Anda di halaman 1dari 19

PENDEKATAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Filsafat Pendidikan
Dosen: M. Yudha Kusumawardana, S.MB., SH., MH.

MAKALAH

OLEH:

KELOMPOK 4
1. Moch Firmal Kusyandi
2. Adistri

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

KATA PENGANTAR
Bismillah Alhamdulillah Wassolatu wassalamu ‘ala Rosulillah amma
ba’dah. Walahaula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim.
Puji syukur saya panjatkan kepada ALLAH SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Pendekatan Filsafat
Dalam Pendidikan dan Pandangan Esensialisme dalam Pendidikan”. Pembuatan
makalah ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Pendidikan tahun ajaran 2018/2019. Oleh karena itu kami mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Awan Setiawan, M.Si. Selaku ketua STAI Muhammadiyah
Tulungagung
2. Bapak Yudha Kusumawardana, SH.,MH. selaku Dosen pengamparanu mata
kuliah Filsafat Pendidikan
3. Rekan-rekan mahasiswa STKIP Bina Mutiara Sukabumi
4. Semua pihak yang telah memberi sumbangsih demi terselesainya makalah ini.
Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini.
Oleh karenanya kritik dan saran yang membantu sangat diharapkan dalam
rangka penyempurnaan isi dari makalah ini. Semoga makalah ini dapat
membawa manfaat dan menambah cakrawala pengetahuan kita semua. Amin.

    Palabuhan Ratu, Februari 2019


Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. i
Kata Pengantar.................................................................................................. ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1
A.    Latar Belakang Masalah...................................................... 1
B.    Rumusan Masalah................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pendekatan Filsafat dalam Pendidikan................................ 3
1. Pendidikan dalam Analisis Filsafat................................. 3
2. Metode Studi dalam Filsafat Pendidikan dan
Pendekatannya................................................................. 5
B.    Pandangan Esensialisme dalam Pendidikan........................ 8
1. Pengertian Esensialisme.................................................. 8
2. Pandangan Esensialisme dalam Pendidikan.................... 11
BAB III PENUTUP................................................................................... 14
Kesimpulan.................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 16
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Filsafat pendidikan bukanlah filsafat umum atau filsafat murni, tetapi
filsafat terapan. Berbeda dengan filsafat umum yang objeknya adalah kenyataan
keseluruhan segala sesuatu, filsafat khusus mempunyai objek kenyataan salah satu
aspek kehidupan manusia yang penting misalnya hokum, sejarah seni, ilmu,
pendidikan dan sebagainya.1
Filsafat, sebagai daya upaya manusia dengan akal budinya untuk
memahami, mendalami, dan menyelami secara radikal dan integral serta
sisitematis mengenal ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat
menghasilkan  pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya yang dapat dicapai
oleh akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai
pengetahuan itu, hakikat filsafat selalu menggunakan ratio (pikiran), dalam
perjalanan hidupnya manusia di hadapkan kepada pengalaman-pengalaman
peristiwa alamiyah yang ada di sekitarnya. Pengalaman-pengalaman lahir ini
merupakan sejarah hidupnya yang mengesankan dan kemudian mendorong untuk
melakukan perubahan-perubahan bagi kepentingan hidup dan hidupnya
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka
dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering
dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran
ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya
isi alam yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati
gunung es, hanya mampu melihat yang di atas permukaan laut saja. Semantara
filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba segala
sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
Sedangkan pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya
dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan
dengan proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-

1
lahan dari dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada bersama dengan
filsafat, sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan
manusia.
Fase awal dimulainya pengetahuan adalah pengenalan indrawi yang mencatat
semua perkara menurut urut-urutannya datang pada indera dengan bentuknya,
warnanya, besarnya, letaknya dan sebagainya. Akan tetapi kita segera kemudian
mengetahui bahwa tiap-tiap perkara mempunyai esensinya (mahiyyah) yang tetap,
meskipun sifat-sifat yang indrawi berubah-ubah dan keadaannya pun berbeda-
beda, sedang fungsi esensi sesuatu ialah memegangi ciri-ciri khasnya yang pokok
ketika terjadi perobahan keadaan.2
Pembentukan dan penyempurnaan kualitas manusia dalam dunia
pendidikan selalu berkenaan dengan persoalan proses kemanusiaan yang
mengarah pada perbaikan dan kemajuan sehingga dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kemajuan peradaban tergantung pada pola dan system yang
ditempuh oleh lembaga pendidikan dalam menggembleng subyek-subyeknya.
Dalam upaya memperbaiki system/pola dalam pendidikan melalui filsafat maka
lahirlah beberapa aliran filsafat pendidikan diantaranya progresivisme,
perenialisme, Esensialisme, Rekronstrusionisme. Dan dalam makalah ini hanya
akan membahas tentang aliran Esensialisme.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pendekatan Filsafat dalam pendidikan?
2. Bagaimana Pandangan esensialisme dalam pendidikan?

2
BABII
PEMBAHASAN

A. Pendekatan Filsafat dalam Pendidikan


1. Pendidikan dalam Analisis Filsafat
   Masalah pendidikan adalah merupakan masalah hidup dan kehidupan
manusia. Pengertian yang luas dari pendidikan sebagaimana dikemukakan
oleh Lodge, yaitu bahwa: “life is education, and education is life”, akan
berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah proses
pendidikan segala pengalaman sepanjang hidupnya merupakan dan
memberikan pengaruh pendidikan baginya. Dalam artinya yang sepit,
pendidikan hanya mempunyai fungsi yang terbatas, yaitu memberikan dasar-
dasar dan pandangan hidup kepada generasi yang sedang tumbuh, yang dalam
prakteknya identik dengan pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan
kondisi serta lingkungan belajar yang serba terkontrol.3
Dengan pengertian pendidikan yang luas, berarti bahwa masalah
kependidikan juga mempunyai ruang lingkup yang luas pula, yang
menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Memang diantara
permasalahan kependidikan tersebut terdapat masalah pendidikan yang
sederhana yang menyangkut praktek dan pelaksanaan sehari-hari, tetapi
banyak pula pula diantaranya yang menyangkut masalah yang bersifat
mendasar dan mendalam, sehingga memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain dalam
memecahkannya. Salah satunya dengan filsafat. Berikut ini akan dikemukakan
beberapa masalah kependidikan yang memerlukan analisa filsafat dalam
memahami dan memecahkannya, antara lain:
1. Masalah kependidikan pertama yang mendasar adalah tentang apakah
hakikat pendidikan itu. Mengapa pendidikan itu harus ada pada manusia
dan merupakan hakikat hidup manusia itu. Dan bagaimana hubungan
antara pendidikan dengan hidup dan kehidupan manusia. Apakah
pendidikan itu berguna untuk membawa kepribadian manusia, apakah

3
potensikereditas yang menentukan kepribadian manusia itu, atau faktor-
faktor yang berasal dari luar/lingkungan dan pendidikan. Mengapa anak
yang mempunyai potensi hereditas yang tidak baik, walaupun
mendapatkan pendidikan dan lingkungan yang baik, tetap tidak
berkembang.
2. Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu. Apakah pendidikan itu untuk
individu, atau untuk kepentingan masayarakat. Apakah pendidikan
dipusatkan untuk membina kepribadian manusia ataukah untuk
pembinaan masyarakat. Apakah pembinaan manusia itu semata-mata
unuk dan demi kehidupan riel dan materil di dunia ini, ataukah untuk
kehidupan kelak di akhirat yang kekal
Masalah-masalah tersebut merupakan sebagian dari contoh-contoh
problematika pendidikan, yang dalam pemecahannya memerlukan usaha-
usaha pemikiran yang mendalam dan sistematis, atau analisa filsafat. Dalam
memecahkan masalah-masalah tersebut,
Analisa filsafat menggunakan berbagai macam pendekatan yang sesuai
dengan permasalahannya. Pendekatan (approach) yang digunakan antara lain:4
1. Pendekatan secara spekulatif, yang disebut juga sebagai cara pendekatan
reflektif, berarti memikirkan, mempertimbangkan, juga membeyangkan
dan menggambarkan.
2. Pendekatan normatif, artinya nilai atau aturan dan ketentuan yang berlaku
dan dijunjung tinggi dalam hidup dan kehidupan manusia.
3. Pendekatan analisa konsep, artinya pengertian atau tangkapan seseorang
terhadap sesuatu objek. Setiap orang mempunyai pengertian atau
tangkapan yang berbeda-beda mengenai yang sama, tergantung pada
perhatian, keahlian dan kecendrungan masing-masing. 
4. Analisa ilmiah terhadap realitas kehidupan sekarang yang actual (scientific
analysis of current life) penedekatan ii sasarannya adalah masalah-masalah
kependidikan yang actual, yang menjadi problem masa kini, dengan
menggunakan metode ilmiah dapat di diskripsikan dan kemudian di pahami

4
permasalan-permasalahan yang hidup dan berkembang dalam masayrakat
dan dalam proses pendidikan serta aktivitas-aktivitas yang berhubungan
dengan pendidikan.

2. Metode Studi dalam Filsafat Pendidikan dan Pendekatannya.


 Manusia dalam mempelajari sesuatu tentulah memerlukan metode
agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Begitu pula Filsafat Pendidikan
dalam studinya menggunakan metode: a) metode rasionalistik, b) metode
empirik, c) metode intuisi, d) metode reflektif, e) metode historis, dan f)
metode analisis sintetis serta hermeneutika.5
 Rasionalistik
Rasionalistik, suatu paham yang mengedepankan rasio.  Sehingga paham
ini dalam menganalisis fenomena (alam) berpegang pada kemampuan akal
pikiran belaka. Adapun langkah-langkah berpikir rasionalitik sbb: 1).
Tidak menerima begitu saja atas sesuatu yang belum diakui kebenarannya;
2). Menganalisis dan mengklasifikasi secara teliti; 3). Diawali sasaran
yang paling sederhana dan mudah menuju yang kompleks; 4). Tiap
masalah dibuat uraian yang sempurna dan dilakukan pengkajian kembali
secara umum. Lankah-langkah tersebut dapat dipahmi bahwa untuk
mengambil suatu kesimpulan memerlukan analisis secara teliti dan
seksama, dan pengkajian ulang sehingga kecil kemungkinan terjadi bias.
 Empirik
Metode ini dalam menganalisis fenomena-fenomena yang ada berdasarkan
pengalaman, observasi dan penelitian/ eksperimen. Pengalaman menjadi
sesuatu yang utama, baik yang dihasilkan melalui observasi, penelitian
atau ekperimen. Rasio menjadi pendukungnya dari pengalaman. Metode
ini dikedepankan dalam dunia ilmu pengetahuan yang dapat diuji kembali
kebenerannya di lain waktu
 Intuisi

5
Intuisi memiliki kadar lebih tinggi dibanding intelek. Namun intuisi ini
sulit untuk dibuktikann secara empirik, sulit pula diukur. Sehingga sering
disingkirkan sebagai metode berpikir khususnya di dunia ilmu
pengetahuan.
 Reflektif
Reflektif: suatu cara berfikir yang dimulai dari adanya problem-problem
yang dihadapkan kepadanya untuk dipecahkan. Problem-problem yang ada
menjadi titik berangkat pemikirannya, tanpa adanya problem-problem
aktifitas refleksi pun sulit dilakukan. Berdasar problem-problem yang
dihadapi akan melahirkan hasil pemecahannya. Perjalanan roda
pendidikan selalu dihadapkan problem-problem yang terus meneruak
muncul karena pendidikan suatu yang terus berkembang. Dan problem
yang besar tidak lain adalah kenyataan.
 Historis
Metode ini pada problem-problem tertentu dapat digunakan utuk
mengatasi problem yang dihadapi secara wajar. Biasanya metode ini
diawali dari suatu tesis kemudian anti tesis, selanjutnya melahirkan
sintesis.
 Analitik-Sintetik
Suatu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap
sasaran, dan pemikirannya secara induktif dan deduktif serta analisa
ilmiah.
Pemikiran induktif: cara berpikir yang berdasar fakta-fakta yang bersifat
khusus terlebih dahulu dipakai untuk penarikan yang bersifat umum.
Sedang deduktif: cara berpikir dengan menggunakan premise-premis dari
fakta yang bersifat umum menuju ke arah yang bersifat khusus sebagai
kesimpulannya. Pemikiran induktif dan deduktif dapat digunakan dengan
silih berganti, tergantung pada kesukaan dan kecenderungan pola pikir
penggunanya.
Contoh pemikiran Induktif,
Buku 1 besar dan tebal adalah mahal
Buku 2 besar dan tebal adalah mahal
Konklusi : semua buku besar dan tebal adalah mahal
Contoh pemikiran Deduktif,
Premis mayor: Semua buku besar dan tebal adalah mahal
Premis minor : Buku 3 adalah besar dan tebal
Konklusi : buku 3 adalah mahal
Sementara Analitik-sintetik: Mengurai sasaran-sasaran pemikiran filosofis
sampai unsur sekecil-kecilnya, kemudian memadukan kembali unsur-
unsur sebagai kesimpulan hasil studi. Pemikiran analitik sintetik ini
merupakan hasil paduan unsur-unsur baik yang dilakukan secara analitik
maupun sintetik.
 Analisis Bahasa dan Analisis Konsep
Analisis bahasa, usaha untuk mengetahui arti sesungguhnya dari sesuatu
atau usaha untuk mengadakan interpretasi pendapat atau pendapat
mengenai makna yang dimiliknya. Analisis konsep, Analisis kata-kata atau
istilah-istilah yang menjadi kunci pokok yang mewakili suatu gagasan atau
konsep. Analisis bahasa itu memberi interpretasi dari sesuatu pendapat,
sedang analisis konsep mengurai kata kunci yang menjadi sample konsep.
 Hermeneutika
Selain metode tersebut di atas, hermeneutika (takwil) dapat menjadi
metode pemikiran dalam studi filsafat pendidikan karena melalui
hermeneutika ini memungkinkan pengetahuan yang mendasar dapat
diperoleh. Pengikut hermeneutika dalam mempelajari perilaku manusia
mecari perspektif yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang
paling mendasar. Takwil bukan sekedar teknik penelitian atau alat
pengetahuan atau jalan menuju kebenaran, melainkan takwil adalah bidang
pemahaman yang memungkinkan untuk mengkaji wujud secara baru dan
memungkinkan untuk mendefinisikan kembali tentang sesuatu (Alwasilah,
2008:125,127). Hermeneutik suatu alat atau metode pengkajian untuk
mendapatkan pemahaman pengetahuan atau kebenaran.
Metode-metode tersebut tidak selalu pas/relevan dan dapat digunakan
disetiap obyek kajian. Untuk itu penggunaan metode harus
mempertimbangkan relevansi bahan yang menjadi obyek pengkajian,
penemuan atau pengembangan pendidikan, sehingga akan menghasilkan
kesimpulan yang benar dan tidak bias.

B. Pandangan Esensialisme dalam Pendidikan


1. Pengertian Esensialisme
Esensialisme merupakan aliran filsafat yang lebih merupakan
perpaduan ide filsafat idealism-objektif disatu sisi dan realism objektif disisi
lainnya. Oleh karean itu wajar jika ada yang mengatakan Plato sebagai peletak
asas-asas filosof aliran ini, sedangkan Aristoteles dan Democritos sebagai
peletak dasar-dasarnya. Namun demikian kemunculan aliran ini di dasari oleh
filsafat idealism Plato dan realisme Aristoteles, bukan berarti aliran ini lebur
kedalam paham esensialisme. Sebagai aliran filsafat, Esensialisme telah lahir
sejak zaman Renaissance, bahkan sejak zaman Plato dan Aristoteles.
Esensialisme secara formal memang tidak dapat dihubungkan dengan
berbagai tradisi filsafat, tetapicompetible dengan berbagai pemikiran filsafat.
Tahap-tahap pertama dari perkembangan esensialisme dapat dilihat dari zaman
renaissance. Hal ini mengingat aliran ini menempatkan cirinya pada alam
pemikiran manusia. Pada zaman ini telah muncul upaya-upaya untuk
menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan seni serta kebudayaan
purbakala, terutama zaman Yunani dan Romawi.
Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran ini memiliki ciri utamanya
yang menekankan bahwa pendidikan mesti dibangun diatas nilai-nilai yang
kokoh, tetap dan stabil. Kemunculannya adalah reaksi atas kecenderungan
kehidupan manusia pada yang serba duniawi, ilmiah, pluralistic dan
materialistic akibat dari prinsip pendidikan yang fleksibel, terbuka untuk segala
bentuk perubahan, toleran serta tidak mempunyai pengangan yang kokoh
dengandoktrin tertentu. Kondisi dunia yang telah merusak tatanan humanitas
telah menjadi perhatian kelompok ini.
Aliran esensialisme, dengan bercokol dari filsafat-filsafat sebelumnya,
dapat memenuhi nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan dan falsafat yang
korelatif sejak empat abad ke belakang, sejak zaman Renaisance sebagai
pangkal timbulnya pandangan esensialisme awal. Sedangkan puncak dari
gagasan ini adalah pada pertengahan abad ke-19, dengan munculnya tokoh-
tokoh utama yang berperan menyebarkan aliran esensialisme.6
Tokoh utama esensialisme pada permulaan awal munculnya adalah
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831). Georg Wilhelm Friedrich Hegel
mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi
suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan
yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah.
Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-
hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah
manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi
mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam
arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi
berpikir juga merupakan gerak.
Pada perkembangan selanjutnya, banyak tokoh-tokoh yang muncul dan
menyebarluaskan esensialisme, diantaranya adalah:7
a.       Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan
permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak
pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha agar
kurikulum sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga
bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.
b.   Johan Amos Comenius (1592-1670), adalah seorang yang memiliki
pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan
mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan,
karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.

6 Ibid.
7 Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, PT. Refika Aditama, Bandung, cetakan kesatu, hlm.
167-168
c.  John Locke (1632-1704), sebagai pemikir dunia berpendapat bahwa
pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi. Locke
mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
d.    Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), sebagai seorang tokoh yang
berpandangan naturalis Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-
sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat
kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia mempunyai keyakinan
bahwa manusia juga mempunyai transendental langsung dengan Tuhan.
e.    Johann Friederich Frobel (1782-1852), sebagai tokoh yang berpandangan
kosmis-sintesis dengan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk dan
mengikuti ketentuan-ketentuan hukum alam. Terhadap pendidikan, Frobel
memandang anak sebagai makhluk yang berprestasi kreatif, yang dalam
tingkah lakunya akan nampak adanya kualitas metafisis. Karenanya tugas
pendidikan adalah memimpin anak didik ke arah kesadaran diri sendiri
yang murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
f.     Johann Friederich Herbert (1776-1841), sebagai salah seorang murid
Immanuel Kant yang berpandangan kritis, Herbert berpendapat bahwa
tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan
dari yang mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan
dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert
sebagai pengajaran yang mendidik.
g.    William T. Harris (1835-1909), tokoh dari Amerika yang pandangannya
dipengaruhi oleh Hegel dengan berusaha menerapkan idealisme obyektif
pada pendidikan umum. Tugas pendidikan baginya adalah mengizinkan
terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan
yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi
penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.8

8 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982,
hlm. 38-40. Lihat dalam Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009,
Cet. V, hlm. 25-26.
2. Pandangan Esensialisme dalam Bidang Pendidikan
Kelompok esensialis memandang bahwa pendidikan yang didasari pada
nilai-nilai yang fleksibel dapat menjadikan pendidikan menjadi ambivalen dan
tidak memiliki arah dan orienttasi yang jelas. Oleh karena itu agar pendidikan
mempunyai arah yang jelas dan kokoh diperlukan nilai-nilai yang kokoh yang
akan mendatangkan kestabilan. Untuk itu perlu dipilih nilai-nilai yang
mempunyai tata yang jelas dan telah teruji oleh waktu.9
Pandangan esensialisme dan penerapannya di bidang pendidikan antara
lain:
a. Mengenai Belajar
Belajar adalah proses penyesuaian diri indivividu dengan
lingkungan dalam pola stimulus dan respon. Dalam hal ini tugas guru
adalah sebagai agen untuk memperkuat pembentukan kebiasaan dalam
rangka penyesuaian dengan lingkungan tersebut. Berdasarkan konsep ini
para esensialis sangat yakin bahwa belajar mesti didasarkan pada disiplin
dan kerja keras yang ketat. Hal disebabkan proses belajar akan berlangsung
baik dengan adanya dedikasi yang tinggi untuk meraih tujuan yang lebih
jauh.10
b. Mengenai Kurikulum
Kurikulum dalam pandangan esensialisme adalah kurikulum yang
kaya, bertingkat, sistematis yang didasarkan pada satu kesatuan
pengetahuan yang tidak terjabarkan lagi, pada sikap yang berlaku pada
suatu kebudayaan demokratis.
Kurikulum pada dasarnya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan anak, yang utama adalah kajian-kajian tentang segala hal yang
esensial yang meliputi metode ilmiah dunia, lingkungan manusia, budaya
dan alamiah serta apresiasi terhadap seni.

9 Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, PT. Refika Aditama, Bandung, cetakan kesatu, hlm.
169
10 ibid, hlm. 170
Menurut Brakley yang dikutip oleh Muhmidayeli, kurikulum terdiri
dari serangkaian bahan yang dimulai dari yang sederhana seperti berhitung
dan bahasa, sampai kepada yang lebih komplit.
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu
hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat.
Herman Harrel Horne dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya
kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia
yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan
perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini
kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan
fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya
kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi
anak, fleksibilitas tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama
dan alam semesta. Untuk ini perlu diadakan perencanaan dengan
keseksamaan dan kepastian. Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak
untuk tiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui dan
mengagumi Kitab Suci. Sedangkan Demihkevich menghendaki agar
kurikulum berisikan moralitas yang tinggi.
Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang
disusun dengan teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana
sampai kepada yang paling kompleks. Susunan ini dapat diutarakan ibarat
sebagai susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundamen atau dasar
dari susunannya yang paling kompleks. Jadi bila kurikulum disusun atas
dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis.11
c. Mengenai Peserta didik
Peserta didik adalah mahluk rasional dalam penguasaan fakta dan
keterampilan-keterampilan pokok yang siap siaga melakukan latihan-
latihan intelektif.12 Peserta didik disini merupakan objek dari pendidikan

11 Ibid., hlm. 109-110.


12 Redja Mudyaharjo,  Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
sifatnya menerima apa yang diajar oleh pendidik, sebab peserta didik
dianggap belum mampu mengidentifikasikan dirinya.
d. Mengenai Pendidik
Peranan Pendidik kuat dalam mempengaruhi dan mengewasi
kegiatan-kegiatan peserta didik dalam proses belajar . Pendidik berperan
sebagai mediator antara dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia
anak. Maka pendidik harus disiapkan agar  mampu melaksanakan
perannya sebagai pengarah proses belajar. Adapun secara moral guru
haruslah orang berakhlak baik yang dapat dipercaya, sebab pendidik
merupakan contoh dalam pengawalan nilai-nilai. Dengan demikian inisiatif
dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik.

2010, hlm. 164


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Filsafat dan pendidikan itu saling berhubungan karena filsafat merupakan
ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang pemikiran yang
menggunakan akal sehat dengan adanya kebenaran dalam memecahkan
permasalahan/kesulitan. Sedangkan pendidikan adalah salah satu dari suatu proses
yang diharapkan untuk mencapai tujuan, seperti kematangan, integritas atau
kesempurnaan pribadi dan terbentuknya kepribadian muslim. Jadi filsafat dan
pendidikan ini saling berhubungan. Keduanya menjadi arah, dasar, dan pedomam
suatu kehidupan.
Masalah pendidikan adalah merupakan masalah hidup dan kehidupan
manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses
perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan keduanya pada hakikatnya
adalah proses yang satu. Pendekatan filosofis adalah cara pandang atau paradigma
yang bertujuan untuk menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu
yang berada di balik objek formanya Hubungan antara filsafat dan teori
pendidikan sangatlah penting sebab ia menjadi dasar, arah dan pedoman suatu
sistem pendidikan
Esensialisme merupakan aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan
ide filsafat idealism-objektif disatu sisi dan realism objektif disisi lainnya. Oleh
karean itu wajar jika ada yang mengatakan Plato sebagai peletak asas-asas filosof
aliran ini, sedangkan Aristoteles dan Democritos sebagai peletak dasar-dasarnya.
Namun demikian kemunculan aliran ini di dasari oleh filsafat idealism Plato dan
realisme Aristoteles, bukan berarti aliran ini lebur kedalam paham esensialisme.
Sebagai aliran filsafat, Esensialisme telah lahir sejak zaman Renaissance, bahkan
sejak zaman Plato dan Aristoteles.
Pandangan esensialisme dan penerapannya di bidang pendidikan antara
lain:
a. Mengenai Belajar
Belajar adalah proses penyesuaian diri indivividu dengan
lingkungan dalam pola stimulus dan respon.
b. Mengenai Kurikulum
Kurikulum dalam pandangan esensialisme adalah kurikulum yang
kaya, bertingkat, sistematis yang didasarkan pada satu kesatuan
pengetahuan yang tidak terjabarkan lagi, pada sikap yang berlaku pada
suatu kebudayaan demokratis.
c. Mengenai Peserta didik
Peserta didik adalah mahluk rasional dalam penguasaan fakta dan
keterampilan-keterampilan pokok yang siap siaga melakukan latihan-
latihan intelektif. Peserta didik disini merupakan objek dari pendidikan
sifatnya menerima apa yang diajar oleh pendidik, sebab peserta didik
dianggap belum mampu mengidentifikasikan dirinya.
d. Mengenai Pendidik
Peranan Pendidik kuat dalam mempengaruhi dan mengewasi
kegiatan-kegiatan peserta didik dalam proses belajar . Pendidik berperan
sebagai mediator antara dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia
anak. Maka pendidik harus disiapkan agar  mampu melaksanakan
perannya sebagai pengarah proses belajar. Adapun secara moral guru
haruslah orang berakhlak baik yang dapat dipercaya, sebab pendidik
merupakan contoh dalam pengawalan nilai-nilai. Dengan demikian inisiatif
dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA

Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan, PT Refika Aditama, Bandung 2011


http://www.academia.edu/7724011/
Konsep_Pendidikan_Esensialisme_dalam_Pandangan_Filsafat_Pendidikan
_Islaml , diakses 2 April 2015
http://doeldhez.blogspot.com/2013/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html, diakses 2 April 2015
Jalaludin, dan Abdullah Idi. 2011. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan
Pendidikan.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mudyaharjo, Redja. 2010. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang
Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Arifin, H.M. 2000. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Ankara
Barnadib, Imam. 1986. Filsafat Pendidikan, Sutu Tinjauan. Yogyakarta: FIP IKIP
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai