Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Pemikiran Filosofis Filsafat Pendidikan Islam Klasik, Kontemporer dan Modern


Disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pembimbing : Dr. Saefrudin,M.Pd.I

Disusun oleh Kelompok 7 :


Aditia Mahendra 2281131381
Akhmarun nafii 2281131396
Faidah 2281131399
Nur Tsani Fahman Luthfi 2281131398
Nurul khalisah 2281131393
Siti Rahayu 2281131387

JURUSAN PJJ PAI


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami persembahkan hanya kepada SWT yang senantiasa
menganugerahkan nikmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulisan naskah makalah
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam tentang Pemikiran Filosofis Filsafat Pendidikan
Islam Klasik, Kontemporer dan Modern dapat diselesaikan sesuai upaya terbaik yang kami
miliki. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Sang Guru bagi seluruh umat,
Rasulullah Salallahu ‘alaihi wassalam.

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepda guru kami, Bapak Dr. Saefrudin,M.Pd.I.
yang atas tugas darinya kami bisa belajar dan menambah ilmu pengetahuan. Dalam
penyusunan makalah ini kami sadari masih banyak kekurangan. Pengajaran dan bimbingan
dari dosen, temana, dan seluruh pihak berkesempatan membaca makalah ini sangat kami
harapkan. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan balasan atas kebaikan pihak-pihak
yang memberikan dukungan atas kelancaran penulisan dan penerbitan buku ini. Aamiin ya
Robbal ‘Alamin.

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................................. i


Daftar Isi ........................................................................................................................ ii

Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................................... iii
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... iii
1.3 Tujuan ...................................................................................................................... iii

Bab II Pembahasan
Perspektif filosofis dalam Pendidikan ........................................................................... 1

Pemikiran Filosofis Pendidikan Islam Klasik ............................................................... 3


Pendidikan Kebahagian Manusia Ibnu Miskawih ................................................. 4
Al-Qobisi; Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Pendidikan .................... 5
Ibnu Sina: Arah Perkembangan Sempurna ............................................................ 6
Pendidikan dalam Sufistik Imam Ghazali ............................................................. 9
Ibnu Taimiyah; Ilmu menjamin kelangsungan kelestarian Masyarakat ................ 11
Ibnu Kholdun; perubahan diinginkan individu dalam masyarakat dan alami ....... 12

Pemikiran Filosofis dan Teori Pendidikan Muslim Kontemporer ................................ 13


Muhammad Iqbal ................................................................................................... 13
Ismail R. Al-Faruqi ................................................................................................ 14
S.M. Naquib al-Attas ............................................................................................. 15
S. Hossein Nasr ...................................................................................................... 16
Khosrow Bagheri and Zohreh Khosravi ................................................................ 17

Pemikiran Filosofis Pendidikan Islam Modern ............................................................. 18


Tariq Ramadan ....................................................................................................... 18

BAB III PENUTUP

ii
Kesimpulan ............................................................................................................ 19
Saran ...................................................................................................................... 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan Islam telah menjadi landasan penting dalam perkembangan intelektual,


moral, dan spiritual umat Islam sepanjang sejarah. Selama berabad-abad, pemikiran filosofis
dalam pendidikan Islam telah menjadi sarana penting untuk menggali nilai-nilai, prinsip-
prinsip, dan metode-metode yang mendasari pendidikan dalam konteks keagamaan dan
intelektual. Dalam makalah ini, kita akan menjelajahi perjalanan pemikiran filosofis dalam
pendidikan Islam dari masa klasik hingga kontemporer, dan bagaimana pemikiran tersebut
berkembang dalam era modern. Pendidikan Islam klasik mengemban peran penting dalam
merumuskan fondasi pendidikan Islam, sementara pendidikan Islam kontemporer dan
modern berusaha menemukan relevansinya dalam dunia yang terus berubah.

Pada masa klasik, pemikiran filosofis dalam pendidikan Islam sering kali terkait
dengan pemikiran para filosof dan cendekiawan besar seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina
(Avicenna), dan Ibnu Khaldun. Mereka berusaha menggabungkan warisan filsafat Yunani
dengan tradisi Islam untuk mengembangkan metode-metode pendidikan yang bertumpu
pada rasio dan moralitas. Kemudian, dalam era kontemporer, pemikiran filosofis dalam
pendidikan Islam menghadapi tantangan baru seiring dengan perkembangan teknologi dan
perubahan sosial. Bagaimana pemikiran filosofis tersebut beradaptasi dengan tuntutan
zaman modern dan globalisasi merupakan pertanyaan kunci yang akan kita jelajahi dalam
makalah ini.

1.2 Rumusan

1. Bagaimanakah Perspektif filosofis dalam Pendidikan Islam?


2. Bagaimanakah Pemikiran Filosofis dan Teori Pendidikan Muslim Kontemporer?
3. Bagaimanakah Pemikiran Filosofis Pendidikan Islam Modern?
4. Siapa saja tokoh-tokoh yang menjadi perspektif dalam pemikiran filosofis
Pendidikan Islam klasik, kontemporer, dan modern?

iv
1.3 Tujuan

1. Memahami Perspektif filosofis dalam Pendidikan Islam?


2. Memahami Pemikiran Filosofis dan Teori Pendidikan Muslim Kontemporer?
3. Memahami Pemikiran Filosofis Pendidikan Islam Modern?
4. Menganalisis pemikiran dari tokoh-tokoh yang menjadi perspektif dalam pemikiran
filosofis Pendidikan Islam klasik, kontemporer, dan modern?

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perspektif filosofis dalam Pendidikan

Fakhrudin dan Sutarto (2021) Menyebutkan empat aliran utama dalam


filsafat Pendidikan yaitu :

a. Progresivisme: Aliran ini menekankan pendidikan yang fleksibel, aktif, dan


berpusat pada peserta didik. Progresivisme menganggap pendidikan sebagai
alat untuk mengembangkan potensi individu, dengan tujuan mencapai
perubahan yang positif dalam kehidupan. Pendidikan progresivisme
dipengaruhi oleh tokoh seperti John Dewey, Jean Jaques Rousseau, dan
Sigmund Freud.
b. Esensialisme: Aliran ini mendorong kembali kepada kebudayaan lama dan
menghargai nilai-nilai yang telah terbukti kehandalannya selama berabad-
abad. Esensialisme menganggap bahwa pendidikan harus didasarkan pada
nilai-nilai yang tetap dan memiliki kejelasan. Pandangan ini berbeda dengan
progresivisme yang mengedepankan fleksibilitas.
c. Perennialisme: Aliran ini berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat abadi. Perennialisme percaya bahwa pendidikan harus berfokus
pada nilai-nilai universal yang tetap berlaku sepanjang waktu. Aliran ini
memandang bahwa kita perlu kembali kepada prinsip-prinsip ideal yang ada
pada zaman kuno untuk mengatasi krisis kebudayaan modern.
d. Rekonstruksionalisme: Aliran ini berusaha mencari kesepakatan luas
tentang tujuan utama dalam kehidupan manusia. Aliran ini ingin merombak
tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup yang baru melalui
lembaga pendidikan. Tujuannya adalah menciptakan satu dunia yang lebih
demokratis dan diatur oleh mayoritas umat manusia.

1
Dalam konteks pendidikan, ada tiga kerangka filosofis utama dalam teori-
teori belajar yang memengaruhi pendekatan pengajaran dan pembelajaran
(Fakhrudin dan Sutarto, 2021). Ketiga teori ini adalah:

a. Teori Belajar Behaviorisme: Teori ini berfokus pada perubahan perilaku


yang dapat diamati sebagai hasil dari pengalaman. Teori behaviorisme
menganggap individu sebagai makhluk pasif yang menanggapi stimulus
dengan perilaku tertentu. Proses pembelajaran dalam teori ini didasarkan
pada metode pelatihan atau pembiasaan, dengan penguatan positif
memperkuat perilaku dan hukuman menguranginya.
b. Teori Belajar Kognitivisme: Teori ini berkembang sebagai tanggapan
terhadap teori behaviorisme dan menekankan pada pemrosesan informasi.
Para peserta didik dilihat sebagai individu yang aktif dalam mengorganisir,
menyimpan, dan mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang
sudah ada. Teori kognitivisme diperkenalkan oleh peneliti seperti Ausubel,
Bruner, dan Gagne, masing-masing dengan penekanan khusus dalam
pengelolaan, pengelompokkan, dan pemanfaatan konsep.
c. Teori Belajar Konstruktivisme: Konstruktivisme menekankan bahwa
pengetahuan dibangun secara bertahap oleh individu melalui pengalaman
nyata. Ini berarti bahwa pengetahuan bukan sekadar kumpulan fakta atau
kaidah yang diserap, melainkan harus dikonstruksi dan diberi makna oleh
individu. Dalam teori ini, siswa aktif dalam membangun pemahaman dan
konsep baru, yang memungkinkan mereka untuk berpikir kritis,
memecahkan masalah, dan menerapkan pengetahuan dalam berbagai
konteks.

Selain ketiga teori di atas, ada juga Teori Humanisme yang lebih
menekankan pada aspek individual dan pengembangan diri dalam pembelajaran.
Teori ini memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki dorongan intrinsik
untuk belajar dan mengembangkan potensi mereka. Guru dalam pendekatan ini
berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa dalam mengejar keinginan
mereka untuk belajar dan menggali informasi baru.

2
B. Pemikiran Filosofis Pendidikan Islam Klasik

Fakhrudin dan Sutarto (2021) dalam Filsafat Pendidikan Islam Klasik dan
Kontemporer menyebutkan enam tokoh yang dianggap paling berpengaruh dalam
pemikiran Pendidikan Islam klasik, yaitu :

1. Pendidikan Kebahagian Manusia Ibnu Miskawih

Ibnu Miskawih, seorang tokoh pemikiran Islam, mengintegrasikan filsafat


dan agama dalam pemikirannya tentang pendidikan. Dia menekankan pentingnya
konsep dasar pendidikan Islam yang berakar pada kesadaran manusia untuk
memahami dirinya dan pengembangan individu secara menyeluruh. Konsep
pendidikan Ibnu Miskawih mencerminkan kerangka berfikir yang memadukan
elemen-elemen filsafat dengan nilai-nilai agama.

Ibnu Miskawih hidup pada masa Abbasiyah, di mana ilmu pengetahuan dan
filsafat mengalami perkembangan pesat. Pemikiran Ibnu Miskawih menyoroti
konsep etika, khususnya konsep jalan tengah (al-wasath), sebagai landasan
pendidikan Islam. Tujuan pendidikan yang dituju adalah mencapai kebahagiaan
sejati (Assaadah) dalam kehidupan manusia, yang mencakup aspek kebahagiaan,
kemakmuran, keberhasilan, kesempurnaan, kesenangan, dan keindahan.

Ibnu Miskawih melihat materi pendidikan sebagai hal yang tidak hanya
bermanfaat bagi siswa dan guru, tetapi juga harus mencakup kehidupan di dunia
dan akhirat. Guru memiliki peran sentral dalam proses pendidikan, dan Ibnu
Miskawih menetapkan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang guru,
termasuk kepercayaan, keahlian, dan kasih sayang.

Lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dianggap penting dalam


proses pendidikan, dan pemimpin memiliki tanggung jawab dalam menciptakan
lingkungan yang kondusif untuk pendidikan. Ibnu Miskawih juga menjelaskan
metode-metode untuk mencapai akhlak yang baik, termasuk usaha sungguh-
sungguh, refleksi, dan kesadaran diri.

Secara keseluruhan, pemikiran Ibnu Miskawih mencerminkan upaya untuk


menggabungkan filsafat dan agama dalam konteks pendidikan Islam, dengan
penekanan pada konsep etika, jalan tengah, dan tujuan pendidikan yang mencakup

3
kebahagiaan sejati dalam kehidupan manusia. Lingkungan, guru, dan metode
pendidikan juga merupakan komponen kunci dalam pandangan pendidikan Ibnu
Miskawih.

2. Al-Qobisi; Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Pendidikan

Al-Qabisi, nama lengkap Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-Ma'arifi


Al-Qairawaniy, adalah seorang ulama terkenal yang lahir di Kota Qairawan,
Tunisia, pada tahun 324 H dan meninggal pada tahun 403 H. Ia belajar berbagai
ilmu Islam, termasuk fikih dan hadis, dari ulama terkemuka di kotanya, seperti Abu
Al-'Abbas Al-Ibyani.

Selama masa muda, Al-Qabisi pernah mengunjungi Timur Islam dan belajar
di berbagai kota besar seperti Iskandariyah dan Kairo. Ia juga mengajar di sebuah
madrasah yang fokus pada ilmu hadis dan fikih. Al-Qabisi hidup dalam lingkungan
sosial yang kuat dalam hal pendidikan Islam, terutama dalam Mazhab Maliki.

Al-Qabisi sangat produktif dalam menulis buku dan menghasilkan 15 karya,


termasuk "al-Mufassal li Ahwal al-Mutha' alaimin wa Ahkam al-Maulimmin wa al-
Muta'allamin," yang membahas pendidikan. Ia sangat memperhatikan pendidikan
anak-anak di kuttab, yaitu lembaga pendidikan Islam, dan meyakini bahwa
pendidikan anak-anak adalah kunci kelangsungan bangsa dan negara.

Al-Qabisi menekankan pentingnya menghafal Al-Qur'an dan menggunakan


metode pengajaran yang melibatkan pengulangan, pemahaman, dan kecenderungan
untuk mengembangkan kekuatan akhlak dan cinta agama pada anak-anak. Ia juga
menekankan pentingnya pengajaran di rumah sebelum anak-anak menghadiri
lembaga pendidikan.

Al-Qabisi memiliki pandangan yang khusus tentang percampuran belajar


antara murid laki-laki dan perempuan di lembaga pendidikan Islam, yang dalam
tulisannya disebut sebagai "kuttab." Pandangan ini didasarkan pada pertimbangan
moral dan etika. Berikut adalah penjelasan lebih rinci:

4
a. Tidak Menganjurkan Percampuran Jenis Kelamin: Al-Qabisi berpendapat
bahwa percampuran antara murid laki-laki dan perempuan dalam kuttab,
terutama setelah mereka mencapai usia remaja atau baligh (usia dewasa),
sebaiknya dihindari. Artinya, ia menyarankan agar kuttab lebih
mengutamakan pemisahan antara murid laki-laki dan perempuan selama
proses belajar.
b. Kekhawatiran terhadap Kerusakan Moral: Salah satu alasan utama Al-
Qabisi menghindari percampuran jenis kelamin adalah karena ia khawatir
bahwa ini dapat membahayakan moral dan etika murid-murid tersebut. Ia
percaya bahwa percampuran jenis kelamin pada usia remaja dapat
menimbulkan godaan, interaksi sosial yang tidak diinginkan, atau perasaan
cinta yang tidak semestinya di antara murid-murid. Kekhawatiran ini
berkaitan dengan pemeliharaan kesucian moral dan agama.
c. Memberikan Kebebasan pada Guru: Meskipun Al-Qabisi menyarankan agar
percampuran jenis kelamin dihindari, ia juga memberikan kebebasan
kepada guru untuk menilai situasi dengan bijaksana dan memutuskan
apakah percampuran jenis kelamin dalam kuttab akan menyebabkan
kerusakan moral atau tidak. Ini berarti bahwa keputusan akhir mengenai
percampuran jenis kelamin dalam lingkungan kuttab dapat bergantung pada
situasi dan pertimbangan khusus yang diambil oleh guru-guru yang
berpengalaman.

Pendapat Al-Qabisi tentang percampuran jenis kelamin dalam pendidikan


mencerminkan kekhawatiran moral dan etika yang tinggi, dengan tujuan menjaga
kesucian moral murid-murid, terutama pada usia remaja. Meskipun ia tidak
mengharuskan pemisahan total, ia lebih memilih agar guru-guru berhati-hati dan
bijaksana dalam mengelola percampuran jenis kelamin di kuttab.

3. Ibnu Sina: Arah Perkembangan Sempurna

Ibn Sina, juga dikenal sebagai Avicenna, adalah seorang tokoh terkemuka
dalam sejarah pemikiran dan ilmu pengetahuan Islam. Nama lengkapnya adalah
Abu 'Ali Husin Ibn 'Abdullah Ibn H{asan Ibn 'Ali Ibn Sina. Terdapat perbedaan
pendapat mengenai asal-usul namanya, ada yang berpendapat bahwa namanya

5
diambil dari bahasa Latin "Aven Sina," sementara yang lain mengatakan bahwa itu
berasal dari kata "al-shin" yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Ada juga pendapat
yang menghubungkannya dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana.

Ibn Sina lahir di desa Akhshanah, dekat Bukhara, pada tahun 370 H/980M,
meskipun ada perbedaan pendapat mengenai tahun kelahirannya. Ayahnya,
'Abdullah, adalah seorang sarjana terhormat penganut Shiah Isma'iliyah, dan
ayahnya berasal dari Balkh Khurasan. Ibunya, Astarah, berasal dari Afshana.

Keluarga Ibnu Sina termasuk keluarga kaya dan terpandang, yang


mendukung pembentukan pribadi ilmiahnya. Ibn Sina mendapatkan pendidikan
yang sangat luas, mencakup berbagai bidang ilmu seperti tata bahasa, geometri,
fisika, kedokteran, hukum, dan teologi. Ia mulai dengan belajar membaca Al-Qur'an
dan kemudian mempelajari ilmu-ilmu agama Islam. Ia juga belajar bahasa Arab di
bawah bimbingan Abu Bakar Ahmad ibn Muhammad al-Barqi al-Khawarizmi.

Ibn Sina terkenal sebagai anak yang memiliki kepandaian luar biasa, dan
pendidikannya bersifat ensiklopedik. Ia menguasai berbagai cabang ilmu
pengetahuan, termasuk ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik,
dan bahasa Arab.

Gagasan pemikiran pendidikan Ibn Sina mencakup beberapa aspek penting


yang mencerminkan pandangannya tentang pembentukan karakter anak melalui
pendidikan. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai konsep-konsep utama
dalam pemikirannya:

a. Pengembangan Potensi Fisik, Intelektual, dan Budi Pekerti. Ibn Sina sangat
menekankan pentingnya pendidikan dalam membantu anak
mengembangkan potensi mereka secara menyeluruh. Ini mencakup
pengembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti anak. Dalam konteks ini,
fisik merujuk pada kesehatan tubuh, intelektual merujuk pada kemampuan
berpikir dan belajar, dan budi pekerti merujuk pada karakter moral dan etika
anak.
b. Tujuan Pembentukan Karakter yang Baik. Tujuan utama dari pendidikan,
menurut Ibn Sina, adalah agar anak dapat hidup di masyarakat dengan baik

6
dan melakukan pekerjaan sesuai dengan bakat mereka. Ia meyakini bahwa
pendidikan harus membentuk individu yang memiliki moral dan etika yang
baik, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi positif pada
masyarakat.
c. Pentingnya Pendidikan Akhlak. Ibn Sina menekankan pentingnya
pendidikan akhlak, yaitu pendidikan moral dan etika. Ia berpendapat bahwa
orang tua dan pendidik memiliki peran penting dalam mengajarkan nilai-
nilai moral kepada anak-anak. Selain itu, penting juga untuk memberikan
contoh yang baik sebagai bagian dari pendidikan akhlak.
d. Konsep Kurikulum. Ibn Sina merumuskan konsep kurikulum yang
mencakup berbagai mata pelajaran yang harus diajarkan kepada anak-anak.
Pada usia dini, pendidikan dimulai dengan pembelajaran al-Qur'an, ilmu
bahasa Arab, dan syair. Ini bertujuan untuk memberikan dasar yang kuat
dalam agama, bahasa, dan sastra. Selanjutnya, pada usia yang lebih lanjut,
anak-anak mulai belajar ilmu-ilmu praktis dan teoritis.
e. Metode Pembelajaran. Ibn Sina mengusulkan berbagai metode
pembelajaran yang efektif, termasuk:
1) Talaqqi (tatap muka): Ini melibatkan interaksi langsung antara guru dan
siswa, di mana pengetahuan dan nilai-nilai disampaikan secara lisan
2) Pembiasaan: Pembiasaan adalah praktik yang memungkinkan anak
untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari.
3) Penggunaan syair: Penggunaan syair atau puisi digunakan untuk
membuat pembelajaran lebih menarik dan mudah diingat.
4) Metode diskusi: Ibn Sina menganjurkan penggunaan diskusi sebagai
cara untuk melibatkan siswa aktif dalam pembelajaran dan
memungkinkan mereka berpikir kritis.
f. Pengajaran Berdasarkan Pengalaman Anak. Ibn Sina mengajarkan
pentingnya pengajaran yang memperhatikan pengalaman anak. Ini berarti
pendekatan pendidikan harus sesuai dengan tahap perkembangan anak dan
memahami bagaimana mereka belajar dan memahami ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan pengalaman anak, pendidikan dapat menjadi lebih
relevan dan efektif.

7
Secara keseluruhan, Ibn Sina adalah seorang pemikir besar dalam sejarah
pemikiran pendidikan Islam yang menekankan pentingnya pendidikan
komprehensif yang mencakup aspek fisik, intelektual, dan moral anak-anak, serta
memberikan perhatian khusus pada metode pengajaran yang efektif. Kontribusinya
terhadap pemikiran pendidikan telah berdampak besar dalam perkembangan
pendidikan di dunia Islam dan di luarnya.

4. Pendidikan dalam Sufistik Imam Ghazali

Imam al-Ghazali adalah seorang tokoh sufi terkenal pada abad ke-5 yang
mengalami dua fase kehidupan yang berbeda. Pada awalnya, ia memiliki semangat
untuk menimba ilmu dan mengajar sebagai guru besar di Perguruan Nizamiyah.
Namun, ia kemudian mengalami masa ragu terhadap ilmu dan kedudukannya.
Keraguan ini terobati dengan praktik tasawuf, yang menjadi fokusnya di masa
kedua kehidupannya.

Al-Ghazali memulai kehidupan sufi setelah mengalami keraguan terhadap


berbagai aliran ilmu, dan ia mencari kebenaran sejati. Ia menganggap bahwa
pengetahuan sejati adalah kunci untuk mendekati Allah. Al-Ghazali menguraikan
beberapa jenjang atau tahapan yang harus dilalui oleh seorang sufi, seperti tobat,
sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, dan ma'rifat, yang mengarah pada cinta kepada
Tuhan.

Ia juga menekankan pentingnya pengalaman pribadi dan penyerahan diri


kepada Allah dalam perjalanan sufi. Al-Ghazali menunjukkan bahwa tasawuf
adalah pengalaman spiritual yang melibatkan perubahan batin dan penggantian
tabiat manusia. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ma'rifah, pengetahuan tentang
Allah, adalah esensi dari pendekatan kepada-Nya. Ia juga menekankan bahwa
keimanan dan kebahagiaan adalah tujuan akhir dari perjalanan sufi.

Pandangan Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam adalah sebagai berikut :

a. Pembentukan Akhlak Sejak Dini: Al-Ghazali menekankan pentingnya


pendidikan moral sejak usia dini. Menurutnya, karakter seseorang harus
dibentuk sejak masa kanak-kanak melalui pemberian contoh, latihan, dan
pembiasaan. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai baik seperti kejujuran, kasih

8
sayang, dan kebaikan harus ditanamkan sejak usia dini, karena akhlak yang
baik dianggap sebagai landasan yang penting dalam Islam.
b. Hubungan antara Iman dan Islam: Al-Ghazali juga menyoroti pentingnya
pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara iman dan Islam. Ia
berpendapat bahwa untuk menjadi seorang Muslim yang baik, individu
harus memahami secara mendalam prinsip-prinsip iman dan bagaimana
iman tersebut berkaitan dengan ajaran Islam. Dengan demikian,
pemahaman iman bukan hanya sebatas keyakinan, tetapi juga merupakan
bagian integral dari praktek agama.
c. Dampak Akhlak Terhadap Kesehatan Jiwa: Al-Ghazali mengklaim bahwa
akhlak seseorang memiliki dampak langsung pada kesehatan jiwa. Dalam
konteks ini, akhlak yang baik dianggap sebagai faktor yang mendorong
kesejahteraan jiwa, sedangkan akhlak yang buruk dapat merusaknya. Oleh
karena itu, pemeliharaan akhlak yang baik adalah salah satu aspek penting
dalam perawatan jiwa seseorang dalam ajaran Al-Ghazali.
d. Peran Akal dalam Pemahaman Ilmu Pengetahuan: Al-Ghazali
menggarisbawahi peran penting akal dalam pemahaman ilmu pengetahuan.
Ia menganggap akal sebagai sumber utama pengetahuan, dan bahwa
manusia harus menggunakan akalnya untuk meraih pemahaman. Akal
membantu individu untuk menganalisis, memahami, dan mengevaluasi
pengetahuan. Dalam konteks ini, akal bukan hanya alat intelektual, tetapi
juga alat spiritual yang membantu dalam pencarian pengetahuan dan
kebenaran.
e. Akhlak Akal dalam Mengendalikan Nafsu: Al-Ghazali juga menyebutkan
peran akal dalam menahan nafsu. Akal membantu manusia untuk
mengendalikan dorongan dan keinginan yang mungkin tidak sesuai dengan
nilai dan prinsip moral yang dianut dalam Islam. Dengan demikian, akal
berperan dalam menjaga keselarasan antara nilai-nilai moral dan perilaku
individu.
f. Akal Sebagai "Cahaya": Al-Ghazali menggambarkan akal sebagai "cahaya"
yang memasuki hati manusia. Ini dapat diartikan sebagai pemahaman yang
dalam dan pengetahuan yang tercerahkan yang diberikan oleh akal. Akal

9
membuka pintu bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang agama, ilmu
pengetahuan, dan kenyataan lainnya.
g. Fungsi-Fungsi Akal: Al-Ghazali menyatakan bahwa akal memiliki enam
fungsi. Selain fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas (seperti penahan
nafsu dan pemahaman ilmu pengetahuan teoritis), akal juga berperan dalam
kemampuan berpikir, memahami prinsip-prinsip moral, dan membuat
keputusan yang bijak dalam kehidupan sehari-hari.

Pandangan-pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan, akal, dan akhlak


mencerminkan pemahamannya yang dalam tentang agama Islam dan pentingnya
pemahaman mendalam dalam mengembangkan karakter dan pemahaman
seseorang. Dalam pandangan Al-Ghazali, akal berperan penting dalam
menghubungkan akhlak dengan pemahaman ilmu pengetahuan dan dalam menjaga
keseimbangan dalam hidup seorang individu.

5. Ibnu Taimiyah; Ilmu menjamin kelangsungan kelestarian Masyarakat

Ibnu Taimiyah, nama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim bin
Taimiyah, lahir di Harran, Syria pada tanggal 10 Rabi'ul Awal tahun 661 H atau 22
Januari 1263 M. Dia meninggal di Damaskus pada tanggal 20 Zulkaidah tahun 728
H atau 26 September 1328 M. Ada perbedaan pendapat tentang tanggal
kelahirannya, tetapi banyak yang menganggapnya dibuat sedemikian rupa agar
sejalan dengan tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Ibnu Taimiyah dikenal sebagai anak yang cerdas, rajin belajar, dan
menghafal Al-Qur'an sejak usia tujuh tahun. Dia merupakan seorang pembaru dan
pemurni dalam Islam, dengan ratusan karya tulis yang ditulis dengan bahasa tegas
dan kadang-kadang kontroversial. Pendidikan Ibnu Taimiyah dimulai dengan
belajar dari ayah dan pamannya, serta beberapa ulama di Damaskus. Dia memiliki
karya-karya dalam berbagai bidang ilmu, seperti hadis, tafsir, fiqh, dan lainnya.
Salah satu karyanya yang terkenal adalah Al-Fatawa al-Kubra.

Pandangan dasar pemikiran Ibnu Taimiyah adalah bahwa wahyu adalah


sumber pengetahuan agama, dan hanya Al-Qur'an dan Sunnah yang otentik dalam
semua masalah. Dia menolak pemisahan antara ilmu logis-empiris dan ilmu

10
berdasarkan wahyu. Ibnu Taimiyah memandang ilmu sebagai ibadah, dan
pemahaman yang mendalam tentangnya adalah bentuk taqwa kepada Allah.
Pendidikan menurutnya harus dibangun di atas dasar tauhid, dan tujuannya adalah
membentuk individu muslim yang benar, membangun masyarakat yang baik, dan
mengembangkan dakwah Islam.

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, kurikulum pendidikan melibatkan empat


tahap yang berkaitan dengan pemahaman terhadap tauhid, pengetahuan tentang
makhluk hidup, pengetahuan tentang kekuasaan Allah, dan pengetahuan tentang
perbuatan Allah.

Kemudian, Ibnu Taimiyah juga membahas metode pengajaran ilmiah dan


metode iradah dalam pendidikan. Pandangannya bahwa pendidikan harus
mencerminkan tauhid sebagai fondasi peradaban Islam dan harus mempertahankan
tabiat kemanusiaan manusia. Tujuan pendidikan yang dia ajukan mencakup aspek
individual, sosial, dan dakwah Islam.

6. Ibnu Kholdun; perubahan diinginkan individu dalam masyarakat dan


alami

Ibnu Khaldun, yang dikenal dengan sebutan Abu Zaid, adalah sejarawan dan
bapak sosiologi Islam yang lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H/27 Mei
1332 M dan wafat pada tanggal 19 Maret 1406 M/25 Ramadhan 808 H pada usia
74 tahun. Beliau banyak berpindah-pindah dari berbagai daerah, termasuk Maroko,
Andalus, Mesir, Damaskus, dan kembali lagi ke Mesir. Beliau belajar berbagai
disiplin ilmu seperti Al-Quran, hadits, fikih, dan ilmu bahasa dari ulama' Tunisia,
terutama dari ayahnya. Beliau aktif sebagai dosen di perguruan tinggi al-Azhar dan
diangkat menjadi hakim dalam madzhab Maliki di Mesir pada tahun 1384 M.

Ibnu Khaldun merupakan seorang filosof yang tumbuh dalam keluarga yang
terlibat dalam politik dan keilmuan. Karya-karya terkenalnya meliputi "Kitab
Muqaddimah," yang membahas gejala sosial dan sejarah, serta "Kitab al-‘Ibar wa
Diwan al Mubtada’ wa al Khabar," yang mencakup peristiwa politik mengenai
orang-orang Arab, non-Arab, Barbar, dan raja-raja besar pada zamannya. Beliau
juga menekankan pentingnya pendidikan dalam proses perkembangan individu.

11
Ibnu Khaldun juga menganggap bahwa manusia memiliki fitrah yang
cenderung kepada ajaran Tuhan dan bahwa pendidikan adalah proses alami yang
memungkinkan manusia memahami dan mengembangkan potensinya. Beliau
memahami peran penting akal dalam perkembangan individu, yang melibatkan
empat tahap: makan, tumbuh, reproduksi, dan akal. Proses pendidikan juga harus
memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik.

Selain itu, Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa metode mengajar adalah


suatu keahlian, dan pendidik harus memiliki pemahaman yang memadai tentang
psikologi peserta didik, kemampuan, dan daya tangkap mereka. Pendidik juga harus
bersikap penuh kasih sayang, perhatian, dan pengertian terhadap peserta didik.
Pendidikan, menurutnya, adalah proses yang memungkinkan perkembangan
individu dan masyarakat.

Pendekatan Ibnu Khaldun terhadap pendidikan menyoroti peran penting


ilmu, pengetahuan, dan kemahiran dalam proses pembelajaran, dengan penekanan
pada pemahaman dan penguasaan materi serta kemampuan mengajar dengan
metode yang efektif dan efisien. Selain itu, Ibnu Khaldun juga menyoroti hubungan
antara pendidikan dan perkembangan sosial masyarakat, yang mencerminkan
pemahaman sosiologisnya tentang masyarakat dan sejarah.

C. Pemikiran Filosofis dan Teori Pendidikan Muslim Kontemporer

Dalam buku yang sama, Fakhrudin dan Sutarto (2021) juga menyebutkan
lima tokoh yang dianggap paling berpengaruh dalam pemikiran Pendidikan Islam
klasik, yaitu :

1. Pendidikan Aktualisasi Kehendak transcendental Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal adalah seorang penyair, pujangga, dan filosof besar abad
ke-20 asal Pakistan yang lahir pada 9 November 1877. Iqbal memiliki peran penting
dalam merekonstruksi filsafat Islam untuk menghadapi peradaban Barat yang
materialistik dan tradisi Timur yang fatalistik. Iqbal mengkritik kebekuan dalam
pemikiran umat Islam, terutama penutupan pintu Ijtihad. Ia berjuang untuk

12
memperbaiki nasib bangsa dan umatnya dengan pembaharuan pemikiran Islam
yang sesuai dengan konteks zaman.

Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengemukakan konsep "kesadaran mistis"


dan "kesadaran profetik," di mana ia mendorong manusia untuk mengidentifikasi
diri dengan Tuhan melalui penyempurnaan diri, bukan penafian diri. Iqbal juga
menekankan bahwa kehidupan manusia adalah perjuangan terus menerus untuk
mencapai ego tertinggi.

Iqbal melihat seni dan keindahan sebagai ekspresi kehendak, hasrat, dan
cinta ego dalam mencapai ego tertinggi. Iqbal juga menunjukkan bahwa seni harus
menciptakan sesuatu yang baru, bukan sekadar menggambarkan yang ada. Iqbal
mengaitkan seni dengan vitalisme, yaitu seni yang menghasilkan semangat hidup
bagi lingkungan dan masyarakat.

Dalam pemikiran etika, Iqbal mengecam pengaruh peradaban Barat yang


merusak nilai-nilai Islam dan mendorong umat Islam untuk kembali kepada ajaran
agama yang agung. Iqbal melihat bahwa peraturan buatan manusia telah gagal
mengatasi permasalahan kemanusiaan dan bahwa Islam memiliki potensi untuk
menjadi solusi.

Iqbal menganggap pendidikan sebagai alat untuk memperkuat


individualitas dan kreativitas manusia. Ia menyoroti pentingnya pendidikan yang
memungkinkan anak didik berhubungan dengan alam dan mengembangkan
kreativitas. Muhammad Iqbal menekankan pentingnya kebebasan dalam
pendidikan dan memandang bahwa agama dan ilmu pengetahuan harus berjalan
secara selaras. Iqbal juga menginginkan agar kurikulum pendidikan mencakup
agama, sejarah, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Dalam metode pembelajaran, Iqbal mempromosikan metode yang


memungkinkan peserta didik untuk aktif dan kreatif, seperti self-activity, learning
by doing, metode proyek, dan metode pemecahan masalah. Pendidikan menurut
Iqbal bertujuan untuk membentuk insan kamil, individu yang memiliki kebebasan,
kreativitas, dan kemampuan untuk memecahkan masalah serta berkontribusi positif
dalam masyarakat.

13
2. Pendidikan Pemaduan Ilmu Modern dengan Khazanah Islam Ismail R.
Al-Faruqi

Al-Faruqi berpendapat bahwa fitrah atau kodrat manusia adalah bakat untuk
bertauhid, yang mencakup pemahaman akan adanya Tuhan. Tauhid bukan hanya
tentang pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, tetapi juga memberikan
manusia kesadaran akan keberadaan Allah. Manusia, sebagai pemimpin di dunia,
memiliki tugas untuk memastikan keberadaan Tuhan yang sejati dan melaksanakan
tugas-tugasnya.

Al-Faruqi juga memberikan saran tentang kurikulum pendidikan Islam yang


mengarahkan kaum Muslim untuk tidak memisahkan ilmu modern dan konsep-
konsep Islam. Kurikulum harus realistis dan dapat diimplementasikan dengan baik
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan negara. Al-Faruqi juga menguraikan
disiplin ilmu Barat dan bagaimana pemecahan masalah dalam ilmu tersebut harus
dipahami oleh pelajar.

Selain itu, Al-Faruqi menyatakan bahwa seluruh ilmu pengetahuan harus


dilihat dari sudut pandang Islam. Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dan
adanya ilmu-ilmu baru dapat memiliki dampak moral dan etika yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Ismail Raji Al-Faruqi dan Syed M. Naquib
Al-Attas berbicara tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Mereka menawarkan dua
opsi: pertama, memisahkan konsep yang membentuk kebudayaan Barat dan kedua,
menyatukan konsep Islam ke dalam ilmu pengetahuan modern. Ismail Raji Al-
Faruqi juga menawarkan dua konsep tentang cara melakukan Islamisasi ilmu
pengetahuan: pertama, melalui tauhid dan integrasi kebenaran Islam dan ilmu
pengetahuan, dan kedua, dengan memberikan ayat-ayat kepada ilmu pengetahuan.

3. Pendidikan sebagai Ta’dib (penanaman adab) S.M. Naquib al-Attas

Pendidikan menurut S.M. Naquib al-Attas memiliki konsep Ta’dib, yang


dalam bahasa Arab mengandung tiga unsur utama: pembentukan iman, ilmu, dan
amal. Iman dan ilmu saling terkait, dan keduanya harus diwujudkan dalam amalan.
Adab adalah disiplin yang mencakup pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat

14
dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Adab juga menunjukkan pengenalan dan
pengakuan akan kondisi kehidupan, kedudukan, dan tempat yang tepat.

Al-Attas menekankan bahwa konsep pendidikan sebaiknya disebut Ta’dib,


yang berarti penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang. Konsep ini
lebih tepat daripada tarbiyah dan ta'lim al-Qur'an. Ia juga menekankan bahwa Nabi
Muhammad adalah contoh ideal bagi individu yang beradab.

Pendidikan dalam pandangan Al-Attas adalah proses penanaman adab yang


berulang-ulang sejak dini dalam rangka mengenalkan manusia kepada Sang Khalik.
Pendidikan Islam fokus pada manusia, sedangkan kata "tarbiyah" lebih luas karena
mencakup pendidikan hewan juga. Adab sangat penting dalam pendidikan karena
menentukan etika dan tata krama individu.

Pendidikan juga berkaitan dengan pengajaran, pembelajaran, dan


penanaman nilai-nilai yang dapat membentuk akhlak dan perilaku yang baik.
Pendidikan Islam harus menciptakan manusia yang bertanggung jawab, berakhlak
mulia, dan memahami skala prioritas. Pendidikan adalah kunci untuk mencapai
perubahan perilaku dan menjadikan manusia lebih baik.

4. Pendidikan sebagai Aktualisasi Kosmologi Suci S. Hossein Nasr

S. Hossein Nasr adalah seorang pemikir sains Islam yang sangat


berpengaruh. Nasr telah mengkritik tajam paradigma sains Barat modern melalui
beberapa karya ilmiah dan ceramah. Dia menekankan bahwa sains Barat memiliki
dampak negatif, termasuk memicu krisis spiritualitas, kemanusiaan, dan
lingkungan.

Nasr juga mengkritik paradigma sekuleristik sains Barat, yang telah menjadi
subjek perhatian pemikir Barat lainnya, seperti Frithjof Capra. Bagi Nasr,
peradaban modern seringkali telah menghanguskan fitrah manusia, menghadang
ketenangan jiwa, dan meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk mengatasi ini,
Nasr berpendapat bahwa manusia memerlukan petunjuk Tuhan.

Nasr menyajikan konsep tradisionalisme Islam yang berbeda dari


pandangan yang dikenal sebelumnya. Dia mengusulkan agar Islam kembali ke
"akar tradisi" yang menghubungkan sekuleritas Barat dengan dimensi ke-Ilahiah-

15
an yang bersumber pada wahyu agama. Dengan cara ini, Nasr ingin menjadikan
nilai kesucian Islam sebagai inti dari perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa perlu
mengasingkannya sepenuhnya.

Pemikiran Nasr juga mencakup konsep unitas, yang merupakan paham


kesatupaduan dan interelasi dari segala yang ada, sehingga manusia dapat menuju
ke arah kesatupaduan Ilahi yang dibayangkan dalam kesatuan Alam. Ide ini
memiliki akar dalam syahadah, "la ilaha illa Allah" (Tiada Tuhan selain Allah), yang
merupakan inti pemahaman Islam.

Nasr juga dikenal sebagai seorang pemikir perenial, yang meyakini adanya
pengetahuan Ilahi mendasar yang bersifat lintas agama dan lintas sejarah. Konsep
ini dapat membantu memahami hubungan antara sains dan spiritualitas dalam
berbagai tradisi agama.

Dalam kerangka neomodernis Islam, Nasr melihat Islam sebagai jawaban


terhadap tantangan dunia modern, namun dengan mempertahankan nilai-nilai
tradisional. Dia juga mendorong peran sufisme dalam menjawab krisis spiritualitas
modern, dan menganggap sufisme dapat mempengaruhi Barat melalui tiga upaya:
mempraktekkan sufisme secara aktif, menyajikan Islam secara lebih menarik, dan
memfungsikan sufisme untuk kebangkitan spiritualisme. Nasr memandang
perkembangan teknologi modern dengan pesimis, khususnya terkait kerusakan
lingkungan. Ia merasa teknologi modern kurang memperhatikan kebutuhan
manusia dan hubungan ruhaniah antara manusia dengan alam.

Akhirnya, Nasr menekankan pentingnya scientia sacra (ilmu sakral) dalam


ilmu pengetahuan. Baginya, aspek kearifan jauh lebih penting daripada teknologi
dalam ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan harus mengintegrasikan
kebijaksanaan agama dan spiritualitas.

5. Pendidikan sebagai Proses Becoming Divine Khosrow Bagheri and Zohreh


Khosravi

Pendidikan dalam kacamata Khosrow Bagheri dan Zohreh Khosravi


merupakan perjalanan menuju kesempurnaan manusia, terutama dalam konteks
pendidikan Islam. Mereka menyoroti peran psikologi dalam pembentukan individu,

16
menghubungkan konstruktivisme dengan realitas, menekankan agensi manusia
sebagai kunci dalam pendidikan Islam, dan menawarkan perspektif berbeda tentang
rasionalitas dalam konteks pendidikan.

Mereka menegaskan bahwa ilmu agama harus tetap menjadi sains yang
komprehensif dan mencari keselarasan antara realitas dan konstruksi. Dalam
pandangan mereka, pendidikan bukan hanya tentang menghindari dosa, tapi lebih
pada transformasi perilaku dan membentuk kepribadian. Mereka juga menyoroti
integrasi pendidikan Islam dengan konsep rasionalitas, mengaitkan konsep agama
dengan pengetahuan ilmiah dan psikologi.

Pandangan mereka tentang tindakan sebagai elemen sentral dalam


pendidikan Islam juga ditekankan. Mereka menunjukkan bahwa tindakan dalam
Islam mencakup aspek kognitif, emosional, dan kehendak, yang menjadi kunci
identitas manusia.

Selain itu, mereka membahas peran pengetahuan dalam membentuk


kebijaksanaan, menggarisbawahi perlunya pengetahuan yang luas untuk mencapai
kebijaksanaan. Mereka juga menekankan pentingnya mengendalikan emosi dalam
proses pengenalan dan pembelajaran.

Secara keseluruhan, pandangan mereka memperlihatkan pentingnya


integrasi antara pengetahuan, agama, psikologi, dan tindakan dalam konteks
pendidikan Islam, serta penekanan pada kebijaksanaan sebagai landasan yang
diperlukan dalam proses pembelajaran dan pengetahuan.

D. Pemikiran Filosofis Pendidikan Islam Modern

Untuk tokoh Pendidikan Islam di era modern ini, ada tiga tokoh yang akan
disajikan dalam makalah ini, yaitu :

1. Tariq Ramadan

Tariq Ramadan adalah seorang cendekiawan Muslim terkenal yang dikenal


dengan pemikirannya yang kritis dan pengaruhnya dalam isu-isu Islam dan
masyarakat Muslim. Dia dilahirkan di Swiss pada tahun 1962 dan mempunyai latar

17
belakang keluarga yang terlibat dalam gerakan Islam, terutama sebagai cucu dari
Hassan al-Banna, pengasas Ikhwan al-Muslimun (Muslim Brotherhood).

Ramadan mendapatkan gelar sarjana dalam bidang filsafat dan


kesusasteraan Perancis serta meraih PhD dalam kajian Arab dan Islam dari
University of Geneva. Disertasinya mengenai Friedrich Nietzsche. Selanjutnya, dia
juga belajar perundangan Islam di Universiti Al-Azhar di Kaherah. Ramadan
mengajar di beberapa universitas di Switzerland, termasuk sebagai pensyarah
Agama dan Falsafah di University of Fribourg. Dia juga bekerja di University of
Oxford dan University of Leiden sebagai profesor.

Ramadan adalah anggota aktif dalam banyak jaringan dan gerakan Islam di
seluruh dunia. Dia juga menjadi penasihat untuk berbagai badan, termasuk
European Union, dalam isu-isu agama dan pluralisme. Namun demian, ia masih
harus menghadapi kontroversi dan larangan masuk ke beberapa negara, termasuk
Amerika Serikat dan sejumlah negara Arab. Dia dituduh terlibat dalam tindakan
pelecehan seksual dan kemudian dibebaskan dengan jaminan.

Berdasarkan tulisan dari Amir dkk (2018) yang berjudul Tariq Ramadan:
Eksponen Islam Moden, kami simpulkan beberapa poin penting pemikirannya
tentang Pendidikan Islam sebagai berikut :

a. Ramadan telah menulis banyak buku tentang Islam, pluralisme, demokrasi,


dan isu-isu sosial. Karyanya sering menggarisbawahi pentingnya
pluralisme, kebebasan, dan etika dalam konteks Islam.
b. Reformasi Islam: Ramadan adalah pendukung reformasi dalam pemahaman
Islam yang mencakup nilai-nilai etika dan kemajuan sosial. Dia mendukung
ide bahwa Islam dan nilai-nilai universal seperti pluralisme dapat bersatu.
c. Toleransi dan Dialog: Ramadan mendorong dialog antara berbagai agama
dan budaya dan menggarisbawahi pentingnya toleransi dan penghargaan
terhadap perbedaan.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Makalah ini telah membahas berbagai perspektif filosofis dalam pendidikan
Islam, mulai dari pemikiran filosofis klasik hingga pendekatan kontemporer. Dalam
tinjauan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa pemikiran filosofis memainkan peran
penting dalam merumuskan dasar-dasar pendidikan Islam dan memandu evolusi
konsep pendidikan dalam konteks Islam.
Pemikiran filosofis klasik, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Miskawih,
Al-Qobisi, Ibnu Sina, Imam Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun,
menggarisbawahi pentingnya pendidikan dalam mencapai kebahagiaan manusia,
kesetaraan gender, perkembangan pribadi, dan perubahan dalam masyarakat.
Mereka memberikan kerangka dasar yang kuat untuk pemahaman konsep
pendidikan dalam Islam.
Di sisi lain, pemikiran filosofis dan teori pendidikan Muslim kontemporer,
seperti yang diwakili oleh Muhammad Iqbal, Ismail R. Al-Faruqi, S.M. Naquib al-
Attas, S. Hossein Nasr, Khosrow Bagheri, dan Zohreh Khosravi, telah mencoba
mengintegrasikan ilmu modern dengan khazanah Islam, mengedepankan
penanaman adab, menghubungkan pendidikan dengan kosmologi suci, dan
mengajukan konsep menjadi ilahi. Mereka menunjukkan relevansi pemikiran
filosofis dalam menjawab tantangan pendidikan modern.
Tariq Ramadan, sebagai tokoh pemikiran filosofis pendidikan Islam
modern, juga memainkan peran penting dalam memoderenisasi konsep pendidikan
Islam, mempromosikan dialog antarbudaya, dan mencari solusi untuk tantangan
kontemporer.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini tentunya masih menyajikan banyak
kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan referensi penulis. Kritik dan
saran sangat kami harapkan untuk perkembangan pemahaman yang lebih baik.
Dalam kesempata ini, kami juga ingin menyampaikan beberapa beberapa saran,
yaitu :
1. Penting untuk terus mempromosikan penelitian dan studi lebih lanjut dalam
pemikiran filosofis pendidikan Islam, terutama dalam konteks global yang
terus berubah. Hal ini akan membantu dalam memahami peran filosofi
dalam menghadapi masalah pendidikan kontemporer.

19
2. Pendidikan Islam harus terus mengintegrasikan nilai-nilai tradisional
dengan pemahaman ilmiah modern. Hal ini dapat dicapai melalui kolaborasi
antara ulama, filsuf, dan ilmuwan pendidikan.
3. Penelitian lebih lanjut tentang implementasi pemikiran filosofis pendidikan
Islam dalam praktik pendidikan sehari-hari akan membantu dalam
mengukur dampaknya dan memperbaiki strategi pendidikan yang ada.
4. Akademisi dan pendidik di bidang pendidikan Islam sebaiknya terus
berpartisipasi dalam forum-forum internasional untuk berbagi pengetahuan
dan pengalaman mereka dalam upaya untuk meningkatkan kualitas
pendidikan Islam secara global.

20
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Nabil Ahmad, Tasnim Abdurahman, Sofyan Alvin. Tariq Ramadan:
Eksponen Islam Moden.

Fakhrudin, dan Sutarto. 2021. Filsafat Pendidikan Islam Klasik dan Kontemporer.
Bengkulu : LP2 IAIN Curup

21

Anda mungkin juga menyukai