Disusun Oleh:
FAKULTAS TARBIYAH
2023
JL. Kyai Haji Ahmad Fadlil No.1, Dewasari, Kec. Cijeungjing, Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat 46271
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materi. Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Filsafat Umum, bapak
Hammad Mutawakkil Habatillah, S. Sos.,M.Pd yang membimbing kami dalam
pengerjaan tugas makalah ini. Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat
kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari itu, kami mohon sarn dan kritik
dari teman-teman maupun dari dosen, demi tercapainya makalah yang sempurna.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bias pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .................................................................................. 20
B. Saran ........................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
dan tradisi-tradisi agama hanya akan sesuai dan sejalan apabila seorang
penganut agama senantiasa menuntut dirinya untuk berusaha memahami dan
menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan
kepercayaan agamanya. Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang
sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan
sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan
dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama,
dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita
terhadap kebenaran ajaran agama.
Dengan satu ungkapan dapat dikatakan bahwa filosof agama mestilah dari
penganut dan penghayat agama itu sendiri. Lebih jauh, filosof-filosof hakiki
adalah pencinta-pencinta agama yang hakiki. Sebenarnya yang mesti menjadi
subyek pembahasan di sini adalah agama mana dan aliran filsafat yang
bagaimana memiliki hubungan keharmonisan satu sama lain. Adalah sangat
mungkin terdapat beberapa ajaran agama, karena ketidaksempurnaannya,
bertolak belakang dengan kaidah-kaidah filsafat, begitu pula sebaliknya,
sebagian konsep-konsep filsafat yang tidak sempurna berbenturan dengan
ajaran agama yang sempurna.
2
Karena asumsinya adalah agama yang sempurna bersumber dari hakikat
keberadaan dan mengantarkan manusia kepada hakikat itu, sementara filsafat
yang berangkat dari rasionalitas juga menempatkan hakikat keberadaan itu
sebagai subyek pengkajiaannya, bahkan keduanya merupakan bagian dari
substansi keberadaan itu sendiri. Keduanya merupakan karunia dari Tuhan
yang tak dapat dipisah-pisahkan. Filsafat membutuhkan agama (wahyu)
karena ada masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan alam gaib yang
tak bisa dijangkau oleh akal filsafat. Sementara agama juga memerlukan
filsafat untuk memahami ajaran agama. Berdasarkan perspektif ini, adalah
tidak logis apabila ajaran agama dan filsafat saling bertolak belakang.
Dalam sebuah ungkapan ada kalimat yang sangat menarik, yang, “Saya
beriman supaya bisa mengetahui. Apabila kalimat ini kita balik akan menjadi:
jika saya tidak beriman, maka saya tak dapat mengetahui. Tak dapat
disangkal bahwa dapat diyakini bahwa keimanan agama adalah sumber
motivasi dan pemicu yang kuat untuk mendorong seseorang melakukan
penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap ajaran-ajaran doktrinal
agama, lebih jauh, keimanan sebagai sumber inspirasi lahirnya berbagai ilmu
dan pengetahuan. Kesempurnaan iman dan kedalaman pengahayatan
keagamaan seseorang adalah berbanding lurus dengan pemahaman
rasionalnya terhadap ajaran-ajaran agama, semakin dalam dan tinggi
pemahaman rasional maka semakin sempurna keimanan dan semakin kuat
apresiasi terhadap ajaran-ajaran agama. Baik agama maupun filsafat pada
dasarnya mempunyai kesamaan dalam tujuan, yakni mencapai kebenaran
yang sejati. Agama yang dimaksud di sini adalah agama Samawi.
3
dan ketaatan mutlak kepada ajaran suci agama sangat berbanding lurus
dengan rasionalisasi substansi dan esensi ajaran-ajaran agama.
Dengan demikian, hanya akallah yang dapat kita jadikan argumen dan
dalil atas eksistensi Tuhan dan bukan ajaran agama. Seseorang yang belum
meyakini wujud Tuhan, lantas apa arti agama baginya. Kita mengasumsikan
bahwa ajaran agama yang bersifat doktrinal itu adalah ciptaan Tuhan,
sementara belum terbukti eksistensi Pencipta dan pengenalan sifat-sifat
sempurna-Nya, dengan demikian adalah sangat mungkin yang diasumsikan
sebagai "ciptaan Tuhan" sesungguhnya adalah "ciptaan makhluk lain" dan
makhluk ini lebih sempurna dari manusia (sebagaimana manusia lebih
sempurna dari hewan dan makhluk-makhluk alam lainnya). Lantas bagaimana
kita dapat meyakini bahwa seluruh ajaran agama itu adalah berasal dari
Tuhan. Walaupun kita menerima eksistensi Tuhan dengan keimanan dan
membenarkan bahwa semua ajaran agama berasal dari-Nya, tapi bagaimana
kita dapat menjawab soal bahwa apakah Tuhan masih hidup? Kenapa
sekarang ini tidak diutus lagi Nabi dan Rasul yang membawa agama baru?
Dan masih banyak lagi soal-soal seperti itu yang hanya bisa diselesaikan
dengan kaidah akal-pikiran. Berdasarkan perspektif ini, akal merupakan
syarat mendasar dan mutlak atas keberagamaan seseorang, dan inilah rahasia
ungkapan yang berbunyi: Tidak ada agama bagi yang tidak berakal.
4
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Metode Penulisan
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
B. Agama dan Kepercayaan
Kepercayaan adalah salah satu konsep yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Setiap orang memiliki kepercayaan masing-masing yang
memengaruhi perilaku dan pandangan hidupnya. Namun, apa sebenarnya
yang dimaksud dengan kepercayaan? Bagaimana kepercayaan memengaruhi
perilaku manusia dan bagaimana konsep kepercayaan terkait dengan agama
dan keyakinan?
Dalam perspektif filsafat, kepercayaan dapat didefinisikan sebagai
keyakinan atau pandangan yang diyakini oleh seseorang. Kepercayaan bisa
berasal dari pengalaman, pendidikan, maupun pengaruh lingkungan.
Kepercayaan juga bisa berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain,
bergantung pada latar belakang dan pengalaman hidupnya.
Kepercayaan juga memengaruhi perilaku manusia. Kepercayaan bisa
menjadi motivasi bagi seseorang untuk melakukan suatu tindakan, atau
bahkan menjadi landasan moral yang mengatur perilaku seseorang.
Kepercayaan juga bisa memengaruhi cara pandang seseorang terhadap
dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Dalam konteks agama dan keyakinan, kepercayaan menjadi salah satu
konsep yang sangat penting. Agama sering dihubungkan dengan kepercayaan
terhadap keberadaan Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi. Keyakinan
dalam agama juga bisa memengaruhi perilaku manusia dalam kehidupan
sehari-hari, seperti dalam hal melakukan perbuatan baik atau mematuhi
perintah agama. Namun, kepercayaan juga bisa berbeda-beda dalam setiap
agama atau keyakinan. Ada yang mengandalkan iman dan keyakinan dalam
menjalani kehidupannya, sementara yang lain mengandalkan pengalaman
atau bukti-bukti empiris dalam menentukan kepercayaannya.
Dalam akhirnya, kepercayaan adalah konsep yang kompleks dan
melibatkan banyak faktor yang memengaruhi. Namun, dengan memahami
konsep kepercayaan dari perspektif filsafat, kita dapat memahami lebih dalam
bagaimana kepercayaan memengaruhi perilaku manusia dan bagaimana
konsep kepercayaan terkait dengan agama dan keyakinan.Apa pengertian dari
filsafat agama?
7
C. Argumen Tentang Tuhan
Pada esensinya, Tuhan dipahami sebagai zat Mahakuasa. Beragam konsep
tentang Tuhan yang tidak mengarah kepada kesepakatan konsensus ini yang
mengarahkan kepada banyaknya gagasan tentang siapa sosok Tuhan dari
beragam kalangan atau perspektif dalam sejarah babakan manusia.
Beragam aliran konsep tentang ketuhanan tersebut, pertama, dinamisme,
yang berasal dari bahasa Yunani “dynamis” yang berarti kekauatan. Konsep
yang digunakan oleh kebanyakan manusia primitive dengan tingkat
kebudayaan masih rendah ini menganggap bahwasannya tiap-tiap benda di
sekelilingnya memiliki kekuatan yang misterius. Kedua, animisme, dari
bahasa latin “anima” yang berarti jiwa, juga dianut oleh masyarakat primitif
yang menganggap semua benda baik yang bernyawa dan tak bernyawa
memiliki jiwa atau roh tersebut. Ketiga, politeisme, dari bahasa Yunani “poli”
yakni banyak, bahwasannya mereka percaya dan menyembah tuhan-tuhan
dengan wilayah kekuatannya masing-masing. Keempat, henoteisme yang
dalam perkembangannya menyembah satu dewa saja di antara tuhan-tuhan
lainnya. Kelima, dari bahasa Yunani “monos” artinya tunggal, aliran konsep
ini menyembah pada Tuhan yang pertama dan satusatunya.
Monoteisme ini ada yang berbentuk deisme dan teisme, yang sama-sama
menganggap Tuhan dalam perspektif natural atau agama natural. bedanya,
deisme berpandangan bahwa Tuhan membiarkan secara mekanis ala mini
berjalan sendiri tanpa campur tangan-Nya setelah menciptakan alam ini.
Sedangkan, teisme sebaliknya, bahwa Tuhan transenden sekaligus immanen.
Keenam, panteisme, dari bahasa Yunani “pan” berarti semua, bahwasannya
seluruh kosmos ialah Tuhan. Ketujuh, ateisme, yang menyangkal keberadaan
Tuhan. Kedelapan, naturalisme, bahwa alam yang diciptakan Tuhan ini
menurut pada hukum-hukm tabiat atau sebab dan musabahnya. Jadi, alam
tidaklah bergantung pada kekuatan gaib atau supernatural. Kesembilan,
agnostisisme, kepercayaan ini tidak dnegan tegas menolak keberadaan Tuhan
layaknya ateisme, orang dalam kepercayaan ini berpotensi antara percaya dan
tidak dengan meletakkan sikap skeptisisme atau ragu-ragu dalam melihat
keberadaan Tuhan.
8
Tema ketuhanan dalam perbincangan di ranah filosofis sendiri menjadi
salah satu tema besar dalam sejarah perkembangan filsafat. Immanuel Kant
sendiri menyatakan bahwa kebenaran yang terkandung dalam keberadaan
Tuhan ini ialah kebenaran yang postulat, yakni kebenaran yang tertinggi
dalam tingkat kebenaran, kebenaran yang tidak terbantahkan dan kebenaran
yang sifatnya sendiri berada di luar jangkauan kebenaran indra ataupun ilmu
pengetahuan. Adanya beragam gagasan dari berbagai tokoh ataupun
pandangan kultural ini membuat jalan-jalan kebenaran untuk mengetahui
siapa sosok Tuhan lewat agama yang kita kenal hingga saat ini. Dalam
diskursus wacana filsafat agama sendiri, ada berbagai proposisi argumentatif
dengan beberapa karakteristik dalam upaya membuktikan keberadaan sosok
Tuhan, di antaranya argumen dalam aspek ontologis, kosmologis, teologis
dan argumen moral. Sebagian besar para filosof sendiri lebih fokus dalam
menggunakan tiga argumen dalam aspek: ontologis, kosmologis, dan
teleologi. Argumen ontologis yang mencoba untuk membuktikan bahwa
“ketiadaan” Tuhan merupakan sesuatu yang mustahil, sebaliknya
keberadaannya menjadi niscaya. Lalu, argumen kosmologis mencoba untuk
membuktikan batasan antara yang general dan spasial-temporal dalam alam
semesta sebagai sesuatu yang ada dan mengalami perubahan, dan itu
menunjukkan keharusan kebenaran postulasi adanya Tuhan untuk
menerangkannya. Serta argumen teologis yang mencoba untuk membuktikan
bahwa keberadaan Tuhan, keindahan dan keberangkaiannya, menunjukkan
adanya proses pemikiran tentang suatu rancangan, yang berarti ada “sesuatu”
yang merancangnya.
Lebih lanjut, dalam tulisan ini akan dipaparkan beberapa argumen beserta
tokoh-tokoh yang mewakili di dalamnya untuk menjelaskan eksistensi tuhan
lewat jalan argumen yang sebelumnya sudah dipaparkan, yakni ontologis,
kosmologis, teleologis, dan argumen moral.
9
Argumen Ontologis
10
alam itu sendiri. Sebab itu harus ada zat yang lebih sempurna dari alam,
Dia yang menjadi awal dan yang terakhir. Argumen kosmologis tentang
keberadaan Tuhan ini pertama kali juga dicetuskan oleh Plato dengan
melakukan sebuah pembuktian adanya Tuhan berdasarkan dua macam
gerakan yang ada di dunia ini, yakni gerakan asli dan gerakan yang
digerakan. Gerakan asli hanya bisa dilakukan oleh wujud yang hidup,
sedangkan gerakan yang digerakan tergantung pada gerakan dari wujud
yang hidup. Plato menyatakan bahwa seluruh gerak alam semesta ini
secara mutlak disebabkan oleh aktivitas sesuatu yang berjiwa. Dan wujud
inilah yang mengatur dan memelihara sehingga disebut sebagai Yang
Maha Pemelihara dan bersifat Maha Bijaksana.
Argumen Teologis
11
untuk kebaikan dunia dalam keseluruhan. Alam ini beredar dan
berevolusi bukan karena kebetulan, tetapi beredar dan berevolusi kepada
tujuan tertentu, yaitu kebaikan universal, dan tentunya ada yang
menggerakkan menuju ke tujuan tersebut dan membuat alam ini beredar
maupun berevolusi ke arah itu. Zat inilah yang dinamakan Tuhan.
Argumen Moral
12
berkembang bila ada “kesadaran” untuk mengembangkan, memanfaatkan dan
memaknainya dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, pengetahuan tidak
hanya persoalan epistemologis, tetapi juga persoalan sosial dan kebudayaan.
Dalam konteks sosial, pengetahuan dikatakan “dikonstruksi secara sosial’
(social construction of knowledge). Dengan perkataan lain, struktur sosial,
mentalitas dan nilai-nilai budaya yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat
sangat menentukan bentuk, pertumbuhan dan arah perkembangan
pengetahuan. Relevan dengan apa yang terjadi pada kondisi sekarang ini,
terutama agama dan masyarakat, diibaratkan seperti ikan dan air, keduanya
tidak dapat dipisahkan. Masih relevankah sekarang membahas agama di
ruang publik atau masyarakat modern sekarang ini?, untuk membahas
pertanyaan tersebut, salah satunya adalah pandangan Jurgen Habermas.
Tidak ada satupun definisi agama yang dapat diterima secara umum. Para
filosof, sosiolog, psikolog dan teolog telah merumuskan definisi tentang
agama menurut caranya masing-masing. Tidak adanya definisi agama yang
dapat diterima secara umum itu, antara lain dikarenakan memberikan definisi
atau pengertian agama itu merupakan ha! yang cukup sulit, sebagaimana
dijelaskan Mukti Ali dalam ceramahnya berjudul "Agama, Universitas dan
Pembangunan" di IKIP Bandung pada tanggal 04 Desember 1971.
Paling sedikit ada tiga alasan untuk hal ini. Pertama karena pengalaman
agama itu adalah soal bathin dan subyektif, juga sangat individualistis .Alasan
kedua ialah, bahwa barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu
bersemangat dan emosional lebih daripada membicarakan agama. maka
dalam membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat sekali hingga
sulit memberikan arti kalimat agama itu. Alasan ketiga ialah, bahwa konsepsi
tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan
pengertian tentang agama itu. Para ahli telah banyak yang membuat definisi
mengenai agama, di antaranya ada yang mengemukakan bahwa agama
identik dengan religion dalam bahasa Inggris.
13
Dalam arti teknis, kata religion (bahasa lnggris), sama dengan religie
(bahasa Belanda), din (bahasa Arab), dan agama (bahasa Indonesia).
Kemudian, baik religion (bahasa lnggrjs) maupun religie (bahasa Belanda),
kedua-duanya berasal dari bahasa induk kedua bahasa termaksud, yaitu
bahasa Latin : "relegere, to treat carefully, relegare, to bind together; atau
religare, to recover". Religi dapat juga diartikan mengumpulkan dan
membaca. Agama memang merupakan kumpulan c.ara-c.ara mengabdi
kepada Tuhan, yang dibaca dari sebuah kumpulan berbentuk kitab suci.
Ditinjau dari bahasa sanskrit, kata agama dapat diartikan dari susunannya
yaitu, “a” artinya tidak, dan “gama” artinya pergi, jadi tidak pergi. Artinya
tetap ditempat; diwarisi turun temurun. Dalam istilah Fachroed.Din al-Kahiri,
agama diartikan dengan a berarti tidak, gama berarti kocar-kacir, berantakan,
chaos (Griek). Ini artinya tidak berantakan, tidak kocar-kacir. Ada juga yang
mengartikan agama itu teks atau kitab suci.
14
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui
seorang Rasul.
2. Kitab Suci
Kitab suci merupakan salah satu ciri khas dari agama. Bila suatu
agama tidak memiliki kitab suci, maka sulit untuk dikatakan
sebagai suatu agama. Adapun kitab suci agama yang ada di dunia
ini dikelompokkan menjadi kitab agama Samawi dan kitab agama
Tabi'i. Agama Samawi seperti: agama Yahudi berkitabkan Taurat;
agama Nasrani berkitabkan lnjil; dan agama Islam berkitabkan Al
15
Qur'an. Sedangkan yang termasuk kategori agama Tabi'i seperti
agama Hindu berkitabkan Wedha (Veda) atau disebut pula dengan
"Himpunan Sruti". Sruti dan Veda artinya tahu atau pengetahuan.
Agama Budha kitabnya Tripitaka. Sedangkan agama-agama seperti
Shinto, Tao, Khong Hucu bersumber dari aturan-aturan yang
dihimpun dalam buku-buku (kitab-kitab) pedoman masing masing.
3. Pembawa Ajaran
Pembawa ajaran suatu agama bagi agama samawi disebut nabi
(rasul). Para nabi atau para rasul menerima wahyu dari Allah dan
yang menyampaikan kepada masyarakat berdasarkan wahyu yang
diterimanya.
Dalam agama tabi'i, proses kenabian kadang-kadang melalui proses
evolusi yang dihasilkan berdasarkan sebuah julukan yang sengaja
dikatakan untuk (sebagai J penghormatan tanpa adanya pengakuan
berdasarkan wahyu dari Allah SWT.
4. Pokok-pokok ajaran
Setiap agama, baik agama wahyu maupun agama ardi/tabi'i,
mempunyai pokok-pokok ajaran atau prinsip ajaran yang wajib
diyakini bagi pemeluknya. Pokok ajaran ini sering disebut dengan
istilah "dogma", yakni setiap ajaran yang baik percaya atau tidak,
bagi pemeluknya wajib untuk mempercayainya.
5. Aliran-aliran
Setiap agama yang ada di dunia ini baik agama Samawi ataupun
agama Tabi'i memiliki aliran-aliran yang berkembang pada agama
masing-masing yang diakibatkan karena adanya perbedaan
pandangan. Perbedaan pandangan baik perorangan maupun secara
kelompok, mengakibatkan timbulnya suatu aliran yang masing
masing kelompok memperkuat pendapat paham kelompoknya.
Perkembangan ajaran Islam, tidak terlepas dari adanya aliran aliran
(paham-paham). Walupun tidak sampai pada berubahnya hal-hal
pokok dalam ajaran, dalam Islam perbedaan merupakan rahmat.
16
Sedangkan dalam agama selain Islam, perkembangan aliran sering
menjadikan agama tersebut berubah pada masalah masalah pokok.
Seperti berubahnya paham ketuhanan dalam agama Tauhid menjadi
agama yang musyrik (syirik kepada Allah).
1. Aqidah
2. Syari'ah
3. Akhlak
17
4. Islam Sebagai Agama
18
5. Islam sebagai Agama Terakhir
19
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan yang penulis susun, mungkin di dalam makalah ini ada
terdapat kesalahan, karena tidak ada suatu hal pun yang sempurna, selain
Allah. Maka oleh sebab itu penyusun meminta maaf dan memohon kririk dan
sarannya yang bersifat membangun, karena sanagt berguna bagi penyusun
untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya. Terimakasih.
20
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Usiono, M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta : Hijri Pustaka Utama,
2006.
Drs. H. Ahmad Syadali, M.A, & Drs. Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung :
Pustaka Setia, 1999.
Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada
Media, 2003.
H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta : Rajawali Press, 1986.
Dr. Nur Ahmad fadhil Lubis, MA, Pengantar Filsafat Umum, Medan : IAIN
Press, 2001.
http://sites.google.com/site/afrizalmansur/filsafat-agama