Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH ISU-ISU AKTUAL DALAM PENDIDIKAN

RESISTENSI TRADISI KLASIK PESANTREN DI ERA MODERN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok 5 Mata Kuliah Isu-Isu Aktual Dalam Pendidikan

Dosen Pengampu: Dr. Dedik, M.S.I

Disusun Oleh: Kelompok 5

Ihram Amatur Rahim (0301183204)

Muhammad Mirza (0301182128)

Rapika Rahmah Yanti Rambe (0301181049)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehinnga kami kelompok
V dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Resistensi Tradisi Klasik Pesantren di Era
Modern” yang dapat diselesaikan dengan maksimal dan sesuai dengan waktu yang telah yang
ditentukan. Serta tak lupa juga shalawat dan salam senantiasa kita curahkan pada junjungan besar
kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita umatnya dari zaman jahiliyah menuju
jalan yang terang benderang, semoga dengan memperbanyak sholawat kita pada beliau kita
mendapat syafaatnya di yaumil akhir kelak aamiin.

Adapun tujuan makalah ini disusun yaitu untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Isu-
isu Aktual Dalam Pendidikan yang dibimbing oleh Bapak Dr. Dedik, M.S.I. Hal ini bertujuan
untuk memberikan sedikit pengetahuan serta pemahaman kepada pembaca terkhusus kami
sebagai pemakalah terkait Resistensi Tradisi Klasik Pesantren di Era Modern.

Sebagai seorang yang masih dalam tahap belajar, pemakalah menyadari makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
pemakalah nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, 14 Oktober 2021

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................2
C. Tujuan...............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Fenomena Tradisi Klasik di Pesantren.............................................................3


B. Ragam Solusi Saat ini Mempertahankan Tradisi Tersebut...............................8
C. Analisis Terhadap Solusi Saat ini dan Tawaran Solusi Lain..........................11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................................16
B. Saran ..............................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama yang mendukung kelangsungan


sistem pendidikan nasional, selama ini tidak diragukan lagi kontribusinya dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mencetak kader-kader intelektual yang siap untuk
mengapresiasikan potensi keilmuannya di masyarakat. Dalam perjalanan misi kependidikannya,
pesantren mengalami banyak sekali hambatan yang sering kali membuat laju perjalanan ilmiah
pesantren menjadi pasang surut.

Tradisi di pesantren dicirikan oleh keunikan seperti yang kita lihat dalam system pendidikan
pesantren yang cenderung mengajarkan struktur, metode, dan literature kuno. Sebagai bagian
dari fenomena social pesantren juga mengalami dinamika seiring realitas social yang turut
mengalami resistensi tradisi di masa modern ini juga mengalami perubahan seiring
berkembangnya zaman. Dinamika itu dapat berupa “Pertarungan” antara ide, nilai dan tradisi
yang dianggap luhur dengan tantangan kehidupan dan perubahan social yang juga melanda
pendidikan pesantren.

Selain itu Pesantren juga lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari,
memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Kata “tradisional” dalam
batasan ini bukanlah merupakan dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian atau sarat dengan
ketertinggalan, tetapi menunjuk bahwa lembaga pesantren hidup sejak lama dan telah menjadi
bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian umat Islam Indonesia yang merupakan
golongan mayoritas bangsa Indonesia dan mengalami perubahan dari masa kemasa sesuai
dengan perjalanan hidup umat.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja fenomena tradisi klasik di pesantren?
2. Apa saja ragam solusi saat ini mempertahankan tradisi tersebut?
3. Bagaimana analisis terhadap solusi saat ini dan tawaran solusi lain?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui fenomena tradisi klasik di pesantren
2. Mengetahui terhadap solusi saat ini dan tawaran solusi lain
3. Dapat menganalisis terhadap solusi saat ini dan tawaran solusi lain

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Fenomena Tradisi Klasik di Pesantren

Secara etimologis, istilah fenomena berasal dari kata Yunani: phaenesthai, artinya adalah
memunculkan, meninggikan, menunjukkan dirinya sendiri. Fenomena adalah suatu tampilan
objek, peristiwa, dalam persepsi. Fenomena juga bisa diartikan apa saja yang muncul dalam
kesadaran. Fenomena, dalam konsepsi Huesserl, adalah realitas yang tampak, tanpa selubung
atau tirai antara manusia dengan realitas itu. Sedangkan tradisi dalam kamus antropologi sama
dengan adat istiadat, yakni kebiasaan-kebiasaan yang bersifat magsi-religius dari kehidupan
suatu penduduk asli yang meliputi mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan
aturan-aturan yang saling berkaitan, dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan yang
sudah mantap serta mencakup segala konsepsi sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk
mengatur tindakan sosial.1 Sedangkan klasik memiliki makna bahwa berasal dari masa lampau,
tetapi tidak kolot atau ketinggalan zaman. Dan untuk pengertian pesantren. Secara terminologis
sistem pesantren dalam kajian para ahli berasal dari India. Sistem tersebut secara umum
dikembangkan untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa yang
kemudian diadopsi oleh Islam. Dalam pendidikan Islam, sistem tersebut dikenal dengan nama
“pondok”, “pesantren”, atau “pondok pesantren”.

Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa fenomena tradisi klasik pesantren merupakan peristiwa yang menyangkut
kebiasaan-kebiasaan ataupun budaya juga konsepsi yang sedari lama dimiliki oleh pesantren dan
masih memiliki keterkaitan di masa sekarang untuk mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan.

Eksistensi Pesantren sebagai pendidikan Islam tradisional medapatkan tantangan yang


kuat pada abad ke 20 M dimana adanya gerakan pembaruan Islam hampir di seluruh dunia Islam.
Para pemikir modern dan pemimpin muslim mulai menyadari betapa pentingnya pendidikan
sebagai upaya memajukan umat, terutama untuk menghadapi hegemoni sosial, ekonomi, dan
kebudayaan Barat.

1
A rriyono dan Siregar, Aminuddi. Kamus Antropologi.(Jakarta : Akademik Pressindo,1985) hal. 4

3
Pembaruan pesantren, dipengaruhi oleh gerakan pembaruan Islam, juga disebabkan oleh
terjadinya gesekan dengan model sekolah umum/sekuler yang diperkenalkan oleh kolonial
Belanda. Pesantren merespon fenomena ini dengan strategi “menolak sambil mencontoh”. Pada
masa inilah pesantren mulai membuka diri terhadap pola pendidikan modern dan
pelajaranpelajaran umum.

Fenomena modernitas memaksa pesantren memperbaharui sistem pendidikannya dengan


menciptakan model pendidikan modern yang tidak lagi terpaku pada sistem pengajaran klasik
dan materi-materi kitab kuning.2 Di era modernisasi ini Pesantren mengalami pembaruan di tiga
sektor yang disebut metamorfosis; Pertama, metamorfosis kurikulum, di mana penekanan
kurikulum ini ada yang bersifat mutu akademik dan non akademik, kurikum ditambah dengan
penguatan nilai relegiusitas dan kelembagaan serta pengajaran umum; Kedua, metamorfosis
metode pembelajaran. Yaitu memadukan secara integrited antara metode tradisional dengan
metode kontemporer dengan tanpa menghilangkan karakter pesantren; Ketiga, metamorfosis
sumber daya manusia. Pengajar dan tenaga pendidik pesantren harus berkualitas menguasai
kurikulum dan tujuan pesantren.

Respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial


ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia sejak awal abad ini mencakup empat
hal. Pertama, pembaruan subtansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-
subyek umum. Kedua, pembaruan metodologi, seperti sistem klasikal dan penjenjangan. Ketiga,
pembaruan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan.
Keempat, pembaruan fungsi, dari fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial
ekonomi.3

Pola pendidikan pesantren seharusnya mengalami perubahan dari pola tradisional kepada
pola-pola modern. Interaksi santri dengan dunia yang terus melaju pesat, tampaknya tidak
mampu lagi dihadapi hanya dengan pola pengajaran keagamaan semata, tetapi penting juga
dibekali dengan ilmu-ilmu keterampilan yang dapat mendukung pergumulan mereka dengan

2
Manan, (2019). Daya tahan dan eksistensi pesantren di era 4.0. Jurnal Pendidikan Islam Indonesia, 3(2),
155–167.
3
Yaqin, A. (2017). Dialektika fundasional perkembangan pesantren (Perspektif pendidikan Islam).
INOVATIF: Jurnal Penelitian Pendidikan, Agama Dan Kebudayaan, 3(1), 95–113.

4
dunianya. pembaruan pesantren mengarah kepada penerapan kurikulum yang integratif antara
ilmu agama dengan ilmu umum sehingga pemberdayaan masyarakat pesantren lebih dapat
diupayakan. Selain menjalankan fungsi pokoknya sebagai masyarakat religus, pesantren juga
mampu menciptakan bengkel life skill yang dibutuhkan masyarakat.

Dinamisasi pembaruan pesantren selalu berupaya mempertahankan tradisi intelektual


pesantren itu sendiri. Tradisi ini disebut dengan warisan dunia Islam tradisional. Hal ini
dibuktikan dengan terbukanya pesantren terhadap perkembangan zaman, namun paradigma
Islam tradisional tetap dipertahankan. Paradigma yang dimaksud adalah tradisi kitab kuning,
orientasi Fiqh-sufistik, dan kharismatik sang kiyai.

1. Kitab Kuning sebagai Tradisi Intelektual Pesantren Tradisional

Salah satu elemen penting dari pendidikan pesantren adalah pengkajian kitab-kitab klasik.
Pengkajian kitab klasik ini diberikan sebagai upaya meneruskan tujuan dari pesantren yaitu
mendidik calon-calon ulama yang setia kepada pahampaham Islam tradisional. Pengkajian kitab
klasik inilah pada dunia pesantren lebih dikenal dengan kitab kuning. 4 Tradisi pengkajian kitab
kuning menunjukkan orisinalitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam. Jika tradisi kitab
kuning telah hilang dari pendidikan pesantren, maka pesantren tidak ada ubahnya dengan
madrasah atau perguruan dengan sistem asrama.

Kitab kuning memiliki peran strategis dalam transformasi keilmuan di pesantren, bahkan
ia merupakan referensi tunggal paling dini dalam tradisi intelektual Islam di Nusantara karena
dokumentasi keilmuan Islam yang kebanyakan berbahasa Arab. Munculnya pesantren adalah
untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik
yang ditulis berabad-abad lalu. Dengan kata lain, tradisi, baik tradisi pemikiran maupun pelaku
yang berkembang di pesantren, tak lain merupakan implementasi ajaran-ajaran yang terkandung
dalam kitab-kitab klasik.5

4
Usman, M. I. (2013). Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam (Sejarah lahir, sistem pendidikan, dan
perkembangannya masa kini). Jurnal Al-Hikmah, 14(1), 127– 146.

5
Muqoyyidin, A. W. (2014). Kitab kuning dan tradisi riset pesantren di Nusantara. IBDA: Jurnal Kajian
Islam Dan Budaya, 12(2), 119–136.

5
Dalam tradisi pesantren, pengajaran kitab-kitab Islam klasik lazimnya memakai metode-
metode berikut:
1. Metode sorogan, yaitu bentuk belajar-mengajar di mana kyai hanya menghadapi seorang
santri atau sekelompok kecil santri yang masih dalam tingkat dasar. Tata caranya adalah
seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kyai, kemudian kyai
membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu murid mengulangi bacaannya
di bawah tuntunan kyai sampai santri benar-benar dapat membacanya dengan baik.
Bagi santri yang telah menguasai materi pelajarannya akan ditambahkan materi baru,
sedangkan yang belum harus mengulanginya lagi.
2. Metode wetonan dan bandongan, ialah metode mengajar dengan sistem ceramah. Kyai
membaca kitab di hadapan kelompok santri tingkat lanjutan dalam jumlah

2. Fiqh-Sufistik: Orientasi Pendidikan Pesantren

Pada sekitar abad XVII M terbentuk jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara yang memiliki kandungan intelektual neo-sufisme. Berbeda dengan paham tasawuf
sebelumnya, neo-sufisme memberikan tekanan lebih besar pada kesetiaan terhadap syariah.
Bermula dari sini, pergeseran tradisi keilmuan pesantren kemudian melangkah menuju ke tradisi
keilmuan fiqh-sufistik, sebagai formula baru antara eksoterisme dan esoterisme Islam. Selain
kecendrungan mistik tasawuf yang makin diarahkan pada coraknya yang mu’tabarah, fiqh pun
semakin dijadikan tolak ukur dalam menentukan tata perilaku setiap muslim dalam menjalani
kehidupan ini. Akan tetapi, fiqh ini tidak dalam corak puritan yang kurang toleran terhadap
tradisi lokal, tidak juga dalam corak formalistik yang menekankan formalisasi hukum agama
yang dipedomaninya.

Perpaduan fiqh-sufistik yang begitu kuat mempengaruhi tradisi intelektual dunia


pesantren.6 Hal ini mengakibatkan munculnya pola pikir dan tata perilaku komunitas pesantren
yang menyangkut khazanah pengetahuan Islam yang senantiasa berada dalam alur formulasi
“normativemistik”. Salah satu implikasinya, proses belajar-mengajar yang berlangsung di

6
Satria, R. (2019). Dari Surau ke Madrasah: Modernisasi pendidikan Islam di Minangkabau 1900-1930 M.
TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam, 14(2), 277–288 .

6
pesantren tampak lebih didominasi oleh model pemikiran dogmatis agama daripada pemikiran
rasional faktual.

Salah satu sebab tradisi kehidupan keagamaan kalangan pesantren lebih kaya dengan
praktikpraktik ritual keagamaan yang selanjutnya telah menciptakan satu tipe kehidupan dan
keagamaan yang lebih ritualistik apabila dibandingkan dengan kaum Islam modernis. Warna
sufistik dalam tradisi pesantren juga terlihat dari kehidupan kiai yang sangat sederhana, qanaah,
ikhlas tanpa meminta gaji, ketaatan santri kepada kiainya, dan sebagainya. Pola kehidupan
seperti ini tidak akan ditemukan dalam pola pendidikan sekolah ataupun di madrasah.

3. kharismatik sang kiyai

Menurut anasom bahwa : Karismatik berarti bersifat karisma, di mana karismanya berasal
dari bahasa Yunani yang berarti “karunia diinspirasi ilahi” (divinily spired gift) seperti
kemampuan untuk melakukan mukjizat atau memprediksi pristiwa- pristiwa dimasa mendatang. 7
Kepemimpnan Kharismatik diartikan “keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan
kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan rasa
hormat dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya” atau atribut kepemimpinan yang
didasarkan atas kualitas kepribadian individu.

Secara bahasa (etimologi) kiai berasal dari bahasa jawa yang digunakan untuk menjelaskan
tiga hal pertama, kiai digunakan untuk sebutan benda keramat yang dianggap memiliki kekuatan
ghaib, seperti Kiai Garuda Kencana untuk sebutan Kereta Emas di Keraton Yogyakarta. Kedua,
digunakan sebagai penghormatan kepada para tetua dan sesepuh masyarakat. Ketiga ,digunakan
sebagai gelar kehormatan bagi seorang ahli agama Islam yang memimpin sebuah pesantren dan
mengajar kitab-kitab agama Islam kepada santrinya. Pada era modern ini kiai lebih terkenal
digunakan untuk kriteria yang ketiga yaitu seorang yang ahli dalam agama islam dan
menyebarkannya kepada umat.8

Kyai merupakan elemen sentral dalam kehidupan pesantren, tidak saja karena kyai yang
menjadi penyangga utama kelangsungan sistem pendidikan di pesantren, tetapi juga karena sosok
kyai merupakan cerminan dari nilai yang hidup di lingkungan komunitas santri. Kedudukan dan
7
Kompri, Manajemen dan Kepemimpinan Pondok Pesantren,(Jakarta: Prenadaamedia Group,2018),h. 189
8
Nurcholish Madjid, “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam”, dalam Dawam Rahardjo, ed.,
Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah,(Jakarta : P3M, 1985), 223

7
pengaruh kyai terletak pada keutamaan yang dimiliki pribadi kyai, yaitu penguasaan dan
kedalaman ilmu agama, kesalehan yang tercermin dalam sikap dan perilakunya sehari-hari yang
sekaligus mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan menjadi ciri dari pesantren seperti ikhlas,
tawadhu`, dan orientasi kepada kehidupan ukhrowi untuk mencapai riyadhah.

Dengan demikian di era modern ini kharismatik kyai sangat dituntut untuk terus
mengembangkan pendidikan islam. Apalagi figure kyai yang menjadi panutan bagi setiap
santrinya tentu menjadi banyak sorotan saat ini.

B. Ragam Solusi Saat Ini Mempertahankan Tradisi Tersebut

Terdapat tiga hal yang perlu dilakukan pesantren dalam menjaga tradisi khasnya sesuai jati
dirinya. Pertama, pesantren terus menjaga dan memposisikan sebagai lembaga pengkaderan
ulama; Kedua, pesantren sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan khususnya berbasis
agama Islam, bahkan memungkinkan menerima keilmuan bidang umum termasuk sains dan
teknologi; dan Ketiga, pesantren harus mampu menempatkan dirinya sebagai transformator,
motivator, dan inovator akhlak.

Ada dua kekuatan utama yang dimiliki budaya dan tradisi pendidikan pesantren. Pertama,
adanya karakter budaya pendidikan yang memungkinkan santrinya belajar secara tuntas, atau
yang sering dikenal dengan konsep mastery learning. Termasuk juga metode bandongan dan
sorogan khas tradisi pesantren yang merefleksikan upaya pesantren melakukan pengajaran yang
menekankan kualitas penguasaan materi. Kedua, kuatnya partisipasi masyarakat juga tentunya
menjadi karakter tradisi pendidikan pesantren. Hal ini dikarenakan bahwa secara umum
pendirian pesantren di seluruh Indonesia lebih didorong oleh permintaan (demand) dan
kebutuhan (need) masyarakat itu sendiri.

1. Solusi Mempertahankan Kitab Kuning

Mempertahankan tradisi kitab kuning harus sejalan dengan mempertimbangkan aspek


relevansinya. Harus dilakukan upaya kontekstualisasi kitab kuning sehingga relevan dengan
persoalan umat. Pentingnya kontekstualisasi kitab kuning ini misalnya disuarakan oleh anak-

8
anak muda Nahdatul Ulama. Hal ini menjadi kebutuhan yang mendesak sehingga kitab kuning
bisa bersifat operasional dalam keseharian umat.9

Sebagai upaya kontekstualisasi kitab kuning, metode diskusi perlu dikembangkan dalam
pengajaran kitab kuning saat ini.10 Metode diskusi memungkinkan para santri tidak hanya
berdiam diri dengan menerima sejumlah informasi tanpa ada ruang dialog di dalamnya. Para
santri bisa saling menguji pemahaman, atau saling membantu memberikan pemahaman
mengenai kitab kuning yang sedang dan akan dipelajari melalui diskusi. Model sorogan,
wetonan, hafalan, dan diskusi hendaknya dipadukan dalam sistem pengajaran kitab kuning di
pesantren. Memadukan beragam metode tersebut pada parktiknya menjadikan pengajaran
berlangsung efektif.

Bertahannya tradisi kitab kuning dalam intelektualisme dunia pesantren setidaknya dapat
dilihat dari dua pandangan tentang posisi kitab kuning di pesantren. Pertama, kebenaran dan
otoritatif kitab kuning yang dipegang teguh dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Kitab kuning
ditulis dan dirumuskan oleh ulama-ulama yang dianggap memiliki otoritas keilmuan di
bidangnya. Selain itu, keilmuan yang selalu diwariskan dari waktu ke waktu membuat kebenaran
kitab kuning sudah teruji dalam sejarah yang panjang. Kedua, kitab kuning penting bagi
pesantren untuk memfasilitasi proses pemakaian keagamaan yang mendalam sehingga mampu
merumuskan penjelasan segar tetapi tidak ahistoris mengenai ajaran Islam. Pemeliharaan bahkan
pengayaan kitab kuning harus tetap dijaga ciri utamanya, agar pesantren tetap mejadi pusat
kajian keislaman.

2. Intelektual Keagamaan

Pusat khazanah intelektual Islam mulai dari periode klasik pertengahan sampai periode
modern atau kontemporer dengan berbagai aliran keagamaan atau mazhab sunni maupun di luar
Sunni termasuk di dalamnya adalah peningkatan kemampuan bahasa Arab sebagai ilmu alat yang
digunakan untuk menggali khazanah intelektual Islam yang umumnya berbahasa Arab maupun
yang ditulis dalam bahasa Inggris. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang berkhidmat
9
Djazilam, M. S. (2019). Relevansi sistem pendidikan pesantren tradisional dalam era modernisasi.
AlInsyiroh: Jurnal Studi Keislaman, 5(1), 89–105.
10
Mustofa, M. (2019). Kitab kuning sebagai literatur keislaman dalam konteks perpustakaan pesantren.
Tibanndaru: Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 2(2), 1– 14.

9
dan berkomitmen dalam pelayanan pendidikan dan dakwahnya umumnya memiliki pengetahuan
tradisi atau intelektual yang sangat kuat dan terjaga secara berkelanjutan.

Para Kiai mempersiapkan diri dengan tradisi dan pengalaman panjang dalam penguasaan
ilmu agama; tafsir,hadis, fiqih, usul fiqh, ilmu alat, dan sebagainya. Maka muncullah spesialisasi
dan perkuat salah satu bidang agama di pesantren tentunya berdasarkan spesialisasi atau keahlian
yang dimiliki oleh kyainya dalam bidang-bidang tertentu. Dengan potensi intelektual yang
dimiliki pesantren mendukung pesantren sebagai pusat peradaban muslim Indonesia, pesantren
menyadari bahwa keunggulan yang dimiliki adalah penguasaan ilmu-ilmu agama dengan semua
ilmu pendukungnya dengan demikian akan dilahirkan ahli-ahli agama dengan bidang-bidang
tertentu sesuai dengan kemampuannya masing-masing.11

3. Jembatan Penghubung antara Teks dan Keagamaan

Pesantren sebagai penerus misi keagamaan yang sudah sejak masuknya Islam memiliki
peran sebagai jembatan penghubung ketika agama berbenturan dengan budaya lokal. Hal ini bisa
dilihat pada tradisi “Tirakat” dalam budaya Jawa tradisi tirakat sudah berkembang dan dilakukan
oleh nenek moyang untuk memperoleh kesaktian yang mereka lakukan sangat beragam
diantaranya berupa mengembara dan lain sebagainya.

Namun seringkali seorang kyai melakukan kepada santrinya untuk melakukan tirakat
dalam pengertian ini tirakat bisa berarti menjelajahi sunnah atau menghindari makanan tertentu
seperti makanan yang berasal dari makhluk bernyawa. Meskipun ajaran tidak pernah larangan
tertentu tersebut, namun pelaku tirakat ini sengaja menghindari agar lebih mudah menekan hawa
nafsu. Karena makanan tertentu tersebut terdapat kandungan yang dapat meningkatkan hawa
nafsu. Tidak sedikit dari sekian santri menjalani tirakat untuk melatih diri (riyadloh)dengan
meniggalkan perbuatan yang bernuansa hedonis, tujuannya yaitu untuk menekan hawa nafsu.12

11
Fuaddin TM, “Diversifikasi Pendidikan Pesantren di Tantangan dan Solusi”, dalam Jurnal Penelitian
Pendidikan Agama dan Keagamaan,Vol. 5 No. 4, 2017, hlm. 31.
12
Cholid Abddullah, “Tradisi Pesantren Sebagai Pusat Peradaban Muslim Nusantara”, dalam al-A’raf, Vol.
XI No. 2, 2014, hlm. 33-34.

10
C. Analisis Terhadap Solusi Saat Ini dan Tawaran Solusi Lain

Adapun analisi terhadap solusi ini ialah sebagai berikut:

1. Kitab Kuning

Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah menyebutkan kategori


karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut
kitab-kitab klasik, sedangkan kedua disebut kitab-kitab modern. Di kalangan pesantren
kitab-kitab tersebut dikenal sebagai kitab kuning atau kitab gundul yang dijadikan sebagai
referensi kajian antara kiai dan santrinya.22

Salah satu tradisi klasik yang ada dipesantren adalah kitab kuningnya. Dimana
kegiatannya adalah meneliti, menulis, dan membaca kitab-kitab klasik atau kitab kuning.
Dalam dunia pesantren posisi kitab kuning sangat penting karena kitab kuning dijadikan
sebagai text book, referensi, dan kurikulum dalam sistem pendidikan di pesantren. Selain
sebagai pedoman bagaimana tatacara yang berhubungan dengan keagamaan, kitab kuning
juga difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai referensi yang universal guna menyikapi
segala tantangan kehidupan.

Tradisi ini merupakan tradisi yang terus dipertahankan dalam lingkungan pesantren.
Affandi Mochtar mengemukakan bahwa ada dua alasan yang mendasari pentingnya kitab
kuning dijadikan sebagai referensi dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren,
diantaranya adalah:13

a. Kebenaran kitab kuning di kalangan pesantren merupakan referensi yang


kandungannya tidak perlu untuk dipertanyakan lagi.

b. Kitab kuning penting di pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman


keagamaan yang mendalam sehingga mampu merumuskan penjelasan yang segar
tetapi tidak ahistoris mengenai ajaran Islam.

Pelestarian kitab kuning di pesantren telah berjalan terus menerus, secara kultural hal
ini telah menjadi ciri khusus pesantren sampai saat ini. peran lembaga pesantren dalam
meneruskan tradisi keilmuan klasik sangatlah besar. Melalui tradisi menbaca kitab kuning
13
Amrizal, “Eksistensi Tradisi Kajian Kitab Kuning Dalam Lingkup Perubahan Sosial (Studi Kasus di
Pesantren Darun Nahdah, Darel Hikmah, dan Babussalam)”, dalam Sosial Budaya, Vol. 13 No. 1, 2016, hlm. 76.

11
ini para kiai berhasil mewarnai corak kehidupan masyarakat pada khususnya dan
kehidupan sosial kemasyarakatan pada umumnya.

Pada 1920-an terjadi tiga pembaharuan penting yang diadopsi oeh banyak pesantren,
terpengaruh oleh kemajuan pendidikan Islam di Timur Tengah dan persaingan dengan
sistem pendidikan Belanda. Diantara pembaharuan tersebut adalah pembukaan beberapa
pesantren untuk santri perempuan, penggunaan sistem madrasah sejenis sekolah Islam yang
memformalkan pendidikan pesantren melalui penggunaan sistem kelas yang bertingkat,
dan penambahan ebberapa pengajaran umum seperti matematika dan bahasa Indonesia
pada kurikulum.14

Lebih dari itu beberapa pondok pesantren bahkan mulai menerapkan pembelajaran
modern secara penuh, dimana pola pembelajaran klasik seperti ta’lim, wetonan dan
sorogan mulai dihilangkan. Pada saat ini ada kebutuhan besar untuk sistem pendidikan
nasional yang baru dan banyak siswa pindah dari pesantren dan madrasah ke sistem
pemerintah. Sehingga dampaknya adalah pesantren yang terus menerus menambah
kurikulum umum pada kurikulum agama, sering kali melalui peningkatan pembangunan
sekolah madrasah di pesantren. Pada tahun 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama
untuk menyamakan kurikulum adrasah melalui implementasi kurikulum nasional. Sehingga
Departemen Agama memutuskan bahwa kurikulum ini termasuk 70% pelajaran umum dan
30% pelajaran keagamaan.15

Hal ini sejalan dengan apa yang dituangkan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional dimana pendiidkan
keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan kelompok masyarakat dari pemeluk
agama, sesuai dengan peraturan perundnag-undangan. Pendidikan keagamaan juga
diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal yang berbentuk
pendidikan diniyah, pesantren, dan sebagainya.16

14
Ibid., hlm. 79.
15
Ibid., hlm. 80.
16
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.

12
Memahami arus globalisasi saat ini maka penting bagi pesantren untuk memahami
pengaruhnya. Dengan berpegang teguh pada prinsip pesantren yaitu al-muhafadzah ‘ala
al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah, yaitu tetap memegang tradisi yang
positif dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Artinya disamping
mengikuti arus modernisasi atau pembaharuan pendiidkan yang ada di Indonesia, pesantren
juga harus memegang teguh pada tradisi positif yang harus tetap dipertahankan seperti
tradisi kitab kuning ini.

Mempertahankan tradisi kitab kuning ini harus sejalan dengan aspek relevansinya.
Artinya hal ini harus dilakukannya upaya kontekstualita kitab kuning sehingga relevan
dengan persoalan umat. Tawaran lain sebagai upaya kontekstualitas tersebut, metode
diskusi perlu dikembangkan dalam pengajaran kitab kuning saat ini selain dari pada
metode yang digunakan sebelumnya seperti sorogan, wetonan dan hafalan. Metode diskusi
diskusi memungkinkan para santri tidak hanya diam diri dengan menerima informasi tanpa
ada euang dialog di dalamnya. Sehingga para santri bisa menguji pemahaman atau saling
membantu memberikan mengenai kitab kuning yang sedang dipelajari.

2. Pengabdian Masyarakat

Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia.


Awal kehadiran pondok pesantren yaitu sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional guna
mendalami ilmu-ilmu agama Islam sebagai pedoman hidup dengan menekankan
pentingnya moral dalah kehidupan bermasyarakat. Kiprah pesantren dalam berbagai hal
sangat dirasakan oleh masyarakat. Sebagai salah satu contohnya adalah pembentukan
kader-kader ulama dan pengembang keilmuan Islam, selain itu pesantren juga merupakan
gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Pada akhir abad ke-20 sistem pendidikan di pesantren terus mengalami berbagai
perubahan. Dimulai dari pengajaran yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama saja hingga
bangunan yang awalnya hanya dengan masjid dan asrama kini sudah memiliki kelas-kelas
dan sarana yang cukup canggih. Namun demikian, pesantren tidak meninggalkan
tradisinya, hingga pada abad ke-21 ini pesantren terus mengadakan pembaharuan seiring
dengan perkembangan zaman.

13
Azyumardi Azra mengemukakan pendapatnya bahwa selain sebagai transfer ilmu,
pesantren juga sebagai kareisasi ulama dan pemelihara budaya Islam. Senada dengan apa
yang dikemukakan oleh Tholkhah Hasan bahwa pesantren harus mempertahankan dan
melakukan perawatan terhadap tradisitradisi yang baik sekaligus mengadaptasi
perkembangangan keilmuan perkembangan keilmuan yang lebih baik karena salah satu
fungsi pesantren adalah lembaga yang melakukan rekayasa sosial atau pengabdian kepada
masyarakat.17 Hal ini dilakukan agar para santri mampu memainkan perannya sebagai
agent of change.

3. Perkawinan Antar Kader Pesantren

Dalam pesantren tradisional terdapat sebuah tradisi perkawinan antar kader


pesantren. Menurut Daulay dalam pesantren terdapat hubungan yang akrab antara kiai dan
santri, tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kiai, pola hidup
sederhana, kemandirian, berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong, disiplin ketat,
berani menderita untuk mencapai tujuan, kehidupan dengan tingkat regiusitas yang tinggi.18
Kedekatan dan kepemimpinan kiai menjadi alasan calon pasangan yang akan menikah
meminta pendapat atau restu kiai dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan keputusan
untuk menikah.

Tradisi ini biasanya dilakukan pada pesantren tradisional atau salaf. Tradisi santri
yang terkait dengan perjodohan dan pernikahan berlangsung yang dimulai dengan
perhatian pada kafaah atau kesederajatan calon pasangan, pertunangan, dan prosesi akad
nikah menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati.

Tradisi pernikahan ini tidak begitu saja dilakukan tanpa dasar pertimbangan, namun
semua itu disandarkan pada sunnah Rasulullah SAW, sebagaimana atau norma agama yang
mereka pahami dalam proses pembelajaran di pesantren tersebut.19 Alasan tradisi
17
Imam Syafe’i, “Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentuk Karakter”, dalam AlTadzkiyyah, Vol.
8, 2017, hlm. 94. 16 Ibid, hlm. 97.
18
Ferawati, Skripsi: “Kepatuhan Santri Salaf Terhadap Kiai dalam Memilih Pasangan Untuk Menikah”,
(Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2017), hlm. 2.
19
M Yusuf Khummani dan Sukron Ma’mun, “Jodoh dan Perjodohan Santri Jamaan Tabligh di Pesantren
Temboro”, dalam Ulul Albab, Vol. 3 No. 1, 2019, hlm. 26. 22 Ibid., hlm. 73.

14
perjodohan tetap dipertahankan dikalangan pesantren salaf adalah karena amanat atau
pesan dari sesepuh terdahulu supaya anak cucunya kelak jika menikah tidak jauh-jauh
melainkan keluarga sendiri atau kalangan santri sekitar demi menjaga garis keturunan yang
sudah mereka pertahankan dan juga penerusnya tetap dari kalangan cucunya sendiri.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

15
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:
1. Tradisi dapat diartikan sebagai adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang
masih dijalankan masyarakat dan juga penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang
telah ada merupakan cara-cara yang dianggap paling baik dan benar.

2. Pesantren merupakan sebuah lembaga yang khas akan tradisi-tradisi klasiknya, tak jauh
halnya seperti tradisi kitab kuning dan tradisi klasik lainnya. Dengan berpegang teguh
pada prinsip yang dianut, pesantren akan tetap menjadi lembaga pendidikan yang
mempertahankan tradisi yang baik ditengah pembaharuan yang terjadi dalam dunia
pendidikan.

3. Tradisi di pesantren dicirikan oleh keunikan seperti terlihat dalam sistem pendidikan
pesantren yang cenderung mengajarkan struktur, metode, dan literatur kuno. Ragam
solusi yang diberikan untuk mempertahankan tradisi yang baik di pesantren ialah dengan
adanya intelektual keagamaan, keterbukaan sebuah selektif, dan jembatan penghubung
antara teks dan keagamaan.

4. Dan analisis terkait solusi dari tradisi di pesantren tersebut ialah pengabdian masyarakat,
penerapan pembelajaran kitab kuning dan lain sebagainya.

B. SARAN

Penulis berharap kepada para pembaca agar sekiranya dapat memahami persoalan resistensi
tradisi klasik pesantren di era modern beserta ragam solusi dan analisisnya.

DAFTAR PUSTAKA

A rriyono dan Siregar, Aminuddi. Kamus Antropologi.(Jakarta : Akademik


Pressindo,1985) hal.4

16
Manan, (2019). Daya tahan dan eksistensi pesantren di era 4.0. Jurnal Pendidikan Islam
Indonesia, 3(2), 155–167

Yaqin, A. (2017). Dialektika fundasional perkembangan pesantren (Perspektif


pendidikan Islam). INOVATIF: Jurnal Penelitian Pendidikan, Agama Dan Kebudayaan, 3(1),
95–113.

Usman, M. I. (2013). Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam (Sejarah lahir, sistem
pendidikan, dan perkembangannya masa kini). Jurnal Al-Hikmah, 14(1), 127– 146.

Muqoyyidin, A. W. (2014). Kitab kuning dan tradisi riset pesantren di Nusantara. IBDA:
Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, 12(2), 119–136.

Satria, R. (2019). Dari Surau ke Madrasah: Modernisasi pendidikan Islam di


Minangkabau 1900-1930 M. TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam, 14(2), 277–288.

Kompri, Manajemen dan Kepemimpinan Pondok Pesantren,(Jakarta: Prenadaamedia


Group,2018),h. 189

Nurcholish Madjid, “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam”, dalam Dawam


Rahardjo, ed., Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah,(Jakarta : P3M, 1985), 223

Djazilam, M. S. (2019). Relevansi sistem pendidikan pesantren tradisional dalam era


modernisasi. AlInsyiroh: Jurnal Studi Keislaman, 5(1), 89–105.

Mustofa, M. (2019). Kitab kuning sebagai literatur keislaman dalam konteks


perpustakaan pesantren. Tibanndaru: Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 2(2), 1– 14.

Fuaddin TM, “Diversifikasi Pendidikan Pesantren di Tantangan dan Solusi”, dalam


Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan,Vol. 5 No. 4, 2017, hlm. 31.

Cholid Abddullah, “Tradisi Pesantren Sebagai Pusat Peradaban Muslim Nusantara”,


dalam al-A’raf, Vol. XI No. 2, 2014, hlm. 33-34.

Amrizal, “Eksistensi Tradisi Kajian Kitab Kuning Dalam Lingkup Perubahan Sosial
(Studi Kasus di Pesantren Darun Nahdah, Darel Hikmah, dan Babussalam)”, dalam Sosial
Budaya, Vol. 13 No. 1, 2016, hlm. 76.

17
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.

Imam Syafe’i, “Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentuk Karakter”, dalam


AlTadzkiyyah, Vol. 8, 2017, hlm. 94. 16 Ibid, hlm. 97.

Ferawati, Skripsi: “Kepatuhan Santri Salaf Terhadap Kiai dalam Memilih Pasangan
Untuk Menikah”, (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2017), hlm. 2.

M Yusuf Khummani dan Sukron Ma’mun, “Jodoh dan Perjodohan Santri Jamaan
Tabligh di Pesantren Temboro”, dalam Ulul Albab, Vol. 3 No. 1, 2019, hlm. 26. 22 Ibid., hlm.
73.

18

Anda mungkin juga menyukai