Anda di halaman 1dari 15

PENDIDIKAN TRANSFORMATIF

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam
Dosen pengampu : Mualimin, M.Pd

Disusun oleh :

Faiqoh Izzatun Nafsi ( 200113 )

Nadya Arifa ( 200123 )

Nisrina Isma Lailatul H ( 200125 )

Nailus Salma Alfaina ( 200214 )

Siti Nurlia Lestari ( 200129 )

Yuliani Prahesti ( 200229 )

YAYASAN TARBIYATUL MUKMIN PABELAN


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH IHSANUL FIKRI
Jl.Pabelan1,Pabelan,Mungkid,Magelang,JawaTengah. KodePos(56512)
Telp (0293)3301278 Website:stit-ihsanulfikri.ac.id Email: info@stit-ihsanulfikri.ac.id
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Assalamualaikum warohmatullahi Wabarokatuh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat, taufik
serta hidayahnya kepada kita semua, sehingga penulis dapat meyelesaikan makalah ini tanda
ada suatu halangan apapun. Sholawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW,
yang kita nantikan Syafaatnya di hari akhir kelak.

Penulis makalah berjudul “ Pendidikan Transformatif “ bertujuan untuk memenuhi tugas


mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam. Makalah menguraikan tentang bagaimana Pendidikan
Transformasi pada pendidikan islam.

Selama proses penyusunan makalah ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak dan penulispun mengambil dari beberapa sumber media sehingga
melancarkan dalam penulisan makalah ini. Dan tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
kepada Ustadz Mualimin, M.Pd selaku dosen mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam

Penulis menyadari, makalah yang penulis tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan
makalah ini

Semoga penulisan makalah ini bisa menambah wawasan bagi para pembaca dan bisa
bermanfaat untuk perkembangan dan ilmu pengetahuan.

Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................................ i

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................ iii

BAB I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang........................................................................................................ 1
2. Rumusan Masalah................................................................................................... 3
3. Tujuan Penulisan..................................................................................................... 3

BAB II. PEMBAHASAN

1. Pengertian Pendidikan Transformatif...................................................................... 4


2. Dasar Pendidikan Islam Transformatif.................................................................... 5
3. Unsur-Unsur Dasar Pendidikan Kritis Transformatif.............................................. 6
4. Upaya Menerapkan Pendidikan Transformatif dalam Lembaga Pendidikan........... 8

BAB III. PENUTUP

1. Kesimpulan............................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan transformatif lahir dari suatu kondisi pendidikan yang ada. Artinya
lahirnya paradigma pendidikan transformatif tidak terlepas dari respon kritis terhadap
pendidikan yang ada pada masa itu. Lahirnya pendidikan transformatif tidak dapat
dipisahkan dari Paradigma yang dibangun atas dasar kerangka pemikiran-pemikiran
modernisme. Dalam dunia keilmu pengetahuan modernisme menekankan pada apa yang
disebut dengan logosentrisme. Apabila kita mendengarkan kata modern maka kita
mengenal salah satu ciri dari modern yaitu rasional. Pemikiran modernisme menekankan
pada logos. Jadi modernisme yang menekankan pada logos ini, menjebak manusia hanya
kepada upaya mencari dan mengembangkan teori saja. Hal ini tidak dibenarkan oleh
filsafat pendidikan eksensialisme.

Pada praktik pembelajaran di sekolah banyak kita jumpai adanya wujud dari
pemikiran-pemikiran modernisme yang menekankan pada logos tersebut. Dari SD sampai
pergurruan tinggi, semua pserta didik hanya terjebak dalam konsep-konsep yang ada.
Sehingga mereka hanya bisa berkata “adalah, ialah, yakni, yaitu”. Filsafat empirisme
memang berangkat dari kenyataan, akan tetapi kenyataan hanya sebatas menguji teori tapi
tidak bisa menyelesaikan masalah. Kondisi pendidikan seperti inilah yang tidak memberi
dan membatasi peserta didik untuk lebih berkembang.

Pada pemikiran empirisme terjadi pemberlakuan kebenaran secara umum. Hal ini
tentunya empirisme tidak mengenal adanya perbedaan antar ruang dan waktu. Artinya
teori empirisme yang mengenal kebenaran mutlak yang berasal dari realita ini, nantinya
akan dijadikan patokan kebenaran diwaktu dan tempat yang berbeda. Pada kenyataannya,
benar di masa lalu belum tentu benar dimasa sekarang, dan begitu juga kebenaran disini
belum tentu benar di tempat yang lain. Empirisme tidak mengenal perubahan. Akhibatnya
empirisme membelenggu peserta didik untuk berpedoman pada konsep atau kebenaran
teori. Siswa hanya terjebak pada teori-teori yang ada tanpa bisa menyelesaikan suatu
permasalahan yang ada di masyarakat sekitar.

Contoh kasus dalam kegiatan pembelajaran ialah ketika materi kegiatan ekonomi
(produksi, distribusi dan konsumsi). Pada materi itu siswa hanya bisa menghafal konsep-
konsepnya saja. “Apa itu yang dimaksud dengan produksi? Produksi adalah”. Menghafal
dan sebatas mengetahui konsep saja tidak cukup untuk bisa menyelesaikan masalah yang
ada pada kehidupan nyata atau masalah yang ada di lingkungan masyarakat tempat
peserta didik tumbuh dan berkembang. Seharusnya pada materi tersebut siswa
dihadapkan pada kondisi real di lapangan. Bagaimana kegiatan produksi yang ada di
masyarakat sekitar? Bagaimana kegiatan distribusi yang dilakukan oleh masyarakat?
Danseterusnya. Sehingga nantinya siswa dapat memahami dan menyusun konsep

1
berdasarkan pengalamannya sendiri dan siswa dapat membangun pemahaman dalam
pikiran jangka panjangnya. Pendidikan transformatif merupakan salah satu entitas sosial
yang terelasi dengan teks sosial yang melingkupinya.

2
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa Pengertian Pendidikan Transformatif


2. Dasar Pendidikan Islam Transformatif
3. Unsur-Unsur Dasar Pendidikan Kritis Transformatif
4. Upaya Menerapkan Pendidikan Transformatif dalam Lembaga Pendidikan

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1. Untuk Mengetahui Arti dari Pendidikan Transformatif
2. Mengetahui Dasar Pendidikan Islam Transformatif
3. Mengetahui Unsur-Unsur Dasar Pendidikan Kritis Transformatif
4. Memgetahui Mengetahui Upaya Menerapkan Pendidikan Transformatif dalam
Lembaga Pendidikan

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Transformatif

Proses Pendidikan adalah proses pembebasan dan sekaligus proses untuk mengakui
akan keterbatasan manusia. Dengan demikian manusia diarahkan pada norma-norma
untuk menghayati eksistensinya yang serba terbatas. Pendidikan transformatif
menekankan kepada pentingnya partisipasi dengan sesama manusia. Partisipasi dengan
sesama manusia menuntut tindakan-tindakan atau kelakuan yang mau menerima sesama
manusia sebagai mana adanya. Tanggung jawab, toleransi, kerjasama, saling membantu,
saling menghormati sesama orang lain, dan berbagi sikap dan kelakuan manusia yang
membuat kerja sama manusia, merupakan nilai-nilai yang mendapatkan prioriotas
didalam proses pendidikan transformatif. Dengan demikian pendidikan transformatif
adalah pendidikan yang menempatkan penghormatan kepada hak asasi manusia, yang
berarti pula pengakuan terhadap kewajiban asasi manusia untuk saling menghormati
manusia dan masyarakat yang berbeda dengan kita. Pendidikan transformatif merupakan
pendidikan humanistis dan sekaligus pendidikan anti kekerasan.

Pendidikan transformatif merupakan salah satu entitas sosial yang terelasi dengan teks
sosial yang melingkupinya. Artinya, konstruksi pendidikan suatu bangsa merupakan salah
satu metafor kebudayaannya, yang merefleksikan ideologi dan filsafat pendidikannya.
Karena itu, persoalan sosial suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari konstruksi
pendidikannya yang menjadi kerangka kerja proses sosial.

Banyak orang menyebut bahwa antara pendidikan dan perubahan sosial adalah dua
hal yang saling terkait dan mempengaruhi. Suatu perubahan kiranya sulit akan terjadi
tanpa diawali pendidikan, begitu pula pendidikan yang transformatif tak akan pula
terwujud bila tidak didahului dengan perubahan, utamanya, paradigma yang
mendasarinya. Bahkan, ada pula yang berpendapat bahwa menyebut perubahan sosial dan
pendidikan yang transformatif ibarat menyebut sesuatu dalam satu tarikan nafas. Maka
dikatakan bahwa pendidikan transformatif adalah perubahan sosial, dan perubahan sosial
adalah pendidikan transformatif. Perubahan sosial tentu membutuhkan faktor-faktor yang
mempunyai pengetahuan, kemampuan, komitmen, serta kesadaran akan diri dan posisi
strukturalnya. Untuk itu perlu tersedianya suatu media dimana ide-ide, nilai-nilai maupun
ideologi, yang tentunya kontra ideologi hegemonik, ditransmisikan kepada para pelaku
perubahan sosial.

Pendidikan dan aksi-aksi budaya yang membebaskan bukanlah proses transformasi


yang mengasingkan ilmu pengetahuan, namun merupakan proses yang otentik untuk
mencari ilmu pengetahuan guna memenuhi hasrat keinginan peserta didik dan guru
dengan kesadaran untuk menciptakan ilmu pengetahuan baru. Konsepsi pendidikan
semacam itu, dapat dikategorikan sebagai pendidikan transformatif, yaitu model

4
pendidikan yang bersifat kooperatif terhadap segenap kemampuan anak untuk menuju
proses berpikir yang lebih bebas dan kreatif, “model pendidikan ini menghargai potensi
yang ada pada setiap individu, artinya potensi-potensi individual itu tidak diartikan
dengan berbagai bentuk penyeragaman dan sanksi-sanksi, tapi dibiarkan tumbuh dan
berkembang secara wajar dan manusiawi”. Pendidikan seperti ini, tidak mengenal kata
penindasan, ketimpangan, dominasi, atau eksplorasi. Yang ada adalah kesetaraan, saling
memahami, memiliki kepekaan dan pembebasan. Pendidikan transformatif yaitu
pendidikan yang mengakses perubahan dengan tetap berpijak pada nilai-nilai dasar yang
terkandung dalam pandangan hidup tersebut. Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan awal bahwa pendidikan transformatif adalah pendidikan yang berorientasi
pada kemandirian siswa dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya baik
di dalam kelas maupun dalam lingkungannya, adanya kebiasaan siswa untuk belajar
kelompok, kebiasaan mandiri, berinisiatif, kreatif produktif, mempunya planning kedepan
dalam kehidupannya.

B. Dasar Pendidikan Islam Transformatif

Pendidikan islam transformatif secara umum banyak dikaji oleh beberapa pihak dan
para peneliti pendidikan islam. Namun masih jarang ditemukan penelitian yang
memfokuskan kajiannya pada pendidikan Islam Transformatif menurut pemikiran
para ulama dan tokoh pendidikan Islam. Oleh karena itu, dalam hal ini perlu disebutkan
dan dipaparkan beberapa literature yang relevan dengan tema kajian pada tulisan ini,
diantaranya yaitu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arbain Nurdin dengan judul
“Paradigma Islam Transformatif dan Implikasinya Terhadap Pengembangan
Pendidikan Islam: Studi Komparasi Pemikiran Kuntowijoyo dan Moeslim
Abdurrahman” menunjukkan bahwa hakikat Islam transformatif menurut
Kuntowijoyo merupakan adanya objektivitas sehingga antara normativitas berkaitan
dengan realitas, sedangkan pandangan Moeslim Abdurrahman hakikat Islam
Transformatif adalah adanya dialog antara kebutuhan konteks dengan teks suci agama.

Epistemologi Islam transformatif Kuntowijoyo ada dua: pertama aktualiasai nilai-nilai


normatif menjadi sikap, kedua adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif itu
menjadi teori ilmu. Untuk memperkuat metode kedua Kuntowijoyo menawarkan
metode strukturalisme transendental yaitu metode yang memperluas enam kesadaran
umat Islam kesadaran adanya perubahan; kesadaran kolektif, kesadaran sejarah;
kesadaran adanya fakta sosial; kesadaran adanya masyarakat abstrak, dan kesadaran
perlunya objektifikasi. Metode kedua yaitu metode sintetik-analitik yaitu metode
yang menganalisa teks, menterjemahkan teks secara objektif untuk menghasilkan
teori ilmu Islam. Sedangkan menurut Moeslim Abdurrahman epistemologi Islam
transformatif ada dua, pertama membangun komunitas masyarakat bawah yang
berorientasi pada ekonomi serta kekuatan kekuasaan yang terorganisir dari
masyarakat sendiri. Metode kedua yaitu melakukan reinterpertasi nilai -nilai normatif
dalam memahami gagasan Tuhan, metode ini meliputi tiga tahapan: melihat dan

5
memahami konstruk sosial; lalu realitas sosial ditemukan dengan tafsiran ayat-ayat al-
Qur’an; selanjutnya hasil pertemuan realitas sosial dengan model ideal teks akan
melahirkan aksi sejarah yang baru, yaitu transformasi sosial.

Tujuan Islam transformatif Kuntowijoyo adalah merumuskan ilmu Islam transformatif


atau ilmu sosial profetik berlandaskan cita-cita etik dan profetik yaitu humanisasi, liberasi
dan transendensi, sedangkan tujuan Islam transformative Moeslim Abdurrahman
adalah membentuk gerakan kultural atau gerakan kemanusiaan yang didasarkan pada
nilai-nilai profetik yaitu humanisasi, liberalisasi dan transendensi. Persamaan antara
pemikiran Kuntowijoyo dengan Moeslim Abdurrahman yaitu pertama, latar belakang
pemikiran kedua tokoh ini merupakan tokoh transformatif teoritis; kedua, aspek
hakikat pemikiran Islam transformatif samasama mengarah kepada keseimbangan
dalam pelaksanaan ibadah dan muamalah; ketiga adalah visi yang diusung selalu
bersandarkan pada aspek humanisasi,liberasi dan transendensi. Sedangkan perbedaan
pemikiran kedua tokoh tersebut pertama, perspektif yang digunakan Kuntowijoyo yang
lebih kepada ilmu sosial dan Abdurrahman ke arah teologi; kedua, epistemologi yang
digunakan dalam Islam transformatif Kuntowijoyo ada dua metode aktualisasi yang
satu kepada sikap, yang kedua teori ilmu, sedangkan Abdurrahman ada dua metode
yaitu eksternal (gerakan kemanusiaan), internal (metode tafsir transformatif); ketiga,
tujuan Islam tranformatif Kuntowijoyo lebih mengarah kepada perumusan teori ilmu
Islam transformatif sedangkan Abdurrahman kepada pembentukan gerakan kultural.

Implikasi pemikiran Kuntowijoyo terhadap pengembangan pendidikan Islam meliputi


(1) hakikat pendidikan Islam ialah pendidikan yang seimbang antara teks dan
konteks; (2) materi pendidikan Islam meliputi materi berasal dari realitas sosial, memuat
materi kesadaran diri, memuat nilai-nilai humanisasi, liberalisasi dan transendensi;
(3) metode pendidikan Islam meliputi metode aktualisasi, metode transformasi, metode
kesadaran diri serta metode tafsir objektif; (4) tujuan pendidikan Islam ialah
merumuskan teori ilmu Islam. Sedangkan implikasi pemikiran Moeslim
Abdurrahman terhadap pengembangan pendidikan Islam terlihat pada empat aspek
yaitu (1) hakikat pendidikan Islam ialah pendidikan yang mengarahkan kepada dialog
antara tuntutan konteks terhadap teks suci; (2) metode pendidikan Islam meliputi metode
dialog dan metode aksi; (3) tujuan pendidikan Islam meliputi tujuan humanisasi,
liberalisasi dan transendensi; (4) lembaga pendidikan Islam adalah lembaga semua
lapisan serta memiliki visi profetik.

C. Unsur-Unsur Dasar Pendidikan Kritis Transformatif

Dalam membicarakan konsep dasar dan unsur-unsur yang berparadigma kitis


transformatif, secara garis besar dapat dipolakan menjadi 2 bagian, yaitu dimensi
semangat pengetahuan dan dimensi praktis pengetahuan. Dimensi semangat pengetahuan
terdari dari Semangat Nalar Transvaluasi, Semangat Nalar The Will To Power, Semangat
Nalar The Eternal Recurrence, Semangat Nalar Ubermensch, Semangat Nalar Arkeologis,

6
dan Semangat Nalar Dekontruksi. Adapun dimensi praktis pengetahuan, yaitu nalar kritis.
Sebagai semangat pengetahuan:
1. Nalar Transvaluasi
Merupkan nalar yang membaca kebalikan dari seluruh pengetahuan dan sistem
nilai yang kita ketahui. Bayangkan, jika pada saat kita memulai untuk belajar atau
mempelajari sesuatu, kita memulainya dari menjungkirbalikan dari kebalikan seluruh
pengetahuan yang kita ketahui, yang pada akhirnya berujung memosisikan sama
seluruh nilai pengetahuan yang kita ketahui tersebut. Diharapkan, kita akan
memperoleh kenetralan dari proses belajar. Artinya, tidak ada satupun pengetahuan
sebelumnya yang menjadi hakim yang menjadikan salah benar terhadap pengetahuan
yang akan kita pelajari. Semangat pengetahuan ini kemudia akan diteruskan dengan
nalar “The Will To tehe Power”.
2. Nalar The Will To Power
Sebuah nalar yang mengiyakan kepada pilihan pengetahuan lainnya karena
dipandang pengetahuan senantiasa lahir proses pertarungan dengan pengetahuan
lainnya. Setelah memosisikan sama (misalnya sudah tidak ada lagi strukturifikasi nilai
“benar-salah”) kemudian, di lanjutkan dengan pencarian segala sesuatu yang sama-
sama benar dengan nilai kebenaran sebelumnya karena hal yang diangap “salah” tadi
dipandang sebagai kebenaran yang tertunda dan terkubur karena dipandang
pengetahuan senantiasa lahir dari proses pertarungan dengan pengetahuan lainnyas.
Selan jutnya, nalar ini membutuhkan Nalar The Eternal Recurence.
3. Nalar The Eternal Recurence
Semangat transvaluasi dan The Will To Power di atas, harus dilakukan terus
menerus tanpa henti pada satu titik dan sejenisnya. Tidak boleh menambatkan diri
pada satu titik “salah-benar” yang lain, apalagi mempercayainya. Artinya, tidak ada
cara pandang pengetahuan yang menjamin suatu itu benar atau salah sekalipun.
4. Nalar Ubermensch
Merupkan katalis yang mampu menjalankan semangat pengetahuan diatas. Tetapi
orang itu bukan “saya”, “kamu”, atau yang lainnya karena dalam pandanagan
Nietzsche Ubermensch “hanyalah proyeksi, yang tidak bisa dicapai dan diwujudkan
dalam bentuk apapun karena proses pencarian pengetahuan tanpa henti diatas tidak
pernah berhenti dititik tertentu atau berwujud pada makhluk tertentu, institusi tertentu,
dan sebagainya. Sekali lagi, kita akan memosisikan hal tersebut diatas sebagai
semangat pengetahuan kritis transformatif, namun tidak menutup kemungkinan kita
akan mempergunaknnya sebagai praksis pengetahuan dalam sebuah metode dalam
mempelajari sesuatu.
5. Nalar Arkeologis
Arkeologi di anggap sebagai bahan inti dari pelajaran sebab dengan arkeologi anak
didik dituntut untuk lebih mempunyai perspektif yang membumi. Mereka diberi
pengetahuan tentang sejarah masa lalu, yaitu sejara nenek moyang mereka.
Nalar ini berfungsi untuk mengobrak-abrik kategori-kategori yang oleh masyarakat
dimutlakkan, yaitu prinsip yang menekankan bahwa bentuk kebenaran dapat dilacak
secara historis pada institusi dan wacana dominan yang melahirkannya.

7
6. Nalar Dekontruksi
Dekonstruksi bisa dikatakan sebagai ‘penundaan atau penghancuran atas proses
pelabelan atau losentrisme yang telah menimbulkan diferensiasi sehingga terbukalah
setelah ketidakpatutan yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya’. Dekonstruksi
ditunjukkan untuk menentang sistem konstruksi strukturalisme yang beranggapan
bahwa fenomena adalah suatu entitas yang redusibel bagi suatu sistem operasi yang
membawa implikasi dunia ini dapat dikuasai secara penuh. Memang, yang menjadi
fokus kritik dekonstruksi Derrida adalah instabilitas bahasa, tetapi sebenarnya secara
umum kritik dekonstruksi Derrida ditunjukan kepada seluruh sistem.
Dengan demikian, tugas dekonstruksi adalah membebaskan pemahaman peserta didik,
pengetahuan mereka, dan naskah yang dipelajari dengan mengembangkan dan
mengungkap ambiguitasnya, memunculkan kontradiksi internal, dan mengenali
kekurangannya sehingga dapat membawa peserta didik kepada pemahaman belajar.
Praktis pengetahuan :
1. Nalar Kritis
Pekerjaan memeriksa “kesahihan pengetahuan” secara kritis adalah pekerjaan yang
praksis dari pendidikan kritis transformatif. Terlebih dahulu, menyelidiki kemampuan
batas-batas rasio dan pengadilan atas kesahihan pengetahuan denagn memeriksa
klaim-klaim pengetahuan karena untuk menentang dogmatisme yang menerima begitu
saja kemampuan rasio tanpa menguji batas-batasnya.

D. Penerapan Pendidikan transformatif Pada lembaga pendidikan

1. Sekolah Unggul
Sekolah unggul adalah sekolah yang dikembangkan untuk mencapai
keunggulan dalam keluaran (output) pendidikannya. Keunggulan dalam keluaran
yang dimaksud meliputi kualitas dasar (daya pikir, daya kalbu, dan daya fisik) dan
penguasaan ilmu pengetahuan, baik yang lunak (ekonomi, politik, sosiologi, dsb.)
maupun yang keras (matematika, fisika, kimia, biologi, astronomi) termasuk
penerapannya yaitu teknologi (konstruksi, manufaktur, komunikasi, dsb.).
Secara umum, sekolah unggul memiliki keunggulan-keunggulan dalam input (siswa
dan masukan instrumental), proses belajar mengajar, dan output (hasil belajar) yang
ditunjukkan oleh kepemilikan kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Sperry
(1981) membagi kecerdasan majemuk menjadi: (1) otak kiri lebih cenderung berpikir
logic, sequential, linear, analytic, reasoning, explicit, dan calculation, (2) otak kanan
cenderung berpikir intuition, images, visual, spatial, creative, holistic, colour,  dan
emotion.Warga sekolah memahami, meng-hayati, dan mempraktekkan sekolah
sebagai sistem sehingga hasil kerja sekolah disadari sebagai hasil upaya kolektif
warga sekolah. Sistem terdiri dari sejumlah komponen yang saling berinteraksi
sehingga dibutuhkan teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis.
Sekolah memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap prestasi belajar siswanya,
Profesionalisasi pendidik dan tenaga kependidikan menjadi fokus perhatian,
Proses belajar mengajar yang efektif menjadi fokus perhatian sekolah,

8
Kepemimpinan dan manajemen sekolah sangat professional, Sekolah
mempertanggungjawabkan hasil belajar kepada publik (akuntabilitas), Sekolah
memiliki komunitas belajar yang kuat, Jaminan mutu merupakan komitmen warga
sekolah terhadap publik yang ditunjukkan oleh kualitas desain, pelaksanaan, dan
evaluasi rencana pengembangan sekolah (RPS), Sekolah menerapkan prinsip-
prinsip tata pengelolaan (partisipasi, trans-paransi, akuntabilitas, dsb.), Visi, misi,
tujuan, dan sasaran sekolah dimiliki bersama oleh warga sekolah, Sekolah
menerapkan organisasi belajar .
Sekolah unggul bertujuan untuk menghasilkan keluaran pendidikan yang
memiliki keunggulan-keunggulan dalam: (1) kualitas dasar yang meliputi daya
pikir, daya kalbu, dan daya pisik, (2) kualitas instrumental yang meliputi
penguasaan ilmu pengetahuan (lunak dan keras termasuk terapannya yaitu
teknologi, kemampuan berkomunikasi, dsb., dan (3) kemampuan bersaing dan
bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
Selain itu, sekolah unggul juga ditujukan untuk  menyiapkan peserta didik
agar memiliki kemampuan kompetensi kunci untuk menghadapi era regionalisasi
globalisasi, yaitu: (1) memiliki kemampuan dasar yang kuat dan luas, (2) mampu
mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan data dan informasi, (3) mampu
mengkomunikasikan ide dan informasi.
Pengembangan sekolah unggul harus dilakukan secara kolektif sehingga perlu
melibatkan stakeholders dalam pendidikan, baik politikus, birokrat (terutama
dinas pendidikan kabupaten/kota), akademisi, praktisi, tokoh masyarakat,
orangtua siswa, dsb.

2. Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah


Kepemiminan merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi
sekelompok individu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang
pemimpin yang efektif, seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi
seluruh warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk
mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Secara sederhana kepemimpinan
transformasional dapat diartikan sebagai proses untuk merubah dan
mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan dirinya, yang
didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan
terhadap para bawahan. Terdapat empat faktor untuk menuju kepemimpinan
tranformasional, yang dikenal sebutan 4 I, yaitu : idealized influence, inspirational
motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.
 Idealized influence: kepala sekolah merupakan sosok ideal yang dapat
dijadikan sebagai panutan bagi guru dan karyawannya, dipercaya,
dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk
kepentingan sekolah.

9
 Inspirational motivation: kepala sekolah dapat memotivasi seluruh
guru dan karyawannnya untuk memiliki komitmen terhadap visi
organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan-
tujuan pendidikan di sekolah.
 Intellectual Stimulation: kepala sekolah dapat menumbuhkan
kreativitas dan inovasi di kalangan guru dan stafnya dengan
mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk
menjadikan sekolah ke arah yang lebih baik.
 Individual consideration: kepala sekolah dapat bertindak sebagai
pelatih dan penasihat bagi guru dan stafnya.
Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001).
Menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan
transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin
yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal
yang amat menguntungkan jika para kepala sekolah dapat menerapkan
kepemimpinan transformasional di sekolahnya.
Karena kepemimpinan transformasional merupakan sebuah rentang yang luas
tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin
transformasional yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha
sadar dan sunggug-sungguh dari yang bersangkutan.
Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan
kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
 Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik untuk
organisasi
 Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai
yang   tinggi
 Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan
semangat     kerja sama.
 Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi.
 Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan
memberikan     contoh. bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu
perubahan.
 Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk
berkontribus terhadap organisasi.    

10
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Jadi pendidikan transformatif di indonesia ini sangat penting dan sangat diperlukan
untuk bisa diterapkan secara merata dalam setiap lembaga pendidikan baik formal maupun
nonformal. Upaya ini adalah dalam rangka menghadapi kerasnya hegemoni dunia maka
otomatis karakter pendidikan kita harus lebih efektif dan maju baik pendidikan sosial maupun
pendidikan agama. Apalagi visi dan misi pendidikan transformatif yang sudah jelas dapat
memenuhi dan mengatasi berbagai problem sosial dan pembangunan. Maka usaha yang perlu
dilakukan dan saat ini yaitu meerumuskan strategi dan metode yang tepat untuk memajukan
pendidikan bermutu dan produktif. Seperti yang diktakan Freire yaitu, “impian adalah
kekuatan untuk yang bisa mewujudkan kehidupan kita yang lebih baik.  Makna dari
pernyataan tersebut menjelaskan bahwasanya mimpi atau harapan akan membentuk potensi
menuju yang lebih baik.

11
DAFTAR ISI

Nurdin, A. (2018). Paradigma Islam Tramsformatif dan Implikasinya Terhadap Pengembangan.


Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA VOL. 18, 174.

http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1-2005-misbachulm-486-
Bab2_310-6.pdf

http://mcholieq.blogspot.com/2013/11/makalah-pendidikantransformatif.html

http://edhakidam.blogspot.com/2014/10/konsep-pendidikan-transformatif.html

12

Anda mungkin juga menyukai