Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

‫السّالم عليكم و رحمة هللا و بركاته‬

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ Tasawuf dan Etos Kerja”. Sholawat dan salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada kekasih-Nya, Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Akhlak
Tasawuf dan yang lebih pentingnya yakni untuk menambah ilmu pengetahuan kepada kita sebagai
mahasiswa tentang ajaran dan kaidah hidup yang Islami.

Makalah ini tentunya tak luput dari kesalahan dan kekurangan, baik dari segi isinya, bahasa, analisis
maupun yang lainnya. Maka dari itu, komentar maupun kritik dan saran sangat dibutuhkan oleh penulis
untuk memperbaiki hasil karya kedepannya.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada
Bapak Tubi Hermansyah, M.Pd,I Sebagai Dosen mata kuliah Ilmu Akhlak Tasawuf.

Bondowoso, 08 November 2019

Penyusun

Tasawuf & Etos Kerja 1


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................................................... 1
BAB I ................................................................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................................... 3
I. LATAR BELAKANG ..................................................................................................................................... 3
II. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................................................. 3
III. TUJUAN PENULISAN .................................................................................................................................. 3
IV. MANFAAT PENULISAN .............................................................................................................................. 3
BAB II .............................................................................................................................................................................. 4
PEMBAHASAN .............................................................................................................................................................. 4
I. Pengertian Tasawwuf ..................................................................................................................................... 4
II. Pengertian Etos Kerja .................................................................................................................................... 5
III. Islam dan Pekerjaan ....................................................................................................................................... 5
 Konsep Kerja Tasawuf ................................................................................................................................... 9
BAB III........................................................................................................................................................................... 26
PENUTUP ...................................................................................................................................................................... 26
A. Kesimpulan .................................................................................................................................................... 26
B. Rekomendasi ................................................................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................................... 27

Tasawuf & Etos Kerja 2


BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Hampir di setiap sudut kehidupan, kita akan menyaksikan begitu banyak orang yang bekerja.
Apalagi bagi seorang muslim bekerja dimaknai sebagai suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan
mengerahkan seluruh aset, pikir, dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya
sebagai hamba Allah SWT yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian
dari masyarakat yang terbaik (khairu ummah) (Tasmara, 2002:25). Atau dengan kata lain dapat juga kita
katakan bahwa dengan hanya bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Keberhasilan kerja seseorang ditentukan oleh adanya etos kerja tinggi yang tertanam dalam dirinya.
Dengan cara memahami dan meyakini ajaran-ajaran agama yang berhubungan dengan penilaian ajaran
agama tersebut terhadap kerja, akan menumbuhkan suatu etos kerja pada diri seseorang. Pada
perkembangan selanjutnya etos kerja ini akan menjadi pendorong keberhasilan kerjanya. Persoalannya
bagaimana konsep etos kerja dalam Islam yang digali dari Al-Quran dan Hadits.
Mereka yang beretos kerja memiliki semacam semangat untuk memberikan pengaruh positif
kepadanya bahkan kepada lingkungannya. Keberadaan dirinya diukur oleh sejauh mana potensi yang
dimilikinya memberikan pengaruh mendalam bagi orang lain ( Tasmara, 2002:13).

II. RUMUSAN MASALAH


Makalah ini hanya membahas tentang Tasawwuf dan Etos Kerja, tidak membahas Tasawwuf secara
umum.
III. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian Tasawwuf?
2. Mengetahui pengertiuan Etos Kerja?
3. Mengetahui pembahasan Islam dan Pekerjaan?
4. Mengetahui penjelasan tentang Tasawwuf dan Etos Kerja?
IV. MANFAAT PENULISAN

Bagi Mahasiswa, dapat menjadi sumber pengetahuan yang dapat menambah ilmu dan wawasan
mahasiswa, terutama mengenal Tasawwuf dan Etos Kerja.

Tasawuf & Etos Kerja 3


BAB II
PEMBAHASAN

I. Pengertian Tasawwuf
1. Pengertian tasawuf secara etimologi. Asal istilah tasawuf merujuk ke beberapa kata:
a. Berasal dari kata Shafa ( ‫ ) صفى‬Artinya suci bersih, Dalam pengertian ini orang yang ingin dekat
dengan Allah SWT, aktifitasnya banyak diarahkan pada pensucian diri dalam rangka dekat
dengan Allah SWT. Artinya Allah Maha Suci tidak mungkin bisa didekati kecuali oleh orang-
orang yang memelihara kesucian. Bishr bin al-Harith berkata:”sufi adalah orang yang hatinya
suci/tulus kepada Allah.
b. Berasal dari kata Shaf (‫ )صف‬Artinya barisan atau barisan terdepan, Orang yang ingin dekat
dengan Allah, pasti sudah kuat imannya. Oleh karena itu selalu ada pada barisan terdepan dalam
hal ibadah.
c. Berasal dari kata Ahli Shuffah ( ‫) اهل الصفة‬, artinya penghuni serambi (masjid). Istilah ini
disandarkan kepada orang yang ingin selalu dekat dengan Allah SWT., maka mereka ikut juga
hijrah dengan Nabi dari Mekah ke Madinah. Di Madinah merreka tinggalnya di serambi masjid.
d. Berasal dari kata Shuf (‫)صوف‬, artinya wol, bulu binatang kasar. Orang yang selalu dekat dengan
Allah swa., hanya memakai alat berpakaian bulu binatang yang kasar, domba, unta dan
sebagainya, ini hanya pandangan saya karena kaum sufi tidak mencirikan dirinya dengan
memakai pakaian dari bulu.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa istilah Tasawuf berasal dari bahasa Yunani yaitu Sophos
atau Shofia artinya hikmah atau bijaksana. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas kaum
orientalis. Ahli-ahli sofia adalah orang yang ahli dalam filsafat atau kebijaksanaan.
Mereka menambahkan bahwa dalam tradisi Arab kata sofia direduksi menjadi kata shufiya untuk
menunjukkan kepada orang-orang ahli ibadah dan ahli filsafat agama.

2. Pengertian Tasawwuf secara Terminogi


Ada banyak definisi yang telah dibuat oleh untuk menjelaskan pengertian tasawuf secara
terminology. Berikut beberapa diantaranya:
1. Menurut Abu Qasim al-Qusyaeri (376-466), tasawuf ialah penjabaran ajaran Al-Quran, sunnah,
berjuang mengendalikan hawa nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan
menghindari sikap meringankan ibadah.
2. Menurut Ahmad Amin, tasawuf ialah bertekun dalam ibadah, berhubungan langsung dengan
Allah SWT, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh
orang banyak, dan menghindari dari mahluk dalam berkhalwat untuk beribadah.
3. Sedang tasawuf menurut Zakaria al- Anshari, ialah mengajarkan cara untuk mensucikan diri,
meningkatkan akhlak, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh orang banyak, dan menghindari
dari mahluk dalam berkhalwat untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh
hubungan langsung dengannya.
4. Dan menurut Ibrahim Hilal, dalam bukunya ‘Tasawuf Antara Agama dan Filsafat’, bahwa
tasawuf pada umumnya bermakna menempuh kehidupan zuhud, menghindari gemerlap
kehidupan dunia, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah,
melaparkan diri, mengerjakan shalat malam, dan melakukan berbagai jenis wirid sampai
fisik atau dimensi jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau ruhani menjadi kuat.

Apabila melihat beberapa definisi di atas, maka dapat diperoleh ungkapan yang singkat dan padat
yang mencakup dua segi yang keduanya membentuk satu kesatuan yang saling menunjang dalam

Tasawuf & Etos Kerja 4


mendefinisikan tasawuf yang pertama adalah cara dan yang kedua adalah tujuan. Cara, di antaranya
melaksanakan berbagai rangkaian peribadatan, latihan-latihan rohani seperti zuhud. Sedangkan
tujuannya ialah mendekatkan diri kepada sang Khalik yang puncaknya ialah penyaksian (masyadah).

II. Pengertian Etos Kerja


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etos adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan
sosial. Sedang etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau
suatu kelompok.
Sejalan dengan Franz Magnis-Suseno berpendapat bahwa etos adalah semangat dan sikap batin tetap
seseorang atau sekelompok orang sejauh di dalamnya termuat tekanan moral dan nilai-nilai moral
tertentu. Sedang Clifford Geertz mengartikan etos sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia
yang dipancarkan hidup.
Dengan demikian, etos menyangkut semangat hidup, termasuk semangat bekerja, pengetahuan dan
keterampilan yang memadai tentang pekerjaan yang ditangani.

III. Islam dan Pekerjaan


Menurut Franz von Magnis, pekerjaan adalah segala kegiatan yang direncanakan dan memerlukan
pemikiran yang khusus dan tidak dapat dijalankan oleh binatang, yang dilakukan tidak hanya karena
pelaksanaan kegiatan itu sendiri menyenangkan, tetapi juga karena kita mau dengan sungguh-sungguh
mencapai hasil yang kemudian berdiri sendiri atau sebagai benda, karya, tenaga dan sebagainya atau
pelayanan terhadap masyarakat, termasuk dirinya sendiri. Kegiatan itu dapat berupa pemakaian tenaga
jasmani atau rohani di mana perlu diperhatikan bahwa semua tindakan bersifat jasmani dan rohani, tetapi
tekanannya dapat berbeda-beda.
Sementara George A. Steiner dan John F. Steiner mendefinisikan pekerjaan sebagai usaha yang
berkelanjutan yang direncanakan untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai atau bermanfaat bagi orang
lain.
Dengan demikian, pekerjaan bertujuan untuk menghasilkan sesuatu guna memenuhi kebutuhan
manusia. Tetapi dalam sejarah kemanusiaan pekerjaan pernah begitu lama tidak mendapat apresiasi yang
memadai, seperti yang terjadi di luar Islam. Dalam budaya Timur misalnya Jawa, sebagaimana terlihat
dalam paham kebatinan, pekerjaan hanya dipandang sebagai kewajiban demi masyarakat, tetapi bukan
sesuatu yang positif dan merangsang dirinya sendiri. Tujuannya bukan untuk membuat pekerjaan
menjadi manusiawi dan menarik, tetapi untuk menguranginya. Kemudian filsafat India mementingkan
roh dan menegaskan kefanaan hidup di dunia ini, sehingga tidak melihat suatu nilai di dunia ini.
Lalu filsafat Barat berabad-abad lamanya memandang rendah pada pekerjaaan. Misalnya Plato (427-
347 SM) yang hanya menganggap filsafat sebagai kegiatan manusia yang pantas, dan Aristoteles (384-
322 SM) yang memasukkan pekerjaan ke dalam pembuatan sesuatu yang kurang bernilai.
Perhatian filsafat terhadap pekerjaan baru timbul dan mulai berkembang setelah zaman industri.
Penemuan ilmu-ilmu alam, kemajuan teknik dan penggunaannya secara komersial membuka suatu
cakrawala tak terbatas bagi usaha manusia untuk menaklukkan alam. Penaklukkan alam dilakukan oleh
manusia dalam pekerjaannya.
Lalu pekerjaan dianggap sebagai kegiatan khas manusiawi yang utama. Dalam konteks ini John
Locke (1632-1704) menemukan bahwa pekerjaan menciptakan hak, yaitu suatu hak alamiah (natural
right) atas milik terhadap benda-benda, atas tanah serta pekerjaannya memberikan nilai kepada setiap
benda. Kemudian Adam Smith (1723-1790) menguniversalkan pandangan itu. Baginya seluruh
kebudayaan dipahami sebagai hasil pekerjaan manusia, di belakang kekayaan obyektif suatu bangsa
(kekayaan ekonomis, budaya dan sebagainya) terdapat pekerjaan orang yang memproduksinya.

Tasawuf & Etos Kerja 5


Apresiasi Islam terhadap pekerja dan pekerjaan tidak hanya terlihat dalam ajaran normatif agama ini.
Tetapi juga dibuktikan dalam sejarah. Dalam sejarah Islam terhadap pekerja dan pekerjaan diawali
dengan membebaskan mereka yang berstatus budak kemudian berstatus sebagai pekerja. Perjuangan
Islam untuk membebaskan perbudakan sudah berhasil. Kini tidak ada lagi orang yang berstatus budak,
karena dalam Islam semua orang memiliki derajat yang sama.
Hanya saja apresiasi yang begitu tinggi terhadap pekerja dan pekerjaan masih jauh dari realitas
kehidupan umat Islam dewasa ini. Umat Islam masih terbelakang di berbagai bidang kehidupan,
khususnya ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal itu diduga karena umat Islam umumnya masih
menganut paham teologi Jabariah. Jabariah adalah paham teologi yang berpendapat bahwa manusia
tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia
menurut paham ini terikat oleh kehendak mutlak Tuhan. Jabariah disebut juga fatalisme dan predestinasi.
Jatuhnya umat Islam ke dalam paham Jabariah mungkin karena pernah dijajah oleh bangsa-bangsa
Barat dalam waktu yang sangat lama. Tetapi dengan kemerdekaan yang dicapai, berkembangnya
pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mendorong manusia berpikir rasional. Sehingga sedikit demi
sedikit umat Islam meninggalkan paham Jabariah dan beralih kepada paham Qodariah.
Bila umat Islam menganut paham Qodariah, tentunya mereka akan menyadari bahwa Al-Qur’an dan
hadits memerintahkan untuk bekerja keras untuk mencapai kemakmuran, sekaligus mereka dapat
melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Dalil naqli yang memerintah untuk bekerja keras.

َ ‫ان ا اِّلَ َما‬


‫س َع‬ ِ ‫س‬ ِ ْ ‫س ِل‬
َ ‫ْل ْن‬ َ ‫َو ا َ ْن لَ ْي‬
“Dan bahwasannya seaorang manusia tiada memperoleh selain apa yang diusahakannya” {QS. An-
Najm: 39}.
Ayat ini menjelaskan bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan sesuatu dalam hidup adalah kerja
keras. Kemajuan hidup sangat tergantung pada usaha.
Apresiasi yang tinggi terhadap pekerjaan juga dibuktikan oleh kehidupan para nabi dan rosul
sebelum Rosulullaah ‫ ﷺ‬. Hampir semua nabi dan rosul bekerja untuk menghidupi diri mereka tak
terkecuali Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬. Beliau menggembala Kambing dan menasehati orang lain agar
menghidupi diri mereka.

Rosulullaah ‫ ﷺ‬bersabda:

ِ‫سْلَ ُم َكانَ يَا ْ ُك َل ِم ْن َع َم ٍل يَ ِد ِه هللا‬ َّ ِ‫طعَا َما َخي ٌْر لَهُ ِم ْن ا َ ْن يَا ْ ُك َل ِم ْن َع ًم ٍل يَ ِد ِه ا َ َّن نَب‬
َّ ‫ي هللاِ دَ ُاودَ َعلَ ْي ِه ال‬ َ ‫َما ا َ َك َل ا َ َحد ُ ُك ْم‬
“Tidak ada seorangpun yang dapat mencapai kehidupan yang lebih baik, kecuali orang itu berusaha
dengan tangannya sendiri (bekerja) dan Nabi Daud AS, makan dari usahanya sendiri” ﴾HR. Bukhori)
Dalam pandangan Islam semua pekerjaan yang halal dianggap mulia. Yang penting pekerjaan itu tidak
haram, seperti mencuri, korupsi dan merampok.

IV. Tasawwuf dan Etos Kerja


Kita semua mungkin pernah mendengar pernyataan bahwa orang Indonesia itu malas, tidak disipin,
tidak mau bekerja keras. Hal ini didukung oleh kenyataan berupa kebiasaan yang disebut “jam karet”.
Maksudnya kalau mengerjakan sesuatu tidak tepat waktu atau selalu telambat.

Tasawuf & Etos Kerja 6


Jika hal itu benar, mengapa orang Indonesia bersikap demikian? Menjawab hal ini banyak orang
menyalahkan tasawuf. Menurut mereka sikap orang Indonesia seperti itu karena dulu islam tersebar di
Nusantara ini melalui perdagangan dan tasawuf.
Tasawuf dianggap mengandung ajaran yang melemahkan etos kerja. Misalnya dalam tasawuf ada
yang disebut dengan Wara’ (menjauhi perbuatan dosa), Zuhud (hidup sederhana), Qana’ah (merasa puas
dengan apa yang dimilikinya), Faqr (kemiskinan) dan lain-lain. Ditambah lagi dengan adanya kebiasaan
membaca Wirid, Dzikir dan Do’a yang menyita banyak waktu, sehingga mengurangi kesempatan untuk
mencari uang.
Memang tasawuf memiliki ajaran seperti itu, tetapi tidak dimaksudkan supaya orang menjadi malas,
tidak disipin, tidak mau bekerja keras. Bahkan Allah SWT banyak memerintahkan manusia untuk
bekerja dan memanfaatkan berbagai hal yang ada didunia untuk bekal hidup dan mencari penghidupan
didunia ini. Dan sudah menjadi sunatullah bahwa kemakmuran akan tercapai oleh orang-orang yang
bekerja keras dan memanfaatkan segala potensinya untuk mencapai keinginan. Ajaran tasawuf itu
bertujuan agar manusia tidak mencari uang dengan cara yang haram, lupa pada ajaran agama setelah
kaya atau menyesali Tuhan ketika hidup miskin.
Karena itu, yang salah bukan tasawuf, tetapi persepsi orang terhadap ajaran tasawuf itulah yang
keliru. Misalnya Wara’, yang berarti menjauhi perbuatan dosa. Ajaran ini tidak bermaksud supaya orang
tidak bekerja untuk menghindari perbuatan dosa. menghindari pebuatan dosa itu dimaksudkan supaya
orang dalam bekerja tidak mengerjakan pekerjaan yang haram, seperti mencuri, merampok, korupsi,
penyelundupan uang dan sejenisnya. Karena semua orang harus bekerja dan mencari rizki dengan
mengerjakan pekerjaan yang halal.
Begitu pula Zuhud. Zuhud berarti hidup sederhana, maksudnya setiap orang harus hidup scara wajar
sesuai dengan keperluannya. Jadi, tidak boleh boros, menghambur-hamburkan harta yang dimiliki atau
menggunakan hartanya untuk berbuat maksiat. dengan demikian, Zuhud tidak berarti tidak perlu kerja
keras mencari uang. Bekerja keras itu boleh, malah wajib kalu diniatkan mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Tetapi setelah uang itu diperoleh tidak boleh dihamburkan atau
membuat lupa pada Tuhan, seperti tidak mengeluarkan zakat atau meninggalkan shalat dengan alasan
sibuk bekerja.
Kemudian Qana’ah. Ini berarti merasa cukup. Harta yang diperoleh diusahakan cukup untuk
memenuhi keperluan hidup, walau sebenarnya pendapatannya kecil. Belanjaanya tidak melebihi
pendapatanya jangan sampai lebih besar pasak dari pada tiang.
Kalau orang hidup yang berpegang kepada pribahasa lebih besar pasak dari pada tiang, maka akan
timbul banyak kesulitan yang merepotkan diri sendiri. Misalnya berhutang atau meminta uang pada
orang lain atau bahkan mencuri, korupsi dan perbuatan tercela lainnya untuk memenuhi keperluan hidup.
Jadi, Qana’ah tidak berarti tidak perlu bekerja keras mencari uang. Orang boleh saja bekerja keras
tetapi berapapun hasilnya diusahakan cukup agar tidak timbul efek samping yang negative. Siakp
Qana’ah dimaksudkan agar orang tidak mencari uang yang haram karena pekerjaan halalnya tidak
menghasilkan uang sebanyak yang diperlukan.
Lalu Faqr, yang berarti kemiskinan. Maksudnya manusia pada dasarnya miskin, tidak mempunyai
apa-apa. Kalau orang itu kaya, pada dasarnya harta yang dimilikinya adalah milik Tuhan yang dititipkan
kepadanya. Sebaliknya, kalau orang itu hidup miskin tidak boleh berkeluh kesah sambil menyalahkan
orang lain atau Tuhan.
Kalau mau menyalahkan lebih baik menyalahkan kepada diri sendiri. Sebab hidup miskin mungkin
disebabkan oleh kelemahan dan kesalahan diri sendiri. Mungkin diri kita bekerjanya belum sungguh-
sungguh, tidak disiplin, atau pekerjaannya memerlukan keterampilan khusus yang belum kita kuasai.
Artinya Faqr tidak berarti bahwa setiap orang sebaiknya hidup miskin, sehingga seolah-olah tidak
harus bekerja keras dalam mencari uang. Padahal setiap orang haruslah bekerja keras, tetapi kalau
hasilnya sedikit, tidak memenuhi keperluan hidup, sehingga terpaksa hidup miskin, maka kenyatan itu

Tasawuf & Etos Kerja 7


harus diterima secara ikhlas sebagai takdir Tuhan yang tidak bisa ditolak. Karena mungkin Tuhan
memang sudah mentakdirkan sebagai seorang yang hidup miskin dan mungkin Tuhan menyimpan satu
keistimewaan kepadanya.
Dan takdir seperti ini harus diterima dengan ikhlas, karena tentu dibalik semua itu pasti ada
hikmahnya. Misalnya kalau orang miskin ini menjadi kaya mungkin saja dia akan lupa kepada
Tuhannya. Padahal kalau dia miskin mungkin sekali selalu beribadah dan berusah untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan, seperti cerita Tsa’labah.
Tsa’labah adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang miskin. Dia rajin beribadah bersama
Nabi. Suatu ketika dia meminta nabi untuk mendo’akannya kepada Allah agar dia menjadi orang yang
kaya. Lalu Nabi bertanya: “apakah kamu siap menjadi orang kaya”. Karena nabi khawatir nanti setelah
kaya Tsa’labah akan lupa beribadah. Tsa’labah pun menyatakan siap. Kemudian Nabi berdo’a, sehingga
usaha Tsa’labah berkembang pesat dan menjadi orang kaya. Setelah kaya kekhawatiran Nabi menjadi
kenyataan. Tsa’labah sering meninggalkan ibadah. Tuhanpun kemudian murka dan usaha Tsa’labah
merosot dan pada akhirnya kembali menjadi orang miskin.
Dan kemudian tentang kebiasaan membaca Wirid, Zikir, dan Do’a yang menghabiskan waktu
berjam-jam itu kita dapat menerapkan sistem pembacaan Wirid, Zikir, dan Do’a secara berkala seperti
Thorikat Naqsabandiyah yang melakukan Wirid di seperempat malam pada tanggal enam belas bulan
qomariyyah setiap bulannya.
Jadi, untuk masalah ini kita dapat mengaturnya supaya tidak berbenturan dengan jadwal kerja, kita
bisa melakukannya setiap libur kerja atau dikala waktu leggang dan waktu-waktu yang sekiranya tidak
berbarengan dengan waktu keraja kita.
Jadi jelaslah bahwa tasawuf tidak melemahkan etos kerja. Bahkan kalau diingat bahwa tasawuf itu
mendekati orang yang membersihkan dirinya dari perbuatan tercela atau sebagai pagar pembatas diri
terhadap perbuatan jahat (mazmumah). Lalu mengisinya dengan perbuatan terpuji (mahmudah), maka
dapat dikatakan bahwa tasawuf menimbulkan etos kerja yang kuat. Karena di antara perbuatan terpuji itu
adalah mencari nafkah untuk memenuhi keperluan diri sendiri dan keluarga. Itu berarti bahwa orang
yang bertasawuf harus bekerja keras mencari nafkah. Jadi, kalau ada orang mengaku bertasawuf, tetapi
malas bekerja, maka tasawufnya keliru.
Dengan demikian, bila masih ada sikap malas, tidak disiplin, tidak mau kerja keras dalam
masyarakat Indonesia selayaknya tidak menyalahkan tasawuf, seperti kesan yang berkembang selama
ini. Faktor penyebab sikap negatif itu bukan tasawuf, tetapi harus dicari faktor lain diluar tasawuf.
Pada dasarnya tasawuf itu baik dan benar, tetapi persepsi orang terhadapnya sering keliru. Ini
disebabkan oleh mentalitas masyarakat Indonesia yang sudah akibat sejarah yang menyakitkan selama
ini. Mentalitas masyarakat yang rusak menyebabkan persepsi terhadap ajaran agama kadang-kadang
keliru, seperti persepsi terhadap tasawuf.
Karenanya, persepsi yang keliru itu harus dilacak pada kerusakan sikap mental masyarakat
mentalitas masyarakat Indonesia mulai rusak ketika mengalami penjajahan selama ratusan tahun.
Penjajahan ini menyebabkan masyarakat menderita lahir batin, seperti hidup miskin, kecewa, frustrasi,
setres, pesimistis, merasa masa depan suram, dan sebagainya. Hal ini kemudian menghancurkan nilai-
nilai yang dihayati dalam masyarakat. Misalnya hal yang benar dianggap salah, orang baik dianggap
pencuri, koruptor dianggap selebritis, hamil diluar nikah dianggap keren, perselingkuhan dianggap
pekerjaan dan banyak lainnya.
Setelah dijajah sekian lama, bangsa Indonesia bangkit melawan penjajah. Perjuangan bangsa
Indonesia membuahkan hasil dengan tercapainya kemerdekaan, tetapi perjuangan itu memerlukan
pengorbanan besar yang juga membawa penderitaan lahir batin. Dimuali dari penjajahan bangsa lain
hingga sistem pemerintahan yang dimulai dari masa orde baru hingga masa reformasi yang memiliki
problem masing-masing yang berimbas kepada penderitaan lahir batin.

Tasawuf & Etos Kerja 8


Penderitaa lahir batin yang dialami masyarakat Indonesia yang sangat lama akibat penjajahan,
revolusi keerdekaan, pergolakan, represi dan krisis yang berkepanjangan tidak hanya merusak dan
menghancurkan tatanan masyarakat, tetapi juga merusak mentalitas dan cara berfikir. Akibatnya nilai-
nilai positif dari budaya dan agama sering diresepsikan secara keliru.
Seperti tasawuf ini yang kebanyakan masyarakat Indonesia salah meresepsikannya. Tasawuf yang
sebenarnya mengandung etos kerja yang kuat dipersepsikan sebagai faktor yang melemahkan etos kerja.
Dan untuk memperbaiki persepsi yang keliru ini selain mentalitas masyarakat yang perlu dibangun
kembali kita juga perlu melakukan reinterpretasi terhadap sikap-sikap dan ajaran tasawuf, seperti wara’,
zuhud, qana’ah, faqr, dan lainnya.
Memang ada diantara Sufi atau pengikut tarekat yang bersikap eskapis, menjauhi kehidupan dunia.
Tetapi hal ini bukan ajaran tasawuf. Sufi atau pengikut tarekat bersikap seperti ini karena terlalu berhati-
hati agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa. Sebab dalam mencari kehidupan dunia, orang sering
bergelimang dosa. Misalnya memperoleh rizki dengan cara yang haram atau syubhat. Sedangkan
kehidupan para Sufi itu “kaki kanan berjalan di atas wajib kaki kiri berjalan di atas sunah”.
Lagi pula menganggap tasawuf itu melemahkan etos kerja itu bertentangan dengan ajaran dasar
islam yang mewajibkan manusia bekerja seperti yang telah disebutkan diawal tadi. Padahal tasawuf
sebagai bagian dari ajaran dasar agama islam. Kalau bertentangan dengan ajaran dasar islam, maka
berarti tasawuf itu keliru atau persepsi terhadap tasawuf itu salah.
Dan menurut ajaran dasar islam, bekerja itu wajib, setidaknya untuk memenuhi keperluan diri
sendiri, keluarga dn umat. Tasawuf pun sejalan dengan ajaran dasar islam, sehingga tasawuf tidak
melemahkan etos kerja, tetapi malah sebaliknya yakni memperkuat etos kerja itu sendiri.

 Konsep Kerja Tasawuf


Untuk meningkatkan semangat atau etos kerja dalam diri kita, para ahli sufi telah mengajarkan kita
melalui sikap yang mereka contohkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan ajaran dan konsep
tasawuf. Di antaranya:
1. Optimisme
Optimisme atau harapan dalam tasawuf disebut raja’. Raja’ ialah mengharapkan rahmat Allah
SWT yang sesungguhnya selalu mengelilingi kita, tetapi jarang diperhatikan. Harapan untuk
mendekat dengan Allah SWT didasarkan pada sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori.
“Aku akan berada di samping sangkaan hamba-Ku. Jika dia ingat kepada-Ku dalam dirinya,
maka Aku ingat kepadanya dalam diri-Ku. Jika dia ingat kepada-Ku dalam kerumunan yang
ramai, maka Aku ingat kepadanya dalam kerumunan yang lebih baik daripada mereka. Jika dia
mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku mendekat padanya satu lengan, maka Aku
mendekat padanya satu depa. Jika dia mendekat kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan
mendekat kepadanya dengan berlari.”
Sedang harapan sufi untuk bertemu dengan Allah SWT didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an
yang artinya:
1. “Barang siapa berharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan
amal sholih dan janganlah mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada-
Nya.” {QS. Al-Kahfi: 110}.
2. “Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah SWT, maka sesungguhnya
waktu (yang dijanjikan) Allah SWT itu pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” {QS. Al-Ankabut: 5}
Harapan sufi untuk mendekat dan bertemu dengan Allah SWT adalah sang kholiq merupakan
kekasih yang selalu mereka rindukan. Sufi beribadah tidak untuk mendapatkan pahala dan

Tasawuf & Etos Kerja 9


mengharapkan masuk surga, dan tidak pula karena takut neraka, tetapi semata-mata untuk
mendekat dan bertemu dengan sang kholiq.
Karena Allah SWT dianggap sebagai kekasih, maka para sufi rela berbuat apa saja untuk
menuruti kehendak-Nya, walaupun masuk neraka sekalipun. Ada sebuah syair sufi yang
menggambarkan hal ini:
“Aku cinta kepada-Mu tidak untuk mendapatkan pahala
Tetapi aku mencintai-Mu untuk mendapatkan hukuman
Segala keinginan telah kudapatkan
Kecuali merasakan lezatnya azab siksaan.”
Sedang bagi orang awam atau orang yang bukan sufi, optimisme berarti mengharapkan
kesejahteraan di dunia dan keselamtan di akhirat. Orang yang selamat di akhirat adalah orang
yang mendapat ampunan Allah SWT. Optimimisme dalam kehidupan dunia berarti berharap
untuk mendapatkan kesejahteraan yang baik. Untuk mencapai hal ini, kita harus bekerja keras
dengan cara yang halal.
Optimisme jelas mengandung etos kerja yang tinggi, karena untuk mewujudkan optimisme
diperlukan ikhtiar. Bila optimismenya berharap untuk bertemu dengan Allah SWT, tentulah ia
harus mendekatkan diri kepada-Nya. Jika optimisme diartikan mengharapkan kehidupan duniawi
yang lebih baik, maka yang bersangkutan haruslah bekerja keras, meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan agar memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mewujudkan optimisme.
Hal itu berarti bahwa tasawuf sangat mendorong kita untuk bekerja keras sebagai perwujudan
optimisme. Dan jika hasil kerja keras tersebut tidak sesuai yang diharapkan, maka kita tidak
boleh putus asa.
Dengan demikian, marilah kita senantiasa berikhtiar dan bersikap optimisme terhadap rahmat
Allah SWT, baik kesejahteraan di dunia maupun keselamatan di akhirat.
2. Istiqomah
Istiqomah berarti teguh atau konsisten, maksudnya konsisten pada jalan yang lurus dan benar
dalam niat, perkataan dan perbuatan. Istiqomah merupakan salah satu cara mendekatkan diri pada
Tuhan.
Dalil naqli yang menjelaskan perlunya istiqomah, yang artinya:
1. “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah SWT, kemudian
mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mengatakan): Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih,
dan bergembiralah denga surga yang dijanjikan kepadamu” {QS. Fushshilat: 30}.
2. “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah SWT, kemudian
mereka tetap istiqomah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka
tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di
dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan” {QS. Al-Ahqof:13-
14}.
3. “Wahai Rosulullaah ‫ ﷺ‬, katakanlah suatu perkataan kepadaku dalam Islam yang tidak
akan kuminta kepada seorangpun selain aku. Rosulullaah ‫ ﷺ‬menjawab: Katakanlah,
aku beriman kepada Allah SWT, kemudian istiqomahlah” ﴾HR. Muslim﴿.
4. “Istiqomahlah kamu dan jangan kamu menghitung-hitung (amalmu) dan ketahuilah
bahwa sebaik-baik amalmu adalah sholat. Dan tidak ada yang memelihara wudlu’,
kecuali orang yang beriman” ﴾HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban﴿.

Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits di atas menunjukkan betapa perlunya sikap istiqomah.
Bagaimana wujud istiqomah itu, sebagian ulama berpendapat bahwa istiqomah orang awam

Tasawuf & Etos Kerja 10


berbeda dengan istiqomah orang khawas, seperti sufi. Istiqomah orang awam ialah konsisten
mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Sedang istiqomah orang khawas ialah
menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi dan hal-hal yang mendorong kepada kepentingan
duniawi.

Sikap konsisten merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam pekerjaan. Pekerjaan
memerlukan konsistensi untuk mencapai tujuan. Konsistensi dalam pekerjaan adalah
memenuhi/menepati waktu yang sudah ditentukan. Konsistensi diperlukan untuk mencapai target
yang sudah ditentukan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Namun, jika tidak ada konsistensi
dalam bekerja, maka tidak mencapai target dan akan merugikan perusahaan serta diri sendiri.

Dengan demikian, istiqomah sangat relevan dengan pengembangan etos kerja. Meskipun
awalnya istiqomah ini untuk menjalankan perintah Tuhan. Sikap istiqomah juga kemudian dapat
diterapkan dalam pekerjaan, karena salah satu perintah Tuhan adalah mencari nafkah dengan
cara yang halal untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Istiqomah di sini konteksnya adalah perbuatan halal, yakni melakukan suatu perbuatan halal
secara konsisten, terus menerus tanpa kenal henti dengan sabar dan ikhlas untuk mencapai
kemaslahatan diri dan umat serta mendekatkan diri pada Tuhan.

3. Sabar
Sabar berarti menahan, maksudnya menahan diri dari keluh kesah ketika menjalankan perintah
Tuhan dan sewaktu menghadapi musibah. Jadi, sabar meliputi urusan duniawi dan ukhrowi.
Sabar merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dalil-dalil yang menjelaskan perintah Tuhan untuk bersabar:


1. “Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa” {QS. Al-Baqoroh: 177}.
2. “Allah SWT menyukai orang-orang yang sabar” {QS. Ali-Imron: 146}
3. “Sesungguhnya Allah SWT beserta orang-orang yang sabar” {QS. Al-Anfal: 46}.
4. “Dan siapa yang berlatih sabar, maka Allah SWT akan menyabarkannya. Dan tiada
seorang yang mendapat karunia (pemberian) Allah SWT yang lebih baik atau lebih dari
kesabaran” ﴾HR. Bukhori dan Muslim﴿.

Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits di atas selain menjelaskan bahwa Allah SWT
memerintahkan kita untuk selalu bersabar dan memberitahukan hikmahnya. Yakni, sabar itu
bermanfaat bagi diri sendiri.

Sabar, ada beberapa macam. Pertama, sabar untuk menjauhi larangan Allah SWT. Kedua,
sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dan terakhir adalah sabar ketika
mengalami musibah. Kebalikan sikap sabar ialah ghadlab (pemarah).

Kesabaran merupakan salah satu sikap yang sangat penting dalam pengembangan etos kerja.
Kita tidak mampu bekerja disiplin, jika tidak memiliki kesabaran. Dalam pekerjaan biasanya ada
tantangan, seperti lelah, mengurus tenaga dan pikiran dan sebagainya. Semua ini tidak dapat
dilakukan tanpa kesabaran.

Sikap sabar juga menghendaki upaya meningkatkan pengetahuan mengenai pekerjaan yang
dilakukan supaya dapat mengatasi kendal-kendalanya. Artinya orang yang memiliki sifat sabar

Tasawuf & Etos Kerja 11


selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengenai pekerjaannya. Hal ini sangat
relevan dengan etos kerja.

Dengan demikian, sikap sabar mengandung etos kerja yang kuat. Etos kerja harusnya menjadi
lebih kuat lagi bila diingat bahwa untuk sabar dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Jadi,
jelaslah bahwa sifat sabar sangat penting dalam pekerjaan, karena dengan sikap atau sifat ini,
akan mudah untuk menyelesaikan sebagian masalah.

4. Ikhlas
Ikhlas berati murni atau bersih, maksudnya suatu amal perbuatan dilakukan bersih dari
pamrih. Amal itu dilaksanakan semata-mata karena Allah SWT atau menegakkan kebenaran,
keadilan dana kejujuran. Dalam tasawuf ikhlas merupakan salah satu cara mendekatkan diri pada
Tuhan.

Dalil-dalil Al-Qur’an yang memerintahkan untuk bersikap ikhlas, yang artinya:


1. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah kepada Allah SWT dengan
memurnikan keta’atannya kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” {QS.
Al-Bayyinah: 5}.
2. “Sesungguhnya Kami menurunkan kepada kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa)
kebenaran. Maka sembahlah Allah SWT dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya.
Ingatlah hanya kepunyaan Allah- lah agama yang bersih (dari syirik)” {QS. Az-Zumar:
2-3}.
3. “Tuhan tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi langsung melihat/memperhatikan
niat dan keikhlasan hatimu” ﴾HR. Muslim dan Ibnu Majah﴿
4. “Allah SWT berkata: Aku sama sekali tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang
melakukan suatu amal dengan mempersekutukan Aku di dalamnya, maka amal yang dia
persekutukan, dan Aku terlepas darinya” ﴾HR. Muslim,, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah
dan Baihaqi﴿.

Jelaslah bahwa ikhlas itu sangat menentukan diterima tidaknya suatu ibadah oleh sang kholiq.
Jika ibadah dilakukan dengan ikhlas karena Allah SWT, in sya Allah diterima oleh Allah SWT.
Tetapi jika ibadah disisipi oleh hal-hal yang sifatnya duniawi, seperti pujian, maka ibadahnya
tidak diterima oleh Allah SWT.

Sikap ikhlas mengandung etos kerja yang kuat. Etos kerja yang ditimbulkan oleh sikap ikhlas
sangat kuat. Karena pekerjaan yang didasarkan pada keikhlasan tidak mengharapkan pamrih.
Sikap ikhlas dapat menjadi dasar etos kerja yang paling ideal. Karena dengan ikhlas, seberat
apapun pekerjaan itu akan terasa ringan dan tak kenal lelah.

Sikap ikhlas juga membuat orang jujur dalam bekerja. Artinya, orang yang bekerja akan
menjaga aset-aset yang dimiliki oleh perusahaannya dan tidak akan merusak atau mencuri. Sikap
ikhlas membuat orang bertanggung jawab terhadap pekerjaannnya, karena orang tersebut
menyadari bahwa pekerjaannya akan berdampak pada konsumen dan diri sendiri.

Dengan demikian, sikap ikhlas sangat penting dalam pekerjaan. Meskipun memang bertujuan
untuk mencari uang. Jadi jelaslah bahwa sikap ikhlas merupakan salah satu unsur yang sangat
penting dalam pekerjaan dan etos kerja.

5. Ridho

Tasawuf & Etos Kerja 12


Ridlo berarti senang, maksudnya senang menjadikan Allah SWT sebagai Tuhan, senang
kepada ajaran dan takdirnya. Orang yang telah mencintai Allah SWT biasanya senang dengan
segala hal yang datang dari Allah SWT.

Dalil-dalil tentang keutamaan sikap ridlo, yang artinya:


1. “Allah SWT berfirman: Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang
benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai,
Allah ridlo terhadap mereka dan merekapun ridlo terhadap-Nya. Itulah keberuntungan
yang sangat besar” {QS. Al-Maidah: 119}.
2. “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridloi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam surga-Ku” {QS. Al-Fajr: 27-30}.
3. “Barang siapa setiap hari mengucapkan: Aku senang Allah sebagai Tuhan, Islam
sebagai agama dan Muhammad sebagai nabi Allah SWT pasti akan meridloinya pada
hari kiamat” ﴾HR. Ibnu Majah, Abu Daud, al-Hakim, Ahmad dan Nasai﴿
4. “Akan merasakan nikmatnya iman yang ridlo kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai
agama dan Muhammad sebagai rosul” ﴾HR. Muslim, Tirmidzi dan Nasai﴿.
5. “Akan merasakan nikmatnya iman yang ridlo kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai
agama dan Muhammad sebagai rosul” ﴾HR. Muslim, Tirmidzi dan Nasai﴿.

Dalil-dalil di atas dapat dikatakan bahwa ridlo kepada Allah SWT berlangsung beberapa
tahap. Tahap pertama ialah ridlo kepada Allah sebagai Tuhan, maksudnya ialah Tuhan yang
dipercaya hanya Allah dan meng-Esa-kannya serta tidak mempersekutukannya.

Tahap kedua ridlo kepada Allah SWT ialah ridlo kepada ajaran Allah SWT yang diturunkan
melalui Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬, baik perintah maupun larangan. Pada tahap ini ridlo kepada Allah
SWT berarti senang kepada ajarannya, yaitu senang menjalankan perintah-Nya dan senang
menjauhi larangan-Nya.

Tahap terakhir kepada Allah SWT ialah ridlo kepada takdirnya, baik dalam keadaan bahagia
atau sengsara. Takdir dialami setelah orang berikhtiar. Karena itu, kita tidak boleh menunggu
takdir datang, tetapi takdir iu harus disongsong melalui ikhtiar. Setelah berikhtiar atau bekera
apapun hasil, bahagia atau sengsara, itulah takdir.

Bekerja merupakan salah satu wujud ridlo kepada Allah SWT, dan orang yang ridlo akan
menganggap bahwa pekerjaan itu suatu hal yang menyenangkan. Sebab ridlo kepada Allah SWT
berarti senang bekerja dalam upaya memenuhi kebutuhan kewajibannya mencari nafkah.

Dengan demikian, ridlo kepada Allah SWT mengandung etos kerja yang kuat. Karena ridlo,
maka orang bekerja keras untuk membuktikan takdir.

6. Qona’ah
Qona’ah berarti merasa cukup, maksudnya rizqi yang diperoleh dari Allah SWT dirasa cukup
untuk disyukuri. Meskipun penghasilannya kecil, namun diterima dengan ikhlas dan sabar,
sehingga tidak terdorong mencari tambahan pendapatan dengan cara yang haram dan percaya
bahwa setiap orang telah ditentukan rizqinya. Mengenai hal ini Allah SWT berfirman:
1. “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rizqinya” {QS. Hud: 6}.
2. “ Berinfaklah kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh ihad) di jalan Allah SWT,
mereka tidak dapat (berusaha) di bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang
Tasawuf & Etos Kerja 13
kaya, karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat
sifat-siatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak” {QS. Al-Baqoroh:
273}.
3. “Bukanlah kekayaan itu banyaknya harta, tetapi kekayaan itu adalah kekayaan jiwa”
﴾HR. Bukhori dan Muslim﴿.
4. “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam dan rizqinya cukup dan merasa cukup
dengan apa yang diberikan Allah kepadanya” ﴾HR. Muslim﴿.

Qona’ah bertujuan untuk menghilangkan rasa keluh kesah dan menghindarkan dari
mengambil hak orang lain, seperti korupsi. Selain itu qona’ah juga bermanfaat, supaya orang
merasa tenang dan bahagia dengan apa yang diperoleh. Orang yang tidak pernah merasa cukup,
hidupnya tidak pernah merasa tenang. Qona’ah termasuk sifat yang terpuji, sebaliknya rakus
termasuk sifat yang tercela.

Qona’ah adalah merasa cukup setelah berikhtiar. Sebaliknya merasa cukup tanpa ikhtiar itu
bukan qona’ah, tetapi disebut malas, dan sikap malas dilarang oleh Allah SWT. Firman-Nya,
yang artinya.

“Maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah” {QS. Al-Jumu’ah:
10}.

Dengan demikian, orang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik itu
hasilnya mencukupi atau kurang mencukupi. Ini berarti qona’ah mengandung etos kerja yang
kuat.

7. Takwa
Takwa berarti menjaga atau memelihara, artinya memelihara diri dari murka Tuhan dengan
cara menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Menurut sebagian sufi, takwa adalah
membentengi diri dari siksa Tuhan dengan jalan taat kepadanya. Sedang ahli fiqih berpendapat
bahwa takwa adalah menjaga diri dari segala sesuatu yang melibatkan diri ke dalam perbuatan
dosa.

Dalil-dalil yang menerangkan tentang takwa, yg artinya:


1. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu” {QS. Al-Hujurot: 13}.
2. “Rosulullah ‫ ﷺ‬ditanya tentang siapa yang mulia. Nabi menjawab: orang yang paling
bertakwa” ﴾HR. Bukhori dan Muslim).

Dari dalil-dalil di atas dapat disimpulkan bahwa takwa itu tidak menyekutukan Allah SWT
dengan yang lain, hanya taat kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Orang yang bertakwa
selalu mengharapkan rahmat Allah SWT dan takut terhadap murka-Nya.

Rasa takut hanya kepada Allah SWT mengandung pengertian bahwa orang tidak boleh takut
kepada selain Allah SWT. Dengan demikian, takwa mengandung etos kerja yang kuat. Karena
takwa diwujudkan dengan membangun kehidupan dunia dan tetap menjalankan perintah-Nya.
Dalam membangun kehidupan dunia, ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar, seperti bisnis
seks, perjudian dan minuman keras. Kemudian tidak boleh melakukan hal-hal yang merugikan
orang lain.

8. Tawakkal

Tasawuf & Etos Kerja 14


Tawakal berarti berserah diri, maksudnya berserah diri kepada keputusan Allah SWT,
terutama ketika melakukan suatu upaya atau perbuatan. Misalnya untuk hidup layak orang harus
bekerja keras melakukan pekerjaan yang halal. Bagaimana hasilnya itu diserahkan kepada Allah
SWT.

Dalil-dalil yang memerintahkan kita untuk bersikap tawakal, di antaranya:


1. “dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mu’min itu harus bertawakal” {QS. Ali-
Imron: 122 dan 160 }.
2. “dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya” {QS. Ath-Tholaq: 3}.
3. “Diperlihatkan kepada berbagai umat yang berkumpul. Kemudian aku melihat umatku
memenuhi lembah dan gunung. Mereka jumlahnya banyak dan kehebatannya
mengagumkan saya. Setelah itu aku ditanya, apakah engkau ridlo? Aku menjawab: ya.
Bersama mereka terdapat tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Mereka
tidak menipu, tidak menghambur-hamburkan harta, tidak mencuri, dan hanya kepada
Tuhan mereka berserah diri” ﴾HR. Ahmad﴿.

Dalil-dalil di atas menjelaskan perlunya sikap tawakal, bagaimana wujud tawakal dalam
kehidupan Islam. Terdapat beberapa tingkatan wujud tawakal, di antaranya:

 Ma’rifat kepada Tuhan beserta sifat-sifatnya.


 Ikhtiar yang didahulukan sebelum berserah diri kepada Allah SWT.
 Tauhid, menurut Abu Hamid Al-Ghozali, tauhid itu dasar tawakal. Orang yang
bertawakal harus lebih dahulu meyakini ke-Esa-an Tuhan.
 Menyandarkan hati kepada Tuhan dan merasa tenang.
 Berprasangka baik kepada Tuhan.
 Istislam yakni menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
 Ridlo terhadap apapun yang dialami.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa tawakal adalah berserah diri kepada Tuhan setelah
berikhtiar. Jika telah bekerja keras, tetapi hidupnya tidak mengalami perubahan, maka harus
berserah diri kepada Allah SWT. Karena Allah SWT telah mengatur segala yang tidak kita
ketahui. Berserah diri setelah berikhtiar dimaksudkan supaya manusia tidak kecewa jika
pekerjaannya tidak mendatangkan hasil yang memuaskan.

Dengan demikian orang tidak boleh berhenti berikhtiar untuk meraih kesuksesan dalam
hidupnya dan terus bertawakal. Ikhtiar yang terus menerus merupakan etos kerja yang
ditanamkan oleh sikap tawakal.

9. Zuhud
Zuhud berarti menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia. Tetapi para
ulama memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai zuhud. Ibnu Taimiyah misalnya,
berpendapat bahwa zuhud adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat bagi kehidupan
akhirat kelak. Ada juga yang berkata bahwa zuhud adalah menghilangkan rasa cinta selain
kepada Allah SWT.

Dalil-dalil tentang zuhud, di antarnya:

Tasawuf & Etos Kerja 15


1. “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang di sisi Allah adalah kekal” {QS. An-
Nahl: 96}.
2. “Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar di akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertakwa” {QS. An-Nisa’: 77}.
3. “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat
adalah lebih baik dan lebih kekal” {QS. Al-A’laa: 16-17}.

Ayat-ayat di atas mengingatkan agar manusia tidak terpukau kepada hal-hal yang bersifat
duniawi, seperti harta dan tahta. Bila ia mendapatkannya, maka ia bersyukur, sebaliknya, bila ia
kehilangan harta dan tahta, maka ia tidak kecewa dan putus asa. Ini tidak berarti bahwa zuhud
harus miskin. Zahid (orang yang zuhud) boleh saja kaya raya dan berkuasa. Yang penting ia
memperoleh kekayaan dan kekuasaan dengan cara yang dan memanfaatkannya secara benar.
Dalam konteks perkerjaan zuhud berarti mengerjakan pekerjaan halal dan hasilnya tidak
dihambur-hamburkan atau digunakan dalam perbuatan maksiat. Selain menjauhi pekerjaan
syubhat dan haram, zuhud juga menghendaki kita melakukan kewajiban, termasuk mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dilihat dari ini, zuhud mengandung etos kerja yang
tinggi.
Dengan demikian, zuhud tidak melemahkan etos kerja, sebaliknya zuhud dapat
meningkatkan etos kerja. Inilah pemahaman zuhud yang perlu dikembangkan oleh kita untuk
keluar dari krisis yang berkepanjangan saat ini.
10. Wara’
Wara’secara sederhana ialah meninggalkan hal-hal yang syubhat dan haram. Para ulama
seringkali memaksudkan wara’ dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan mubah berlebih-
lebihan, juga meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya. Ibnul Qayyim menjelaskan
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghimpun makana wara dalam satu kalimat hadits,
yaitu “sebagian dari kesempurnaan Islam seseorang ialah meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat” ﴾HR. Malik, Tirmidzi dan Ibnu Majah﴿”.
Hadist ini dimaksudkan untuk meninggalkan hal yang tidak bermanfaat seperti perkataan,
pandangan, mendengar yang tidak baik, bertindak anarkis dan hal lainnya lahir maupun batin.
Dalil tentang wara’ :
1. “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas dan di antara keduanya
ada hal-hal yang syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa
yang berhati-hati dari syubhat, maka akan bersih agamanya dan kehormatannya, dan
barang siapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus ke dalam
perbuatan haram”﴾HR. Ibnu Majah dan At Thabrani﴿.
2. “Hai rosul-rosul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal sholih.
Sesunggunya Aku Mengetahui apa yang kamu kerjakan” {QS. Al-Mu’minun: 51}.

Dalam kajian tentang tasawuf wara’ biasanya disebut sesudah zuhud. Karean wara’ adalah
tingkat tertinggi dalam sikap zuhud. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa wara’ adalah
meninggalkan hal-hal yang haram dan syubhat serta akhirnya meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat meskipun halal. Wara’ harus dilakukan secara ikhlas. Wara’ dapat dilakukan dengan
beberapa tahap, di antaranya:
Pertama, memelihara iman agar tidak ternoda oleh maksiat, karena iman itu dapat bertambah
dan berkurang, Kedua, menghindari perbuatan yang sebenarnya halal, tetapi dikhawatirkan jatuh
kepada perbuatan haram. Misalnya tidak masuk bar, karena khawatir tergoda meminum
minuman keras dan melakukan perbuatan maksiat lainnya, Ketiga, selalu ingat Allah SWT dan
kegiatannya sehari-hari hanya ditujukan kepada Allah SWT. Tahap ini kelihatanya, sama sekali

Tasawuf & Etos Kerja 16


sudah meninggalkna unsur duniawi. Jika masih menangani urusan duniawi itu semata-mata untuk
beribadah kepada Allah SWT.
Tahap wara’ yang terakhir tampaknya tidak mengandung etos kerja, karena orang (sufi) yang
telah mencapai tahap demikian mengurus duniawi. Namun terdapat dua tahap yang mendorong
orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan yang penting tidak mengerjakan perbuatan
yang dilarang oleh Allah SWT.
Dilihat dari segi ini, wara’ masih mengandung etos kerja yang kuat. Karena pekerjaan yang
halal terbuka luas, sehingga untuk hidup makmur tidak harus melakukan perbuatan haram.
Dengan demikian orang yang wara’ seharusnya bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan memberi kontribusi yang jelas kepada pengembangan Islam dan kaum muslimin. Usaha
seperti ini juga merupakan bukti etos kerja yang kuat dalam sikap wara’.
11. Syukur
Syukur berarti terima kasih, maksudnya berterima kasih kepada Allah SWT atas nikmat yang
telah dilimpahkan kepada manusia. Syukur dapat dilakukan dengan hati, lisan dan badan. Syukur
dengan hati ialah selalu ingat kepada Allah SWT (dzikir), syukur dengan lisan ialah
mengucapkan tahmid (pujian) kepada-Nya, dan syukur dengan badan ial.ah menaati ajaran Allah
SWT.

Dalil-dalil Al-Qur’an tentang syukur, di antaranya:


1. “Dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar kepada-Nya saja kamu menyembah”
{QS. Al-Baqoroh: 172}.
2. “Dan Allah aknn memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” {QS. Ali-
Imron: 144}.
3. Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬melakukan sholat malam hingga kedua kakinya bengkak lalu
ditanya: mengapa engkau lakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang
telah lalu dan yang akan datang. Lalu Nabi bersabda: “Tidak bolehkah aku menjadi
hamba yang banyak bersyukur” ﴾HR. Bukhri dan Muslim﴿.

Hakikat syukur adalah pengakuan terhadap nikmat Allah SWT dengan hati dan tindakan.1[42]
Pengakuan dengan hati ialah beriman kepadanya, dan pengakuan dengan tindakan ialah taat
kepadanya. Oleh karena itu, pekerjaan tidak boleh dinodai dengan hal-hal yang dilarang oleh
Allah SWT. Etos kerja hanya boleh diwujudkan dalam pekerjaan yang halal dan dilarang
dikembangkan dalam pekerjaan yang haram.
Dengan demikian, etos kerja yang diharapkan tumbuh dari rasa syukur ialah etos kerja yang
sehat, yang memajukan kepentingan bersama dan kebersamaan itu tidak boleh dinodai dengan
hal-hal yang destruktif, seperti menipu dan korupsi.
12. Takut
Takut dalam tasawuf berarti takut kepada siksaan Allah SWT dan takut amalnya ditolak.
Untuk menyebut kata “takut” ada empat istilah dalam Al-Qur’an dan hadits, yaitu Khauf,
Khasyyah, Rahbah dan Wajal. Tetapi istilah yang sering digunakan dalam tasawuf ialah Khauf
sesuai dengan firman-Nya:
1. “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Tuhannya
dengan rasa takut dan harap” {QS. As-Sajdah: 16}.
2. Selain itu ‘Aisyah pernah bertanya tentang khauf, yaitu:

1[42]. Ibid., hlm. 84

Tasawuf & Etos Kerja 17


“Ya Rosulullah, firman Allah SWT: Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah
mereka berikan dengan hati yang takut (karena tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan
kembali kepada Tuhan mereka {QS. Al-Mu’minun: 60} adlah dia yang berzina, khamr
dan mencuri? Rosulullah menjawab: bukan ya puteri ash Shiddiq, tetapi orang yang
berpuasa, menunaikan sholat, bershodaqoh dan takut amalnya tidak diterima” (HR.
Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan al-Hakim).

Adapun ayat Al-Qur’an yang menggunakan istilah khasyyah, yaitu:

‫اِنَّ َما َي ْخش هللاَ ِم ْن ِع َباده ْالعُلَ َما ُء‬


“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”
{QS. Fathir: 28}.
Firman Allah SWT mnggunakan istilah rahbah ialah:
ْ َ‫َّاي ف‬
َ‫ار َهب ُْون‬ َ ‫فَ ِاي‬
“Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut” {QS. An-Nahl: 51}.
Firman Allah SWT menggunakan istilah wajal ialah:
ٌ ‫َو الَّ ِذيْنَ يُؤْ ِمنُ ْونَ َما َءات َْوا َو قُلُ ْوبُ ُه ْم َو ِجلَة‬
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut
(karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka”
{QS. Al-Mu’minun: 60}
Dengan demikian, istilah khauf, khasyyah, rahbah, dan wajal berarti takut, tetapi mempunyai
makna yang berbeda. Khauf menurut sebagian ulama, berarti taat kepada Allah SWT dengan
sungguh-sungguh, tetapi takut amalnya ditolak. Kemudian khasyyah mengandung arti yang lebih
sempit, yaitu takut karena pengetahuannya tentang yang ditakuti, misalnya ulama takut kepada
Allah SWT, karena pengetahuannya tentang Allah SWT, seperti terlihat pada QS. Fathir: 28.
Sedang rahbah berarti dengan menghindari sesuatu yang ditakut, seperti menghindari larangan-
Nya, karena takut kepada siksaan-Nya. Lalu wajal berarti gemetar karena takut mengingat atau
melihat sesuatu yang menakutkan.
Dari istilah-istilah di atas, terlihat bahwa takut mengandung banyak arti. Ada rasa takut
dalam pengertian pada umunya, ada rasa takut karena pengetahuan tentang yang ditakuti, ada
rasa gemetar karena takut dan ada pula sikap yang menghindar karena takut.
Karena itu, rasa takut mengandung etos kerja yang kuat. Rasa takut mendorong untuk bekerja
keras secara terus menerus dan tidak putus asa. Rasa takut juga mendorong untuk menghindari
perbuatan curang dalam bekerja, seperti menipu dan korupsi. Ini berarti rasa takut mendorong
etos kerja yang benar. Namun etos kerja tidak selalu benar, seperti etos kerja penjahat atau orang
yang jahat. Orang yang curang pun mempunyai etos kerja, yaitu etos kerja dalam berbuat curang
dan kejahatan.
13. Taubat
Dalam tasawuf taubat berarti kembali, yakni kembali dari perbuatan tercela menuju perbuatan
terpuji, sebagimana yang diajarkan dalam Islam. Taubat tidak cukup hanya dengan ucapan, tetapi
harus disertai dengan tindakan.

Dalil-dalil Al-Qur’an mengenai taubat, di antaranya:


1. “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya” {QS. At-Tahrim: 8}.

Tasawuf & Etos Kerja 18


2. “Dan bertaubatlah sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung” {QS. An-Nur: 31}.

Taubat adalah memperbaiki diri dengan menjalankan kewajiban agama dan menjauhi
larangannya. Di antara kewajiban itu adalah mencari nafkah untuk diri sendiri dan keluarga.
Orang yang bertaubat seharusnya bekerja keras untuk memperoleh pendapatan yang dapat
menenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, orang yang bertaubat dianjurkan banyak beramal,
tidak hanya melakukan ibadah seperti sholat sunnah, dzikir, tetapi juga bershodaqoh untuk
membantu orang-orang yang kurang mampu. Ini berati orang yang bertaubat harus bekerja agar
mendapatkan rizqi untuk dishodaqohkan.

Dengan demikian, taubat mengandung etos kerja, karena pada intinya memperbaiki diri
dengan cara bekerja dan memperoleh harta dengan cara yang halal untuk memperoleh kebaikan
di dunia dan keselamatan di akhirat. Jadi, orang bertaubat itu tidak harus menghabiskan
waktunya untuk beribadah dan meninggalkan urusan duniawi. Bahkan dalam hal tertentu, orang
yang bekerja keras bertaubat dengan cara memperbanyak shodaqoh dari hasil pekerjaannya
tersebut.

14. Cinta
Cinta dalam tasawuf disebut mahabbah, maksudnya mahabbah kepada Allah SWT untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Selain cinta kepada Allah SWT ada pula cinta kepada diri sendiri
yang diketahui melalui ma’rifat yang selanjutnya ma’rifat kepada Allah SWT. Kemudian, tulis
Haidar Al-Kufi, ada cinta kepada kedua orang tua yang di dalamnya untuk mengetahui
kesadarannya tentang sejauh mana keharusan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua,
sehingga Allah SWT ridlo kepadanya.
Jelaslah bahwa cinta yang paling tinggi adalah cinta kepada Allah SWT. Sedang cinta kepada
selain Allah SWT, yaitu diri sendiri, orang tua, anak-anak, saudara, kerabat dan kehidupan dunia
adalah perwujudan cinta kepada Allah SWT.
Keutamaan cinta kepada Allah SWT dijelaskan dalam Al-Qur’an:
1. “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya,maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintai-Nya”{QS. Al-Maidah: 54}.
2. “Barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah juga senang bertemu
dengannya. Barang siapa yang tidak sennag bertemu dengan Allah, maka Allah juga
tidak senang bertemu dengannya” ﴾HR. Bukhori﴿.
Untuk dapat mencintai Allah SWT diperlukan syrat-syarat. Di antaranya ialah ma’rifat
kepada Allah SWT, dzikrullah, taat, takut dan selalu bersyukur kepada-Nya. Dan syarat terakhir
adalah sabar menghadapi apa yang diwajibkan dan dilarang kepadanya. Dengan kesabaran
terjadilah kepribadian dan takwa seorang hamba yang mencintai Allah SWT, dan tidak akan
goyah dalam mengahdapi ujian dan ujian yang dihadapi.
Dalam tasawuf sufi yang sangat terkenal dengan ajaran cintanya ialah Rabi’ah al’Adawiyah
(w. 185 H/801 M). Dia pernah mengatakan bahwa dia beribadah kepada Allah SWT bukan
karena ingin surga dan takut neraka, tetapi semata-mata karena cinta kepada Allah SWT.
Telah dijelaskan bahwa cinta kepada Allah SWT merupakan cinta yang paling tinggi
nilainya. Sedang mencintai selain Allah SWT ditempatkan di bawah cinta kepada Allah SWT.
Kita dianjurkan mencintai keluarga dan kehidupan dalam rangka mencintai Allah SWT. Wujud
cinta kepada keluarga adalah memenuhi kebutuhannya, fisik maupun mental. Untuk itu,
diperlukan biaya, sehingga diwajibkan mencari nafkah.

Tasawuf & Etos Kerja 19


Dengan demikian, maka bekerja itu wajib dan cinta mengandung eots kerja yang kuat.
Sebenarnya tidak diwajibkanpun umumnya orang bekerja keras mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya karena dorongan cinta kepada merka. Tetapi jika dia muslim, maka
dorongan itu datang dari dua arah, yaitu cinta Allah SWT dan cinta keluarga, begitupun cinta
yang lain.
15. Rindu
Rindu dalam tasawuf disebut syauq. maksudnya rindu kepada Allah SWT. Syauq adalah
kerinduan untuk melihat sang kekasih dan kerinduan untuk dekat dengan kekasih, kerinduan
untuk bersatu dengan kekasih, kerinduan yang intens untuk meningkatkan kerinduan.
Rindu adalah sebuah buah cinta. Rasa rindu muncul setelah ada rasa cinta. Orang yang
mencintai Allah SWT akan selalu rindu kepadanya. Sebagian ulama berpendapat bahwa rindu
adalah damainya hati, senang bertemu dan berada didekatnya. Mengenai hal ini Allah SWT
berfirman:

ٍ ‫َم ْن َكانَ َي ْر ُج ْو ِلقَا َء هللاِ فَا َِّن اَ َج َل هللاِ َّل‬


‫ت‬
“Barang siapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang
dijanjikan) Allah pasti datang” {QS. Al-Ankabut: 5}.

Rindu kepada Allah SWT sebenarnya bukan hal baru setelah datangnya Nabi Muhammad
‫ ﷺ‬, tetapi nabi terdahulu. Di antara tanda rindu kepada Allah SWT adalah tidak mengeluh di kala
susah dan minta mati tatkala senang, seperti yang dialami nabi Yusuf. Ketika nabi Yusuf
dilempar ke dalam sumur dia tidak berkata: matikanlah aku. Juga ketika dimasukkan ke dalam
penjara, dia tidak mengatakan: matikanlah aku. Tetapi sewaktu orang tua dan saudara-
saudaranya datang kepadanya, dia berkata: matikanlah aku dalam keadaan Islam.
Dengan demikian, rindu mengandung etos kerja yang kuat. Karena keluarga, orang mau
bekerja tanpa lelah dan terus mencari nafkah, meski harus meninggalkan kampung halaman.
Kesungguhan bekerja tidak dapat dilepaskan dari rasa rindu kepada keluarga. Tetapi rasa rindu
kepada keluarga tidak boleh melebihi rindu kepada Allah SWT.
16. Shiddiq
Shiddiq berarti benar atu jujur, maksudnya benar atau jujur dalam perkataan dan perbuatan.
Membiasakan sikap shiddiq merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
bersikap shiddiq merupakan nilai hidup yang sangat penting dalam hubungan sesama manusia,
sekaligus menjadi sendi kemajuan manusia sebagai pribadi dan kelompok.

Dalil-dalil Al-Qur’an yang memerintahkan manusia bersikap jujur, di antaranya:


1. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang benar” {QS. At-Taubah: 119}.
2. “Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih
baik bagi mereka” {QS. Muhammad: 21}.
3. “Sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan membawa ke
surga. Seseorang yang membiasakan diri bersikap benar akan dicatat di sisi Allah
sebagai orang benar” ﴾HR. Bukhori dan Muslim﴿.

Demikianlah dalil-dalil yang mengharuskan manusia untuk selalu berkata dan berbuat benar
atau jujur. Artinya manusia harus menghindari sikap curang, seperti berbohong, dan perbuatan
yang melanggar hukum dan etika, seperti korupsi.

Tasawuf & Etos Kerja 20


Allah SWT menjamin masyarakat dan negara yang menegakkan kebenaran dan kejujuran
dengan kehidupan yang aman dan damai, dan sebaliknya membiarkan orang-orang yang terbiasa
bersikap curang dalam kesesatan dan kehancuran.
Sikap shiddiq menghendaki orang bekerja dengan jujur. Jadi shiddiq mengandung etos kerja
yang kuat. Karena jujur tidaknya seseorang dapat dilihat pada pekerjaannya, yaitu apakah dia
melakukan pekerjaannya secara jujur atau tidak. Cara lain melihat kejujuran orang adalah
memperhatikan ucapannya.
Bekerja secara jujur dan benar adalah bekerja sesuai dengan peraturan yang berlaku di tempat
kerja. Hal ini membuktikan bahwa shiddiq mengandung etos kerja yang kuat.
17. Syaja’ah
Syaja’ah berarti berani, maksudnya berani melakukan tindakan yang benar walaupun harus
menanggung resiko yang berat. Ini sesuai dengan ungkapan yang mengatakan bahwa “berani
karena benar, takut karena salah”. Sikap berani harus ditunjang oleh sikap mental di mana
seseorang dapat menguasai dirinya dan berbuat sebagaimana mestinya. Rosulullaah ‫ ﷺ‬bersabda:
“Bukanlah yang disebut pemberani adalah orang yang kuat bergulat. Sesungguhnya pemberani
adalah orang dapat menguasai hawa nafsunya di kala marah” ﴾HR. Bukhori dan Muslim﴿.

Sikap berani dapat dilihat pada stabilnya pikiran seseorang sewaktu menghadapi bahaya. Ia
tetap melakukan pekerjaan dengan hati yang teguh dan akal yang sehat serta tidak gentar
menghadapi ancaman dan celaan sebagai konsekuensi tindakannya. Hal ini sudah ditunjukkan
oleh Rosulullah ‫ ﷺ‬dan para sahabatnya ketika menyebarkan Islam. Allah SWT berfirman:
“(yaitu)orang-orang nyampaikan risalayang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut
kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan
cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan” {QS. Al-Ahzab: 39}.
Sikap berani pada awalnya merupakan sikap mental yang berasal dari masyarakat Arab
jahiliah pra Islam. Orang-orang Arab yang tinggal di Padang Pasir sering mengalami
perampokan dan perang antar suku. Untuk mempertahankan diri, mereka memerlukan sikap
berani untuk melawan perampok dan menghadapi perang. Inilah sebabnya kemudian sikap berani
menjadi akhlak yang sangat terpuji di kalangan masyarakat Arab.
Ketika Islam datang, sikap berani tetap mendapat kedudukan yang tinggi sebagai akhlak
mahmudah (terpuji), karena sikap inilah yang menunjang penyebaran Islam. Tanpa sikap berani
orang-orang Islam tidak mudah menyebar ke seluruh masyarakat Arab, apalagi ke seluruh dunia.
Telah terbukti dalam sejarah Islam bahwa keberanian yang dimiliki oleh para pejuang Islam
sangat menentukan pengembangan agama Islam di masa lalu. Ini berarti bahwa keberanian dapat
membawa kemajuan Islam, berbagai kehidupan masyarakat dan dalam dunia kerja. Hal ini
terlihat misalnya munculnya kreasi-kreasi baru yang berguna bagi kehidupan manusia.
Munculnya temuan-temuan baru di bidang IPTEK didorong oleh keberanian untuk melakukan
eksperimen. Ini berarti bahwa syaja’ah mengandung etos kerja yang kuat.
Selain itu, sikap berani sangat berguna dalam dunia kerja atau pekerjaan. Dalam pekerjaan
kadang-kadang mengalami kesulitan, dan kesulitan itu di antara lain disebabkan oleh rasa takut,
sehingga bisa di atasi dengan sikap berani. Kemudian sikap berani menimbulkan suasana hati
yang bermanfaat dalam pekerjaan, yaitu rasa tenteram.
18. Takdir
Takdir adalah ketetapan dan ketentuan Allah SWT tentang keadaan segala sesuatu sebelum
terwujud di dunia ini. Takdir disebut juga qadha dan qadar. Takdir merupakan salah satu rukun
iman, berdasarkan sabda Rosulullah: “Hendaklah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-

Tasawuf & Etos Kerja 21


Nya, kitab-kitab-Nya, para rosul-Nya dan hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada
takdir, baik dan buruknya” ﴾HR. Muslim﴿.
Takdir menyangkut tiga hal. Pertama, keteraturan alam semesta, seperti peredaran galaksi,
pergerakan bintang, hembusan angin. Semua itu terjadi atas kehendak Allah SWT dan sama
sekali tidak ada peranan manusia di dalamnya. Kedua, takdir menyangkut kehidupan manusia
yang bersuku-suku,berbangsa-bangsa dengan warna kulit yang saling berbeda dan postur tubuh
yang berbeda pula. Ketiga, takdir berkaitan dengan akal pikiran, kemampuan, kemauan dan
kebebasan manusia untuk berbuat. Artinya manusia diberi akal pikiran, kemampuan, kemauan
dan kebebasan untuk mewujudkan perbuatannya.
Dengan demikian, akal pikiran, kemampuan, kemauan dan kebebasan manusia adalah takdir,
sementara binatang tidak mendapatkan takdir semacam ini. Tetapi dalam hal akal pikiran,
kemampuan, kemauan dan kebebasan itu dipergunakan untuk kebaikan dan keburukan. Itu
adalah hak manusia untuk melakukannya sebagai konsekuensi kebebasan yang diberikan
kepadanya.
Takdir juga bisa berubah karena do’a. Manusia diperintahkan berdo’a dan Allah telah berjanji
menerima do’a hambanya. Selain, itu ikhtiar dapat mengubah takdir Tuhan. Misalnya, ada orang
yang ditakdirkan miskin, tetapi karena orang ini bekerja keras dan sukses, maka hidupnya
sejahtera.
Manusia ditakdirkan memiliki akal pikiran, kemampuan, kemauan dan kebebasan
dimaksudkan untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya serta memajukan
kehidupan umat dan bangsanya. Ini berarti konsep takdir mengandung etos kerja yang kuat.
19. Malu
Rasa malu dalam tasawuf disebut haya’, maksudnya malu kepada Allah dan diri sendiri
ketika akan melanggar ajaran Islam, yaitu meninggalkan perintah-Nya dan menjauhi larangan-
Nya. Rasa malu dapat menjadi pembimbing kepada jalan keselamatan dan mencegah perbuatan
buruk.
Hadits-hadits yang menjelaskan perlunya rasa malu dan keutamaannya. Di antaranya:
1. “Malu tidaak membuahkan sesuatu kecuali kebaikan” ﴾HR. Bukhori dan Muslim﴿.
2. “Malu adalah sebagian dari iman” ﴾HR. Tirmidzi﴿.
3. “Kalau tidak malu berbuatlah apa yang engkau inginkan” ﴾HR. Bukhori﴿.

Hadits-hadits di atas menjelaskan perlunya rasa malu, yaitu malu berbuat salah dan dosa.
Meskipun kita bisa menghindar dari penglihatan manusia, tetapi tidak bisa lepas dari penglihatan
Allah SWT. Mengenai hal ini Allah SWT berfirman: “Tidakkah dia mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya” {QS. Al-‘Alaq: 14}.
20. Dzikir dan Wirid
Dzikir berasal dari akar kata dzakara-yadzkuru-dzikran yang berarti menyebut,
mengucapkan, mengagungkan, menyucikan, dan mengingat. Dzikrullah biasa diartikan berarti
menyebut-nyebut (nama) Allah SWT seraya mengingat-Nya, sedangkan wirid berasal dari akar
kata warada-yaridu-wuruda. Wirdun berarti datang, sampai, mendatangi, menyebutkan.
Kata dzikir dan wirid dari segi bahasa memiliki makna yang sama, yaitu menyebut atau
mennyucikan. Makna zikir dan wirid termasuk membaca kalam Allah, yakni Alquran. Keduanya
juga sama-sama bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bedanya hanya dari segi
ketentuan penyebutan dan pengungkapan.
Jumlah, waktu, dan tempat pelaksanaan Dzikir biasanya tidak ditentukan. Kapanpun dan di
manapun bebas menjalankan dzikir. Sementara itu, jenis, jumlah, waktu, dan ketentuan
pengamalan wirid biasanya ditentukan. Bacaan yang dibaca pada waktu zikir tidak ditentukan,
bergantung pada apa yang dihafal atau apa yang dikuasainya. Sementara itu, dalam wirid jenis

Tasawuf & Etos Kerja 22


bacaan sudah ditentukan, tidak bisa ditawar soal panjang pendeknya. Wirid inilah yang lebih
memerlukan alat bantu seperti tasbih, buku-buku, dan amalan-amalan tertentu.
Dzikir terkesan temporer (sementara waktu), dilakukan saat hati sedang dalam keadaan
khusus, misalnya ketika seorang sedang menghadapi masalah, mempunyai hajat lebih besar, atau
sedang bahagia dan mengungkapkan rasa syukur dalam bentuk berzikir. Jika tidak dalam
keadaan (mood) bagus, bisanya seseorang berzikir seadanya atau tidak sama sekali.
Sementara itu, wirid lebih bersifat permanen (istiqomah), dalam keadaan apa pun dan di
mana pun seseorang selalu mengamalkan rutinitas wirid.Jika ia meninggalkan wirid, itu seperti
meninggalkan sebuah kewajiban, ada sesuatu yang kurang. Dengan demikian, ahli wirid lebih
kuat ketimbang ahli zikir.
Di dalam Alquran, zikir dan wirid sangat dianjurkan sebagaimana disebutkan dalam ayat:
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram (QS Ar Ra’d/13:28). Ayat itu
menginformasikan zikir dan mengingat Allah SWT akan menenteramkan hati. Dalam ayat lain,
Allah SWT memberikan informasi lebih lanjut: (Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan
petang (QS Al Ahdzab/33:42). Ayat pertama menyerukan zikir dan ayat berikutnya menyerukan
untuk meningkatkan zikir menjadi wirid.
Dengan dzikir orang akan selalu ingat perintah Allah SWT, ini berarti dzikir mengandung
etos kerja yang kuat. Kemudian dzikir juga dapat menimbulkan ketenangan jiwa dan pikiran.
Dalam masyarakat modern, persaingan dalam pekerjaan berlangsung sangat ketat, orang mudah
mengalami stress yang selanjutnya mengganggu jiwa dan pikiran.
Sebaliknya, ketenangan jiwa dan pikiran dapat menghilangkan stress, sikap malas dan putus
asa. Orang yang jiwanya tenang dapat mengerjakan pekerjaannya dengan mudah, tekun dan
penuh semangat. Ini juga berarti bahwa dzikir mengandung etos kerja yang kuat.
21. Do’a
Do’a berarti permintaan atau permohonan, yaitu permohonan manusia kepada Allah untuk
mendapatkan kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat. Kebaikan di dunia adalah kesehatan,
kemakmuran, memiliki pengetahuan dan terhindar dari musibah. Sedang keselamatan di akhirat
adalah masuk surga.
Do’a merupakan kesempatan manusia mencurahkan hatinya kepada Tuhan, menyatakan
kerinduan, ketakutan dan kebutuhan manusia kepada Tuhan. Mengenai hal ini Allah SWT
berfirman:
1. "Dan Tuhanmu berfirman: 'Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagi
kalian'." (QS Ghâfir: 60).
2. ”Hai manusia, kamulah yang sangat butuh kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS. Fathir: 15).
3. “Do’a itu adalah otak ibadah” ﴾HR. Tirmidzi﴿.

Dalil-dalil di atas menjelaskan perlunya do’a dan keutamaannya. Do’a biasanya berkaitan
dengan ikhtiar. Do’a dan ikhtiar merupakan dua hal yang penting dalam kehidupan manusia.
Manusia perlu berdo’a, karena ikhtiar yang dilakukan ada batasnya, dan manusia juga perlu
berikhtiar, karena hal itu merupakan jalan untuk mencapai tujuan.
Jelaslah bahwa do’a tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus disertai dengan ikhtiar. Artinya
orang tidak boleh hanya berdo’a, tetapi juga harus berikhtiar untuk mencapai hal-hal yang
diminta dalam do’a. Ha lini berarti bahwa do’a mengandung etos kerja yang kuat.
Do’a mengandung harapan, orang yang berharap tentu selalu terdorong melakukan ikhtiar
untuk mewujudkan harapannya. Sebaliknya, orang yang putus asa tidak akan berikhtiar, karena
tidak ada dorongan. Harapan merupakan semangat hidup yang mengandunt etos kerja.

Tasawuf & Etos Kerja 23


22. Tafakkur
Tafakkur berarti renungan, yakni merenungkan ciptaan Allah, kekuasaan-Nya yang nyata dan
tersembunyi serta kebesarannya di seluruh langit dan bumi. Tafakkur termasuk wirid yang
dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tafakkur sebaiknya dilakukan setiap hari, terutama pada tengah malam. Karena saat tengah
malam adalaah saat yang paling baik, jernih dan tepat untuk pensucian jiwa. Perlunya tafakkur
tentang ciptaan Allah dalam Al-Qur’an dijelaskan:

1. “Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” {QS. Ali-Imron: 191}.
2. “Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi
membuat kerusakan” {QS. Al-A’rof: 74}.

Selain istilah tafakkur dalam tasawuf juga ada istilah tazakkur. Adapun persamaan dan
peerbedaan antara kedua istilah ini. Persamaannya adalah memiliki arti yang sama yakni
renungan. Sedang perbedannya menurut sebagian ulama ialah, tafakkur merupakan cara atau
jalan menuju tazakkur, sedang tazakkur adalah wujud tafakkur.
Tafakkur dan tazakkur menghasilkan kerinduan untuk selalu dekat dengan Allah SWT,
mendorong untuk beribadah, beramal sholih, berbuat baik, dan menghindari perbuatan salah dan
dosa. Salah satu perbuatan baik adalah bekerja mencari rizqi untuk diri memenuhi kebutuhan
hidup. Hal ini berarti, tafakkur dan tazakkur mengandung etos kerja yang kuat.
Tafakkur dan tazakkur membawa ketenangan pada hati dan pikiran dan ini sangat penting
dalam bekerja. Orang yang hati dan pikirannya tenang, maka dia dapat bekerja dengan hasil yang
maksimal.
23. Kemiskinan
Dalam tasawuf kemiskinan disebut faqr. Maksudnya, pada dasarnya manusia itu miskin, baik
secara spiritual maupun material. Miskin spiritual berarti manusia tidak dekat dengan Tuhan dan
berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-
Nya. Sedang miskin secara material adalah pada dasarnya manusia itu miskin, tidak memiliki
apa-apa. Semua harta/barang berharga adalah titipan Allah SWT yang harus dipergunakan
sebaik-baiknya.
Orang miskin yang tetap beribadah dan beramal sholih dipuji oleh Allah SWT dengan janji
akan lebih dahulu masuk surga. Rosulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Orang-orang miskin akan masuk
surga sebelum orang-orang kaya dengan jangka waktu lima ratus tahun setengah hari” ﴾HR.
Tirmidzi﴿.
Pujian terhadap orang miskin yang bersabar dan beramal sholih menyebabkan banyak sufi
lebih suka hidup miskin daripada berkecukupan. Dengan alasan bahwa jika kita hidup
berkecukupan, maka yang akan dikhawatirkan adalah harta dan lalai terhadap Allah SWT.
Kecenderungan sufi untuk hidup miskin terlihat pada kainnya yang sangat sederhana, yaitu wol
(shuf) yang kasar. Pada awal perkembangan Islam shuf yang kasar adalah pakaian orang miskin.
Sedang orang kaya biasanya memakai pakaian yang terbuat dari sutra.
Namun hal itu tidak berarti orang Islam tidak perlu kaya. Menjadi kaya itu boleh dan
dianjurkan bila tujuannya untuk membela kepentingan Islam. Mengenai hal ini Allah SWT
berfirman: “ (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah,
mereka tidak dapat (berusaha) di bumi, orang yang tidak tahu menyangka merekaorang kaya
karea memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya,
mereka tidak memintakepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik kamu

Tasawuf & Etos Kerja 24


nafkahka (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui” {QS. Al-Baqoroh:
235}.
Selain ayat di atas, Allah SWT menyebut orang yang tidak peduli dengan orang mikin
sebagai orang yang mendustakan agama, dengan firmna-Nya: “Tahukah kamu (orang) yang
mendusrakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin” {QS. Al-Ma’uun: 1-3}.
Jelaslah bahwa dalil-dalil di atas sangat menganjurkan kita untuk memperhatikan orang
miskin. Orang kaya yang hendak masuk surga harus mengasihi orang miskin. Orang miskin juga
akan masuk surga bila bersabar dalam kemiskinannya dan mengerjakan perintah Allah SWT.
Untuk mengasihi orang miskin, dapat dilakukan dengan memberikan zakat, infaq dan shodaqoh.
Untuk menjadi orang kaya agar dapat mengasihi orang miskin tentu saja harus bekerja untuk
mendapatkan rizqi yang halal dan banyak. Keharusan bekerja keras untuk mencari rizqi
menunjukkan bahwa konsep faqr dalam tasawuf mengandung etos kerja yang kuat. Sebab
biasanya untuk menjadi orang kaya harus bekerja keras.
Orang miskin sebaiknya tidak meminta-minta untuk memenuhi keperluan, tetapi harus
bekerja untuk mendapat rizqi yang memadai. Ini juga menunjukkan adanya etos kerja dalam
konsep faqr.
24. Kematian
Dalam tasawuf kematian ada dua macam, yaitu mati secara fisik dan spiritual. Secara fisik
berarti berpisahnya roh dari badan. Sedang kematian secara spiritual ada empat macam. Pertama,
kematian merah, yang berkaitan dengan pengendalian amarah dan menjauhi dendam dalam diri
sendiri. Kedua, kematian putih, yang berkenaan dengan rasa lapar, asketisme dan gaya hidup
sederhana. Ketiga, kematian hijau, yang bertalian dengan mencampakkan hiasan diri lahiriah dan
menyandang hiasan batiniah dengan segenap akhlak mulia. Keempat, kematian hitam, yang
berhubungan dengan sikap tidak mementingkan diri sendiri berupa cinta dan kasih sayang kepada
sesama makhluk. Namun yang dimaksud kematian di sini adalah kematian secara fisik. Allah
SWT berfirman:
1. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu
dikembalikan” {QS. Al-Ankabut: 57}.
2. “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipum kamu di
dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”{QS. An-Nisa’: 78}.
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa kematian tidak bisa ditolak dan pasti akan dialami oleh
setiap orang. Kematian harus selalu diingat supaya beribadah, beramal sholih dan menjauhi
larangan-Nya. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk selalu ingat kematian sebelum terlambat.
Sebagaiman firman Allah SWT:“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila
datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke
dunia),agar aku berbuat amal sholih terhadap apa yang telah aku tinggalkan. Sesungguhnya itu
adalah perkataan yang diucapkannya saja. dihadapan mereka ada dinding sampai hari
dibangkitkan” {QS. Al-Mu’minun: 99-100}.
Ingat akan mati biasanya disertai dengan ingat akan siksa neraka. Siksa neraka akan dialami
oleh setiap orang yang berdosa. Sedang kehidupan di dunia sering bergelimang dengan dosa.
Inilah sebabnya manusia apabila ingat akan kematian, mereka tidak mau menangani urusan
dunia.
Jelaslah bahwa ingat akan kematian tidak harus diwujudkan dengan menjauhi urusan dunia,
tetapi melakukan tindakan nyata dalam kehidupan dunia. Dalam melakukan tindakan nyata yang
didorong oleh ingat akan kematian dapat menimbulkan sikap berani mati.
Sikap berani mati dalam berbuat menumbuhkan etos kerja yang kuat. Karena sikap seperti ini
menimbulkan semangat kerja yang tak pernah kendur sampai akhir hayat orang yang memiliki

Tasawuf & Etos Kerja 25


sikap tadi. Semangat kerja yang terus menyala bukan untuk memperkaya diri sendiri, tetapi untuk
menegakkan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kemakmuran bagi kesejahteraan bersama.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Abu Qasim al-Qusyaeri (376-466), tasawuf ialah penjabaran ajaran Al-Quran, sunnah,
berjuang mengendalikan hawa nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan
menghindari sikap meringankan ibadah. Dan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etos kerja
adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok.
Menurut ajaran Islam, bekerja itu wajib, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri,
keluarga dan umat. Tasawuf pun sejalan dengan ajaran dasar Islam, sehingga tasawuf tidak
melemahkan etos kerja, tetapi malah dapat memperkuat etos kerja.
Untuk meningkatkan semangat atau etos kerja dalam diri kita, para ahli sufi telah mengajarkan
kita melalui sikap yang mereka contohkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan ajaran dan konsep
tasawuf. Di antaranya, sikap optimisme, istiqamah, sabar, ikhlas, ridha, qana’ah, takwa, takut,
tawakal, tobat, zuhud, wara’, syukur, cinta, rindu, hidiq, syaja’ah, takdir, malu, zikir, doa, tafakkur,
kemiskinan, dan kematian.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka penulis mengajukan rekomendasi yang
dipandang berguna agar dapat meningkatkan pengetahuan para pembaca, khusunya mahasiswa.
Yakni, pada zaman sekarang pastilah sulit untuk mengaplikasikan kehidupan tasawuf dalam suatu
pekerjaan. Namun, tidak ada salahnya jika kita mencoba mempraktikannya. Karena jika semua
diawali dengan niat yang benar dan sungguh-sungguh pasti semua terasa mudah. Dunia ini hanyalah
sebagai tempat sendau gurau dan main-main, jadi jika penuh dengan kekayaan atau kebanyakan harta
memungkinkan manusia dekat pada kejahatan. Untuk itu tidak ada salahnya kita sama-sama belajar
mengaplikasikan kehidupan tasawuf pada suatu pekerjaan dengan tujuan mendekatkan diri kepada
Allah SWT.

Tasawuf & Etos Kerja 26


DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1995.

Sudirman Tebba, Membangun Etos Kerja dalam Perspektif Tasawuf, Bandung: Pustaka Nusantara, 2003.
(Tasmara, 2002:13)
Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1995, hlm. 64
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir : Kamus Arab – Indonesia, PP. Al-Munawiwir, Yogyakarta, 1984,
hlm. 626

QS. Al-Qashash, 28:77


Lihat al-Taftazani, Sufi …, op.cit., hlm. 55
Dr. Abu al-wafa al-Ghanimi al-Taftazani,Sufi…,op.cit.,hlm. 56-57
Sudirman Tebba, Membangun Etos Kerja dalam Perspektif Tasawuf, Bandung: Pustaka Nusantara, 2003,
hlm. 1
Ibid., hlm. 2-158.

http://amaliahrima.blogspot.com/2017/06/makalah-tasawuf-dan-etos-kerja.html

http://tulisanalonelygirl.blogspot.com/2017/04/makalah-tasawuf-dan-etos-kerja.html

https://mediaindonesia.com/read/detail/109519-dari-zikir-ke-wirid

https://islam.nu.or.id/post/read/88687/kenapa-doa-itu-sangat-penting

https://islamkafah.com/fatwa-ulama-apa-perbedaan-zuhud-dan-wara/

https://rumaysho.com/3016-bersikaplah-wara.html

Tasawuf & Etos Kerja 27

Anda mungkin juga menyukai