Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HAKIKAT TUHAN DALAM PERSPEKIF PENDIDIKAN ISLAM

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Mudzakkir Ali, MA.

Disusun Oleh :

Kelompok 1

1. Aisyatul Khoiriyah 20106011001


2. Ayu Kharisma Khoirunisa 20106011008
3. Fifi Helmia Saputri 20106011011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

2022/2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT., atas segala limpahan rahmat dan ridho-
Nya, tak lupa sholawat serta salam kami haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.
Sehingga makalah dengan judul “ Hakikat Tuhan dalam Perspektif Pendidikan Islam ” dapat
terselesaikan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Pendidikan Islam.

Makalah ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu,
terimakasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada berbagai pihak yang ikut andil dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, penulis berterimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Mudzakkir Ali, MA. Selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Pendidikan Islam.
2. Orang tua yang telah mendoakan dan mendukung kami.
3. Teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadaridalam makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu dengan
kerendahan hati, penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca demi sempurnanya makalah.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Aamiin.

Semarang, 24 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................2
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................................2
BAB II.........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. Dasar & Makna Tuhan dalam Pendidikan.......................................................................................3
B. Eksistensi Tuhan dalam Teori dan Praktik Pendidikan Islam..........................................................5
C. Sifat Tuhan dalam Konteks Pendidikan Islam.................................................................................6
D. Asma’ul Husna dalam ranah Pendidika Islam.................................................................................7
BAB III......................................................................................................................................................12
PENUTUP.................................................................................................................................................12
A. Kesimpulan....................................................................................................................................12
B. Saran..............................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Tema filsafat pendidikan Islam menjadi wacana yang belum juga ada
jawabannya. Belum ada kata sepakat tentang pengertian konsep pendidikan Islam,
pada satu Sisi. Sedangkan di Sisi yang lain masih ada pandangan bahwa pendidikan
agama, khususnya Islam, merupakan wilayah individu yang tidak dapat masuk
wilayah publik, sehingga pendidikan yang diartikan secara universal mengalami
keterasingan untuk dikaitkan dengan agama. Kesimpulannya, ada dua wilayah yang
terpisah antara keduanya, yakni wilayah individu dan wilayah umum, antara wilayah
teologi dan wilayah sekuler, antara wilayah duniawi dan akhirat.

Kedua wilayah itu pada aspek praktis membawa dampak pada dua kubu yang
seakan saling bertentangan. Misalnya, pada institusi terjadi model institusi agama dan
institusi non-agama, begitu juga produk lembaga pendidikan terbelah menjadi dua
bagian, yakni lulusan lembaga agama dan ulusan lembaga nonagama. Dualisme ini
seharusnya tidak terjadi mengingat dalam pandangan Islam bahwa seluruh aspek
kehidupan sumbemya hanya satu yaitu Tuhan. Apa ada yang keliru dalam memformat
institusi Islam? Jawabannya adalah terletak pada platform atau landasan filosofis yang
dibangun oleh penggagas lembaga pendidikan. Oleh karena itu, untuk
menanggulanginya sangat penting untuk menyusun platform secara terpadu.

Filsafat pendidikan Islam, ditinjau secara etimologis, terpilah dalam tiga kata,
yakni; filsafat, pendidikan dan Islam. Ketiganya dimaknai sebagai cara berpikir secara
mendasar tentang pendidikan bercorak Islam yang menjadi teori. Teori ini menjadi
landasan dari semua gagasan mengenai pendidikan yang dihasilkan dari realitas. Juga
merupakan hasil konstruksi dari persoalan realitas dan menjawab berbagai persoalan
yang muncul dan dikonsep dari pengalaman empirik.

Berfilsafat adalah proses berpikir bebas, radikal, kreatif dan ilmiah. Berpikir
bebas berarti tidak ada batasan dan lingkungan yang membelenggu. Radikal adalah
berpikir yang mendasar yang merupakan prinsip sampai seakar-akarnya, bahkan
sampai melewati batas wujud yang ada. Berfilsafat berarti berpikir melalui
pengembaraan indera pikir manusia dalam mencapai hakekat sebuah makna sesuatu

1
atau keberadaan dan kehadiran sesuatu. Berpikir tahap makna berarti menemukan
makna terhadap sesuatu yang ada di balik wujud sesuatu. Makna Yang terkandung itu
dapat berupa nilai-nilai, yakni kebenaran, keindahan, sehingga makna keindahan
mcmpunyai makna yang terkandung dalam karya, nilai kebenaran terkandung dalam
suatu teori keilrnuan dan nilai kebenaran terkandung dalam suatu tindakan. Nilai
berpikir inilah yang membcri makna. Disebut ilmiah adalah berfilsafat harus sesuai
dengan kaidahkaidah keilmuan yang rasional, empiris, dan sistematis. Rasional berarti
kegiatan berpikir yang dilakukan dengan cara-cara masuk akal sehingga terjangkau
Oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan dapat diamati Oleh
indera manusia, sehingga dapat dicermati dan diketahui cara-cara yang digunakan.
Sistematis adalah proses yang digunakan dalam berpikir menggunakan langkah-
langkah tertentu yang bersifat logis.

Filsafat itu sendiri juga dipahami sebagai orientasi Yang mencerahkan


kehidupan sebagai kreatifitas akal. Maka, lembaga pendidikan bukan berarti sesuatu
yang hidup dalam menara gading dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat,
akan tetapi sesuatu yang hidup menyatu dengan masyarakat dan berbagai
persoalannya. Dialog pernikiran dan diskusi filosofis merupakan sebuah proses
berhadapan dengan realitas yang memiliki Ciri positivistik. Oleh karenanya,
penggagas lembaga pendidikan dalam menghadapi berbagai persoalan dalam realitas
tidak sekedar mengamati dan memikirkan realitas untuk dipahami dan ditafsirkan,
tetapi juga memanfaatkan pemahaman ini untuk sampai pada berbagai solusi Yang
dapat menyelesaikan persoalan-persoalan serta mengarahkan manusia menuju suatu
bentuk kehidupan dengan social Skill yang lebih baik dan memawahi kreativitas
individu.

B. Rumusan Masalah
1. Dasar dan Makna Tuhan dalam Pendidikan?
2. Eksistensi Tuhan dalam Teori dan Praktik Pendidikan Islam?
3. Sifat Tuhan dalam Konteks Pendidikan Islam?
4. Asmaul Husna dalam Ranah Pendidikan Islam?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui dasar dan makna tuhan dalam Pendidikan.
2. Untuk mengetahui Eksistensi Tuhan dalam teori dan praktik Pendidikan Islam.
3. Untuk mengetahui sifat Tuhan dalam konteks Pendidikan Islam.

2
4. Untuk mengatahui Asmaul Husna dalam ranah Pendidikan Islam.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar & Makna Tuhan dalam Pendidikan


Tuhan sebagai dasar filasafat pendidikan Islam Yang dimaksud dengan dasar
pendidikan adalah pandangan hidup yang mendasari seluruh aktifitas pendidikan,
karena dasar menyangkut masalah ideal dan fundamental, maka dibutuhkan landasan
pandangan hidup yang kokoh dan komprehnsif, serta tidak mudah berubah (Achmadi,
2005: 81). Dalam diri manusia terdapat potensi dasar berketuhanan. Potensi dasar ini
tidak bisa dirubah oleh siapa pun atau lingkungan apapun (Zubaedi, 2012: 9). Maka
yang pertama diwajibkan bagi seorang muslim adalah mengetahui Tuhannya dengan
penuh keyakinan. Oleh karena iru, bagi Abudin Nata (2005: 60) dasar pendidikan
Islam yang paling pertama adalah Tauhid (ketuhanan), seluruh kegiatan pendidikan
Islam dijiwai oleh norma-norma ilahiyah dan sekaligus dimotivasi sebagai ibadah.
Dengan ibadah pekerjaan pendidikan lebih bermakna, tidak hanya makna material
tetapi juga makna spiritual. Dimensi keimanan menjadi variabel utama dalam
menjalankan pendidikan. keimanan akan selalu berorientaskan pada ketakwan dan
membawa manusia pada kebenaran dalam penetapan misi pengembangan ilmu
pengetahuan. Maka dasar utama manusia dalam pendidikan adalah ketauhidan. 1
Tauhid di sini harus difahami dalam kerangka yang terpadu antara yang
bercorak theosentris, dengan antroposentris, yakni tauhid yang di dalam fokusnya
hanya mengesakan Allah semata, namun dalam prakteknya berimplikasi ke dalam
pola fikir, tutur kata, dan sikap seseorang yang meyangkininya. Dengan demikian
tauhid yang dimaksudkan disini adalah tauhid yang transformatif, dan aktual, yaitu
tauhid yang mewarnai aktifitas manusia dan tanpak dalam kenyataan. Bukan tauhid
yang bersifat taken for granted, yakni dengan beriman, bahwa seseorang sudah akan
dijamin kehidupannya akan bahagia dunia dan akhirat melainkan tauhid yang disertai
dengan amal saleh yang dirasakan manfaatnya oleh individu sendiri ataupun
masyarakat .
Selain itu Allah memberikan informasi kepada umat Islam tentang tujuan
penciptaan manusia di dunia ini melalui surat Adzariyat ayat 56 yang arrtinya: Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-
Ku. Dari ayat tersebut manusia memiliki dua tugas, yang dimana tugas itu memiliki
1
Zaenuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, 2003 hal : 26

4
arti ibadah yang hakiki yaitu manusia sebagai Khalifah Fil Ard yang harus
memberikan kemanfaatan kepada dirinya sendiri, kepada sesama dan alam sekitarnya
dan manusia sebagai hamba Tuhan yang hubungan kepada tuhan itu sendiri. Oleh
karenanya ketauhidan dalam beragama tidak boleh dijadikan dogma, yang semua
orang harus menerimanya, serta ketauhidan yang bersifat pasif. Karena ini akan
menjadikan kejumutan manusia yang menjadikan manusia tidak berkembang.
Dari dasar ketauhidan atau ketuhanan ini, maka bentuk pendidikan Islam harus
idealistik, yakni pendidikan yang integralistik, humanistic, pragmatik, dan berakar
pada budaya kuat. 2
Berikut penjelasannya :
1. Pendidikan integralistik
Merupakan model pendidikan yang berorientasikan pada komponen kehidupan yang
meliputi pendidikan yang berorientasi pada Rabbaniyah (ketuhanan), Insaniyah
(kemanusiaan), dan Alamiyah (alam pada umumnya), sebagai suatu yang integral
untuk mewujudkan Rahmatan Lil ‘Alamin, serta pendidikan yang menganggap
manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaaan dan individu-
sosial.
2. Pendidikan yang humanistik
Pendidikan yang berorientasi dan mendang manusia sebagai manusia (humanisasi),
yakni makhluk ciptaan tuhan dengan fitrah-nya. Manusia sebagai makhluk hidup
harus mampu melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya.
Posisi pendidikan dapat membangun proses humanisasi, artinya menghargai hak-hak
asasi manusia, seperti hak untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak untuk
menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang, dan lain sebagainya.
3. Pendidikan pragmatis
Pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu
membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan
hidunya baik bersifat jasmani maupun rohani, seperti berpikir, merasa, aktualisasi diri,
keadilan, dan kebutuhan spiritual ilahiyah. Pendidikan dengan pendekatan prgmatik
ini diharapkan dapat mencetak manusia pragmatis yang sadar akan kebutuhan-
kebutuhan hidupnya, peka terhadap masalah-masalah sosial kemanusiaa dan dapat
membedakan manusia dari kondisi dan situasi yang tidak manusiawi.
4. Pendidikan yang berakar pada budaya
2
Zubaedi, Filsafat Ilmu Perspektif, 2019 hal ( 19-22 )

5
Pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan
pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa, kelompok etnis, atau suatu
masyarakat tertentu. Dari pendidikan yang berakar pada budaya, diharapkan dapat
membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada diri
sendiri, dan membangun peradaban berdasarkan budaya sendiri yang akan menjadi
warisan monumental dari nenek moyangnya dan bukan budaya bangsa lain. Namun
berarti menjadi orang yang anti dengan kemodernan, perubahan, reformasi dan
menolak begitu saja arus trasnformasi budaya dari luar tanpa melakukan seleksi dan
alasan yang kuat.
Dengan demikian, dapat dikatakan konsep pendidikan Islam adalah
pendidikan yang bersumber dri konsep ketuhanan yang bersifat theosentris dan
antroposentris, yakni pendidikan Islam harus berkembang dan dikembangkan
berdasarkan semangat berketuhanan dan semangat kemanusiaan. Artinya dengaan
konsep ini pendidikan Islam diharapkan menghasilkan peserta didik yang memiliki
integritas tinggi, yang dapat bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya,
menyatu dengan dirinya sendiri sehingga tidak memiliki kepribadian yang terbelah,
menyatu dengan masyarakat sehingga dapat menghilangkan disintegrasi sosial, dan
menyatu dengan alam sehingga tidak membuat kerusakan, tetapi menjaga memelihara
dan memberdayakan serta mengoptimalkan potensi alam sesuai kebutuhan manusia.
B. Eksistensi Tuhan dalam Teori dan Praktik Pendidikan Islam

Eksistensi Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia,


karena penerimaan maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang
fundamental. Alam luas yang diasumsikan sebagai produk sebuah kekuatan Yang
Maha Sempurna dan Maha Bijaksana dengan tujuan yang sempurna berbeda dengan
alam yang diasumsikan sebagai akibat dari kebetulan atau insiden. Manusia yang
memandang alam sebagai hasil penciptaan Tuhan Maha Bijaksana adalah manusia
yang optimis dan bertujuan. Sedangkan manusia yang memandang alam sebagai
akibat dari serangkaian peristiwa acak atau chaos adalah manusia yang pesimis,
nihilis, absurd dan risau akan kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat diprediksi.
Umat manusia sejak awal kehadirannya di atas pentas sejarah telah memberikan nama
yang berbeda-beda, sesuai dengan Bahasa yang digunakan masing-masing, kepada
kausa prima alam keberadaan.

6
Beberapa konsep di atas merupakan pengantar sebuah pemahaman mengenai
Tuhan atau hakekat Tuhan dalam persepsi berbagai agama yang ada di dunia. Tulisan
ini tidak akan membicarakan secara luas dan mendetail mengenai faham-faham
tersebut melainkan hanya akan mengambil satu faham saja yang relevan dengan
persepsi agama Islam yang konsep-konsepnya terdapat dalam al Qur’an, hadis dan
sejarah para Nabi utusan Allah SWT.

C. Sifat Tuhan dalam Konteks Pendidikan Islam


Internalisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri merupakan perjalanan spiritual
manusia untuk mendekatkan diri kepada tuhan mereka.Semakin dekat jarak seorang
hamba dengan Tuhannya semakin mulia hamba itu. Jadi hal paling utama yang harus
kita lakukan adalah mengenal Allah, karena tanpa mengetahui siapa Allah maka
sesungguhnya batal seluruh amal ibadah kita. Oleh karena itu, ada baiknya bila
dipaparkan terlebih dahulu bagaimana tingkatan-tingkatan pemahaman terhadap
‘siapa sesungguhnya Allah itu”.3
Pertama, “Allah adalah Zat yang ada (wujud) dengan sendirinya, sehingga
selainNya adalah tiada. Ada yang kita pahami hanyalah ‘tiada’ karena ia ‘diadakan’
bukan ada dengan sendirinya. Karena Dia itu Ada, dan yang lain itu diadakan, maka
Dia adalah Pencipta dengan sendirinya. Karena segala sesuatu itu diadakan nya, maka
Dia adalah Pengada yang mutlak, sehingga yang diadakan itu tidak mutlak. Karena
Dia Ada dengan mutlak, maka Dia adalah Kekal, sementara yang diadakan bersifat
tidak kekal. Karena Dia Kekal, maka Dia Tidak Terbatas, tidak memerlukan ruang
dan waktu, tidak bertempat di mana pun, dan tidak bisa ditunjuk. Sementara yang
diadakan bersifat fana, terbatas oleh ruang dan waktu, rusak, tergantung pada yang
lain, dan seterusnya.” Allah dengan sifat-sifat seperti ini adalah Allah yang dipahami
oleh para filosof.
Kedua, “Allah adalah Pemberi Hukum.(Al-‘Adl yang maha adil) Tak ada
hukum selain hukumNya. Maka segala sesuatu harus tunduk pada hukum-Nya. Jika
tidak tunduk pada hukum-Nya maka ia telah kafir. Menyembah Allah berarti
menyembah zat-Nya. Barangsiapa menyembah nama atau sifat-Nya, maka dia telah
kafir kepada-Nya. Dan barangsiapa menyembah Zat sekaligus nama-Nya, maka dia
telah memusyrikkan-Nya”. Tuhan seperti ini adalah Tuhan yang dipahami oleh ahli
kalam (Teolog).

3
Muhyidin, Muhammad.Mengajar Anak Berakhlak Al Quran.jurnal fida,edisi1,(2008)hal 8.

7
Ketiga, “Allah adalah Tuhan yang maha pencipta(Al-Khaliq) menciptakan
manusia, menciptakan binatang, menciptakan tumbuh-tumbuhan, yang harus
disembah dan harus dicintai”. Tuhan seperti ini adalah Tuhannya orang ‘kebanyakan’
(kaum awam). Prinsip-prinsip komunikasi spiritual dalam paradigma Al Quran
diadopsi dari Asmaul-Husna, yang meliputi: Al Qudduus (Maha Suci), Al Lathiif
(Maha Lembut), Al Mukmin (Maha Jujur), Ash Shabuur (Maha Sabar), Al Fattaah
(Maha Membuka (Hati)). Sifat-sifat Allah SWT ini (Asmaul Husna) yang
dipancarkan kepada jiwa manusia, sehingga umat manusia memiliki sifat ingin selalu
benar, ingin selalu jujur dalam bertutur dan bertindak, ingin selalu memiliki kesucian
diri, ingin selalu bersikap rendah hati, ingin selalu mempunyai kesabaran yang tinggi,
dan senantiasa membuka hati untuk menerima kebenaran.4

D. Asma’ul Husna dalam ranah Pendidika Islam


1. Pengertian Asmaul Husna

Asmaul Husna adalah pengenalan sifat-sifat-Nya dalam bahasa


kemanusiaan. Tuhan memanifestasikan diri melalui asma (nama-nama)-Nya.
Asmaul-Husna merupakan serangkaian nama-nama indah, menyimpan rahmat,
dan kenikmatan bagi setiap insan yang mendambakan ridha Allah. Sesungguhnya
Asmaul Husna adalah obat penyakit jiwa dan fisik dalam meraih kebahagiaan
dunia dan akhirat. Seluruh nama dan sifat Allah tidak terpaut dengan sebelum dan
sesudah, awal dan akhir, serta tidak tergantung pada batasan ruang dan waktu, di
samping tidak terkait dengan akibat, kesudahan, penyegeraan, dan penundaan.
Kekuatan- Nya adalah hakikat kekuasaan-Nya. Kekuasaan-Nya adalah keabadian-
Nya. Kehendak-Nya adalah keinginan-Nya dan sebagainya.

2. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam asmaul husna

Nilai-nilai ajaran Islam mengajarkan agar setiap muslim wajib


mengagungkan Allah dan menghargai nikmat-Nya yang menjadi sumber dari
rezeki, kekuatan, kedamaian, dan membimbing kita (manusia) keluar dari
kegelapan menuju cahaya. Pengenalan Asmaul Husna akan mendorong setiap
umat muslim memahami tentang arti pentingnya sebuah kehidupan. Salah satu
contoh pendidikan Akhlak. Pendidikan akhlak merupakan suatu proses
4
Saefullah, Ujang.Kapita Selekta Komunikasi: Pendekatan Budaya dan Agama. Simbiosa Rekatama Media.
(2007)hal 113

8
menumbuh kembangkan fitrah manusia dengan dasar-dasar akhlak, keutamaan
perangai dan tabiat yang diharapkan dimiliki dan diterapkan pada diri manusia
serta menjadi adat kebiasaan.

Pendidikan hakikatnya adalah menumbuhkan kearifan hidup melalui


proses pembelajaran tentang kehidupan. Pendidikan dituntut untuk dapat
menumbuhkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif sehingga memungkinkan
peran dalam lingkungan sosial yang selalu berubah.

Asmaul Husna memiliki makna yang luas dan mendalam membahas


tentang pendidikan akhlak terhadap Sang pencipta dan juga terhadap sesama kaum
muslimin. Dalam Asmaul Husna ini terdapat sifat dan perilaku, Allah Swt yang
berhubungan dengan perilaku/akhlak manusia yang dapat dijadikan pedoman agar
tercipta suatu kehidupan harmonis. Sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa
tentu merasa bahwa haknya tidak terganggu.

Oleh sebab itu, di sinilah pentingnya pendidikan akhlak bagi setiap muslim
sehingga terciptalah kehidupan masyarakat yang damai. Asmaul Husna
merupakan rangkaian nama-nama Allah yang baik nan indah, menyimpan rahmat,
dan kenikmatan bagi setiap insan yang mendambakan ridha-Nya. dan dari sekian
banyak nama-nama tersebut telah dijelaskan di dalam Al Qur’an yang mana
didalamnya terkandung nilai pendidikan akhlak. Allah mengenalkan diri-Nya
kepada hamba-Nya dengan nama yang beberapa di antaranya cukup untuk
menunjukkan makna kesempurnaan dalam penghambaan mereka dan
terwujudnya kesempurnaan hikmah dalam perbuatan Dzat yang menciptakan
mereka.

Nama Allah yang paling agung yang sesuai dengan kefakiran hamba- Nya
adalah Al-Muthi (Maha Memberi), Al-Jawwaad (Maha Pemurah), atau Al-Muhsin
(Maha Berbuat), Al-Wasii (Maha Luas), Al-Ghaniyy (Maha Kaya).
Sedangkan nama yang sesuai dengan keadaan mereka yang lemah adalah Al-
Qaadir (Maha Menakdirkan), Al-Qadiir (Maha Kuasa), Al- Muqtadir (Maha
Berkehendak), Al-Muhaimin (Maha Memelihara), Al-Qawiyy (Maha Kuat).
Dalam keadaan terhina dan lemah, nama Allah yang sesuai untuk berdo’a adalah
Al-Aziz (Maha Perkasa), Al-Jabbar (Maha Memaksa), atau Al-Mutakabbir (Maha
Sombong), Al-A’la, Al-Muta’ali, dan Al-A’lii (Maha Tinggi). Dalam keadaan

9
menyesal setelah mengerjakan dosa, nama yang sesuai untuk berdo’a adalah Al-
Lathiif (Maha Lembut), At-Tawwab (Maha Menerima Taubat), atau Al-Ghafuur
(Maha Pengampun), Al-Hayiyy (Maha Pemalu), dan As-Sittiir (Maha Menutupi).
Disaat bekerja dan mencari penghasilan, nama yang sesuai untuk berdo’a adalah
Ar-Raaziq, Ar-Razza (Maha Memberi Rezeki), atau Al-Mannaan (Maha Memberi
Anugerah), As-Samii’ (Maha Mendengar), dan Al-Bashiir (Maha Melihat).
Dalam mencari sarana untuk mendapatkan ilmu dan pemahaman, nama yang
sesuai untuk berdo’a adalah Al-Hasiib (Maha Memerhitungkan dan Mencukupi),
Ar- Raqiib (Maha Mengawasi), atau Al-Aliim (Maha Mengetahui), Al-Hakiim
(Yang Maha Bijaksana), dan Al-Khabiir (Maha Mengetahui/Mengabarkan).

Dari 99Asmaul Husna diatas dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian:

a. Sifat-sifat mana saja yang sudah menjadi sikap kita (manusia)


b. Sifat-sifat yang udah kita (manusia) usahakan untuk dimiliki
c. Sifat yang masih bertolak belakang dengan sifat/perilaku kita (manusia)
3. Ranah Asmaul Husna dalam Pendidikan

Nama Asmaul Husna adalah pengenalan sifat-sifat-Nya dalam bahasa


kemanusiaan. Tuhan memanifestasikan diri melalui asma (nama-nama)-Nya. Dan
nama-nama terindah itu diturunkan agar Dia dijadikan panutan dalam
pengembangan potensi-potensi baik dalam diri manusia. Dengan kata lain, nama-
nama terindah Allah tidak saja menjadi titik masuk untuk mengenal- Nya tapi juga
mendekatkan diri kepada-Nya, bahkan meneladani sifat-sifat- Nya (takhalluqū bi
akhlāq Allāh).

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, Tuhan serasa sangat dekat, kita


menyeru nama-nama terindah-Nya itu sesuai dengan cuaca kehidupan yang
sedang kita hadapi. Kalau kita tersesat, kita memohon kepada al-Hadi, Tuhan
Maha Pembimbing. Saat kita dalam kondisi tidak sabar, kita mohon kepada al-
shabur, Tuhan Maha Sabar, sumber segala kesabaran. Seseorang yang berlumuran
dosa lalu sadar, dapat menghibur diri dan membangun rasa percaya diri dengan
menyapa al-Ghafur (Sang Pengampun) dan al-Thawwab (Sang penerima tobat),
sehingga ia tetap eksis tanpa kehilangan semangat hidup. Begitulah seterusnya.
Dalam pengembangan karakter lebih dari itu, Rasulullah SAW berpesan agar kita
bertakhalluqu bi akhlaqillah. Secara garis besar, tahapan seorang mukmin untuk

10
meningkatkan kualitas jiwanya terdiri atas tiga tingkatan: ta’alluq, takhalluq, dan
tahaqquq.

Pertama, ta‟alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan


meningkatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Di mana pun seorang
mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berpikir dan berdzikir untuk Tuhannya

Kedua, takhalluq. Menurut ulama klasik bukan berarti meniru secara aktif
nama-nama Allah. Sebab, ini di luar kemampuan manusia. Bahkan, upaya meniru
nama-nama Allah sama dengan menyaingi-Nya yang dapat menimbulkan arogansi
luar biasa. Takhalluq berarti menafikan sifat-sifat ego kita sendiri dan menegaskan
sifat-sifat Allah yang secara potensial telah ada pada diri kita. Takhalluq adalah
membuat nama-nama Tuhan yang berbentuk potensial dalam diri kita menjadi
actual.

Dengan kata lain, ada titik temu antara sifat-sifat kita dan sifat-sifat Tuhan.
Sebab, hampir semua kebajikan yang kita kembangkan dalam diri kita, melalui
amal kebaikan kita untuk orang lain, memiliki asal-usul dan kesempurnaannya
pada Tuhan. Misalnya, kita harus lebih bermurah hati, ramah, berbuat baik, suka
memaafkan, menebar kasih-sayang, dermawan, menjaga kehormatan, adil,
berpengetahuan, amanah, dan bijaksana. Akan tetapi, semua ini bersumber dari
Tuhan sebagai sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Jadi, dengan menumbuhkan sifat-
sifat ini dalam diri kita, kita sebenarnya menjadi semakin dekat kepada sumber
sifat-sifat tersebut yang tak terbatas. Takhalluq dicontohkan dengan sempurna
oleh Nabi Saw., sehingga Allah menyapanya,

Kata husna dan hasanah. Artinya, kita semua memiliki “potensi


ketuhanan” dalam diri kita. Kita tidak mungkin diperintahkan untuk melakukan
sesuatu yang kita tidak mampu melaksanakannya. Nabi juga contoh paripurna
dalam mewujudkan ihsan sehingga beliau disebut sebagai uswatun hasanah
(teladan yang indah).

Ketiga, maqam tahaqquq setelah melewati maqam ta‟alluq dan takhalluq


sekarang kita menuju maqam tahaqquq. Maqam ini menuntut kita agar benar-
benar meresapi makna Asmaul Husna serta dituntun bagaimana melahirkan sikap
dan perilaku sehari-hari yang sesuai dengan makna Asmaul Husna tersebut. Dan,
kalau kita cermati, 99 asma ini dapat dirangkai begitu indah ibarat seuntai tasbih.

11
Dimulai lafzh al-jalalah (Allah) dengan angka 0 (nol), yang biasa dianggap angka
kesempurnaan, disusul dengan al-Rahman (Maha Pengasih), al-Rahim (Maha
Penyayang), dan seterusnya sampai ke angka 99, al-Shabur (Maha Sabar) dan
kembali lagi ke angka 0, Allah (lafzh al-jalalah). Simbol angka nol yang berupa
lingkaran atau titik menggambarkan siklus kehidupan. Ia bermula dan berakhir
pada satu titik: innā li Allāh wa innā ilaihi rāji‟ūn (kita berasal dari Allah dan
akan kembali kepada-Nya)

12
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Tuhan sebagai dasar filasafat pendidikan Islam Yang dimaksud dengan dasar
pendidikan adalah pandangan hidup yang mendasari seluruh aktifitas pendidikan,
karena dasar menyangkut masalah ideal dan fundamental, maka dibutuhkan landasan
pandangan hidup yang kokoh dan komprehnsif, serta tidak mudah berubah. Dalam
diri manusia terdapat potensi dasar berketuhanan. Potensi dasar ini tidak bisa dirubah
oleh siapa pun atau lingkungan apapun. Maka yang pertama diwajibkan bagi seorang
muslim adalah mengetahui Tuhannya dengan penuh keyakinan. Oleh karena iru, bagi
Abudin Nata. Dasar pendidikan Islam yang paling pertama adalah Tauhid
(ketuhanan), seluruh kegiatan pendidikan Islam dijiwai oleh norma-norma ilahiyah
dan sekaligus dimotivasi sebagai ibadah. Dengan ibadah pekerjaan pendidikan lebih
bermakna, tidak hanya makna material tetapi juga makna spiritual. Dimensi keimanan
menjadi variabel utama dalam menjalankan pendidikan. keimanan akan selalu
berorientaskan pada ketakwan dan membawa manusia pada kebenaran dalam
penetapan misi pengembangan ilmu pengetahuan. Maka dasar utama manusia dalam
pendidikan adalah ketauhidan.
Asmaul Husna memiliki makna yang luas dan mendalam membahas tentang
pendidikan akhlak terhadap Sang pencipta dan juga terhadap sesama kaum muslimin.
Dalam Asmaul Husna ini terdapat sifat dan perilaku, Allah Swt yang berhubungan
dengan perilaku/akhlak manusia yang dapat dijadikan pedoman agar tercipta suatu
kehidupan harmonis. Sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa tentu merasa
bahwa haknya tidak terganggu.
B. Saran
Demikianlah pokok bahasan contoh makalah ini yang dapat kami paparkan. Besar
harapan kami makalah ini dapat bermanfaat untuk kalangan banyak. Karena
keterbatasan pengetahuan dan referensi. Penulis menyadari makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan
agar makalah ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi dimasa yang akan datang.

13
DAFTAR PUSTAKA
Muhyidin, Muhammad. (2008). Mengajar Anak Berakhlak Al Quran. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Saefullah, Ujang. (2007). Kapita Selekta Komunikasi: Pendekatan Budaya dan
Agama. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Zaenuddin,2003 Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam
Zubaedi,2019, Filsafat Ilmu Perspektif

14

Anda mungkin juga menyukai