bentuk, sifat, tempat, hingga waktunya.
2) Manfaat itu harus dipenuhi dalam arti yang sebenarnya. Karena itu, ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa tidak boleh menyewakan benda milik bersama yang tidak dapat

11
Ibid., 91-96.
12
Ibid., 91-104.
13
Ibid., 93.

5
dibagi tanpa ada teman serikatnya, karena manfaatnya tidak dapat terpenuhi.
Menurut jumhur ulama, boleh menyewakan barang milik bersama, karena pada
barang tersebut ada manfaat, dan penyerahannya dapat dengan mengosongkannya
atau membagikan manfaatnya kepada masing – masing pemiliknya14.
3) Manfaat yang dimaksud bersifat mubah. Karena itu tidak boleh menyewakan barang
yang manfaatnya untuk kegiatan yang dilarang oleh syara’, misalnya menyewakan
tempat untuk perjudian atau pelacuran dan lain – lain.
4. Macam – Macam Ijarah
Berdasarkan uraian tentang definisi dan syarat ijarah, maka ijarah dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian15.
1) Ijarah ‘ala al-manafi’, yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat, seperti
menyewakan rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, baju untuk dipakai dan
lain – lain. Dalam ijarah ini tidak dibolehkan menjadikan obyeknya sebagai tempat
yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang dilarang oleh syara’.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan akad ijarah ini dinyatakan ada.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, akad ijarah dapat ditetapkan sesuai dengan
perkembangan manfaat yang dipakai. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa
sewa tidak dapat dimiliki oleh pemilik barang ketika akad itu berlangsung, melainkan
harus dilihat dahulu perkembangan penggunaan manfaat tersebut.
Sementara itu ulama Safi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ijarah ini sudah
tetap dengan sendirinya sejak akad ijarah terjadi. Karena itu, menurut mereka sewa
sudah dianggap menjadi milik barang sejak akad ijarah terjadi. Karena akad ijarah
memiliki sasaran manfaat dari benda yang disewakan, maka pada dasarnya penyewa
berhak untuk memanfaatkan barang itu sesuai dengan keperluannya, bahkan dapat
meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain sepanjang tidak mengganggu dan
merusak barang yang disewakan16. Namun demikian ada akad ijarah ‘ala al’manafi’
yang perlu mendapatkan perincian lebih lanjut, yaitu:

14
Faturahman Djamil, “Fiqh Muamalah”, vol. 3, 156.
15
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuh, Juz. 5, 3837-3845. Fathurrahman Djamil, “Fiqh Mu’amalah”,
vol. 3, 157-158.
16
Ibid., 157.

6
a. Ijarah al-‘ardh (akad sewa tanah) untuk ditanami atau didirikan bangunan. Akad
sewa tersebut baru sah jika dijelaskan peruntukannya. Apabila akadnya untuk
ditanami, harus diterangkan jenis tanamannya, kecuali jika pemilik tanah (mu’jir)
memberi izin untuk ditanami tanaman apa saja.
b. Akad sewa pada binatang harus jelas peruntukannya, untuk angkutan atau
kendaraan dan juga masa penggunaannya. Karena binatang dapat dimanfaatkan
untuk aneka kegiatan, jadi untuk menghindari sengketa kemudian hari, harus
disertai rincian pada saat akad17.
2) Ijarah ‘ala al-‘amaal ijarah, yaitu ijarah yang obyek akadnya jasa atau pekerjaan,
seperti membangun gedung atau menjahit pakaian. Akad ijarah ini terkait erat dengan
masalah upah – mengupah. Karena itu, pembahasannya lebih dititikberatkan kepada
pekerjaan atau buruh (ajir).
Ajir dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu ajir khass dan ajir musytarak.
Pengertian ajir khass adalah pekerjaan atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan
secara individual dalam waktu yang telah ditetapkan, seperti pembantu rumah tangga
dan sopir. Menurut Wahbah az-Zuhaili, pekerjaan menyusukan anak kepada orang
lain dapat digolongkan dalam akad ijarah khass ini18. Jumhur ulama mengatakan,
seorang suami tidak boleh menyewa istrinya untuk menyusukan anaknya karena
pekerjaan tersebut merupakan kewajiban istri. Bahkan Imam Malik menambahkan,
suami dapat memaksa istrinya untuk menyusukan anaknya (jika dia menolak). Namun
menurut Ahmad, boleh menyewa istri sendiri untuk menyusukan anaknya.
Namun jumhur ulama sepakat membolehkannya asal yang disewa bukan istri sendiri,
tetapi wanita lain. Dalam pemberian upah kepada wanita lain yang disewa, perlu
adanya kesepakatan masa menyusui, melihat langsung anak yang akan disusui dan
juga tempat menyusuinya di rumah sendiri atau tempat lain. Wanita yang sudah
menyusui seorang anak, dia tidak boleh menyusui bayi yang lain, karena penyusuan
disini dinilai sebagai ajir musytarak adalah seorang yang bekerja dengan profesinya
dan tidak terikat oleh orang tertentu. Dia mendapatkan upah karena profesinya, bukan
karena penyerahan dirinya terhadap pihak lain, misalnya pengacara dan konsultan.

17
Wahdah az-Zuhaili, al-Fiqh al-islami wa Adillatuh, Juz 5,. 3845.
18
Ibid.

7
Pembagian ajir seperti di atas mempunyai akibat terhadap tanggungjawab masing –
masing. Ajir khass, menurut empat ulama madhhab tidak bertanggungjawab atas
rusak atau hilangnya sesuatu ketika dia bekerja pada majikannya, sepanjang itu bukan
akibat kelalaiannya. Adapun dalam ajir musytarak, para ulama berbeda pendapat.
Menurut kelompok Hanabilah bahwa ajir musytarak sama dengan ajir khass dalam
tanggungjawabnya. Adapun menurut Malikiyah, ajir musytarak harus
bertanggungjawab sepenuhnya terhadap rusak atau hilangnya benda yang dijadikan
obyek pekerjaannya.
5. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah merupakan jenis akad yang lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan
adanya fasakh (pembatalan) pada salah satu pihak, kecuali jika adanya faktor yang
mewajibkan terjadinya fasakh. Faktor – faktor yang menyebabkan ijarah menjadi fasakh,
antara lain19:
a) Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika barang sewaan berada di tangan penyewa
(musta’jir). Benda yang di sewakan rusak, seperti rumah yang di sewa roboh atau
binatang yang di sewa mati, atau benda yang diijarahkan rusak, misalnya baju yang
diupahkan untuk di jahit dan tidak mungkin untuk memperbaikinya. Menurut jumhur
ulama, kematian pada salah satu orang yang berakad tidak dapat memfasakh iijarah,
karena ahli warisnya dapat menggantikan posisinya, baik sebagai mu’jir atau
musta’jir. Namun ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa akad ijarah berakhir karena
kematian salah satu pihak yang berakad. Selanjutnya Hanafiyah menambahkan,
bahwa benda ijarah tidak boleh dijual kecuali atas izin musta’jir, atau dia mempunyai
hutang sehingga benda itu disita pihak berwajib untuk membayar hutangnya.
b) Terpenuhinya manfaat benda ijarah atau selesainya pekerjaan dan juga berakhirnya
waktu yang telah ditentukan, kecuali apabila ada alasan yang melarang
memfasakhnya, seperti masa ijarah terhadap tanah pertanian yang telah habis masa
sewanya sebelum tiba masa panennya. Dalam kondisi demikian, status benda ijarah
masih berada di tangan penyewa (musta’jir) dengan syarat dia harus membayar uang
sewa lagi kepada pemilik tanah (mu’jir) sesuai kesepakatan20.

19
Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, 122-123.
20
Ibid.

8
Tatkala masa ijarah telah berakhir, musta’jir harus mengembalikan benda ijarah
kepada mu’jir. Apabila benda ijarah berupa benda bergerak, benda tersebut diserahkan
kepada pemiliknya. Untuk benda yang tidak bergerak, musta’jir harus menyerahkannya
dalam keadaan kosong dari harta miliknya, jika benda ijarahnya berupa tanah pertanian,
maka tanah tersebut diserahkan dalam keadaan kosong dari tanaman21.

B. Konsep dan Ruang Lingkup Tijarah


1. Pengertian Tijarah
Tijarah dalam kajian hukum Islam adalah suatu kegiatan mempertukarkan suatu
barang berharga dengan mata uang melalui cara-cara yang telah ditentukan. Kata ini
berasal dari bahasa Arab, yaitu tajara, tajran, tijaratan yang bermakna berdagang atau
berniaga. Turunan katanya, at-tijaratun dan mutjar berarti perdagangan atau
perniagaan, attijariyyu dan mutjariyyu berarti mengenai perdagangan atau perniagaan22.
Menurut Imam an-Nawawi, ahli fikih Mazhab Syafii mengartikan tijarah sebagai
"pemindahan hak terhadap benda dengan melakukan tukar-menukar murni, yakni tukar-
menukar barang". Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini harus bermanfaat dan
diperbolehkan oleh syariat Islam.
Termasuk dalam akad tijarah adalah akad yang mengacu pada konsep bagi hasil,
di antaranya mudharabah dan musyarakah, akad yang mengacu pada konsep jual beli, di
antaranya bay’ bi tsaman ajil, murabahah, salam, dan istishna’, akad yang mengacu pada
konsep sewa, di antaranya ijarah dan ijarah muntahiyah bit tamlik, akad yang mengacu
pada konsep titipan, di antaranya wadi’ah yad al amanah dan wadiah yad dhamanah.
2. Rukun dan Syarat Tijarah
Jual beli atau tijarah mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi sehingga
jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’:
Mnurut jumhur ulama’, rukun jual beli ada 4 yaitu23:
1) Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli). Bagi pihak
penjual ada dua kewajiban utama yaitu:

21
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz. 3, 210-211.
22
Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka Progresif. 1984. hlm. 139.
23
Ibid, h. 115.

9
a. Kewajiban menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan yakni
meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan
hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari si penjual dan pembeli.
b. Memberikan jaminan atas barang tersebut dan menanggung apabila terdapat cacat
yang tersembunyi.
2) Ijab dan qabul.
3) Ada barang.
4) Ada nilai tukar pengganti barang.
Adapun syarat – syarat jual beli yang harus dipenuhi adalah24:
Tentang subyeknya bahwa kedua belah pihak yang melakukan jual beli haruslah:
1) Berakal, yaitu dapat membedakan atau memilih mana yang baik bagi dirinya, jual beli
yang dilakukan oleh anak kevil dan orang gila tidak sah.
2) Dengan kehendak sendiri, yaitu dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah
satu pihak tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan pada pihak lainnya.
3) Baligh, yaitu telah dewasa menurut hukum dan cakap dalam bertindak.
4) Keduanya tidak mubazir, para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli
tersebut bukanlah manusia yang boros (mubazir), sebab orang yang mubazir di dalam
perbuatan hukum berada di bawah pengampunan/perwalian.
3. Macam – Macam Tijarah
Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah dibagi
menjadi dua kelompok besar, yakni :
a. Natural Certainty Contracts (NCC) Kedua belah pihak saling mempertukarkan
aset yang dimilikinya, oleh sebab itu objek pertukarannya (barang/jasa) harus
ditetapkan di awal akad yaitu jumlah (quantity), mutu (quality), harga (price) dan
waktu penyerahan (time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini menawarkan return
yang tetap dan pasti, diantaranya adalah kontrak yang berbasis jual beli (al-Ba‟i,
Salam, dan istishna), sewa-menyewa (ijarah dan IMBT), dan upah-mengupah.
Pihak-pihak yang bertransaksi saling mempertukarkan asetnya (baik real assets
maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak tidak saling bercampur
membentuk usaha baru, sehingga tidak ada pertanggungan risiko bersama.

24
Chairuman Pasaribu dan Suharwadi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, h. 35-40.

10
b. Natural Uncertainty Contract (NUC) Pihak-pihak yang bertransaksi saling
mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu
kesatuan, dan kemudian menanggung risiko bersamasama untuk mendapatkan
keuntungan. Percampuran ini adalah mencampurkan atau menggabungkan aset
menjadi satu kesatuan, selanjutnya kedua belah pihak terkait akan menanggung
resiko dari kegiatan usaha yang dilakukan bersama tersebut dan membagi
keuntungan atau laba sesuai kesepakatan bersama. Berdasarkan teori percampuran
ini, akad atau perjanjian yang biasa digunakan bertujuan untuk investasi sehingga
dalam hal ini tidak memberikan kepastian imbalan (return) di awal. Konsep dalam
berinvestasi yaitu bahwa tingkat return yang diperoleh dapat bersifat
positif/untung, negatif/rugi, atau nol/balik modal. Di sini, keutungan dan kerugian
ditanggung bersama. Maka, kontrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan
(return), dari segi jumlah (amount), maupun waktu (timing). Yang termasuk
dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini secara
by their nature tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi sifatnya tidak
fixed and predetermined. Contoh-contoh NUC adalah sebagai-berikut musyarakah
( wujuh, inan, abdan, muwafadhah, mudharabah) Muzara’ah, Musaqah,
Mukhabarah-Mukhabarah.
Transaksi syariah berdasarkan pada prinsip:
1) Persaudaraan (ukhuwah), transaksi syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan
dalam memperoleh manfaat, sehingga seseorang tidak boleh mendapatkan
keuntungan di atas kerugian orang lain. Prinsip ini didasarkan atas prinsip saling
mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta’awun),
saling menjamin (takaful), saling besinergi dan saling berafiliasi (tahaluf).
2) Keadilan (‘adalah), selalu menempatkan sesuatu hanya pada yang berhak, dalam
realitas prinsip ini sesuai aturan muamalah yaitu melarang adannya unsur
Riba/bunga, Kezaliman terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan,
Maisir/judi atau bersikap spekulatif dan tidak berhubungan dengan
produktivitasnnya, Ghahar/unsur ketidakjelasan, manipulsi dan eksploitasi
informasi serta tidak adannya kepastian pelaksanaan akad, dan Haram.

11
3) Kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan dan manfaat yang
berdimensi duniawi dan ukhrawi, meterial dan spiritual, serta individual dan
kelektif. Kemaslahatan harus memenuhi dua unsur yaitu halal (patuh terhadap
ketentuan syariah) dan thayib (membawa kebaikan dan bermanfaat).
4) Keseimbangan (tawazun), yaitu keseimbangan antara aspek material dan spiritual,
antara aspek privat dan publik, antara sektor keuangan dan sektor rill, antara
bisnis dan sosial serta antara aspek pemanfaatan serta pelestarian. Transaksi
syariah tidak hanya memperhatikan kepentingan pemilik semata tetapi
memperhatikan kepentingan semua pihak sehingga dapat merasakan manfaat
adanya suatu kegiatan ekonomi tersebut.
5) Universalisme (syumuliah), dimana esensinya dapat dilakukan oleh, dengan dan
untuk semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan
golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan li alamin).
6) Kerelaan (al-Ridhâ). Berdasarkan asas ini maka semua bentuk akad yang dibuat
harus dilakukan karena kerelaan diri, bukan karena keterpaksaan atau dipaksa.
Dengan demikian bila asas ini tidak terpenuhi, maka akad dapat dianggap batal
atau tidak sah, dan bila keadaan itu tetap dilangsungkan maka sama artinya
dengan memakan sesuatu dengan cara yang batil (al-akl bi al-bâthil). Singkatnya,
asas ini mengharuskan tidak adanya paksaan dari pihak manapun dalam proses
transaksi25.
4. Tijarah Sebagai Penunjang Tugas Manusia
Tugas pokok tersebut adalah:
1) Al-Isti’bad (Ibadah)
Ibadah merupakan hal paling penting yang harus dilakukan manusia kepada Allah
karena Allah menciptakan manusia tidak lain adalah untuk beribadah. Beribadah
dalam hal ini tidaklah terpaku kepada sholat atau puasa saja, karena segala sesuatu
yang diniatkan kepada Allah akan bernilai ibadah. Seperti perniagaan (bisnis)
yang dilandasi kepada Allah tentu akan berniat ibadah. Ketika melakukan bisnis
harus diniatkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dengan berbisnis kita

25
Abdurrauf. Al-Iqtishad. h. 23.

12
bisa beribadah sholat dan puasa dengan lebih tenang serta menunaikan rukun
Islam (haji).
2) Al-Ibtilaa’ (Cobaan)
Allah telah memberikan peringatan bahwa bisnis (perniagaan) merupakan cobaan
kepada manusia untuk mengetahui seberapa besar iman seseorang. Perniagaan
disamakan dengan ayah, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu,
harta kekayaan dan tempat tinggal sebagai cobaan dari Allah. Oleh karena itu, kita
harus bisa menjalani cobaan dengan lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya diatas
semua hal tersebut.
3) Al-Isti’mar (Mengelola Alam)
Berdagang (bisnis) harus memperhatikan keseimbangan alam. Konsep
pembangunan yang berkelanjutan harus menjadi prioritas dalam berbisnis. Karena
tugas untuk memakmurkan alam adalah tugas manusia sebagai khalifah fil ardh.
4) Al-Istikhlaf (Saling Melengkapi Antar Anggota Masyarakat)
Terlepas dari hal yang harus dilakukan seperti yang disebutkan di atas, maka
semua itu akan sulit untuk dilaksanakan tanpa bantuan orang lain. Beribadah lebih
afdhal ketika dilakukan berjamaah, menghadapi cobaan akan terasa ringan ketika
dihadapi bersama-sama, dan mengelola alam serta mengerjakan pembangunan
yang berkelanjutan akan lebih baik hasilnya ketika dilakukan oleh orang-orang
yang ahli di bidangnya masing-masing. Untuk itulah konsep istikhlaf menjadi
penting untuk dilakukan. Dalam berbisnis terdapat bagian produksi, distribusi dan
konsumsi, semua itu harus saling berintegrasi dan interkoneksi untuk
lebihmendekatkan diri kepada Allah SWT.

C. Konsep dan Ruang Lingkup Salam


1. Pengertian Salam
Secara bahasa, salam (‫)سلم‬ adalah al-i'tha' (‫)اإلعطاء‬ dan at-taslif (‫)التسليف‬.
Keduanya bermakna pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyath bermakna:
dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.
Sedangkan secara istilah syariah, akad salam didefinisikan oleh para fuqaha secara

13
umumnya: (‫)بيعِموصوفِفيِالذمةِببدلِيعطىِعاجال‬. Jual-beli barang yang disebutkan sifatnya
dalam tanggungan dengan imbalan pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah salam,
sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf. Jual beli salam adalah suatu benda yang
disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai,
barangnya diserahkan kemudian/untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama
syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh
diserahkan secara tunai26.
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan
pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced
payment atauforward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas,
tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan “Penjualan Butuh” (Bai’ Al-
Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan didorong oleh
adanya kebutuhan mendesak pada masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik modal
membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada uang dari
harga barang. Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan
pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia.
2. Rukun dan Syarat Salam
Jumhur ulama berpandangan sebagaimana telah dikutip oleh Imam Mustafa
bahwa rukun salam ada tiga, yaitu yang pertama sighah yang mencakup ijab dan kabul,
kedua pihak yang berakad, orang yang memesan dan yang menerima pesanan, ketiga,
barang dan uang pengganti uang barang.
Sighah harus menggunakan lafazh yang menunjukkan kata memesan barang,
karena salam pada dasarnya jual beli dimana barang yang menjadi objeknya belum ada.
Hanya saja diperbolehkan dengan syarat harus menggunakan kata “memesan” atau
salam. Kabul juga harus menggunakan kalimat yang menunjukkan kata menerima atau
rela terhadap harga. Para pihak harus cakap hukum (baligh atau mumayyiz dan berakal)
serta dapat melakukan akad atau transaksi. Sementara barang yang menjadi objek jual

26
http://aplikom1314t4g.blogspot.com/2014/01/jual-beli-salam-dan-istishna.html.

14
beli salam adalah barang harus milik penuh si penjual, barang yang bermanfaat, serta
dapat diserah terimakan. Sementara modal harus diketahui, modal atau uang harus
diserahkan terlebih dahulu dilokasi akad27.
Rukun salam:
1. Ada si penjual dan si pembeli.
2. Ada barang dan uang.
3. Ada sigad (lafad akad)28.
Syarat – syarat salam:
1. Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan lebih
dahulu.
2. Barangnya menjadi utang bagi si penjual29.
3. Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan berarti pada waktu yang
dijanjikan barang itu harus sudah ada.
4. Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, baik takaran, timbangan, ukuran, ataupun
bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang semacam itu.
5. Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya. Dengan sifa itu, berarti harga dan
kemauan orang pada barang tersebut dapat berbeda. Sifatsifat ini hendaknya jelas
sehingga tidak ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan
nantiantarapembeli kedua belah pihak (sipenjual dan sipembeli),begitu macamnya
harus pula disebut,seperti daging sapi atau kerbau umpamanya30.
6. Disebutkan tempat menerimanya kalau tempat akad tidak layak buat menerima
barang tersebut. Akad salam mesti terus ,berarti tidak ada khiyar syarat31.
Menurut Syafi’i, Hanafi, dan Maliki sebagaimana dikutip oleh Biuty Wulan
Octavia dibolehkan barang yang dijual secara salam diberikan segera atau ditangguhkan.
Sedangkan pendapat Hambali tidak dibolehkan penyerahan barang dengan segera, dan
tentu saja harus ada penangguhan, meskipun beberapa hari. Dalam transaksi salam ini

27
Anonim, al-fiqihiyah sebagaimana dikutip oleh Imam Mustafa, Fiqih Muamalah Kontemporer. (Jakarta: Rajawali
Pers, 2016), h. 88.
28
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), cet, 58. h. 259.
29
Ibid., h. 295-296.
30
Moh. Rifai, Mutiara Fiqih. (Semarang: CV. Wicaksana Semarang, 1998), cet. 2. h. 740.
31
Ibrahim bin Sumaith sebagaimana dikutip oleh Biuty Wulan Octavia, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli
Akad As-salam Dengan Sistem Online di Pand’s Collection”, Skripsi Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri
Walisongo (2011). h. 22.

15
diperlukan adanya keterangan mengenai pihak-pihak yang terlibat, yaitu orang yang
melakukan transaksi secara langsung, juga syarat-syarat ijab qabul, yaitu :
a. Pihak – pihak yang terlibat
Adapun pihak-pihak yang terlibat langsung adalah al-muslim dimana posisinya
sebagai pembeli atau pemesan, dan juga muslim ilaihi, dimana posisinya sebagai
orang yang di amanatkan untuk memesan barang dan jugabarang yang dimaksudkan.
Sedangkan syarat dari penjual dan pemesan, penulis hanya bisa menyimpulkan
sedikit, yaitu mereka belum termasuk sebagai golongan-golongan orang-orang yang
dilarang bertindak sendiri, seperti anak-anak kecil, gila, pemboros, banyak hutangnya,
atau yang lainnya32.
b. Syarat ijab qobul
Pernyataan dalam ijab qabul ini bisa disampaikan secara lisan, tulisan (surat
menyurat, isyarat yang dapat memberi pengertian yang jelas), hingga perbuatan atau
kebiasaan dalam melakukan ijab qabul33.
Adapun syarat – syaratnya adalah:
1. Dilakukan dalam satu tempo.
2. Antara ijab dan qobul sejalan.
3. Menggunakan kata as-salam atau as-salaf.
4. Tidaka ada khiyar syarat (hak bagi pemesan untuk menerima pesanan)34.
Adapun rukun salam adalah:
a. Pembeli (muslam).
b. Penjual (muslam ilahi).
c. Modal uang (annuqud).
d. Barang (muslam fihi).
e. Serah terima barang (ijab qabul)35.

32
Ibid.
33
Sultan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk – Produk dan Aspek Aspek Hukumnya. (Jakarta: PT. Adhitya
Andhrebina Agung, 2014), h. 185.
34
Ibid.
35
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), cet, 1, h. 109.

16
3. Jenis Akad Salam
Akad salam dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Salam, adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada
ketika transaksi dilakukan pembeli melakukan pembayaran dimuka sedangkan
penyerahan barang dilakukan dikemudian hari36.
2. Salam parallel, adalah melaksanakan dua transaksi salam yaitu antara pembeli dan
penjual, serta antara penjual dan pemasok. Hal ini terjadi ketika penjual tidak
memiliki barang pesanan dan memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang
pesanan tersebut37.
Salam parallel dibolehkan asalkan akad salam kedua tidak tergantung pada akad
salam yang pertama, yaitu akad antara penjual dan pemasok tidak tergantung pada
akad antara pembeli dan penjual. Jika saling tergantung atau menjadi syarat (terjadi
ta’alluq) maka tidak diperbolehkan. Jadi akad antara penjual dan pemasok harus
terpisah dari akad antara pembeli dan penjual. Beberapa ulama kontemporer melarang
transaksi salam parallel terutama ika perdagangan dan transaksi semacam ini
dilakukan secara terus-menerus karena dapat menjerumus kepada riba.
4. Keuntungan dan Manfaat Akad Salam
Akad salam ini dibolehkan dalam syariah Islam karena punya hikmah dan manfaat
yang besar, dimana kebutuhan manusia dalam bermuamalat seringkali tidak bisa
dipisahkan dari kebutuhan atas akad ini. Kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli
bisa sama-sama mendapatkankeuntungan dan manfaat dengan menggunakan akad salam.
Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1) Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu
yang ia inginkan.
2) Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila
dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding
pembeli, diantaranya:

36
Muhammad, Model – Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2009)
37
Novi Puspitasari, Keuangan Islam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: UII Press, 2018)

17
a. Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang
halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus
membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat
menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
b. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena
biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak
cukup lama.
Dengan adanya Bai’ As-salam, tertolonglah pengusaha-pengusaha, khususnya
pengusaha yang lemah. Mereka tetap berproduksi dan menjaga mutu barang hasil
industrinya. Prinsip tolong menolong yang sangat dianjurkan Islam dapat terwujud dalam
perdagangan dengan adanya salam ini38.

D. Konsep dan Ruang Lingkup Qard


1. Pengertian Qard
Secara etimologi, qard berarti Al-Qhot’u (potongan). Harta yang dibayarkan
kepada muqtarid (yang diajak akad qard) dinamakan qard, sebab merupakan potongan
dari harta muqrid (orang yang membayar). Dalam pengertian istilah, qardh didefinisikan
oleh Hanifah sebagai berikut:
“Qardh adalah harta yang diberikan kepada orang lain dari mal mitsli untuk kemudian
dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu
perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli) kepada orang lain untuk
kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya”.
2. Rukun dan Syarat Qard
Rukun qardh diperselisihkan para fuqaha, menurut Hanafiah rukun qardh adalah ijab dan
qabul, sedangkan menurut jumhur fuqaha rukun qardh adalah:
1) ‘Aqid
Untuk aqid, baik muqridh maupun muqtaridh disyaratkan harus orang yang
dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada. Oleh karena itu, qardh

38
Ibid., h. 72.

18
tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih dibawah umur atau orang gila.
Syafi’iyah memberikan persyaratan untuk muqridh, antara lain: Ahliyah atau
kecakapan untuk melakukan tabarru dan Mukhtar (memiliki pilihan)
Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus memiliki ahliyah atau kecakapan
untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak mahjur ‘alaih.
2) Ma’qud ‘Alaih
Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah,
yang menjadi objek akad dalam al-qardh sama dengan objek akad salam, baik berupa
barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat), maupun qimiyat
(barang-barang yang tidak ada persamaannya di pasaran), seperti hewan, barang-
barang dagangan, dan barang yang dihitung atau dengan perkataan lain, setiap barang
yang boleh dijadikan objek jual beli, boleh pula dijadikan objek akad qardh.
3) Shighat (Ijab & Qabul)
Qardh adalah suatu akad kepemilikan atas harta. Oleh karena itu, akad tersebut
tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama seperti akad jual beli dan hibah.
Shighat ijab bisa dengan menggunakan lafal qardh (utang atau pinjaman) dan salaf
(utang), atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “saya
milikan kepadamu barang ini, dengan ketentuan anda harus mengembalikan kepada
saya penggantinya”. Penggunaan kata milik disini bukan berarti diberikan cuma-
cuma, melainkan pemberian utang yang harus dibayar.
3. Macam – Macam Qard
Dari macam-macam qardh ini dikelompokkan menjadi tiga komponen, yaitu:
dilihat dari segi subjeknya (pembari hutang), dari segi kuat lemahnya bukti, dan dari segi
waktu pelunasannya.
1) Dilihat dari pihak pemberi hutang menurut ulama’ fiqh hutang dapat dibedakan atas
hutang kepada Allah ialah hak-hak yang wajib dibayarkan oleh seseorang karena
perintah Allah kepada orang-orang tertentu yang berhak menerimanya, dan hutang
kepada sesama manusia ada yang dikaitkan dengan rungguhan (jaminan) tertentu, dan
hak orang yang berpiutang itu diambilkan dari rungguhan tersebut, jika orang yang
berutang tidak mampu membayarnya.

19
2) Dilihat dari segi kuat atau lemahnya pembuktian keberannya dapat dibedakan atas
hutang piutang yang kebenarannya dapat dibuktikan dengan surat keterangan atau
pernyataan tertulis, dan pengakuan yang jujur dari orang yang berutang, baik ketika
dia sedang dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan sakit yang belum terlalu
parah, dan hutang piutang yang hanya didasarkan atas pengakuan dari orang yang
berutang ketika dia sedang sakit parah yang beberapa saat kemudinan meninggal, atau
pengakuan yang diucapkan ketika dia akan menjalani hukuman (hukuman mati) dalam
tindak pidana pembunuhan.
3) Dilihat dari segi waktu pelunasannya dibedakan atas hutang piutang yang sudah tiba
waktu pelunasannya atau hutang yang sudah jatuh tempo sehingga harus dibayar
dengan segera, dan hutang piutang yang belum jatuh tempo dan tidak mesti dibayar
dengan segera.
4. Hukum Ketetapan Qard
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, qarad menjadi tetap setelah
pemegangan atau penyerahan. Dengan demikian, jika seseorang menukarkan (iqtaradha)
satu kilo gram gandum misalnya, ia harus menjaga gandum tersebut dan harus
memberikan benda sejenis (gandum) kepada muqrid jika meminta zatnya. Jika muqrid
tidak memintanya, muqtarid tetap menjaga benda sejenisnya, walaupun qarad (benda
yang ditukarkan) masih ada. Akan tetapi, menurut Abu Yusuf, muqtarid tidak memiliki
qarad selama qarad masih ada39.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ketetapan qarad, sebagaimana terjadi pada
akad – akad lainnya, adalah dengan adanya akad walaupun belum ada penyerahan dan
pemegangan. Muqtarid dibolehkan mengembangkan barang sejenis dengan qarad, jika
qarad muqrid meminta zatnya, baik yang serupa maupun asli. Akan tetapi, jika qarad
telah berubah, muqtarid wajib memberikan benda – benda sejenis.
Pendapat ulama Hanabilah dan Syafi’iyah senada dengan pendapat Abu Hanifah
bahwa ketetapan qarad dilakukan setelah penyerahan atau pemegangan. Muqtarid harus
menyerahkan benda sejenis (mitsil) jika pertukaran terjadi pada harta mitsil sebab lebih
mendekati hak muqrid. Adapun pertukaran pada harta qimi (bernilai) didasarkan pada
gambarannya.

39
Ibid., 181.

20
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pengambilan qarad pada harta yang ditakar
atau ditimbang harus dengan benda sejenisnya. Adapun pada benda – benda lainnya,
yang tidak dihitung dan ditakar, di kalangan mereka ada dua pendapat, pertama,
sebagaimana pendapat jumhur ulama, yaitu membayar nilainya pada hari akad qarad.
Kedua, mengembalikan benda sejenis yang mendekati qarad pada sifatnya40.
5. Barang yang Sah Dijadikan Qard
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qarad dipandang sah pada harta mitsil, yaitu
sesuatu yang tidak terjadi perbedaan yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai. Di
antara yang dibolehkan adalah benda – benda yang ditimbang, ditakar atau dihitung.
Qarad selain dari perkara di atas dipandang tidak sah, seperti hewan, benda – benda yang
menetap di tanah, dan lain – lain41.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan qarad pada setiap
benda yang tidak dapat diserahkan, baik yang ditakar maupun yang ditimbang, seperti
emas dan perak atau yang bersifat nilai, seperti barang dagangan, hewan, atau benda yang
dihitung. Hal itu didasarkan pada hadis dari Aabu Rafi bahwa Nabi SAW. menukarkan
(qarad) anak unta. Dimaklumi bahwa anak bukan benda yang biasa ditakar, atau
ditimbang.
Jumhur ulama membolehkan, qarad pada setiap benda yang dapat
diperjualbelikan,kecuali manusia. Mereka juga melarang qarad manfaat, seperti
seseorang pada hari ini mendiami rumah temannya dan besoknya teman tersebut
mendiami rumahnya, tetapi Ibn Taimiyah membolehkannya.
Ulama fiqih sepakat bahwa qarad harus dibayar di tempat terjadinya akad secara
sempurna. Namun demikian, boleh membayarnya di tempat lain apabila tidak ada
keharusan untuk membawanya atau memindahkannya, juga tidak ada halangan di jalan.
Sebaliknya, jika terdapat halangan apabila membayar di tempat lain, muqrid tidak perlu
menyerahkannya42.

40
Muhammad Asy-Syarbini. Juz II, 119.
41
Al-Huskhafi, juz IV, h. 179, 195.
42
Al-Huskhafi, Op. Cit., juz IV. h. 180.

21
6. Qard Manfaat
Mrnurut pendapat paling unggul dari ulama Hanafiyah, setiap qard pada benda
yang mendatangkan manfaat diharamkan jika memakai syarat. Akan tetapi, dibolehkan
jika tidak disyaratkan kemanfaatan atau tidak diketahui adanya manfaat pada qard.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa muqrid tidak boleh memanfaatkan harta
muqtarid, seperti naik kendaraan atau makan di rumah muqtarid, jika dimaksudkan untuk
membayar utang muqrid, bukan sebagai penghormatan. Begitu pula dilarang memberikan
hadiah kepada muqrid, jika dimaksudkan untuk menyicil utang.
Namun demikian, jika tidak disyaratkan atau tidak dimaksudkan untuk mengambil
yang lebih baik, qard dibolehkan. Tidak dimakruhkan bagi muqrid untuk mengambilnya,
sebab Rasulullah SAW. pernah memberikan anak unta yang lebih baik kepada seorang
laki – laki daripada unta yang diambil beliau Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Jabir bin
Abdullah berkata:
“Aku memiliki hak pada Rasulullah SAW., kemudian beliau membayarnya dan
menambah untukku.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pendapat ulama fiqih tentang qard dapat disimpulkan bahwa qard dibolehkan
dengan dua syarat43:
a. Tidak menjurus pada suatu manfaat.
b. Tidak bercampur dengan akad lain, seperti jual-beli.

43
Al-Qwanin Al-Fiqhiyah, h. 288.

22
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Pengertian fiqih muamalah sendiri menurut terminologi terbagi menjadi dua, yaitu
pengertian fiqih muamalah dalam arti luas dan dalam arti sempit. Fiqih muamalah dalam
arti luas adalah aturan – aturan (hukum) Allah SWT., yang ditujukan untuk mengatur
kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan
duniawi dan sosial kemasyarakatan. Ada beberapa akad yang di pelajari dalam makalah
fiqih muamalah ini, diantaranya yaitu akad ijarah, akad tijarah, akad salam, dan akad
qard.

23
DAFTAR PUSTAKA

Huda, Qomarul. 2011. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Teras.

Syafe’I, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.

https://www.academia.edu/8446704/Tijarah_dalam_Quran diakses pada tanggal 22 September


2019, pukul 17.00

https://www.academia.edu/37726683/AKAD_SALAM_kel.2.docx diakses pada tanggal 18


September 2019, pukul 20.30

https://id.wikipedia.org/wiki/Tijarah diunduh pada tanggal 18 September 2019, pukul 17.00

https://sharianomics.wordpress.com/2010/12/12/definisi-tijarah-tijarah-dualiyah-tijarah-ghairu-
madhurah/ diunduh pada tanggal 18 September 2019, pukul 17.15

http://makalahqw.blogspot.com/2016/11/makalah-akad-salam.html diunduh pada tanggal 22


September 2019, pukul 22.00

24

Anda mungkin juga menyukai