Anda di halaman 1dari 28

KONFLIK DAN TENSI HUKUM ISLAM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu : Ali Yasmanto, M.H.I.

Disusun Oleh :

Kelompok 7

Gita Puspita Ningrum (102190121)


Khaula Restiana (102190125)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan
hidayah Allah swt kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun
isinya. Makalah pada mata kuliah Filsafat Hukum Islam yang berisikan tema tentang Konflik
dan Tensi Hukum Islam.

Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi besar
Muhammad saw, beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman, dengan diiringi upaya
meneladani akhlaknya yang mulia.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman dan juga berguna untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami
miliki masih sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan – masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah
ini.

Ponorogo, 24 Agustus 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Perubahan Dalam Hukum Islam ................................................................ 3


B. Upaya Menyelesaikan Konflik Antara Stabilitas dan Perubahan Dalam Hukum Islam
................................................................................................................................. 12

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN ................................................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam beberapa referensi, pengertian filsafat hukum Islam terkandung dalam
istilah “hikmah”, “falsafah”, “asrar” bahkan “illat” hukum. Walaupun tidak serupa
namun istilah-istilah tersebut saling berkaitan, apalagi bila dihubungkan dengan tinjauan
kajian-kajian filsafat saat ini.1
Dari kajian pendapat para ahli terhadap filsafat hukum ditemukan bahwa mereka
berbeda pendpat dalam memberikan definisi, perumusan maupun uraian tentang hakikat
filsafat hukum itu. Hal ini menunjukkan bahwa memberikan pengertian tentang filsafat
hukum adalah suatu persoalan tersendiri. Ada ahli yang berani memberikan definisi yang
tegas, tetapi ada pula yang memilih atau mencukupkan diri dengan memberikan uraian
panjang lebar dengan harapan para pembaca akan menangkap sendiri hakikatnya.
Fenomena seperti ini sangat lazim terjadi, antara lain karena apa yang di definisikan itu
adalah sesuatu yang sedang, sudah dan akan terjadi.
Walaupun demikian, para cendekiawan muslim sedikit banyak telah
mengungkapkan definisi filsafat hukum atau istilah yang serupa seperti hikmah yang
menurut Ibn Sina adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan
segala urusan dan menggerakkan segala hakikat baik yang berupa teori maupun praktek
sejauh kemanapun manusia. Rumusan ini mensyaratkan bahwa hikmah sebagai paradigm
hukum mempunyai tiga unsur utama, yaitu masalah, fakta dan data serta analisa sesuai
dengan keilmuan dan teorinya. Hikmah dipahami pula sebagai paham yang mendalam
tentang agama. Hikmah hanya dapat dipahami oleh orang yang mau menggunakan akal
pikirannya, misalnya hikmah di syariat kannya perkawinan adalah mewujudkann
ketentraman hidup dan menjalankan rasa saling mencintai.2
Pengertian hukum islam sendiri dalam khasanah literature intelek Muslim,
terutama yang dipahami masyarakat Muslim tidak jarang mengalami ambiguitas antara

1
Miftahul Huda, Filsafat Hukum Islam: Menggali Hakikat dan Sumber Tujuan Hukum Islam, (Ponorogo: STAIN
Ponorogo Press, 2006), 3-4.
2
Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 3.

1
pengertian syariah dan fikih. Sebenarnya bila ditelusuri lebih mendalam, istilah hukum
antara fuqaha dan ushuliyyun memiliki perbedaan yang cukup fundamental. Bagi yang
pertama, hukum Islam merupakan seperangkat pengetahuan tentang hukum-hukum syar’I
terapan yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci atau akibat dari titah (khith’) Tuhan.
Sedangkan ahli ushul memberikan pengertian hukum adalah titah Tuhan yang bertalian
dengan perbuatan subjek hukum yang meliputi tiga kategori, yaitu tuntutan, pilihan atau
penetapan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep perubahan dalam hukum Islam?
2. Bagaimana upaya menyelesaikan konflik antara stabilitas dan perubahan
dalam hukum Islam?

C. Tujuan
1. Mengetahui konsep perubahan dalam hukum Islam.
2. Mengetahui upaya menyelesaikan konflik antara stabilitas dan perubahan
dalam hukum Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Perubahan Dalam Hukum Islam


Hukum Islam adalah terjemahan dari Islamic Law. Hukum Islam bisa berarti
syariat Islam (al-Shari’ah al-Islamiyyah) atau fikih Islam (al-Fiqh al-Islami). Kata al-
Shari’ah secara etimologis berasal dari kata “Shara’a, yashra’u, shar’an wa shuru’an,
shariatan”. Kata ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia, sehingga menjadi kata
syariat.3 Kata syariat secara etimologi mempunyai dua arti, arti pertama yaitu tempat air
mengalir yang biasa dituju untuk minum. Pemakaian arti ini sebagaimana perkataan
orang Arab “shara’tu al-ibil idha waradat shariat al-ma’” (aku memberi minum untaku
ketika ia datang di tempat air). Arti kedua, jalan yang lurus dan jalan (al-Tariq al-
Mustaqim wa al-Wadih) seperti yang terdapat dalam surah al-Jathiyah ayat 18.
َ َ‫ث ُ َّم َجعَ ْل َٰنَك‬
َ‫علَ ًَٰ ش َِريعَ ٍت ِ ّمهَ ْٱْل َ ْم ِر فَٱتَّبِ ْع َها َو ََل تَتَّبِ ْع أ َ ْه َىآ َء ٱلَّذِيهَ ََل يَ ْعلَ ُمىن‬

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui”.
Secara terminologi syariat adalah segala yang diturunkan Allah kepada Rasulullah
Saw. berupa wahyu, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah
Rasulullah Saw. yang diyakini kebenarannya.4 Namun para ulama juga memberikan
definisi yang sempit tentang syariat, yaitu segala perintah Allah yang berhubungan
dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak. Maka syariat itu adalah nama
bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah.
Adapun kata fikih sangat erat kaitannya dengan kata syariat. Karena hakikatnya
fikih adalah jabaran praktis dari syariat. Secara etimologi kata fikih berasal dari kata
“faqiha-yafqahu-faqihan” yang berarti mengerti atau paham, berarti juga paham yang
mendalam. Secara terminologi, fikih yakni ilmu tentang hukum-hukum syariat yang
bersifat amaliah, yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.

3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1402.
4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Kencana, 2011), 1.

3
Untuk menunjukkan hukum Islam ada dua istilah yang dipergunakan, yaitu istilah
syariat Islam dan fikih. Kedua istilah tersebut, disamping sama-sama membahas hukum
Islam, tetapi terdapat perbedaan. Perbedaan antara keduanya adalah jelas disebabkan
karena syariat itu berasal dari Allah dan Rasul-Nya sebagai pembuat syariat (al-Shari’),
sedangkan fikih yang tidak lain dari kandungan syariat itu sendiri diketahui oleh para
mujtahid atau fukaha setelah sedikit banyak menggunakan akal atau pemikirannya.
Syariat adalah hukum Islam yang berlaku sepanjang masa, sedangkan fikih adalah
perumusan konkret hukum Islam untuk diaplikasikan pada suatu kasus tertentu, di suatu
tempat, keadaan dan masa tertentu. Keduanya dapat dibedakan tapi tidak dapat
dipisahkan. Hal ini dikemukakan sebagai upaya mengkonfirmasikan kembali makna
hukum Islam itu sendiri, agar tidak terjadi kerancuan dalam melihat hukum Islam, baik
sebagai ajaran atau sebagai hasil penafsiran, interpretasi, serta pemikiran para mujtahid.
Berdasarkan pengertian di atas, maka hukum Islam itu terdapat dua unsur di
dalamnya, yaitu unsur hukum al-thabat (tetap) tidak mengalami perubahan, dan unsur
tatawwur (dinamis) bisa berubah sesuai dengan masa, kondisi dan tempat dimana hukum
Islam itu diterapkan. Ketetapan hukum yang bersifat tetap itu ialah tidak menerima
pembaharuan dan perubahan. Ketentuan hukum Islam yang tetap telah diterangkan dan
ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara pasti, jelas dan terperinci. Ketentuan
hukum seperti ini bukan menjadi lapangan ijtihad. Hukum Islam yang bersifat tetap tidak
boleh berubah disebabkan jika ketentuan hukum itu mengalami perubahan maka akan
terjadilah kerusakan (mafsadah) dalam kehidupan manusia, karena ia menyangkut
persoalan-persoalan yang dharuriyah (asasi). Atas dasar ini, para fukaha telah
merumuskan satu kaidah fiqhiyyah yang artinya tidak ada ijtihad pada masalah-masalah
yang sudah ada nash. Oleh karena itu, ijtihad tidak dapat dilakukan terhadap kasus-kasus
yang sudah secara tegas disebutkan hukumnya oleh dalil-dalil yang qat’i al-wurud dan
dalalah-nya. Adapun ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tetap, yang dapat berubah
dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
1) Hukum yang digali dari dalil yang zanni yang dapat mengalami perubahan.
2) Hukum-hukum yang dihasilkan melalui hasil ijtihad sebagai akibat dari
perkembangan zaman. Sesuai dengan teori ushul fikih, ijtihad hanya dapat dilakukan
pada lapangan tertentu yaitu:

4
a) Dalil-dalil yang qat’i al-wurud tetapi zanni dalalah-nya.
b) Dalil-dalil yang zanni al-wurud tetapi qat’I al-dalalah-nya. Dalil-dalil yang zanni al-
wurud dan dalalahnya.
c) Terhadap kasus-kasus yang tidak ada dalil hukumnya.5

Pemahaman para ulama terhadap hukum Islam yang menerima perubahan karena
perubahan zaman, keadaan dan tempat, sesuai dengan teori elastisitas hukum Islam yang
dianut oleh sejumlah ahli hukum, seperti Linant de Ballefonds dan mayoritas mujaddid
(pembaharu) serta fukaha kontemporer, bahwa prinsip-prinsip hukum Islam sebagai
pertimbangan maslahah. Fleksibelitas hukum Islam dalam praktik menunjukkan bahwa
hukum Islam bisa beradaptasi dengan perubahan sosial. Hukum Islam bersifat dinamis
dan relevan untuk setiap zaman, keadaan dan tempat. Tanpa adanya upaya perubahan dan
pembaharuan hukum Islam akan mengalami kesulitan dalam menerapkan hukum Islam.

Di masa kontemporer yang ditandai dengan kehidupan modern sekarang ini


banyak sekali terjadi perubahan perilaku sosial di masyarakat, karena itulah dituntut
adanya suatu tatanan hukum Islam yang mengatur perilaku sosial di masyarakat
berdasarkan masa kontemporer. Oleh karena itu, para ulama merumuskan dan
menetapkan hukum Islam tentu berdasarkan kondisi sosial masyarakat masa kontemporer
pula, hukum yang ditetapkan tersebut dikenal dengan hukum Islam kontemporer.

Tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan hidup manusia. Oleh karena itu,
hukum Islam sudah semestinya dapat memberikan solusi dan petunjuk terhadap
permasalahan dalam kehidupan manusia, baik dalam bentuk penetapan hukum sebagai
jawaban terhadap suatu permasalahan yang timbul, maupun dalam bentuk peraturan
untuk menata kehidupan manusia itu sendiri. Hukum Islam dituntut untuk dapat
memberikan jawaban terhadap permasalahan yang timbul sesuai dengan perubahan yang
terjadi pada sosial masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya
mempertimbangkan reaktualisasi dalam hukum Islam.

5
Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grouf, 2005), 72.

5
Terjadinya perubahan hukum Islam dari masa klasik ke masa kontemporer,
sejalan dengan kaidah fiqhiyyah layunkar taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman
(tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum dengan sebab berubahnya zaman).
Bahkan Ibn Qayyim al-Jawziah membuat satu kaidah fikih yang berbunyi Taghayyur al-
fatwa bi taghayyur al-zaman wa almakan wa al-ah}wal wa al-‘adah (berubahnya fatwa
dengan sebab berubahnya masa, tempat, keadaan atau niat dan adat).

Hubungan antara perubahan sosial dan hukum merupakan hubungan interaksi,


dalam arti terdapat pengaruh perubahan sosial terhadap perubahan hukum, sementara di
sisi yang lain, perubahan hukum juga berpengaruh terhadap perubahan sosial.6 Memang
dalam sistem sosial, sosial dan hukum sabagai sub sistem yang masing-masing berjalan
sesuai dengan fungsinya, namun sebagai sistem ada ketergantungan dan keterkaitan. Oleh
karena itu, adanya perubahan sosial akan membawa kepada perubahan hukum, dan
sebaliknya adanya perubahan hukum akan membawa kepada perubahan sosial. Adanya
hubungan dan keterkaitan dalam sosial dan hukum, sesuai dengan Teori Sibernetika
(Cybernetics) Talcott Parsons. Pada teori ini sistem sosial merupakan suatu sinergi antara
berbagai sub sistem sosial yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan. Bahwa
tingkah laku individu bukan merupakan tingkah laku biologis, tetapi harus ditinjau
sebagai tingkah laku yang berstruktur. Tingkah laku seseorang harus ditempatkan dalam
kerangka sistem sosial yang luas yang terbagi dalam sub sistem.

1. Hukum Islam Membawa Perubahan Sosial


Hukum Islam akan dapat merubah sosial masyarakat, apabila hukum Islam itu telah
ditaati dan dilaksanakan serta menjadi pegangan, dan bahkan menjadi adat kebiasaan bagi
masyarakat. Di samping itu, hukum Islam dapat merubah sosial masyarakat apabila
hukum Islam itu diserap menjadi hukum positif bagi suatu negara. Dalam sejarah hukum
Islam, berbagai kajian yang dilakukan memberikan kesimpulan bahwa hukum Islam
dengan terang merubah sosial masyarakat. Di masa klasik, ketika Rasulullah Saw.
disamping sebagai seorang rasul juga sebagai kepala negara, maka hukum Islam dapat
diterapkan dan dijadikan peraturan kepada seluruh kegiatan umat Islam.

6
Munir Fuady, Sosiologi Hukum Kontemporer Interaksi Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat, (Bandung: Citra
Aditya, 2007), 61.

6
Abu al-Hasan al-Nadwi menggambarkan sosial masyarakat Arab Jahiliyah, bahwa
bangsa Arab pada waktu itu sangat bejat moralnya. Mereka gemar meminum minuman
yang memabukkan, berjudi dan senang dengan berbagai macam kebrutalan lainnya
seperti mengubur bayi perempuan hidup-hidup, merendahkan derajat kaum wanita. Kaum
laki-laki dibebaskan untuk mengawini banyak perempuan tanpa batas. Setiap kabilah
mempertahankan kepentingan dan rasa kesukuan kabilahnya masing-masing, sehingga
sering terjadi pertumpahan darah antara satu kabilah dengan kabilah lainnya. Bahkan
pertumpahan darah merupakan suatu kebanggaan dan kesenangan mereka. Dalam proses
selama 22 tahun syariat Islam yang di bawa oleh Rasulullah Saw. yang mengatur
kehidupan seseorang secara individu maupun bermasyarakat, baik yang berhubungan
dengan akidah, ibadah, maupun akhlak dianggap sempurna. Masyarakat Arab yang
semula dikenal dengan masyarakat Jahiliyyah yang berperilaku dan berpegang kepada
tradisi yang tidak baik, berubah menjadi masyarakat yang sangat taat kepada hukum
Islam.
Begitu pula ketika Khulafa al-Rasyidin memegang pemerintahan sebagai pengganti
rasul, maka berbagai kasus hukum yang ditetapkan oleh khalifah yang membawa kepada
perubahan sosial. Misalnya, kasus hukum pada masa Umar bin Khattab muncul gejala di
masyarakat, dimana banyak sekali orang menjatuhkan dan mempermainkan ucapan talak
tiga sekaligus. Dalam keadan sosial masyarakat yang demikian, Umar bin Khattab
kemudian berijtihad dan menetapkan bahwa talak tiga sekaligus itu jatuh tiga pula.
Kebiasaan sosial yang buruk tersebut menurut Umar bin Khattab haruslah dicegah
dengan menetapkan talak tiga sekaligus, maka jatuh pula talak tiga. Dengan keluarnya
fatwa Umar bin Khattab masyarakat Islam ketika itu tidak berani lagi, seorang suami
mengucapkan talak yang berbilang terhadap isterinya.
Dimasa kontemporer bagi negara Islam yang memberlakukan hukum Islam dalam
berbangsa dan bernegara, maka hukum Islam jelas mengatur tentang tingkah laku,
kedudukan, struktur dan lembaga masyarakat, sebagaimana negara Saudi Arabia, dan
negara Islam lainnya. Namun bagi negara bukan Islam, maka hukum Islam tidak serta
merta merubah sosial masyarakat. Pada negara bukan Islam, hukum Islam dapat merubah
sosial apabila hukum Islam itu diserap dan dijadikan hukum positif, seperti Negara
Indonesia. Misalnya, hukum Islam yang diserap dan dijadikan Undang-Undang No. 1

7
Tahun 1974 tentang perkawinan. Perubahan yang terjadi misalnya, sebelum lahirnya
Udang-Undang No.1 Tahun 1974, masyarakat di Indonesia tidak jarang melangsungkan
perkawinan usia di bawah umur. Setelah lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
berdasarkan ketentuan Bab 2 Pasal 7 ayat yang berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun”. Maka sosial masyarakat berubah untuk melangsungkan
perkawinan harus sesuai dengan Undang-Undang tersebut. Begitu pula sebelum lahirnya
Udang-Undang No.1 Tahun 1974, orang sangat mudah menjatuhkan cerai kepada
isterinya. Seorang isteri tidak diberikan kedudukan sama dengan laki-laki dalam rumah
tangga, tetapi setelah lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974, maka perceraian tidak
dianggap jatuh kecuali kalau diucapkan di depan sidang pengadilan. Bahkan isteri bisa
saja menggugat cerai kepada suaminya jika dalam rumah tangga terjadi pelanggaran
terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Untuk memperkuat peranan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang perkawinan, lahirlah Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang mengatur tentang kehidupan sosial masyarakat khususnya dalam
bidang perkawinan. Begitu pula dengan lahirnya Undang-Undang No.21 Tahun 2008
yang mengatur tentang transaksi ekonomi Islam, maka merubah sistem dan struktur serta
lembaga sosial dalam bisnis Islam, yang sebelum kelahiran Undang-Undang tersebut
transaksi ekonomi Islam di lembaga keuangan belum mendapat tempat yang kuat.
Sesuai dengan pendapat William Dahl yang mengatakan, bahwa hukum merupakan
alat utama dari hasil rekayasa sosial yang kemudian dijadikan dasar terbentuknya suatu
masyarakat yang sejahtera karena aturan-aturan yang diterapkan ditujukan untuk
terciptanya sebuah keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, maka
hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidaknya dapat
memacu perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat. Hukum dapat
merubah sosial masyarakat sebagaimana gambaran di atas sesuai dengan teori fungsi
hukum. Menurut Raharjo dalam Gibtiah Yusida Fitriat, apabila hukum dihadapkan
kepada perubahan sosial, ia akan menempati salah satu dari dua fungsi. Pertama, bisa
berfungsi sebagai kontrol sosial (social control). Dalam hal ini, hukum dilihat sebagai
sarana untuk mempertahankan stabilitas sosial. Kedua, hukum bisa pula berfungsi
sebagai sarana untuk mengubah masyarakat (social engineering). Dengan demikian,

8
maka hukum dengan segala perangkatnya, memainkan peran untuk membawa perubahan
sosial masyarakat kedalam suatu tatanan baru.
2. Perubahan Sosial Membawa Perubahan Hukum Islam

Hukum Islam adalah hukum yang selalu hidup dan berada pada masyarakat,
sedangkan sosial masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan masyarakat
dapat berupa perubahan tatanan sosial budaya, sosial ekonomi dan lain-lainnya. Oleh
karena itu, harus menjadi pertimbangan hukum Islam terhadap perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat tersebut. Perubahan sosial memang menghendaki adanya perubahan
hukum. Soekanto mengatakan bahwa terjadinya interaksi antara perubahan hukum dan
perubahan sosial adalah fenomena nyata. Perubahan sosial akan memunculkan tuntutan
supaya hukum Islam yang mengatur masyarakat turut berkembang bersamanya.

Pada masa klasik, perubahan hukum karena adanya perubahan sosial, misalnya
hukuman dera (hukum cambuk) bagi orang peminum air yang memabukkan. Dalam
sebuah Sunnah dijelaskan keputusan Nabi Muhammad Saw. yang menghukum para
peminum minuman yang memabukkan dipukul dengan 40 kali pukulan. Tetapi di masa
Umar bin Khattab, bahwa Umar bin Khattab telah menetapkan hukuman kepada
peminum minuman yang memabukkan sejumlah 80 kali pukulan. Hal ini tentunya
berbeda dengan keputusan Nabi Muhammad Saw. Perubahan hukum yang dilakukan oleh
Umar bin Khattab tentu memiliki alasan, yaitu karena munculnya gejala di masyarakat
yang mulai memandang ringan terhadap hukum yang diterapkan. Munculnya fenomena
sosial tersebut tentu membutuhkan format hukum baru yang mampu membuat
masyarakat menjadi taat. Maksudnya, perubahan hukum itu untuk memelihara
kemaslahatan umat Islam dengan jalan memberikan hukuman yang lebih berat guna
mencegah semakin tersebarnya perbuatan yang dilarang tersebut.

Dalam konteks historis, khazanah fikih menunjukkan bahwa dalam pemikiran


fukaha, dapat dilihat pengaruh perubahan sosial budaya terhadap gagasan-gagasan yang
dibangunnya dalam merumuskan hukum. Salah satu bukti konkret betapa faktor
perubahan sosial berpengaruh terhadap hukum Islam adalah munculnya dua pendapat al-
Shafi’iy yang dikenal dengan qawl qadim dan qawl jadid. Pendapat lama (qawl qadim)
adalah pendapat hukum al-Shafi’iy ketika ia berada di Irak, sedangkan pendapat baru

9
(qawl jadid) adalah pendapat al-Shafi’iy ketika ia berada di Mesir karena sosial
masyarakat Irak berbeda dengan sosial masyarakat Mesir. Hukum Islam sebagai bagian
dari hasil produk pemikiran ulama-ulama klasik bukanlah merupakan hal absolut atau
tidak menerima perubahan. Tetapi sebaliknya, hasil pemikiran ulama itu yang tidak
sesuai lagi dengan masa kontemporer perlu ditinjau kembali. Oleh karena itu, pergumulan
hukum Islam dengan dinamika masyarakat kontemporer selalu menimbulkan pemikiran
ulang terhadap hasil pemikiran ulama terdahulu, terutama jika dihubungkan dengan
spektrum berbagai problem masalah dewasa ini yang semakin luas dan kompleks.

Dalam kaitannya dengan masa kontemporer, yaitu era globalisasi, dimana


menyatunya titik pandang, karena telah begitu mudahnya berkomunikasi dan transportasi,
sehingga jarak tidak lagi berarti, disamping itu mudahnya mendapatkan informasi,
sehingga sekat negara dan wilayah yang dihuni oleh beberapa bangsa, bahasa, agama dan
budaya menjadi kabur disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Globalisasi
ini menyebabkan terjadinya perubahan yang besar dalam seluruh aspek kehidupan. Untuk
mendudukan hukum Islam pada posisi yang fungsional dalam menghadapi setiap
perubahan sosial, diperlukan kemampuan membaca fenomena masa. Banyak perangkat
ilmu bantu yang bisa menopang penemuan dan perumusan hukum menjadi aplikatif,
seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Tarikh, dan Ilmu Tata Bahasa Arab. Dan tidak kalah
pentingnya adalah ilmu Sosial. Diharapkan melalui pendekatan konvergensi antara ilmu
ushul fikih dan ilmui-ilmu lainnya akan dapat mengurangi formalisme hukum Islam.
Dalam konteks ini, pemaknaan hukum Islam tidak harus dilihat dari perspektif nilai saja,
tetapi perlu dicari keterkaitan secara organik dan struktural dalam kehidupan sosial. Di
sinilah letak pentingnya fenomena transformasi pemikiran hukum Islam, tidak hanya
dilihat sebagai fenomena keagamaan saja. Transformasi pemikiran hukum Islam
merupakan suatu pergumulan kreatif antara Islam dengan sosial masyarakat, antara nilai-
nilai Islam dengan kenyataan struktural masyarakat. Oleh karena itu, maka program
pembaruan pemikiran hukum Islam adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari
proses kehidupan masyarakat yang selalu berubah.

Perubahan sosial masyarakat dari masa klasik ke masa kontemporer tentu


membutuhkan perubahan hukum. Di masa kontemporer ini, sosial masyarakat ekonomi

10
Islam misalnya, Mereka tidak lagi menerapkan sebagian sistem hukum mu’amalah yang
sebagai hasil pemikiran fatwa ulama klasik yang terdapat dalam kitab-kitab fikih klasik.
Sosial masyarakat ekonomi telah melakukan terobosan-terobosan yang memerlukan
fatwa dan ketetapan hukum dari para ulama. Terobosan-terobosan itu yang melahirkan
Kompilasi Hukum Ekonomi Islam, dan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam berbagai jenis transaksi ekonomi Islam. Dalam
ekonomi Islam kontempoter terkadang penamaan produknya sama dengan penamaan
produk ekonomi klasik, tetapi dalam akad dan aplikasinya berbeda sebagaimana transaksi
murabahah pada lembaga keuangan syariah. Misalnya dalam akad, jika dalam fikih
klasik dilarang terjadinya dua akad dalam satu produk, maka transaksi seperti itu berubah
dengan adanya beberapa akad (al-uqud al-murakab), namun akadnya diselesaikan satu
persatu. Pada masa klasik orang dalam melakukan transaksi harus memenuhi rukun dan
syarat dalam transaksi terutama dalam masalah akad. Adapun akad transaksi menurut
jumhur ulama bahwa rukun akad adalah al-‘aqidayn, mahal al-‘aqd, dan sighat al-‘aqd.7
Pada masa kontemporer dengan majunya teknologi yang sangat pesat, maka sosial
masyarakat menjadi terbiasa melakukan kegiatan transaksi bisnis melalui internet seperti
transaksi jual beli online, chatting, video conference, web atau situs, dan short messages
service (sms). Dalam transaksi elektronik, orang cukup mengetik apa nama barang yang
diinginkan dengan memasukkan nomor kartu kredit kesejumlah harga barang yang telah
ditentukan oleh penjual, maka transaksipun selesai, kemudian barang tersebut akan
dikirimkan ke alamat yang telah dimasukkan, dalam beberapa hari. Di Indonesia transaksi
seperti itu telah dilegalkan dengan keluarnya Undang-Undang tentang hal tersebut, yakni
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam hal hukum transaksi melalui elektronik, sebagaimana di atas, ulama


kontemporer antara lain, Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa tidak ada ketentuan akad
transaksi harus berbentuk tulisan. Dengan serah terima melalui perkataan juga telah
cukup mewakili untuk dikatakan suatu akad transaksi. Suatu ketika ada jalan yang
memudahkan konsumen seperti dengan jalan elektronik, maka hal tersebut juga
diperbolehkan, asalkan terdapat unsur kebenaran dan keadilan, menepati amanah, dan

7
Faturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001), 252–58.

11
kejujuran. Dalam hukum Islam, perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi
variabel penting yang ikut mempengaruhi adanya perubahan hukum. Para fukaha
membuat kaidah fikih la yunkar taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman (tidak dapat
dipungkiri bahwa berubahnya hukum dengan sebab berubahnya zaman). Lebih khusus
Ibn Qayyim al-Jauziah, mengatakan faktor sosial tersebut dirumuskan dalam empat hal
yaitu situasi zaman, situasi tempat, sebab keadaan dan keinginan, dan adat atau tradisi.
Faktor sosial tersebut Ibn Qayyim al-Jauziah dibuat dalam satu kaidah fikih Taghayyur
al-fatwa bi taghayyur al-zaman wa al-makan wa al-ahwal wa al-‘adah (berubahnya
fatwa dengan sebab berubahnya masa, tempat, keadaan atau niat dan adat). Fatwa adalah
hasil ijtihad seorang mufti sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan
kepadanya. Fatwa bersifat dinamis, karena merupakan respon terhadap perkembangan
baru yang dihadapi masyarakat. Karena itu, setiap muncul persoalan yang sifatnya asing
dan ia merupakan aktivitas baru yang belum jelas kedudukan hukumnya diperlukan
fatwa. Dengan demikian perubahan hukum perlu dilaksanakan, karena hasil ijtihad selalu
bersifat relatif, itulah sebabnya jawaban terhadap masalah baru senantiasa harus bersifat
baru pula, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Sunnah.

B. Upaya Menyelesaikan Konflik Antara Stabilitas dan Perubahan Dalam


Hukum Islam
1. Pengertian Konflik dan Implementasinya
Secara umum konflik dipahami sebagai suatu bentuk ketegangan atau sebagai
akibat ketidak sepahaman terhadap suatu masalah atau peristiwa hukum dalam
nash. Dalam bahasa ataupun agama, konflik hukum Islam disebut ikhtilaf atau
perbedaan pendapat atau saling berlawanan dan saling bertentangan.
Sedangkan menurut istilah, konflik hukum Islam bermakna berlainan
pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatu masalah atau peristiwa
tertentu, baik berlainan itu dalam arti tidak sama atau dalam arti bertentangan.
Istilah konflik dalam studi ini digunakan dalam pengertian perbedaan pandangan
dan pemahaman terhadap hukum Islam hasil ijtihad para fuqaha. Perbedaan
pandangan dan pemahaman tersebut disebabkan karena perbedaan metodologi

12
yang digunakan mereka dalam memahami dan menetapkan hukum terhadap satu
masalah atau kejadian. Perbedaan tentang hukum wudhu seorang laki-laki yang
menyentuh perempuan dan hukum membaca surat al-Fatihah bagi ma’mum dalam
sholat misalnya merupakan salah satu contoh yang dapat melahirkan konflik
pemahaman dan penafsiran.
Dalil-dalil nash yang berimplikasi konflik sebagaimana dikemukakan itu,
menunjukkan bahwa pluralitas hukum hasil ijtihad ulama demikian masih terjadi
sejak masa shahabat sampai masa sesudahnya. Dalam hubungan ini, Ali Hasan
seorang ahli hukum Islam mengakui kenyataan ini dan masih terus berlangsung.
Mereka beselisih faham terutama dalam masalah furu’iyyah sebagai akibat dari
keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistimbathkan
hukum terutama yang tidak ada nashnya.8 Perselisihan terjadi antara pihak yang
mengusung pemikiran rasional-modern dengan pemikiran tradisional. Pemikiran
rasional-modern cenderung memahami teks secara rasional dan kontekstual
terhadap konsep dan maksud nash tersebut. Sementara pemikiran tradisional
cenderung memahami teks hukum secara literal, harfiah, dan terikat pada mazhab
serta berpegang pada dhahir nash. Oleh karena itu perbedaan pendapat di
kalangan umat Islam sampai kapanpun dan dimanapun akan terus berlangsung
karena pola fikir manusia terus berubah dan berkembang.
Polarisasi pemikiran ulama dalam memahami suatu nash hukum seperti yang
disebutkan di atas, bukan saja karena adanya dalil-dalil nash yang bersifat
spekulatif dan persoalan-persoalan hukum yang tidak ada nashnya, tetapi juga
karena faktor agama, bahasa, dan tabiat manusia yang ikut memberi andil yang
cukup efektif terjadinya konflik pemahaman. Sehingga dampak yang sering
dialami oleh kebanyakan orang awam dalam menghadapi perbedaan pendapat
tersebut adalah timbulnya kekisruhan dan keributan bahkan saling mengejek serta
tidak jarang mendatangkan kebencian, bahkan kematian sekalipun demi
mempertahankan dan membela secara fanatik pendapat yang diyakini
kebenarannya.
8
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 118.

13
Penggunaan nash mansukh sebagaimana yang disebutkan, memahaminya
memerlukan proses ijtihad yang sungguh-sungguh dalam mengistimbathkan
hukum, karena kandungan nash-nash yang dimaksud dalalah (petunjuknya)
kurang begitu jelas maksud dan tujuan yang dikehendakinya. Berbeda dengan
nash-nash yang bersifat muhkamat, dimana dalalah nash itu jelas, sehingga
tertutup kemungkinan adanya perbedaan pemahaman dan interpretasi ulama
dalam memahaminya. Adanya nash-nash Al-Qur’an yang mutasyabihat,
menunjukkan bahwa teks-teks keagamaan yang berasal dari wahyu, yakni Al-
Qur’an dipahaminya secara beragam sehingga memiliki potensi untuk saling
berbeda dan silang pendapat diantara para ulama.
Hal yang sama, juga terjadi karena faktor bahasa. Al-Qur’an sebagai sumber
utama ajaran Islam menggunakan lafadz dan bahasa Arab. Kebahasa araban Al-
Qur’an, justru melahirkan perbedaan dan pemahaman, karena bahasa Al-Qur’an
menggunakan lafadz multi makna, seperti lafadz musytarak, lafadz majaz
(kiasan), am (umum), khas (tertentu), mutlaq, dan mugayad, dan lain sebagainya.
Bentuk-bentuk pengungkapan bahasa Al-Qur’an inilah yang memberi peluang
terjadinya interpretasi yang beragam dengan konsekuensi yang beragam pula.
Lafadz-lafadz tersebut disebut sebagai bentuk-bentuk spekulatif. Terlepas dari
unsur-unsur penyebab terjadinya lafadz-lafadz spekulatif tersebut, yang jelas
adanya pluralitas makna yang dikandung dalam satu lafadz nash atau kata telah
membawa para mujtahid terlibat ke dalam konflik pemahaman dan pendapat
sepanjang sejarah perjalanan hukum Islam.
Apa yang disebut dengan lafadz-lafazd yang bersifat spekulatif itu diakui oleh
para ulama termasuk Imam Syafi’i sebagaimana yang dikutip Huzaimah, sebagai
salah satu penyebab konflik pemahaman terhadap nash-nash hukum. Format dalil
yang spekulatif atau dalam bahasa ushul fiqh disebut kalimat musytarak, dapat
diilustrasikan melalui makna dan kata ya’fu dalam surat Al-Baqarah ayat 237
yang berbunyi:
َ‫ضت ُ ْم إِ ََّل أ َ ْن يَ ْعُُىن‬ْ ‫ف َما فَ َر‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫ضتً فَن‬ َ ‫ضت ُ ْم لَ ُه َّه فَ ِري‬
ْ ‫سى ُه َّه َوقَ ْد فَ َر‬ ُّ ‫طلَّ ْقت ُ ُمى ُه َّه ِم ْه قَ ْب ِل أ َ ْن ت َ َم‬
َ ‫َوإِ ْن‬
ْ َُ‫س ُىا ْال‬
َّ ‫ض َل بَ ْينَ ُك ْم ۚ إِ َّن‬
‫َّللاَ بِ َما‬ ُ ‫ع ْقدَة ُ ال ِنّ َكاحِ ۚ َوأ َ ْن ت َ ْعُُىا أ َ ْق َر‬
َ ‫ب ِللت َّ ْق َى َٰي ۚۚ َو ََل ت َ ْن‬ ُ ‫أ َ ْو يَ ْعُُ َى الَّذٌِ بِيَ ِد ِه‬
ِ َ‫ت َ ْع َملُىنَ ب‬
‫صير‬
14
Kata ya’fu dalam ayat tersebut adalah musytarak yang berarti menggugurkan
(yasquthu) sekaligus berarti menghibahkan (yahaba). Sebagai konsekuensinya
Ibrahim, Al-Qamah, Hasan Malik dan Imam Syafi’i dalam Qaul Qadimnya yang
cenderung mengartikan kata Alladzi biyadihi uqdatun al-nikah dengan wali
(sebagai orang yang membebaskan keharusan untuk membayar mahar yang
separuhnya lagi merupakan hak anaknya), maka mereka lebih memilih makna
menggugurkan.

Sebaliknya sejumlah ulama yang dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib, Syuraih
Sa’id bin Al-Musayyab, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dalam Qaul Jadidnya
lebih memihak kepada makna yang kedua yahaba sehingga sesuailah kalau yang
dimaksud dengan Alladzi biyadihi uqdatun al-nikah adalah suami, analoginya
karena suami dalam kasus perceraian dalam konteks ini hanyalah diwajibkan
sebatas membayar mahar separuh dari mahar yang telah ditentukan sebelumnya,
sedang ia sendiri membayar mahar penuh pada sang istri. Untuk menentukan yang
mana diantara makna musytarak harus diikuti secara cermat dan tuntas.
Tampaknya hal ini tidak sedikit orang berpaling pada kelihaian seorang mujtahid
dalam melihat konteks dan situasi dimana kata-kata itu terdapat. Dalam konteks
musytarak dengan muatan-muatan syari’ah, tentu prinsip-prinsip umum sekaligus
tujuan-tujuan syari’ah sebagai ujung tombak dari konsiderannya.

Sebab lain dari adanya konflik pemahaman dan pendapat para ulama adalah
yang juga berkenaan dengan Sunnah Rasul. Dari sisi sampai tidaknya hadis
tersebut pada sahabat, penilaiannya terletak pada periwayatan serta posisi
syakhsyiyyah dari Nabi itu sendiri. Para ulama sepakat bahwa sunnah merupakan
sumber syari’ah kedua yang berdiri sejajar dengan Al-Qur’an. Pada sisi ini
kesaksian Al-Qur’an berikut konsensus sahabat serta tingkat antusias dalam
mentaati perintah-perintahnya dirasa cukup untuk menjustifikasi nilai
autentisitasnya. Dalam hal ini tampaknya faktor kesempatan dan daya ingat
mempunyai daya pesan yang cukup berarti. Sahabat yang aktif menghadiri majlis
Rasul sudah dipastikan penerimaan serta periwayatannya akan jauh melampaui
yang sebaliknya. Pada posisi yang disebutkan terakhir inilah konflik pemahaman

15
dalam konteks Sunnah punya peluang untuk terjadi. Kasus yang paling banyak
dirujuk di kalangan ushuliyyun dalam konteks ini adalah fatwa Ibnu Umar yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa “apabila seorang wanita mandi junub
hendaknya membuka sanggulnya”. Fatwa tersebut ternyata tidak hanya
menjadikan Siti Aisyah terperanjat bahkan tidak cukup membuatnya penuh
keheranan seraya berkata “Sungguh aneh Ibnu Umar ini memerintahkan kaum
wanita apabila mereka mandi janabah untuk mengudar sanggul, jika demikian
halnya apakah tidak lebih baik menyuruh mereka untuk mencukur rambutnya
saja?”. Selanjutnya Aisyah meriwayatkan hadis mengenai hal ini yang
mengatakan “sesungguhnya aku pernah mandi bersama Rasulullah saw. dari satu
bejana dan aku menyiram rambut kepalaku tidak kebih dari tiga siraman”.

Kemudian penilaian seorang mujtahid terhadap hadis, baik dari sisi muatan
atau sanadnya maupun pada sisi yang lain, juga memberikan porsi terjadinya
konflik pendapat tersebut. Kalaupun standar jarak watta’dil telah diformulasikan,
bukan berarti seorang yang dianggap adil oleh seorang ulama, akan dianggap adil
pula oleh ulama yang lain, justru tidak menutup kemungkinan jatuh pada kategori
dhaif bahkan bisa ditolak sama sekali (seperti yang terjadi bagi kalangan ulama
syi’ah yang menerima hanya riwayat kalangan Ahlu-bait). Contoh penilaian hadis
dalam segi sanad adalah hadis tentang wajibnya membaca al-Fatihah bagi seorang
ma’mum dalam shalat yang diriwayatkan oleh Ubaidah yang mengatakan “Dari
Ubaidah bin Shamit, ia berkata bahwa Rasulullah telah shalat subuh agak
panjang bacaannya, maka setelah selesai shalat, Rasulullah berkata, “Aku
memperhatikan kalian membaca di belakang imam” , kami menjawab, “Ya Rasul,
Demi Allah memang kami membaca”, Rasulullah berkata, “janganlah kalian
membaca, kecuali ummul qur’an (al-fatihah) karena sesungguhnya tidak sah
shalat seseorang yang tidak membacanya”. (HR. Abu Daud).

Imam Syafi’i adalah salah seorang yang mendukung wajibnya membaca surat
al-Fatihah bagi ma’mum dalam shalat dengan merujuk pada hadis di atas,
sementara Ibnu Qatadah dalam kitabnya Al-mughni tidak ada yang meriwayatkan
kecuali Ibnu Ishaq dan Nafi bin Mahmud, sedangkan Ibnu Ishaq masuk kategori

16
mudallis, sementara Nafi’ sendiri jauh lebih rendah lagi. Dari sinilah muncul dua
pendapat yang mendukung wajib dan tidaknya membaca surat al-Fatihah. Pada
sisi yang lain, penilaian pada posisi Nabi walaupun skalanya relatif sedikit, juga
merupakan faktor dari munculnya perbedaan pendapat. Nabi di samping
kapasitasnya sebagai Rasul, beliau juga sebagai seorang Imam (kepala negara)
sekaligus sebagai seorang hakim, untuk itu tindakan dan ucapan Rasul tidaklah
sama kedudukannya. Tentu kalau kapasitasnya sebagai Rasul, Nabi meletakkan
ketentuan-ketentuan yang tidak dicetuskan oleh Al-Qur’an. Oleh karena itu, dalam
kapasitas ini sunnah bisa berupa klasifikasi dari bagian Al-Qur’an yang bersifat
ambiguitas (mujmal) atau spesifikasi serta kualifikasi kandungan Al-Qur’an yang
umum.

Apapun yang disahkan oleh Nabi mengenai prinsip-prinsip agama,


khususunya dalam soal-soal fakultatif (ibadah), ketentuan yang menjelaskan halal
atau haram adalah legalisasi umum (tasyrik am) yang validitasnya tidak terbatas
dalam lingkungan waktu, dan keadaan serta mengikat setiap umat Islam tanpa
harus melihat keadaan individual, status sosial ataupun jabatan politis, maka
bertindak atas jalan inilah yang tidak memerlukan pengesahan dari pimpinan
agama ataupun pemerintah. Berbeda dengan ketentuan sunnah yang berasal dari
Nabi dalam kapasitasnya sebagai kepala negara atau Imam, seperti dengan
pendistribusian harta rampasan perang, alokasi dan pembelanjaan dana publik
serta corak ketentuan kenegaraan lainnya, kalaupun hal ini termasuk dalam
kategori Sunnah legal, tetapi ketentuan-ketentuan tersebut tidak termasuk pada
bagian legislasi umum (tasyrik am). Sunnah jenis inilah yang tidak bisa
dipraktekkan oleh individu-individu dengan inisiatif dirinya sendiri tanpa
memperoleh izin lebih awal dari otoritas pemerintah yang berwenang, kecuali bila
ada indikasi yang menunjukkan sebaliknya. Tampaknya untuk ketentuan Sunnah
yang terakhir inilah yang relatif memberikan ruang gerak munculnya perbedaan
ulama.

Pada sisi lain, konflik juga dapat terjadi karena faktor tabiat manusia. Hal ini
dapat dipahami, karena manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan secara fitriah

17
memiliki sifat dasar yang berbeda-beda, dan ini merupakan sunnatullah. Al-
Qur’an menginformasikan sifat dasar manusia itu untuk selalu berbeda, karena
itulah Allah kemudian mengutus seorang Rasul untuk menengahi dan
membimbing manusia ke jalan yang lurus. Jika suatu saat manusia berselisih
pendapat terhadap permasalahan yang mereka hadapi, selayaknya mereka
mengembalikan masalah tersebut kepada Allah dan Rasulnya. Kembali kepada
Allah dan Rasulnya, sebagaimana yang disebutkan terakhir yakni kembali kepada
Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. melalui ijtihad. Dalam proses ijtihad sebagai
bentuk kembali kepada Allah dan Rasul inilah potensi konflik pemahaman dalam
memahami nash terjadi, dan mewarnai perjalanan sejarah manusia hingga detik
ini. Munculnya madzhab fiqh sekitar abad ke-3 H seperti empat madzhab besar
fiqh ahl-as-Sunnah, Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad ibn Hambal, semakin
mengkristal dan menjadi suatu keharusan (determine) yang tidak bisa dihindari.
Para ulama pun tidak sedikit terjerat kepada kaidah-kaidah salah satu dari empat
madzhab fiqh dan hal itu tidak jarang membuat umatnya fanatik terhadap imam-
imam madzhab mereka. Implikasi munculnya madzhab terhadap masyarakat
Islam yang masih awam, relatif kurang menguntungkan, sebab perbedaan yang
terjadi walau amat kecil, tetapi dapat menimbulkan kekisruhan bahkan bentrokan
fisik.9

Kekisruhan yang terjadi sebagai akibat perbedaan pendapat itu bagi kalangan
intelektual justru memberikan kontribusi yang sangat positif bagi pemikiran
hukum Islam, membuat integritas umat dan orang menjadi dewasa. Atas dasar itu
maka sikap yang perlu ditumbuhkan dalam konteks ini adalah sikap saling
menghargai dan menghormati, hal ini disebut sebagai sikap inklusif dalam
beragama. Dan ini sangat ditekankan oleh para pembaharu seperti Muhammad
Rasyid Ridha, yang menganjurkaan agar orang tidak perlu terlalu fanatik dalam
bermadzhab, karena sikap fanatik membuat orang eksklusif serta merasa benar
sendiri dan yang lain salah. Sikap ini masih kental dimasyarakat Indonesia, seperti
munculnya konflik berkepanjangan antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama

9
Muhammad Mustafa Asy-Syak’ah, Islam Tidak Bermadzhab. Terjemahan Oleh: A.M. Basalaah dari Islam Bila
Madzhab, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 5.

18
(NU) hanya karena qunut dan tidak qunut, jumlah rakaat dalam sholat Tarawih
sebelas atau dua puluh tiga. Meskipun hal itu termasuk dalam persoalan furu’iyah,
namun memicu konflik di masyarakat. Oleh karena itu sebagian kalangan yang
dianggap terpelajar perlu adanya sikap toleran dan ukhuwa serta tidak memihak
terhadap mana yang paling mutlak dan benar karena tidak ada yang paling mutlak
salah.

2. Solusi Hasil Konflik Hukum Islam Hasil Ijtihad


Dalam menyikapi konflik hasil ijtihad para ulama, terdapat pendekatan dalam
pemikiran yang dapat digunakan dalam memberikan tanggapan terhadap berbagai
konflik hukum Islam. Tanggapan itu dapat dilihat melalui pendekatan reformatif.
Pendekatan ini mengacu pada realitas hukum Islam hasil ijtihad para ulama
sebagai kerangka awal dalam menyelesaikan konflik hukum yang terjadi, selain
itu dapat juga menggunakan pendekatan ukhuwa dan toleransi terhadap pluralitas
hukum Islam. Pendekatan reformatif memandang bahwa hukum Islam harus tetap
berjalan seperti pada masa awal Islam hingga saat ini dan seterusnya. Perbedaan
pendapat di kalangan ulama mengenai suatu persoalan hukum membutuhkan
dukungan cara berpikir rasional, ilmiah, dan berpikir kritis terhadap berbagai
persoalan hukum Islam haril ijtihad tersebut, dengan memisahkan secara tegas
antara dalil-dalil nash yang sifatnya defintif (qath’i) dengan dalil-dalil nash yang
spekulatif (dhanny), atau yang bersifat substansi dengan yang bersifat furu’iyyah.
Oleh karena itu pemikiran hukum Islam menggariskan pendekatan reformatif atau
pendekatan yang lebih menagkap ide moral Islam dari pada aspek legal
formalnya. Hukum Islam dipahami secara kontekstual substantif dan apresiatif
terhadap perkembangan dan perubahan sosial masyarakat sehingga hukum-hukum
yang lahir itu menjadi solusi terhadap problem yang dihadapi manusia.
Dengan pemikiran substantif dimaksudkan bahwa penyelesaikan problem
umat jauh lebih penting dari sekedar memahami teks-teks wahyu yang sifatnya
tekstual tanpa upaya berijtihad untuk menemukan hukum yang benar dan
mendatangkan mashlahah bagi umat. Selain pendekatan yang dikemukakan di
atas, juga pendekatan ukhuwa dan toleransi. Toleransi diperlukan karena memang
ada perbedaan, dan perbedaan itu harus dihormati. Sikap saling menghargai dan

19
memberi penghormatan terhadap perbedaan itu sangat penting. Sikap yang
disebutkan ini, bisa terwujud secara efektif apabila perbedaan itu dikelola dengan
baik, dengan didasarkan kepada niat yang jujur dan menyadari akan tanggung
jawab bersama, serta dipergunakan sebagai ajang mengasah otak untuk
memperluas cakrawala pandang serta memberikan ruang dioalog yang efektif
kepada pihak lain yang berbeda pendapat. Hal ini tentu akan sangat bermanfaat
dan memberikan solusi bagi umat dan sekaligus mendinamisasikan hukum Islam
itu sendiri.
Berbeda pendapat adalah sesuatu yang penting dan diperlukan dalam
berijitihad, asalkan dikelolah dengan baik dan benar. Dalam konteks ini, Yusuf
Al-Qardhawi merumuskan aturan main berbeda pendapat agar hasilnya dapat
menjadi solusi dan bermanfaat bagi umat, yaitu:
a) Berijitihad harus secara sungguh-sunggu, sebab tanpa usaha yang sungguh-
sunggu dan serius dalam istimbath hukum, maka tidak dinamakan berijitihad.
b) Ijtihad tidak boleh dalam masalah-masalah yang baku (qath’iyyah).
c) Tidak boleh berijitihad untuk menjadikan hukum yang bermuatan hukum
zhanniy lalu diubah menjadi qath’i.
d) Dalam berijtihad, fiqh dan hadis tidak boleh dipisahkan.
e) Berijtihad berarti menerima segala yang baru dan bermanfaat serta memelihara
yang lama yang masih bermanfaat.
f) Tidak terikat kepada empat mazhab saja seiring dengan berubahnya zaman.
g) Berijtihad jama’i akan lebih dekat kepada kebenaran dari pada ijtihad yang
fardhiy.
Apa yang dirumuskan Yusuf Qardhawi di atas, merupakan sebuah ikhtiar dan
upaya mengkanalisasi setiap perbedaan pendapat agar tidak keluar dari konteks
ijtihad yang sesungguhnya. Meskipun hukum-hukum hasil ijtihad tersebut
diperselisihkan, namun tetap dihargai dan diterima dengan sikap toleransi di
antara mereka yang berbeda pendapat, karena adanya kesungguhan dan maksimal
dalam berijtihad, sehingga hukum-hukum Islam hasil ijtihad tersebut terasa
bermanfaat dan menjadi solusi terhadap persoalan umat. Fikih sebagai hasil
ijtihad ulama dari sumbernya yang utama, Al-Qur’an dan As-Sunnah, demikian

20
beragam karena berasal dari latar belakang pemikiran dan pendapat yang berbeda-
beda dalam melihat suatu peristiwa hukum atau kejadian hukum. Namun
keragaman hukum hasil ijtihad akan mendatangkan manfaat dan menjadi solusi
jika perbedaan tersebut berpijak pada aturan main yang disebutkan di atas.
Konflik dan ijtihad yang telah dimulai pada masa sahabat menjadi inspirasi
bagi generasi sesudahnya, karena para sahabat telah memberikan contoh yang
baik kepada umat mengenai cara-cara berijtihad yang benar. Selama pencarian
hukum lewat ijtihad itu disertai dengan keikhlasan dan sharing ilmu, hal itu tidak
akan mempengaruhi persatuan dan kesatuan umat, tetapi justru akan melahirkan
umat yang cerdas, memiliki integritas yang tinggi, dan mandiri. Kekayaan dan
tradisi berijtihad yang menjadi supermasi pencarian hukum–hukum Islam pada
masa awal Islam, benar-benar mendinamisasikan hukum Islam dan dapat
menghentikan kejumudan serta membuka pintu kemudahan. Dalam hubungan ini,
Ali Hasan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami mengatakan, bahwa
perbedaan pendapat dalam memahami hukum-hukum Islam hasil ijtihad dapat
membawa manfaat, karena antara lain:
a. Dapat menghidupkan fikiran manusia melalui ijtihad sebab dalam berijtihad
akan terjadi sharing pikiran dan adu argumentasi dengan sesama dalam majlis
ilmu (ijtihad), tanpa ijtihad akan lemahlah kemampuan berfikir manusia. Hal
ini bertentangan dengan ajaran Islam.
b. Mengatasi dan memecahkan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam
masyarakat atau kehidupan manusia, karena berdasarkan kenyataan pada saat
ini semakin banyak persoalan yang timbul.
c. Memelihara kepentingan esensial dalam kehidupan manusia, seperti
memelihara keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda dan
lain-lain.
d. Sebagai alat pencari kebenaran terhadap penyelesaian perkara yang timbul,
baik berdasarkan dalil yang ada nashnya maupun yang tidak ada nashnya.
e. Sebagai salah satu metode atau jalan terbaik dalam mempertimbangkan ayat
Al-Qur’an yang dapat diterapkan dalam suatu situasi tertentu dan yang tidak
dapat diterapkan.

21
f. Jika ijtihad hidup dan berkembang, maka hukum Islam berkembang pula
secara dinamis.
g. Melalui ijtihad dibuktikan bahwa ajaran Islam itu tetap relevan di setiap tempat
dan waktu (Al-Islam Sholihun li kulli zaman wa makan).10
Kutipan di atas, merupakan sebuah tindakan solutif atas adanya konflik
hukum Islam hasil ijtihad ulama, karena perbedaan pendapat itu dapat mendorong
perkembangan dan lahirnya hukum-hukum baru guna memecahkan persoalan-
persoalan umat, termasuk masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Upaya bagi penyelesaian terhadap pengaruh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dipandang kurang cukup hanya
dengan menggunakan ijtihad individual (fardi) saja, karena umat Islam
dihadapkan oleh berbagai persoalan baru dan kompleks, dari sinilah kemudian
diperlukan penalaran yang lebih cerdas lagi dalam menopang kehidupan dan
perkembangan hukum Islam. Prinsip yang dipakai dalam soal ini adalah beralih
dari ijtihad individual ke ijtihad kollektif (jama’i). Pengalaman masa lalu menjadi
pelajaran, ketika ijtihad tersebut selama bertahun-tahun telah ditinggalkan oleh
umat Islam, membawa dampak negatif terhadap hukum Islam, menjadi kaku dan
statis. Hal ini didukung pula dengan munculnya kaum konservatisme dalam Islam
yang berpandangan bahwa rasionalisme yang ditimbulkan mu’tazila akan
membawa kepada disintegrasi yang mebahayakan kesatuan politik Islam.11
Dengan tidak berkembangnya ijtihad, terutama ijtihad kolektif merupakan hal
utama yang membawa kemunduran umat Islam, puncaknya berawal dari
kehancuran Baghdad sebagai pusat kemajuan pemikiran dan peradaban umat
Islam di pertengahan abad ke-13 H. Penginterpretasian atau peralihan ijtihad
sebagaimana disebutkan di atas, adalah beralih dari ijtihad individual ke ijtihad
kollektif (jama’i). Ijtihad kolektif tersebut dilakukan dalam satu lembaga legislatif
Islam. Lembaga ini tidak hanya didukuki oleh ulama yang mempunyai otoritas
untuk menafsirkan Islam, tetapi juga oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu.
Mereka disebut sebagai orang awam tentang hukum Islam, tetapi memiliki

10
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 93.
11
Harun Nasution, Pemharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), 191.

22
pandangan yang tajam tentang masalah-masalah kemasyarakatan. Oleh sebab itu
tidak lagi memberikan persyaratan ulama saja pada orang yang duduk di lembaga
ijtihad tersebut, tetapi didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan terhadap
masalah dan peristiwa yang akan ditetapkan hukumnya.12 Hukum-hukum hasil
ijtihad yang dilakukan secara kollektif semacam itu, hasilnya dapat menjadi solusi
bagi penyelesaian berbagai persoalan yang dihadapi umat terutama pada abad
modern seperti sekarang ini yang semakin kompleks.

12
Muhammad Iqbal, Rahasia-rahasia Pribadi. Terjemahan Oleh Bahrun Rangkuti dari Asrar-i-Khudi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1976), 174.

23
BAB III
KESIMPULAN

Dinamika sosial dan hukum Islam itu saling memiliki keterkaitan dalam
perubahan. Perubahan hukum Islam dapat membawa kepada perubahan sosial, apabila
hukum Islam itu telah menjadi adat bagi suatu masyarakat. Begitu juga apabila hukum
Islam itu telah diserap menjadi hukum positif seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Ekonomi Islam, dan
berbagai fatwa DSN/MUI tentang ekonomi syariah. Tetapi sebaliknya, perubahan sosial
membawa kepada perubahan hukum Islam. Lahirnya fikih dari berbagai mazhab, bahkan
adanya perubahan fatwa dari seorang mujtahid al-Shafi’iy yang dikenal dengan adanya
qawl qadim dan qawl jadid karena berubahnya sosial, dari sosial masyarakat Irak kepada
sosial masyarakat Mesir. Di masa kontemporer terdapatnya fatwa dari ulama
kontemporer Yusuf al-Qardhawi tentang bolehnya transaksi melalui elektronik, karena
perubahan sosial yang membawa kepada perubahan hukum Islam, yang semula menurut
hukum Islam klasik tidak boleh berubah dengan hukum Islam kontemporer yang
membolehkannya.
Konflik sebagai hasil ijtihad merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa
dihindari. Oleh karena itu sikap yang harus diambil adalah bersikap terbuka (inklusif)
dalam menyikapi setiap persoalan dan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam bukan
sebaliknya, bersikap fanatik. Dan bagi seorang muslim yang terpelajar sikap yang perlu
dibangun dan ditumbuhkan adalah tetap melakukan pengkajian Islam dan mengetahui
dengan pasti asal-muasal dan akar persoalan yang diperdebatkan untuk kemudian
mengambil yang dianggapnya lebih benar tetapi tidak menafikan adanya kemungkinan
yang lain lebih benar. Dengan cara seperti ini, kita termasuk ikut membantu mengatasi
persoalan umat dengan cara-cara yang bijak dan toleran.

24
DAFTAR PUSTAKA

Huda, Miftahul. Filsafat Hukum Islam: Menggali Hakikat dan Sumber Tujuan Hukum
Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2006.

Jamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa,


2008.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh I. Jakarta: Kencana, 2011.

Djazuli. Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta:
Kencana Prenada Media Grouf, 2005.

Fuady, Munir. Sosiologi Hukum Kontemporer Interaksi Hukum, Kekuasaan, dan


Masyarakat. Bandung: Citra Aditya, 2007.

Djamil, Faturrahman. Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan.


Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Mustafa Asy-Syak’ah, Muhammad. Islam Tidak Bermadzhab. Terjemahan Oleh: A.M.


Basalaah dari Islam Bila Madzhab. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Nasution, Harun. Pemharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang,

1975.

Iqbal, Muhammad. Rahasia-rahasia Pribadi. Terjemahan Oleh Bahrun Rangkuti dari


Asrar-i-Khudi. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

25

Anda mungkin juga menyukai