Anda di halaman 1dari 15

KONSEP MAHABBAH ILLAHIYYAH

Dosen Pengampu: Abdul Quddus Al Badani, M. pd

Nama Kelompok:

1. Dina Lusiana
2. Juliana Misni

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH

PALAPA NUSANTARA

TA 2020/2021
I. PENDAHULUAN
Mahabbah adalah cinta atau cinta yang luhur kepada Tuhan yang suci dan tanpa
syarat, tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah yaitu keikhlasan perenungan, pelatihan
spiritual, interaksi terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh
seseorang ahli yang menyelaminya. Didalamnya kepuasan (Ridho), kerinduan (Syauq) dan
keintiman (Uns).
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah yang di dalamnya
mengandung arti patuh kepada-Nya sekaligus membenci sikap yang melawan kepada-
Nya. Dalam kehidupannya sehari-hari, ia juga berhasil mengosongkan hati dari segala-
galanya kecuali hanya Allah. Dalam kitab Mu'jam Al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan,
mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni benci.
Tujuan Mahabbah yaitu untuk memperoleh kebutuhan, baik yang bersifat material
maupun spiritual untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran
yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan, untuk memperoleh kesenangan bathiniah yang
sulit dilukiskan dengan kata kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
Di dalam makalah ini kami akan membahas tentang pengertian Mahabbah, tujuan dan
kedudukan Mahabbah dalam tasawuf, alat untuk mecapai Mahabbah, tokoh-tokoh yang
mengembangkan Mahabbah, dan yang terakhir Mahabbah dalam pandangan Al-Qur’an
dan Al- Hadist.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba
mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al
mahabbah dapat pula berarti al wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang.
Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-
sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan
tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan al
Qusyairi sebagai berikut: “almahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang
mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba,
selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya
dan yang seorang hamba mencintai Allah swt”.
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah yang di
dalamnya mengandung arti patuh kepada-Nya sekaligus membenci sikap yang
melawan kepada-Nya. Dalam kehidupannya sehari-hari, ia juga berhasil
mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali hanya Allah. Dalam kitab Mu'jam
Al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan, mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni
benci.
Konsep mahabbah ini pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita
terkenal, Rabi'atul Adawiyah. Menurutnya, mahabbah atau cinta yang suci murni
tersebut lebih sempurna dari pada rasa takut (khauf) ataupun rasa pengharapan (raja')
karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridha-
Nya.
Tokoh tasawuf tersebut mengatakan, mahabbah merupakan cetusan dari
perasaan rindu dan pasrah kepada-Nya sehingga Adawiyah sendiri rela
mengorbankan seluruh hidupnya untuk mencintai Allah. Bahkan, begitu cintanya
kepada Allah ia menolak untuk menikah selama hidupnya.
1
Cinta kepada Allah juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada
sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil
syara', baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan
mahabbah.
13 Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2011.Hlm.210).
Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatau
yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat
material maupun sepiritual, seperti cintanya seorang yang kasmaran pada sesuatu
yang di cintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabtanya, seorang
pekerja terhadap pekerjaanya. mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti
suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat tingkat
rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada
Tuhan.
Mahabbah adalah mencintai Allah Swt. dengan sebenar-benar cinta hingga
dalam hati seseorang tidak tersisa sedikitpun yang terbuang selain untuk
mengingatnya. Demikianlah mahabbah kepada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya
cinta.
Dilihat dari tingkatannya , mahabbah ada tiga macam, yaitu
1. Mahabbah orang biasa, mengmbil bentuk selalu mengingat Allah dengan
zikir,dan suka menyebut nama-nama Allah.
2. Mahabbah orang shidiq, adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada
kebesarannya,dan lain-lain.
3. Mahabbah orang yang arif, adalah cinta orang yang betul pada Tuhan.
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan suatu proses
mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat tuhan dengan menyebutnya
melalui zikir, di lanjutkan dengan leburnya diri pada sifat-sifat Tuhan itu, dan
akhirnya menyatu kekal dalam sifat Tuhan.
Dari uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah
adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang
sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya
adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-
kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
B. Tujuan dan kedudukan Mahabbah dalam Tasawuf
1. Tujuan Mahabbah dalam Tasawuf.
Al-mahabbah dapat berarti kecenderungan pada sesuatu yang sedang
berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material
maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang
dicintainya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya berarti suatu usaha sungguh-
sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan
tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan. Kata mahabbah
selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam
tasawuf. Mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Jadi, Mahabbah
artinya kecintaan yang mendalam secara ruhiah pada Tuhan.
Tujuan Mahabbah yaitu untuk memperoleh kebutuhan, baik yang bersifat
material maupun spiritual untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan
tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan, untuk memperoleh
kesenangan bathiniah yang sulit dilukiskan dengan kata kata, tetapi hanya dapat
dirasakan oleh jiwa.
2. Kedudukan Mahabbah dalam Tasawuf
Mahabbah sering kali dihubungkan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukan
maupun pengertiannya. Ma’rifah adalah tingkat pengetahuan kepada Allah
dengan melalui mata hati atau qalbu. Al-Ghazali mengatakan bahwa mahabbah
merupakan manifestasi dari ma’rifah kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa
ma’rifah pada hakikatnya sama dengan mahabbah tingkat kedua. Sedangkan
mahabbah yang dimaksud adalah mahabbah tingkat ketiga. Artinya, mahabbah
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari ma’rifah.
Keutamaan mahabbah dijelaskan Rasul dalam haditsnya:
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a: Seorang lelaki yang berasal dari
pedalaman bertanya kepada Rasulullah s.a.w: Bilakah berlakunya
Kiamat? Rasulullah s.a.w bersabda: Apakah persediaan kamu untuk
menghadapinya? Ia menjawab: Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah
s.a.w bersabda: Kamu akan tetap bersama orang yang kamu cintai”.Selain itu
Mahabbah dapat mengantarkan hamba yang memiliki kecintaan tersebut di
antara penghuni langit. Sebab para malaikat akan selalu mencintai orang-orang
2
yang dicintai oleh Allah atas kedekatannya dengan-Nya, juga karena mereka
selalu memenuhi perintah Allah”.
C. Alat untuk mencapai Mahabbah
Harun Nasution, dalam bukunya Falsafah dan Mistisis dalam
Islam  mengatakan, bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah  oleh sufi disebut sir
(  ‫س ّر‬ ). Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan bahwa
dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan

26 Ibid., hlm.77.
dengan Tuhan. Pertama, al-qalb(   ‫القلب‬ ) hati sanubari, sebagai alat untuk
mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh ( ‫روح‬LL‫ال‬ ) sebagai alat untuk mencintai
Tuhan. Ketiga sir   ( ‫سر‬ ), yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus dari pada
roh, dan roh lebih halus dari qalb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh
bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau
qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apa
pun.
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai
Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta
dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta
kepada Tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan Tuhan
kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan.
Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan.
Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan.
Allah berfirman:

‫اال ِع ْل ِم اِاَّل قَلِ ْياًل‬


ْ َ‫ك َع ِن ال ُّروْ حِ قُ ِل ال ُّروْ ُح ِم ْن اَ ْم ِر َرب ِّْي َو َمااُوْ تِ ْيتُ ْم ِّمن‬
َ َ‫َويَ ْسئَلُوْ ن‬
Artinya: Mereka itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah
bahwa roh itu urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit
sekali. (QS. Al-Isra’, 17:85).

ُ ‫ َونَفَ ْخ‬Lُ‫ َس َّو ْيتُه‬L‫فَا ِ َذا‬


‫ن‬Lَ ِ‫ت فِ ْي ِه ِم ْن ُّروْ ِح ْي فَقَعُوْ لَهُ َس ِج ِدي‬

Artinya: Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah


meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya
3
dengan bersujud. (QS. Al-Hijr, 15:29)
Selanjutnya di dalam hadis pun diinformasikan bahwa manusia itu diberikan
roh oleh Tuhan, pada saat manusia berada dalam usia empat bulan didalam
kandungan. Hadis tersebut selengkapnya berbunyi:

37 Ibid., hlm.71-72
Lَ ِ‫ن ُمضْ َغةً ِّم ْث َل َذل‬Lَ ْ‫ك ثُ َّم يَ ُكو‬
‫ك ثُ َّم‬ ْ ُ‫ْن يَوْ ًما ن‬Lَ ‫ط ِن ا ُ ِّم ِه اَرْ بَ ِعي‬
َ ِ‫طفَةً ثُ َّم يَ ُكوْ نَ َعلَقَةً ِّم ْث َل َذ ل‬ ْ َ‫س يُجْ َم ُع َخ ْلقُهُ فِى ب‬ َ ‫اِ َّن الن َّا‬
َ َ‫يُرْ َس ُل اِلَ ْي ِه ْال َمل‬
‫ه ال ُّروْ ُح‬Lِ ‫ك فَيَ ْنفُ ُخ فِ ْي‬
Artiya: Sesungguhnya manusia dilakukan penciptaannya dalam kandungan ibunya,
selama empat puluh hari dalam bentuk nutfah  (segumpal darah), kemudian
menjadi alaqah  (segumpal daging yang menempel) pada waktu yang juga empat
puluh hari, kemudian dijadikan mudghah  (segumpal daging yang telah berbentuk) 
pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian Allah mengutus malaikat untuk
menghembuskan roh kepadanya (HR. Bukhari-Muslim)
Dua ayat dan satu hadist tersebut selain menginformasikan bahwa manusia
dianugerahi roh oleh Tuhan, juga menunjukkan bahwa roh itu pada dasarnya
memiliki watak tuduk dan patuh pada Tuhan. Roh yang wataknya demikian itulah
yang digunakan para sufi untuk mencintai Tuhan.
D. Tokoh-tokoh yang mengembangkan Mahabbah
Nama lengkapnya ialah Ummu Al-Khair Rabi’ah Binti Ismail Al-Adawiyah
Al-Qisiyah. Dia lahir di Basrah pada tahun 96 H/713 M. Ia hidup antara tahun 713-
801 H.[18] Sumber lain menyebutkan bahwa ia meninggal dunia dalam tahun 185
H/796 M.[19] Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat
besar dari Bashrah, di Irak. Dia berasal dari keluarga sejahtera tetapi hidup
sederhana. Dari kecil dia tinggal di kota kelahirannya. Di kota ini Ummu Rabi’ah
Al-Adawiyah sangat harum namanya sebagai seorang manusia suci dan sangat
dihormati oleh orang-orang dikotanya.
Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang
memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini
didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut
paham tersebut.
Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan.
Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup
duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang
diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau
meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam
keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
Ia terkenal sebagai Ulama Shufi wanita yang mempunyai banyak murid dari
kalangan wanita pula. Rabi’ah menganut ajaran zuhud dengan menonjolkan
falsafah hubb (cinta) dan syauq (rindu) kepada Allah. Salah satu pernyataannya
yang melukiskan falsafah hubb dan syauq yang mewarnai kehidupannya adalah:

‫د تُهُ ُحبًّا لَهُ َو َشوْ قًااِلَ ْي ِه‬Lْ َ‫ َخوْ فًا ِم ْن نَا ِر ِه َواَل طَ ْمعًافِ ْى َجنَّتِ ِه فَا َ ُكوْ نَ َكاأْل َ ِجي ِْرالسُّوْ ِء= َعب‬Lُ‫ما َ َعبَ ْد تُه‬
Artinya: Saya tidak menyembah Allah karena takut kepada neraka-Nya, dan tidak
pula tamak (untuk mendapatkan) syurga; (karena hal itu) akan menjadikan saya
seperti pencuri imbalan yang berakhlaq buruk. (Ketahuilah), bahwa saya
menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya.
Di antara ucapannya yang terkenal tentang zuhd  ialah-sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub:
“ Suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata pada
Rabi’ah: ‘Mintalah kepadaku segala kebutuhanmu!’ Rabi’ah menjawab: ‘Aku ini
begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada Pemiliknya. Maka bagaimana bisa
aku meminta hal itu kepada orang yang bukan Pemiliknya?”
Di antara ucapan-ucapannya yang menggambarkan tenteng
konsep zuhd  yang dimotivasi rasa cinta adalah:
“ Wahai Tuhan! Apa pun bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku,
berikanlah kepada musuh-musuhMu. Dan apa pun yang Engkau akan berikan
padaku kelak di akhirat, berikan saja pada teman-temanMu. Bagiku, Engkau
pribadi sudah cukup.”
Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran-lamaran pria
salih, dengan mengatakan: “Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar
4
biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud
dan rela lepas dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-
Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya,
bukan dariku”. Rabi’ah tenggelam dalam kesadaran kedekatan dengan Tuhan.
Ketika sakit ia berkata kepada tamu yang menanyakan sakitnya: “Demi Allah aku
tak merasa sakit, lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku
merindukannya dalam hati, dan aku merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku,
lantas mencelaku. Dialah yang dapat membuatku bahagia.”

411 Al-Kalabadzi, al-Ta’arruf, (terj.) Arberry, hlm.159. Lihat pula harun Nasution, loc. cit., hlm.72.
12
 Ibid., hlm.74-75
13
 Hamka, op. cit., hlm.80.
Cinta Rabi’ah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat
dari ungkapan doa-doa yang disampaikannya. Ia misalnya berdoa “Ya Tuhanku,
bila aku menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah diriku
dalam neraka; dan bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka
jauhkanlah aku dari surga; namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau,
maka janganlah Engkau tutup Keindahan Abadi-Mu.

‫ب ا ْل َق ْل ِب َمالِى ِس َوا َكا‬ َ ‫احبِ ْي‬


َ ‫َي‬
‫فَ ْار َحِم ا ْل َي ْو َم ُم ْذ نِ ًيا قَ ْد اَتَا َكا‬
ِ ‫يا رجائِى ور‬
ْ ‫احتى َو ُس ُر ْو ِر‬
‫ي‬ َ ََ َ َ َ
‫ب ِس َوا َكا‬ َّ ‫ب اَ ْن يُ ِح‬ ُ ‫قَ ْدأ ََبى ا ْل َق ْل‬

Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa
yang datang kehadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau.
Atas syair-syair tersebut, al-Ghazali mengatakan: “Barangkali yang ia
maksud dengan cinta kerinduan itu ialah cinta kepada Tuhan, karena kasih sayang,
rahmat dan iradah Allah telah sampai kepadanya”. Karena Allah telah
menganugerahkan roh, sehingga ia dapat menyebut dan dekat dengan-Nya. Syair-
syair tersebut ia ucapkan pada saat telah datang keheningan malam dengan
gemerlapnya bintang, tertutupnya pintu-pintu istana raja dan orang-orang telah
terbuai dalam tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih karena pada waktu itulah roh
dan daya rasa yang ada dalam diri manusia tambah meningkat dan tajam, tak
5
ubahnya seorang yang bercinta yang selalu mengharapkan waktu-waktu malam
untuk selalu bersamaan.
Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapannya yang ia cetuskan melalui
gubahan kata yang indah, antara lain:

L‫ حتى ال يشغلنى شىء عنك‬L‫الهى اغر قنى فى حبك‬


‫الهى انا رت النجوم نا مت الحيون وغلقت الملوك‬
‫ وهذا مقا مى‬L‫ابوابها وخال كل حبيب يحبيبه‬
‫ وهذاالنحار‬L‫ الليل قدادبر‬L‫ الهى هذا‬L‫ يديك‬L‫بين‬
‫قداسفر فليت شعرى اقبلت منى ليلتى فأ هنا‬

514  (Ibrahim Basyuni, Nasy-ah al-Tasawuf al-Islam,Dar al-Fikri, Kairo, 1969; hal. 190
‫ دأ ب‬L‫ام رد تها على فأ عز نى فو عز تك هذا‬
L‫ تنى عن ببك‬L‫ لو طر د‬L‫ وعز تك‬L‫مااحييتنى‬
L‫مابرحت عنه لما وقع فى قلبى من محبتك‬

Tuhanku, aku terbenam dalam kasihku pada-Mu, tiada sesuatu yang


melenyapkan ingatanku pada-Mu. Tuhanku, cahaya bintang gemerlapan, orang-
orang pada tidur lelap dan pintu istana ditutup rapat, yang saling mencinta telah
asyik berduaan, sedangkan aku kini bersimpuh di hadirat-Mu. Tuhanku, malam
kini telah berlalu, siang akan segera menyusul, aku gelisah gundah gulana, apakah
amalku Engkau terima yang membuatku bahagia, ataukah Engkau tolak yang akan
membuatku nestapa. Demi kemahaperkasaan-Mu ya Tuhan, aku akan terus
mengabdi pada-Mu selama hayatku. Seandainya Engkau usir aku dari ambang
pintu-Mu aku takkan beranjak karena cintaku pada-Mu telah membelenggu jiwaku.
Demikianlah ungkapan cinta Rabi’ah kepada Allah yang telah merasuk
sukmanya sehingga segala aktivitas nya tertuju hanya kepada-Nya. Selanjutnya ia
bersenandung:

‫ فارحم اليوم‬-‫ياحبيب القلب مالى سواكا‬


‫ يارجائ وراحتى وسرورى‬L‫ نبا اتاك‬L‫مذ‬-
‫قدابى القلب ان يحب سواكا‬

Kasihku, hanya Engkau harap dambaku, Alirkan karunia-Mu bagiku yang


6
bernoda, Kaulah harapanKu, kedamaianKu, kebahagiaanKu, Hatiku hanya pada-
Mu semata.
Tampak jelas bahwa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah begitu penuh
meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan diri karena hadir
bersama Allah, seperti terungkap dalam larik syairnya:

            Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu


            Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku
            Dengan temanku tubuhku berbincang selalu
            Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku.

615 Al-Sarraj al-Thusi, Al-Luma’, tp., Kairo, 1951; 397


16
Al-Sarraj al-Thusi, Al-Luma’, tp., Kairo, 1951; 397
Dalam lariknya yang lain, lebih tampak lagi cintanya Rabi’ah terhadap
Allah. Dalam mengungkapkan rasa cintanya ini, dia bersenandung:

‫ حبين حب الهوى وحب ال نك أهل‬L‫احبك‬


‫ كرك‬L‫لذاكا فاما الذى هو حب الهوى فشغلنى بذ‬
‫عمن سواك وأما الذى انت أهل له فكشفك‬
‫ فى ذاوال ذاكا‬L‫لى اكحجب حت اراكا فال احمد‬
‫ و ذاكا‬L‫ فى ذا‬L‫لى وكن لك احمد‬
           
            Aku cinta Kau dengan dengan dua model cinta
            Cinta rindu dan cinta karena Kau layak dicinta
            Adapun cinta rindu, karena hanya Kau kukenang selalu, bukan selainMu
            Adapun cinta karena Kau layak dicinta, karena Kau singkapkan tirai sampai Kau 
            nyata bagiku
            Bagiku, tidak ada puji untuk ini dan itu.
            Tapi sekalian puji hanya bagiMu selalu.
E. Mahabbah Dalam pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadist
Paham mahabbah sebagaimana di sebutkan di atas mendapatkan tempat di
dalam al-Quran. Banyak ayat-ayat dalam al-Quran yang menggambarkan bahwa
antara manusia dengan Tuhan dapat saling bercinta. Mialnya ayat yang berbunyi;
F. ‫قل ان كنتم تحبون هللا فاتبعوني يحببكم هللا‬

 Artinya “ Jika kamu cinta kepada Allah,maka turutlah aku dan Allah akan mencintai
kamu ”.(QS.Ali ‘Imron,3:30).
‫ياءتى هللا بقوم تحبهم و يحبونه‬
      Artinya “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang
mencintai-Nya “.(QS,al-Maidah,5:54).
      Di dalam hadist juga dinyatakan sebagai berikut:
‫وال يزال عبدى يتقرب الي با انوافل حتى احبه ومن احببته كنت له سمعا وبصرا ويدا‬

Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-


perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga,mata,dan
tangan-Ku.
Kedua ayat dan satu hadist di atas memberikan petunjuk bahwa antara
manusia dan Tuhan dapat saling mencintai. Karena alat untuk mencintai Tuhan,yaitu
roh. Roh adalah berasal dari roh Tuhan. Roh Tuhan dan roh yang ada pada diri
manusia sebagai anugrah Tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah.

III. SIMPULAN
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah yang di dalamnya
mengandung arti patuh kepada-Nya sekaligus membenci sikap yang melawan kepada-
Nya. Dalam kehidupannya sehari-hari, ia juga berhasil mengosongkan hati dari segala-
galanya kecuali hanya Allah. Dalam kitab Mu'jam Al-Falsafi, Jamil Shaliba
mengatakan, mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni benci.
Tujuan Mahabbah yaitu untuk memperoleh kebutuhan, baik yang bersifat material
maupun spiritual untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya
gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan, untuk memperoleh kesenangan
bathiniah yang sulit dilukiskan dengan kata kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh
jiwa.
Harun Nasution, dalam bukunya falsafah dan mistisis dalam islam mengatakan ,
bahwa alat untuk memperoleh mahabbah oleh sufi di sebutt sir. Dengan mengutip
pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga
alat yang dapat di pergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Yang pertama, hati,
sebagai alat untuk sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh sebagai alat untuk mencintai tuhan.
Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat tuhan. Sir lebih halus dari pada roh, dan roh lebih
halus dari qalb atau hati.
Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang
memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini
didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut
paham tersebut.
Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam
hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia
hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan
orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-
hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan
hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
Paham mahabbah sebagaimana di sebutkan di atas mendapatkan tempat di
dalam al-Quran. Banyak ayat-ayat dalam al-Quran yang menggambarkan bahwa
antara manusia dengan Tuhan dapat saling bercinta. Mialnya ayat yang berbunyi;
G. ‫قل ان كنمت حتبون هللا فاتبعوين حيببمك هللا‬

 Artinya “ Jika kamu cinta kepada Allah,maka turutlah aku dan Allah akan mencintai
kamu ”.(QS.Ali ‘Imron,3:30).
Di dalam hadist juga dinyatakan sebagai berikut:
‫وال يزال عبدى يتقرب ايل اب انوافل حىت احبه ومن احببته كنت هل مسعا وبرصا ويدا‬
Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-
perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga,mata,dan
tangan-Ku.

IV. REFRENSI

Abdurahman, Muhammad.Akhlaq.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2016.


 Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2011.
Nata, Abudin.Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada,20113.

Mahmud, Abdul Halim, At-Tasawuf fi Al-Islam . Bandung:Pustaka Setia, 2002

Mahmud, Abdul Halim, Tasawuf di Dunia Islam, Bandung:Pustaka Setia,2002

Anda mungkin juga menyukai