Anda di halaman 1dari 17

BERBAGAI PENDEKATAN STUDI ISLAM

(PSIKOLOGIS, HISTORIS, ANTROPOLOGIS, SOSIOLOGIS)

Makalah ini disusun guna


memenuhi tugas Mata Kuliah:
Pengantar Studi Islam
Dosen Pengampu:
Drs. Sukatma,M.pd.I
Prodi: PIAUD

Disusun Oleh:
Deliana Fitriani
Ika Mar’atus Sholihah
Sri Latifa
Nurkaila

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL HUDA SUBANG


PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
TAHUN
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya
Shalawat serta Salam senantiasa tercurahkan atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW serta
Keluarga, Sahabat dan para penerus risalahnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan
makalah Berbagai Pendekatan Studi Islam, guna memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi
Islam.

Dengan adanya makalah ini semoga dapat membantu mempermudah proses belajar dan
bermanfaat bagi kami pada khususnya dan pembaca pada umumnya .Serta kami menerima kritik
dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun agar tercapainya kesempurnaan makalah
ini.

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh .

Mekarjaya, 4 Oktober 2023

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................... 2


Daftar Isi ................................................................................................................ 3
Bab 1 : Pendahuluan
A. Latar belakang.............................................................................................4
B. Rumusan masalah .............................................................................................5
C. Tujuan ........................................................................................................ 5
Bab 2 : Pembahasan
A. Pendekatan Psikologis Dalam Studi Islam ................................................ 6
B. Pendekatan Antropologis Dalam Studi Islam .......................................... 9
C. Pendekatan Sosiologis Dalam Studi Islam ............................................. 11
D. Pendekatan Historis Dalam Studi Islam ................................................. 13
Bab 3 : Penutup

Kesimpulan ......................................................................................................... 16
Daftar pustaka ...................................................................................................... 17

3
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Agama sering dipahami sebagai sumber gambaran-gambaran yang sesunguhnya tentang


dunia ini, sebab ia diyakini berasal dari wahyu yang diturunkan oleh untuk semua manusia.
namun, dewasa ini, agama kerap kali dikritik karena tidak dapat mengakomidir segala kebutuhan
manusia, bahkan agama dianggap sebagai sesuatu yang “menakutkan”, karena berangkat dari
sanalah tumbuh berbagai macam konflik, pertentangan yang terus meminta korban. Kemudian
sebagai tanggapan atas kritik itu, orang mulai mempertanyakan kembali dan mencari hubungan
yang paling otentik antara agama dengan masalah-masalah kehidupan sosial budaya
kemasyarakatan yang berlaku dewasa ini. Apa yang menjadi kritik terhadap agama adalah bahwa
agama, tepatnya pemikiran-pemikiran keagamaannya terlalu menitik beratkan pada struktur-
struktur logis argument tekstual (mormative). Ini berarti mengabaikan segala sesuatu yang
membuat agama dihayati secara semestinya. Struktur logis tidak pernah berhubungan dengan
tema-tema yang menyangkut tradisi, kehidupan sosial dan kenyataan-kenyataan yang ada di
masyarakat.
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, diyakini dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai
petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara
lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Seiring perubahan waktu dan perkembangan
zaman , agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai
masalah yang dihadapi manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan
atau berhenti sekedar di sampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan
cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Melihat kenyataan semacam ini, maka diperlukan rekonstruksi pemikiran keagamaan,
khususnya berkaitan dengan pendekatan-pendekatan psikologis, historis, antropologis, dan
sosiologis.

4
A. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pendekatan psikologis dalam studi Islam?


2. Bagaimana pendekatan historis dalam studi Islam?
3. Bagaimana pendekatan antropologis dalam studi Islam?
4. Bagaimana pendekatan sosiologis dalam studi Islam?

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pendekatan psikologis dalam studi Islam
2. Untuk mengetahui pendekatan historis dalam studi Islam
3. Untuk mengetahui pendekatan antropologis dalam studi Islam
4. Untuk mengetahui pendekatan sosiologis dalam studi Islam

5
BAB 2

PEMBAHASAN

A.PENDEKATAN PESIKOLOGIS

Psikologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu psyche dan logos. Mengenai kata logos,
kiranya sudah banyak orang tahu bahwa artinya adalah nalar, logika, atau ilmu. Karena itu
psikologi berartipsyche. Tetapi apakah psyche itu? Nah, di sinilah terdapat perbedaan pendapat
yang berlarut-larut itu. Kalau kita periksa Oxford Dictionary misalnya, kita akan melihat bahwa
istilah psyche mempunyai banyak arti dalam bahasa Inggris yaitu soul, mind, dan spirit. Dalam
bahasa Indonesia ketiga kata-kata bahasa Inggris itu dapat dicakup dalam satu kata yaitu “jiwa”.
Karena itulah dalam bahasa Indonesia kebanyakan orang cenderung mengartikan psikologi
sebagai ilmu jiwa. Tetapi kecendrungan ini tidak terdapat dalam bahasa Indonesia saja. Kalau
kita periksa dalam bahasa Belanda misalnya, maka psikologi diartikan sebagai zielkunde, dalam
bahasa Jerman seelenkunde, dalam bahasa Arab ilmun nafsi, yang semuanya itu tak lain artinya
ilmu jiwa.
Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena
dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan
salam, hormat pada kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk
kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui
ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama, sebagaimana dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan
mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang
dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku
penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin
seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang
yang berbuat baik, orang yang jujur, dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan
yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati,
dipahami dan diamalkan seseorang- juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan
agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama akan
menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
6
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah
lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah
baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. itulah sebabnya ilmu jiwa ini
banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.

Kritik Terhadap Pendekatan Psikologi Barat


Para ilmuwan Muslim terdahulu sesungguhnya memiliki andil yang sangat besar dalam
mengembangkan kajian tentang kejiwaan. Ironisnya, peranan mereka dalam memajukan dan
mengembangkan ilmu kejiwaan (psikologi) tersebut tidak mendapatkan perhatian yang
selayaknya dari para pakar sejarah psikologi modern sepanjang sejarah. Umumnya, mereka yang
berasal dari Barat memulai kajian psikologi pada kaum pemikir Yunani, terutama Plato dan
Aristoteles. Selanjutnya, mereka langsung membahas pemikiran kejiwaan para pemikir Eropa
Abad Pertengahan dan masa Kebangkitan (Renaisans) Eropa Modern. Mereka benar-benar
melupakan andil para ilmuwan Muslim yang diantaranya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin dan banyak mempengaruhi pendapat para pemikir Eropa Abad Pertengahan hingga awal
masa Renaisans Eropa Modern sendiri.
Yang lebih menyedihkan lagi, sikap para sejarawan psikologi dari Barat tersebut justru
diikuti oleh para pakar psikologi Arab kontemporer. Mereka yang mempelajari berbagai
manuskrip sejarah psikologi di banyak universitas sama sekali tidak melirik peranan para
ilmuwan Muslim. Penghargaan terhadap andil mereka justru datang para sejarawan filsafat
Islam, baik yang berasal dari bangsa Arab sendiri maupun non-Arab. Mereka menginformasikan
kepada kita sejumlah ikhtisar (re-sume) yang bermanfaat tentang pandangan para ilmuwan
Muslim terdahulu dalam bidang psikologi. Kendati nilainya sangat penting, namun ikhtisar
tersebut tidak cukup menarik para psikolog Islam kontemporer untuk mendalami pandangan
kejiwaan ilmuwan Muslim terdahulu, yang memungkinkan mereka memberikan penilaian ilmiah
terhadap andil mereka dalam memajukan dan mengembangkan psikologi sepanjang sejarah.
Salah satu filosof Islam yang mempunyai perhatian yang luar biasa terhadap konsep-
konsep jiwa dan bagaimana mengatasi problem kejiwaan adalah Ibn Sina. Dengan ketajaman
pikiran dan ketelitian pengamatannya, dapat mencapai pengetahuan tentang hukum
proses conditioning sebelum hal itu ditemukan oleh Ivan Pavlov, seorang psikolog
berkebangsaan Rusia. Ibnu Sina juga dapat memberikan interpretasi ilmiah tentang lupa, dengan

7
mengembalikannya kepada intervensi berbagai informasi yang belum pernah dicapai para
psikologi modern, kecuali pada perempat pertama abad ke-20. Selain itu, Ibnu Sina juga
mendahului para ahli fisiologi dan psikolog modern dalam mengukur emosi berdasarkan
pengukuran berbagai perubahan fisiologi dan psikolog modern dalam mengukur emosi
berdasarkan pengukuran berbagai perubahan fisiologis yang terjadi setelah terjadinya proses
emosi.
Berikutnya, pada kasus penyembuhan orang sakit yang diakibatkan oleh rasa rindu, Ibnu
Sina berusaha mengetahui nama gadis yang dirindukan si klien, sehingga dia dapat memberikan
metodecounseling yang tepat. Ibnu Sina menemukan sebuah metode yang unik, yaitu dengan
menyebutkan kepada si klien sejumlah nama negeri, seseorang yang hidup dan gadis-gadis. Pada
saat itu, dia mengukur kecepatan detak jantung si klien untuk mengetahui kadar emosi yang
ditumbulkan oleh nama-nama itu. Dengan cara itu, Ibnu Sina dapat mengetahui nama gadis yang
dirindukan si klien dan tempat hidupnya.
Metode yang digunakan Ibnu Sina ini dianggap sebagai dasar awal bagi penemuan alat
modern yang terkenal dengan sebutan alat respon kulit galvanisasi atau juga yang disebut alat
pendeteksi kebohongan, lantaran banyak digunakan untuk mengungkapkan berbagai tindak
kejahatan. Yaitu, suatu alat yang mengukur ketidakstabilan emosi berdasarkan pengaruhnya
terhadap perubahan fisiologis tubuh. Selain itu, sesungguhnya Ibnu Sina-dengan metode
sederhana yang dia gunakan untuk mengetahui sebab-sebab ketidakstabilan emosi melalui
penyebutan serangkaian kata-kata dan nama serta mengamati pengaruhnya terhadap emosi
individu- telah mengungguli sebagian ahli psikoanalisis dan prikiater modern yang menggunakan
cara yang sama, yaitu metode asosiasi untuk mengetahui sebab-sebab ketidakstabilan emosi pada
klien mereka.
Tidak hanya itu, dalam mengkaji mimpi pun al-Farabi dan Ibnu Sina menemukan fakta
ilmiah yang membuat mereka unggul atas ilmuwan modern, terutama peran mimpi dalam
memuaskan dorongan dan hasrat sebagaimana pendapat Sigmund Freud pada masa modern.
Namun demikian, bagaimana argumentasi dan dasar-dasar yang digunakan Ibnu Sina berkaitan
dengan konsep jiwa serta perbedaan mendasar konsep jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina dengan
berbagai konsep jiwa yang pernah ada sebelumnya serta letak keunggulan dan kelemahan konsep

8
jiwa yang ditawarkan Ibnu Sina ini, selanjutnya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang

membutuhkan jawaban.1

B.Pendekatan Antropologis
Antropologi adalah salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial yang
memfokuskan kajiannya pada manusia. Kajian antropologi ini setidaknya dapat ditelusuri pada
zaman kolonialisme di era penjajahan yang dilakukan bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa
Asia, Afrika dan Amerika Latin serta suku Indian. Selain menjajah, mereka juga menyebarkan
agama Nasrani. Setiap daerah jajahan, ditugaskan pegawai kolonial dan missionaris, selain
melaksanakan tugasnya, mereka juga membuat laporan mengenai bahasa, ras, adat istiadat,
upacara-upacara, sistem kekerabatan dan lainnya yang dimanfaatkan untuk kepentingan jajahan.
Perhatian serius terhadap antropologi dimulai pada abad 19. Pada abad ini, antropologi sudah
digunakan sebagai pendekatan penelitian yang difokuskan pada kajian asal usul manusia.
Penelitian antropologi ini mencakup pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga
binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, apakah
yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada waktu itu, semua dilakukan dengan ide kunci,
ide tentang evolusi. (David N. Gellner, 2002: 15).
Antropolog pada masa itu beranggapan bahwa seluruh masyarakat manusia tertata dalam
keteraturan seolah sebagai eskalator historis raksasa dan mereka (bangsa Barat) menganggap
bahwa mereka sudah menempati posisi puncak, sedangkan bangsa Eropa dan Asia masih berada
pada posisi tengah, dan sekelompok lainnya yang masih primitif terdapat pada posisi bawah.
Pandangan antropolog ini mendapat dukungan dari karya Darwin tentang evolusi biologis,
namun pada akhirnya teori tersebut ditolak oleh para fundamentalis populis di USA.
Selain perdebatan seputar masyarakat, antropolog juga tertarik mengkaji tentang agama.
Adapun tema yang menjadi fokus perdebatan di kalangan mereka, seperti pertanyaan tentang :
Apakah bentuk agama yang paling kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan
alam? Apakah agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan, suatu
bentuk agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama primitif itu
sangat digemari pembacanya pada abad ke 19. Sebagai contoh, terdapat dua karya besar yang
masing-masing ditulis Sir James Frazer tentang “The Golden Bough” dan Emil Durkheim

9
tentang “The Element Forms of Religious Life”. Dalam karyanya tersebut, Frazer menampilkan
contoh-contoh magic dan ritual dari teks klasik. Frazer berkesimpulan bahwa seluruh agama itu
sebagai bentuk sihir (magic) fertilitas. Dalam karyanya yang lain, Frazer mengemukakan skema
evolusi sederhana yaitu suatu ekspresi dari keyakinan rasionalismenya bahwa sejarah manusia
melewati tiga fase yang secara berurutan didominasi oleh magic (sihir), agama dan ilmu.
Berbeda dengan Durkheim, dia kurang sependapat jika mengambil contoh dari semua
agama di dunia dengan kurang memperhatikan konteks aslinya seperti yang dilakukan oleh
Frazer, karena itu adalah metode antropologi yang keliru. Menurutnya, “eksperimen yang
dilakukan dengan baik dapat membuktikan adanya aturan tunggal, dan mengatakan perlunya
menguji sebuah contoh secara mendalam, seperti agama Aborigin di Arunto Australia Tengah.
Terlepas dari kontroversi terhadap penelitiannya, yang jelas Durkheim telah memberikan
inspirasi kepada para antropolog untuk menggunakan studi kasus dalam mengungkap sebuah
kebenaran. Setelah Frazer dan Durkheim, kajian antropologi agama terus mengalami
perkembangan dengan beragam pendekatan penelitiannya. Beberapa antropolog ada yang
mengorientasikan kajian agamanya pada psikologi kognitif, sebagian lain pada feminisme, dan
sebagian lainnya pada secara sejarah sosiologis. manusia (primate) serta meneliti masyarakat
manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada waktu itu, semua dilakukan
dengan ide kunci, ide tentang evolusi. (David N. Gellner, 2002: 15).
Topik apa saja yang akan menjadi objek kajian antropologi Islam. Jamaluddin „Athiyyah,
dalam artikelnya di jurnal The Contemporery Muslim menawarklan bahwa antropologi Islam
yang kita gagas nantinya akan memberikan objek kajiannya pada topiktopik berikut ini:
1) Penciptaan manusia. Dalam point ini, akan dikaji tentang awal penciptaan manusia dan
bagaimana manusia kemudian berkembang. Tentu saja teori evolusi Darwin akan menjadi bagian
kajian point ini. Juga pertanyaan tentang apakah sebelum Adam AS. ada Adam-Adam lain.
Seperti kecenderungan Iqbal, misalnya, yang mengatakan dalam bukunya The Reconstraction of
Religious Thought in Islam, bahwa Adam yang disebut dalam al Qur‟an lebih banyak bersifat
konsep tinimbang historis 32.
2) Susunan manusia. Akan dikaji tentang susunan yang membentuk manusia; tubuh, jiwa, ruh,
akal, hati, mata hati dan nurani. Sehingga dapat didapatkan konsep manusia yang utuh sesuai
dengan konsep Islam. Sehingga dengannya manusia akan berbeda dengan malaikat, jinn, hewan,

10
tumbuhan dan benda mati. Sambil menjelaskan perbedaan manusia dengan makhluk-makhluk
tersebut.
3) Macam-macam manusia. Meneliti tentang perbedaan manusia antara lelaki dan perempuan,
suku-suku, bangsa-bangsa, perbedaan bahasa, dan hikmah dibalik perbedaan ini.
4) Tujuan diciptakannya manusia. Mengkaji tujuan diciptakan manusia dan apa misi yang
dibawanya di atas bumi. Sambil menjelaskan tentang pengertian ibadah, khilafah, pembumi
dayaan dunia dan sebagainya.
5) Hubungan manusia dengan semesta. Pada point ini akan diteliti tentang konsep taskhir alam
semesta bagi manusia. Apakah dengan konsep tersebut manusia adalah pusat semesta ini?. Serta
tentang equilibrium antara manusia.
Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama
sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dari Allah. Antropologi tidak
membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual
dan kepercayaan kepada yang sakral, (Bustanuddin Agus, 2006: 18). Wilayah antropologi hanya
terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul. Menurut Atho Mudzhar, ada lima
fenomena agama yang dapat dikaji, yaitu:
1) Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
2) Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan
para penganutnya.
3) Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
4) Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
5) Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul
Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain. ( M. Atho Mudzhar,

1998: 15)2

C.Pendekatan Sosiologis
Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari kata “socius” yang
berarti teman, dan “logos” yang berarti berkata atau berbicara tentang manusia yang berteman
atau bermasyarakat. Secara terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial
dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial. Adapun objek sosiologi adalah

11
masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan proses yang timbul dari
hubungan manusia dalam masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah meningkatkan daya
kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.
Menurut Bouman mendefenisikan, sosiologi adalah ilmu tentang kehidupan manusia dalam
kelompok. Sebagai suatu ilmu pengetahuan tentang kehidupan bersama yang di dalamnya
terkandung unsur-unsur hubungan antara orang perorangan dalam kelompok dengan kelompok
dan sifat-sifat dan perubahan yang terdapat dalam dan ide-ide sosial yang tumbuh.
Sedangkan studi sosiologi agama menurut Joachim Wach merumuskan secara luas sebagai
suatu studi tentang interelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang
terjadi antar mereka. Dorongan-dorongan, gagasan dan kelembagaan agama mempengaruhi dan
juga sebaliknya dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, organisasi dan stratifikasi sosial.
Jadi dalam seorang sosiolog agama bertugas meneliti tentang bagaimana tata cara
masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi mereka. Kelompok-kelompok
mempengaruhi terhadap agama, fungsi-fungsi ibadat untuk masyarakat, tipologi dari lembaga-
lembaga keagamaan dan tanggapan-tanggapan agama terhadap tata dunia, serta langsung
maupun tidak langsung antara sistem-sistem religius dan masyarakat.
Setidaknya ada lima tema dalam studi Islam yang dapat menggunakan pendekatan sosiologi,
di antaranya:
1) Studi tentang pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat. Studi Islam dalam bentuk ini
mencoba memahami seberapa jauh pola-pola budaya masyarakat (seperti menilai sesuatu itu
baik atau buruk) berlandaskan pada nilai-nilai agama, atau seberapa jauh struktur
masyarakat (seperti supremasi kaum lelaki) berpangkal pada ajaran tertentu suatu agama,
atau seberapa jauh perilaku masyarakat (seperti pola konsumsi atau berpakaian masyarakat)
berpangkal pada ajaran tertentu dalam suatu agama.
2) Studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran
agama atau konsep keagamaan, seperti letak geografis antara Basrah dan Mesir melahirkan
qaul qadim dan qaul jadid oleh Imam Syafi‟I atau bagaimana fatwa yang dilahirkan oleh
ulama yang dekat dengan penguasa tentu berbeda dengan ulama independen yang tidak
dekat dengan penguasa hal tersebut terjadi karena ada perbedaan struktur sosial;
3) Studi tentang tingkat pengalaman beragama masyarakat, studi ini dapat digunakan untuk
mengevaluasi pola penyebaran agama dan seberapa jauh ajaran agama itu diamalkan oleh

12
masyarakat. Studi evaluasi tersebut juga dapat diterapkan untuk mengujicoba dan mengukur
efektifitas suatu program. Misalnya seberapa besar dampak penerapan UU No. 1 Tahun
1974 dalam mengurangi angka perceraian;
4) Studi pola interaksi sosial masyarakat muslim;
5) Studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan atau

menunjang kehidupan beragama.3

D.Pendekatan Historis
Sejarah (historis) adalah suatu ilmu yang di dalamnya membahas berbagai peristiwa masa
lampau dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari
peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, semua peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan
peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, dan siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Dengan demikian, ia mengajak kita untuk melihat peristiwa yang telah berlalu memalui masa
kini.
Tak hanya melihat atau membaca, melalui pendekatan sejarah kita diajak menelusuri dari
alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini kita akan melihat
adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di
alam empiris dan historis.
Pendekatan ini perlu dilakukan untuk mendapatkan seobjektif mungkin fakta yang telah
berlalu kejadiannya. Dengan begitu kita dapat manganalisa sebuah peristiwa secara mendalam
yang tidak sekedar mengetahui kapan peristiwa itu terjadi, kapan terjadinya, di mana tempatnya,
dan siapa saja yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Tetapi bagaimana sebuah peristiwa itu
terjadi, apa penyebabnya dan apa saja dampaknya juga bisa kita dapatkan.
Pendekatan kesejarahan juga amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama
itu sendiri turus dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan dengan kondisi social
kemasyarakatan. Terkait dengan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam
terhadap agama, dalam hal ini Islam, dengan menggunakan pendekatan historis. Tatkala ia
mempelajari Al-Qur’an, sampailah pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al-
Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian: berisi konsep-konsep dan berisi kisah-kisah sejarah dan
perumpamaan.

13
Pada bagian pertama yang berisi tentang konsep-konsep, pada umumnya seluruh umat
Muslim dapat memahaminya dengan mudah, sebab di dalam nya berisi istilah-istilah normative
yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan poada
umumnya. Mudah di sini maksudnya bahwa kepada konsep-konsep tersebut dapat diterima
sebagai doktrin luhur yang disampaikan langsung oleh Tuhan melalui Jibril kepada Nabi.
Sedang pada bagian kedua, bisa saja sebagian dari umat Muslim bertanya-tanya apakah
kisah-kisah yang diceritakan dalam Al-Qur’an tersebut nyata adanya ataukah sebaliknya, yakni
fiktif belaka? Dalam hal ini, Muhammad Ahmad Khalafullah menjawab pertanyaan tersebut
melalui karyanya, Al-Fann al-Qashashi fi al-Qur’an al-Karim (2002) agar umat Islam dapat
memahami keberadaan berbagai kisah dalam Kitab Suci umat Islam ini.
Menurut pengamatan Khalafullah, selama ini orang sibuk mencari “kebenaran sejarah”
dalam Al-Qur’an. Karena itu kisah-kisah dalam Al-Qur’an dianggap benar-benar (pernah)
terjadi. Padahal, sejatinya, sejarah bukanlah tujuan utama Al-Qur’an. Sejak dulu ulama tafsir
menjadikan kisah-kisah dalam Al-Qur’an sebagai ayat-ayat mutasyabih (interpretable) yang
terus diperdebatkan. Menurut Khalafullah, sebab utama yang membuat para penafsir terjebak ke
dalam posisi yang demikian fatal dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah karena kekeliruan mereka
dalam menggunakan metodologi. Yakni, mempelajari tafsir kisah-kisah Al-Qur’an melalui
pendekatan historis. Padahal yang seharusnya digunakan untuk menagkap pesan-pesan dari
kisah-kisah Al-Qur’an adalah dengan membacanya sebagai teks-teks sastra yang memiliki
keindahan dan keistimewaan tersendiri.
Namun demikian, menggunakan pendekatan sejarah untuk studi Islam tetap penting
untuk dilakukan. Melalui pendekatan ini kita diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya
berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami
agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang
yang memahaminya.
Masih terkait dengan Al-Qur’an, jika ingin mendapatkan pemahaman yang baik, maka
kita mesti mempelajari sejarah turunnya Al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi
turunnya Al-Qur’an. Maka munculnyaIlmu Asbab al-Nuzul (Ilmu tentang Sebab-sebab Turunnya
Ayat Al-Qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya Al-Qur’an. Dengan ilmu tersebut kita
akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan

14
hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya (Abudin
Nata, 2012: 48).
Meski pendekatan historis sangat penting dalam studi agama, namun mengkomparasikan
dengan pendekatan yang lain tetap menjadi penting. Hal ini untuk memeroleh pemahaman sebaik

mungkin dari agama itu sendiri yang memang mengandung multidimensi.4

15
BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan:
1. Pendekatan psikologis merupakan pendekatan yang bertujuan untuk melihat keadaan jiwa
pribadi-pribadi yang beragama. Dalam pendekatan ini, yang menarik bagi peneliti adalah
keadaan jiwa manusia dalam hubungannya dengan agama, baik pengaruh maupun akibat.
2. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam
disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami
agama
3. Studi Islam dengan menggunakan pendekatan sosiologis berangkat dari pemahaman
agama sebagai gejala sosial. Kajian sosiologi Agama terkait hubungan timbal balik antara
pemeluk agama, serta pengruh agama terhadap tingkah laku masyarakat. Artinya kajian
sosiologi agama mencakup bagaimana agama sebagai sistem nilai mempengaruhi tingkah
laku masyarakat.
4. Islam historis adalah islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan
manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Islam yang terangkai dengan konteks
kehidupan pemeluknya. Oleh karenanya realitas kemanusiaan selalu berada dibawah
realitas ke-Tuhan-an.

16
DAFTAR PUSTAKA

http://www.tetaplahberbinar.com/2014/12/beberapa-pendekatan-studi- islam.html
http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/ihya/article/view/413/316
http://ejournal.iai-tribakti.ac.id/index.php/tribakti/article/view/191
http://icrp-online.org/2015/12/09/ragam-pendekatan-studi- islam-bagian- iii/

17

Anda mungkin juga menyukai