Anda di halaman 1dari 17

EKSISTENSI LEMBAGA PENDIDIKAN MDTA

Mata Kuliah: Pendidikan MDTA

Dosen Pengampu: Maulidayani, M. Pd

Disusun oleh Kelompok 10:

Sem. VI/ MPI 1

Novi Winda Sari (0307171035)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SUMATERA UTARA MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita pajatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberi
kita kesehatan sehingga kami bisa menyelesai tugas Makalah ini. Shalawat bertangkaikan
salam kepada nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kejahilian
sampai ke zaman yang terang-benderang sekarang ini.

Tak lupa pula kami berterima kasih kepada Ibu Dosen, selaku dosen pengampu
kami dalam mata kuliah Pendidikan MDTA ini. Disini kami meminta maaf kepada ibu
bila banyak kesalahan pada tugas kami. Kami mohon maaf agar sudinya memberi banyak
masukkan kepada kami agar kedepannya bisa lebih baik.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................1
C. Tujuan Masalah.......................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................3

A. Pengertian Madrasah Diniyah Takmiliyah............................4


B. Pengertian Pendidikan Diniyah Formal.................................6
C. Pandangan Masyarakat tentang pendidikan MDTA..............8
D. Problematika Pendidikan MDTA..........................................10

BAB III PENUTUP...................................................................................12

A. Kesimpulan...............................................................................12

BAB IV DAFTAR PUSTAKA..................................................................13


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Madrasah diniyah (Madin) merupakan lembaga pendidikan Islam yang secara historis
tidak bisa diragukan lagi pengalamannya dalam mendidik masyarakat Indonesia, terutama
umat Islam. Dari segi usia, Madin merupakan kelembagaan pendidikan keagamaan Islam
yang cukup matang dalam mengajarkan dan mendidik umat Islam tentang persoalan-
persoalan keagamaan Islam. Madin menjadi pioner lembaga pendidikan di Indonesia, karena
cikal bakal lembaga pendidikan di Indonesia diawali dari Madin. Pada tahap berikutnya,
muncul keresahan di sebagian umat Islam, karena madrasah hanya mempelajari ilmu agama
saja, maka memiliki kesan umat Islam mengalami kepincangan dalam ilmu. Madrasah
memiliki image jauh dari modernitas, karena tidak mempelajari ilmu-ilmu umum yang
sedang dibutuhkan jaman.

Keberadaan madrasah diniyah di masyarakat masih cukup banyak dijumpai di daerah-


daerah. Karena Madrasah Diniyah memiliki peran penting dalam mendidik masyarakat para
generasi muda dalam hal menanamkan nilai-nilai moral dan keagamaan sejak dini. Apalagi di
tengah derasnya arus informasi dan canggihnya teknologi. Dimana sudah tidak ada sekat
ruang dan waktu untuk mengakses informasi apapun karena banyaknya pemanfaatan
teknologi data dalam jaringan (daring) di kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, untuk
mengantisipasi dampak negatif dari tidak terkendalinya pemanfaatan daring bagi masyarakat
khususnya generasi muda, maka sangat perlu untuk tidak hanya mengoptimalkan pendidikan
agama dan pembentukan karakter di sekolah tetapi juga didukung dengan peran madrasah
diniyah. Madrasah diniyah memiliki peran yang penting untuk mengajarkan nilai-nilai Islam
yang lebih mendalam, seperti tentang Fiqih yang mempelajari tentang hukum-hukum syariah
dalam praktek beribadah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Madrasah Diniyah Takmiliyah?
2. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Diniyah Formal?
3. Bagaimana Pandangan Masyarakat tentang pendidikan MDTA?
4. Apa saja Problematika Pendidikan MDTA?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Madrasah Diniyah Takmiliyah
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Pendidikan Diniyah Formal
3. Untuk mengetahui bagaimana Pandangan asyarakat tentang Pendidikan MDTA
4. Untuk mengetahui apa saja Problematika Pendidikan MDTA
BAB II

PEMBAHASAN

A. Madrasah Diniyah Takmiliyah

Dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 tentang
Pendidikan Keagamaan Islam pada Pasal 1 Ayat 10 menjelaskan bahwa madrasah diniyah
takmiliyah adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam pada jalur pendidikan nonformal
yang diselenggarakan secara terstruktur dan berjenjang sebagai pelengkap pelaksanaan
pendidikan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Madrasah
diniyah takmiliyah sebenarnya salah satu bagian dari madrasah diniyah nonformal, karena
apabila melihat bunyi Pasal 45 Ayat 1 pada PMA Nomor 13 Tahun 2014, pendidikan diniyah
nonformal diselenggarakan dalam bentuk madrasah diniyah takmiliyah, pendidikan al-
Qur’an, majlis taklim atau pendidikan keagamaan Islam lainnya.

Dalam PP Nomor 55 Tahun 2007 Pasal 25 Ayat 3 penyelenggaraan diniyah


takmiliyah dilaksanakan di masjid, mushalla, atau di tempat lain yang memenuhi syarat.
Pasal 5 menjelaskan juga bahwa penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan
secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MK, atau pendidikan tinggi.
Dalam pasal 25 menegaskan bahwa diniyah takmiliyah bertujuan untuk melengkapi
pendidikan Agama Islam yang diperoleh di SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK, atau di perguruan
tinggi dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT.

Madrasah Diniyah Takmiliyah ialah suatu pendidikan keagamaan Islam nonformal


yang menyelenggarakan pendidikan Islam sebagai pelengkap bagi siswa pendidikan umum.
Mc.Donald (1959: 7) mempromosikan bahwa madrasah diniyah mempunyai dua model,
yaitu: madasah diniyah model A dan madrasah diniyah model B. Model yang pertama
diselenggarakan di dalam pondok pesantren, yaitu: madrasah diniyah yang naungannya di
bawah pondok pesantren. Model yang kedua diselenggarakan di luar pondok pesantren, yaitu:
madrasah diniyah yang berada di luar pondok pesantren.

Madrasah diniyah dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, Madrasah Diniyah


Awaliyah (MDA) adalah satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat dasar dengan masa belajar 6 tahun.
Kedua, Madrasah Diniyah Wustho (MDW) adalah satuan pendidikan keagamaan jalur
sekolah yang menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat menengah pertama sebagai
pengembangan pengetahuan yang diperoleh pada madrsah diniyan Awaliyah dengan masa
belajar tiga tahun. Ketiga, Madrasah diniyah ulya (MDU) adalah satuan pendidikan
keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat
menegah atas denan melanjutkan dan mengembangkan pendidikan madrasah diniyah wustho,
masa belajar selama tiga tahun dengan jumlah jam belajar minimal 18 jam pelajaran dalam
seminggu.

Perubahan nomenklatur dari madrasah diniyah menjadi diniyah takmiliyah


berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan madrasah diniyah merupakan pendidikan
tambahan sebagai penyempurna bagi siswa sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama
(SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) yang hanya mendapat pendidikan agama Islam
dua jam pelajaran dalam satu minggu, oleh karena itu sesuai dengan artinya maka kegiatan
tersebut yang tepat adalah diniyah takmiliah (Amrullah, 2013).

Madrasah Diniyah (MD) atau pada saat ini disebut Madrasah Diniyah Takmiliyah
(MDTA) adalah lembaga pendidikan Islam yang dikenal sejak lama bersamaan dengan masa
penyiaran Islam di Nusantara. Pengajaran dan pendidikan Islam timbul secara alamiah
melalui proses akulturasi yang berjalan secara halus, perlahan sesuai kebutuhan masyarakat
sekitar.

Pada masa penjajahan hampir semu desa yang penduduknya beragama Islam,
terdapat Madrasah Diniyah (Diniyah Takmiliyah), dengan nama dan bentuk berbeda beda
antara satu daerah dengan daerah lainnya, seperti pengajian, surau, rangkang, sekolah agama
dan lain lain. Mata pelajaran agama juga berbeda beda yang yang pada umumnya meliputi
aqidah, ibadah, akhlak, membaca Al Qur’an dan bahasa Arab. Namun walaupun demikian
keberadaan MDT ini masih terkesan kurang mendapat perhatian khusus baik dari kalangan
masyarakat maupun pemerintah. padahal jika melihat perkembangan spiritualitas generasi
saat ini sudah semakin memprihatinkan. Oleh sebab itu sudah menjadi suatu keniscayaan
kalau keberadaan madrasah takmiliyah ini mendapat perhatian lebih baik dari masyarakat
maupun pemerintah (Affan, 2017).

Berdasarkan data EMIS, jumlah MDTA saat ini berjumlah 76.566 lembaga yang
secara mayoritas penyelenggaraannya berlangsung di masyarakat, seperti masjid, mushalla,
gedung sendiri, dan pesantren. Dari lembaga MDTA yang ada, jumlah santri MDTA
sebanyak 6.000.062 orang, padahal populasi jumlah siswa pada sekolah berjumlah
44.559.915 orang. Artinya, masih ada sekitar 86,54% atau 38.559.853 siswa yang belum
mendapat layanan MDT," demikian papar Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok
Pesantren (PD-Pontren), Mohsen dalam sebuah acara Seminar Pra-Penelitian Integrasi
Pembelajaran Madrasah Diniyah Takmiliyah pada Sekolah.

Kementerian Agama RI menyambut baik lahirnya sejumlah Perda Wajib Belajar


MDT yang dirintis oleh Pemerintah Daerah, baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Di
samping untuk membenahi kualitas masyarakat daerahnya, Perda itu juga memberikan
penguatan serta kontribusinya atas layanan jenis pendidikan keagamaan Islam. Untuk itu,
Kementerian Agama berfikir untuk melakukan sejumlah sinergi dan kebijakan inovatif,"
papar Mohsen lebih lanjut. Sehubungan dengan itu, sejumlah kebijakan Direktorat
Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren yang sedang dan akan ditempuh adalah sebagai
berikut. Pertama, dilakukan perluasan akses MDTA yang terintegrasi dengan layanan sekolah
(SD/SMP/SMA).

Setelah mengikuti kegiatan belajar di sekolah, siswa diharapkan mengikuti layanan


MDT yang lembaga MDT-nya memang di sekolah itu sendiri, sehingga siswa tetap terus
belajar. Kedua, akan dilakukan penyusunan kurikulum bagi MDTA di sekolah, mulai jenjang
ula, wustha, dan ulya. Kurikulum MDT didesain untuk memperkuat pemahaman keagamaan
Islam yang damai, toleran, dan moderat, di samping basis kultur dan budaya keindonesiaan.
Intinya, kurikulum yang mengintegrasikan antara Islam dan keindonesiaan. Ketiga, guru yang
mengajar di MDT pada sekolah dipastikan memiliki pengetahuan agama Islam yang baik dan
disarankan pernah belajar pada pondok pesantren. Keempat, melakukan sinergi antara
Kementerian/Lembaga yang terkait, di antaranya Kementerian Agama, Kemdikbud, dan
Kemendagri.1

1
Alia, N. Madrasah Diniyah Takmiliyah dalam Perspektif Standar Pelayanan Minimal di
Kabupaten Bogor, Jurnal Medana Gama.
B. Pendidikan Diniyah Formal

Regulasi lembaga keagamaan Islam Pendidikan Diniyah Formal (PDF) adalah PP RI Nomor
55 tahun 2007, yang kemudian diperjelas lagi dengan PMA RI Nomor 13 tahun 2014. Dalam
Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia nomor 13 tahun 2014 tentang
Pendidikan Keagamaan Islam pada pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa Pendidikan
Keagamaan Islam adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat
menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama Islam
dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam dan mengamalkan ajaran agama Islam. Sedangkan
pada ayat 7 Pendidikan Diniyah Formal adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam yang
diselenggarakan oleh dan berada di pesantren secara terstruktur dan berjenjang pada jalur
pendidikan formal. PDF berbeda dengan madrasah diniyah takmiliyah, karena bentuk PDF
ini dalam penyelenggaraan lebih jelas yakni dengan persyaratan wajib/harus memperoleh izin
dari Menteri. Satuan pendidikan diniyah formal didirikan dan dimiliki oleh pesantren. Peserta
didik pendidikan diniyah formal wajib bermukim dalam lingkungan pesantren (santri
mukim).

Pada pasal 15 PP Nomor 55 tahun 2007, PDF menyelenggarakan pendidikan ilmu-


ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sedangkan kurikulum
pendidikan diniyah dasar formal diatur dalam pasal 18, ayat 1 yaitu wajib memasukkan
muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan
alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar. Ayat 2 tentang kurikulum pendidikan
diniyah menengah formal ditambah mata pelajaran seni dan budaya.

Menurut Kasubdit Pendidikan Diniyah Kementerian Agama RI, Zayadi, dalam


penjelasannya pada media on line Tribunnews, PDF merupakan salah satu dari entitas
kelembagaan pendidikan keagamaan Islam yang bersifat formal untuk menghasilkan lulusan
mutafaqqih fiddin (ahli ilmu agama Islam) guna menjawab atas langkanya kader mutafaqqih
fiddin. PDF diselenggarakan oleh dan berada di pesantren yang dilakukan secara terstruktur
dan berjenjang pada jalur pendidikan formal. Sebagai satuan pendidikan yang bersifat formal
dan memiliki civil effect yang sama, seperti halnya sekolah dan madrasah, seperti Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), tunjangan sertiikasi guru, akreditasi, dan lain-lain. Di samping
itu, PDF juga merupakan bagian dari upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dunia
pesantren, di samping sebagai ikhtiar konservasi tradisi akademik tafaqquh fiddin dan
pengembangan disiplin ilmu-ilmu keagamaan Islam.

PDF merupakan salah satu dari entitas kelembagaan pendidikan keagamaan Islam
yang bersifat formal untuk menghasilkan lulusan mutafaqqih fiddin (ahli ilmu agama Islam)
guna menjawab atas langkanya kader mutafaqqih fiddin. Jenjang PDF dimulai dari jenjang
pendidikan dasar, pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi. Jenjang pendidikan dasar
ditempuh pada PDF Ula selama 6 (enam) tahun, dan PDF Wustha selama 3 (tiga) tahun.
Jenjang pendidikan menengah ditempuh pada PDF Ulya selama 3 (tiga) tahun. Sedangkan
jenjang pendidikan tinggi ditempuh pada Ma’had Aly untuk program sarjana (S1), magister
(S2), dan doktor (S3).

Kurikulum yang akan dikembangkan oleh PDF terdiri atas pendidikan umum dan
pendidikan keagamaan Islam berbasis kitab kuning (kutub al-turats). Mata-mata pelajaran
pendidikan umum hanya terdiri atas Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia,
Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam, serta untuk tingkat ulya ditambah dengan Seni dan
Budaya, sementara mata pelajaran keagamaan Islam hingga di tingga ulya meliputi: Al-
Qur’an, Tauhid, Tarikh, Hadist-Ilmu Hadits, Fiqh-Ushul Fiqh, Akhlaq-Tasawuf, Tafsir-Ilmu
Tafsir, Bahasa Arab, Nahwu-Sharf, Balaghah, Ilmu Kalam, Ilmu Arudh, Ilmu Mantiq, dan
Ilmu Falak yang semuanya berbasis kitab dan berbahasa Arab. Jika diakumulasi beban mata-
mata pelajaran pendidikan keagamaan Islam setidaknya 75% dari seluruh beban pelajaran,
sementara beban mata-mata pelajaran pendidikan umum sekitar 25% dari seluruh beban
pelajaran.

Disadari benar bahwa kehadiran PDF ini merupakan bagian implementasi dari
skenario besar untuk menjadikan pendidikan di Indonesia, khususnya pesantren, sebagai
destinasi pendidikan. Sebab, dalam konteks pendidikan Islam secara global, harapan
masyarakat dunia terhadap pendidikan Islam masa kini dan masa depan itu berada di pundak
Indonesia. Pasalnya, seperti kita saksikan dalam gejolak sosial-politik dan perkembangan
keislaman di sejumlah negara muslim belakangan ini, terlebih di kawasan Timur Tengah, kita
patut menyayangkan terhadap gejolak tersebut yang mengakibatkan pusat-pusat keislaman
pun menjadi redup.

Dalam pasal 21 PMA RI nomor 13 tahun 2014 yang menjelaskan tentang pendirian
dan penamaan, pada ayat 1 berbunyi pendirian satuan Pendidikan Diniyah Formal,
Sebagaimana diatur dalam PMA nomor 13 Tahun 2014, peserta didik yang dinyatakan lulus
pada satuan PDF berhak melanjutkan ke jenjang dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
baik yang sejenis maupun tidak sejenis.

Pendidikan Diniyah Formal menjadi bagian dari lembaga keagamaan Islam yang
diselenggarakan untuk melakukan kaderisasi ulama. Kementerian Agama RI membuka ruang
baru dan memberikan pilihan kepada masyarakat untuk mendidik putera puterinya menjadi
kader ulama melalui layanan Pendidikan Diniyah Formal (PDF). Layanan PDF ini tunduk
atas Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan
Islam, yang merupakan turunan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, yang merupakan implementasi dari
Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.2

C. Pandangan Masyarakat Tentang Pendidikan MDTA

Memperhatikan dari segi jumlah satuan pendidikan MDTA, berikut dengan wilayah
dimana satuan pendidikan diselenggarakan, bila dibandingkan dengan luas wilayah dengan
jumlah desa dan kecamatan yang ada belum sebanding upaya pemerintah merumuskan dan
membuat payung hukum sebagai regulasi dalam memberikan sebuah perlindungan yang
sekaligus melahirkan sebuah pengakuan terhadap satuan pendidikan yang dikelola oleh
masyarakat muslim dalam bentuk satuan pendidikan nonformal yang merupakan respon dan
jawaban pemerintah terhadap desakan dari berbagai pihak pada beberapa decade lalu, karena
kuranynya jam belajar agama pada sekolah, maka salah satu indikator yang menunjukkan
bahwa rendahnya respon masyarakat muslim terhadap keberadaan MDTA.

Hal senada sebagaimana juga dikemukakan oleh Tegu Ati, S.Ag, M.Pd (Kepala Seksi
Pekapontren) Kemenag Kabupaten Rejang Lebong bahwa “ para orangtua yang memiliki
anak dan cucu terutama pada usia sekolah dasar kurang memiliki hasrat dan perhatian untuk
menyerahkan anak dan atau cucunya untuk didik pada Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT)
yang telah ada baik berada pada sekitar tempat tinggal yang bersangkutan maupun yang agak
jauh, walau ada yang perduli dan memiliki hasrat untuk itu jumlahnya sangat sedikit” Tidak

https://www.researchgate.net/publication/333054839_Tantangan_dan_Eksistensi_Madrasah_
Diniyah_sebagai_Entitas_Kelembagaan_Pendidikan_Keagamaan_Islam_di_Indonesia hal :
133
jauh berbeda juga dengan yang bahwa “sangat rendah sekali respon mayoritas orangtua yang
memiliki anak dan atau cucu terhadap keberadaan MDT untuk menyerahkan anak dan atau
cucunya belajar pada lembaga dimaksud, bebeda halnya dalam memberikan bekal ilmu
pengetahuan umum umpamanya belajar Matematika, Bahasa Inggris, maupun pelajaran
umum lainnya dan tidak merasa keberatan bila harus mengeluarkan dana untuk itu walaupun
nominalnya jauh lebih besar dari nominal yang dikeluarkan untuk belajar pada MDT, dan
bahkan terkadang yang telah masuk dan belajar pada MDT lalu diminta atau diumumkan
yang belum membayar spp, maka terkadang besoknya sebagian anak atau santri tersebut
tidak mau masuk dan datang lagi atau berhenti untuk belajar. Setelah itu didapati info karena
dimintai membayar spp bulanan yang sudah lama nunggak” Ungkapan senada juga seperti
yang diungkapkan oleh Niti Hartati, S.Pd (wakil kepala MDT Aisyiah) Tempel Rejo yang
sekaligus juga guru bahwa “rendahnya kesadaran orangtua untuk menyerahkan pendidikan
anak dan atau cucunya di MDT dan kalaupun telah masuk pada MDT apabila seandainya
dipinta untuk membayar SPP, sering sekali akhirnya anak tersebut tidak disuruh lagi
melanjutkan belajar alias berhenti oleh orantuanya”

Rendahnya respon dan kesadaran terhadap pandangan pendidikan MDTA tersebut diantara
lainnya :

1. Masih kurangnya perhatian pemerintah pusat dalam hal ini pihak Kementerian
Agama dan Pemerintah Daerah.
2. Masih belum tersosialisasinya dengan baik dan maksimal tentang eksistensi MDT
dengan regulasi yang ada dan cukup kuat, bagi masyarakat muslim lebih khusus
orangtua yang memilki anak dan atau cucu pada usia sekolah paling tidak usia SD
dan SLTP.
3. Kurang menariknya tampilan manajemen pengelolaan MDT terutama sarana dan
prasarana yang tersedia dan belum banyak diketahui oleh masyarakat akan muatan
kurikulumnya. Kekurang menariknya tampilan dengan sangat minimnya sarana dan
prasarana dan belum diketahuinya muatan kurikulumnya salah satu dari banyak
penyebab kurang diminati.
4. Belum adanya regulasi yang bersifat mengikat baik dari Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah.
5. Dari beberapa pasal Perda yang telah dikemukakan di atas menjukkan bahwa
Madrasah Diniyah Takmiliyah mendapatkan perhatian yang besar, diberi kedudukan
dan amanah yang besar , dan tidak mencabut akar pola penyelenggaraan yang tetap
diselenggarakan oleh masyarakat.3
D. Problematika Pendidikan MDTA

Secara garis besar, problematika pendidikan di MDTA dapat dibedakan menjadi dua
yaitu faktor Internal dan faktor Eksternal. Internal meliputi birokrasi dan administrasi MDTA
termasuk di dalamnya tenaga pelaksana yang terdiri dari pengelola, kepala sekolah dan para
guru. Sedangkan eksternal berasal dari luar lembaga pendidikan tersebut.

Faktor internal saya mulai dari pengelola. Praktik manajemen di madrasah seringkali
menggunakan model manajemen tradisional, yaitu model manajemen paternalistik dan
feodalistik. Dominasi senioritas jelas mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas
pendidikan. Munculnya kreatifitas dan inovasi dari kalangan muda terkadang dipahami
sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi ini mengarah pada penilaian negatif,
sehingga memunculkan kesan bahwa meluruskan atau mengoreksi kekeliruan langkah senior
dianggap sebagai sikap su’ al-adab (tabiat jelek).

Meski dalam beberapa kesempatan, masih banyak pengelola yang mau menerima dan
menghargai pendapat kepala sekolah dan majelis gurunya. Selanjutnya, faktor tenaga
pendidik. Sejauh pantauan saya, mayoritas tenaga pendidik di MDTA adalah tamatan Pondok
Pesantren atau tamatan Madrasah Aliyah (MA) sederajat. Hal ini tentunya sangat
berpengaruh terhadap gaya dan model pendidikan yang digunakan. Model dan gaya
pendidikan modern idealnya harus dikuasai oleh para pendidikan. Sebagai contoh, perubahan
model pendidikan dari Teacher’s center menuju Studen’s center hari ini, harus dipahami oleh
tenaga pendidik.

Dahulu asumsi yang mengajarkan bahwa anak yang harus mengikuti seluruh instruksi
guru, maka model pendidikan hari ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
anak untuk mengembangkan inovasi dan kreativitasnya. Hal inilah yang dinamakan
pendidikan “PAIKEM” (Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif Edukatif dan Menyenangkan).
Kalau dahulu pendidikan dengan system Rotaniah, dalam arti setiap kesalahan yang
dilakukan seorang murid langsung dipukul dengan kayu atau rotan oleh gurunya. Sekarang
hal itu tidak dibenarkan lagi karena bertentangan dengan Hak azazi manusia dalam hal ini

3
https://www.researchgate.net/publication/326122105_Respon_Masyarakat_Terhadap_Mad
rasah_Takmiliyah_Di_Kabupaten_Re
KOMNAS perlindungan anak, bisa-bisa malahan sang guru yang akan dilaporkan oleh murid
ke polisi, akhirnya masuk penjara.

Kemudian faktor keahlian tenaga administrasi. Dapat dilihat, karena alasan ketiadaan
dana atau anggaran, beberapa MDTA tidak memilki tenaga administrasi yang ahli dan
profesional. Akibatnya, terjadilah  penempatan tenaga  administrasi dan Tata Usaha MDTA
yang bukan ahlinya, sehingga mengakibatkan kacaunya administrasi di MDTA tersebut.
Bahkan ada beberapa MDTA tidak memiliki tenaga administrasi.

Selanjutnya faktor dana. Rata-rata MDTA di Kota Pekanbaru hanya mengandalkan


pendanaan dari iuran SPP murid setiap bulannya, kalaupun ada ditambah dari beberapa
donatur yang berinfak ke MDTA. Hal ini berimbas pada biaya operasional MDTA tersendat.
Mulai dari pengadaan sarana-prasarana pendidikan hingga honor para tenaga pengajar.
Bahkan ada tenaga pengajar di MDTA yang hanya mendapat tunjangan dari insentif wali
kota semata.

Tentunya, apresiasi yang cukup tinggi kepada beberapa kepala daerah khususnya Wali
Kota Pekanbaru yang memberikan perhatian serius terhadap pendanaan MDTA, dengan
memberikan insentif sebesar Rp. 400.000 per bulan kepada para guru yang diterima per
triwulan.Atas kondisi di atas, dapat dibayangkan, seandainya para wali murid terlambat
membayar uang SPP setiap bulannya. Itulah pengalaman penulis selama mengajar di MDTA,
tentu hal ini akan mengganggu semangat dan etos kerja para guru dalam menjalankan
tugasnya.

Terakhir, faktor sarana-prasarana. Beberapa MDTA ada yang belum memilki ruang
belajar, kalaupun sudah memiliki ruang belajar dalam keadaan yang sangat
mengkhawatirkan. Mulai dari meminjam kelas SDN, menyewa ruangan dan ruangan kelas
yang disekat-sekat dengan triplek hingga kelas siswanya yang belajar disatukan dua kelas
dalam satu ruangan.

Ketiadaan komputer dan alat-alat pendukung pembelajaran lainnya yang saat ini dapat
dikatakan sudah menjadi kebutuhan pokok pada setiap lembaga pendidikan manapun,
menambah penderitaan yang tiada berkesudahan.

Sedangkan faktor ekternal mulai dari masyarakat. Pandangan sebagian masyarakat yang
menganggap pendidikan di MDTA sebagai “second education” atau pendidikan nomor dua.
Selama ini MDTA dipersepsikan sebagai lembaga pendidikan kelas ekonomi, tidak bermutu,
hanya mengajarkan agama semata, jurusan akhirat, tempat penampungan anak-anak miskin,
dan bersistem kolot serta berbagai tudingan lainnya. Meski anggapan tersebut merupakan hal
yang salah kaprah, namun anggapan itu tetap bertahan mempengaruhi masyarakat umum,
yang selama ini memang jauh dari kehidupan madrasah.

Bahkan ada yang berasumsi MDTA hanya tempat belajar mengaji dan shalat saja. Tentu
ini kurang menguntungkan bagi peningkatan mutu pendidikan di MDTA. Tantangan berat
bagi setiap MDTA untuk membuktikan bahwa masih ada nilai-nilai plus yang dimilikinya.

Kemudian faktor ekstrakurikuler di SDN. Hal ini berdasarkan pengalaman penulis,


intensitas yang cukup tinggi berupa kegiatan ekstrakurikuler di SD seperti les, latihan
sepakbola, berenang, main musik dan lainnya. Bersamaan dengan jam pelajaran di MDTA.

Akibatnya, banyak murid di MDTA yang jarang hadir ke MDTA, terutama murid SD
yang duduk di kelas 5 dan 6. Boleh jadi ini benar, karena MDTA hanya sebagai pendidikan
nomor dua dan tidak memiliki status yang jelas.
Mungkin sudah ada beberapa daerah yang mengharuskan kepada setiap murid baru yang
akan masuk akan SMP, MTS sederajat harus memakai ijazah MDTA, sayangnya itu hanya
sebagai pelengkap saja.
Selanjutnya faktor kebijakan politik. Hal ini dapat kita lihat kebijakan yang diterapkan
oleh pemerintah Orde Baru, senantiasa melemahkan upaya peningkatan mutu madrasah.
Dalam setiap kebijakan dan keputusan yang menyangkut pendidikan, madrasah selalu
dianaktirikan oleh pemerintah Orde Baru. Alokasi dana yang diperoleh oleh madrasah negeri,
apalagi madrasah swasta selalu jauh lebih kecil daripada yang diperoleh sekolah negeri.4

4
https://pekanbaru.tribunnews.com/2013/02/21/problematika-pendidikan-di-mdta
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Madrasah Diniyah Takmiliyah ialah suatu pendidikan keagamaan Islam nonformal


yang menyelenggarakan pendidikan Islam sebagai pelengkap bagi siswa pendidikan umum.
Mc.Donald (1959: 7) mempromosikan bahwa madrasah diniyah mempunyai dua model,
yaitu: madasah diniyah model A dan madrasah diniyah model B. Model yang pertama
diselenggarakan di dalam pondok pesantren, yaitu: madrasah diniyah yang naungannya di
bawah pondok pesantren. Model yang kedua diselenggarakan di luar pondok pesantren, yaitu:
madrasah diniyah yang berada di luar pondok pesantren.

Rendahnya respon dan kesadaran terhadap pandangan pendidikan MDTA tersebut diantara
lainnya :

1. Masih kurangnya perhatian pemerintah pusat dalam hal ini pihak Kementerian
Agama dan Pemerintah Daerah.
2. Masih belum tersosialisasinya dengan baik dan maksimal tentang eksistensi MDT
dengan regulasi yang ada dan cukup kuat, bagi masyarakat muslim lebih khusus
orangtua yang memilki anak dan atau cucu pada usia sekolah paling tidak usia SD
dan SLTP.

Secara garis besar, problematika pendidikan di MDTA dapat dibedakan menjadi dua
yaitu faktor Internal dan faktor Eksternal. Internal meliputi birokrasi dan administrasi MDTA
termasuk di dalamnya tenaga pelaksana yang terdiri dari pengelola, kepala sekolah dan para
guru. Sedangkan eksternal berasal dari luar lembaga pendidikan tersebut.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Alia, N. Madrasah Diniyah Takmiliyah dalam Perspektif Standar Pelayanan Minimal di


Kabupaten Bogor, Jurnal Medana Gama.

https://www.researchgate.net/publication/333054839_Tantangan_dan_Eksistensi_Madrasah_
Diniyah_sebagai_Entitas_Kelembagaan_Pendidikan_Keagamaan_Islam_di_Indonesia

https://www.researchgate.net/publication/326122105_Respon_Masyarakat_Terhadap_Madra
sah_Takmiliyah_Di_Kabupaten_Re
https://pekanbaru.tribunnews.com/2013/02/21/problematika-pendidikan-di-mdta

Anda mungkin juga menyukai