Anda di halaman 1dari 20

KEDUDUKAN MDTA DI BAWAH NAUNGAN PEMERINTAH

Tugas ini diajukan untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Pendidikan
MDTA

Dosen Pengampu : Syariah Hafizoh, MA

Disusun Oleh:

Kelompok: 5

PAI- 2/ Sem V

Nicolas Rahmat Nim (0301182091)

Nur Aisyah Surin Nim (0301182083)

Samaria Nasution Nim (0301183225)

Sangkot Hayati Nim (0301182203)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN

2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt, yang masih
memberikan kami kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
kelompok yang berjudul “Kedudukan MDTA di Bawah Naungan Pemerintah”.
Tugas ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan
MDTA, dengan dosen pembimbing Syariah Hafizoh, MA

Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan tugas ini. Kami menyadari bahwa penulisan maupun penyusunan
makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca guna
memperbaiki makalah ini kedepannya.

Penulis juga berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca
umumnya dan bagi penulis khususnya.

Medan, 30 November 2020


Penulis,

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................1

C. Tujuan Penulisan...............................................................................................1

BAB II HAKIKAT BAHASA


A. Pengertian MDTA............................................................................................3
B. Dinamika Kelembagaan Madrasah Diniyah Takhmiliyah .............................5

C. Kedudukan Madrasah dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.......................9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.......................................................................................................16

B. Saran.................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam
memberikan pendidikan agama adalah dengan menyelenggarakan pendidikan.
Penyelenggaraan tersebut bisa berbentuk lembaga atau tidak, bisa melalui jalur
formal, Informal maupun nonformal. Penyelenggaraan pendidikan agama tidak
saja terbatas pada bentuk formal atau Informal, akan tetapi dapat juga
dilaksanakan dalam bentuk nonformal.
Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) atau yang saat ini dikenal dengan
Madrasah Diniyah Takhmiliyah Awaliyah adalah Madrasah Diniyah setingkat
SD/MI untuk siswa-siswi Sekolah Dasar (4 tahun). Lembaga Pendidikan
Madrasah Diniyah Takhmiliyah Awaliyah pada umumnya merupakan pendidikan
berbasis masyarakat yang bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar
kepada santri yang berusia dini untuk dapat mengembangkan kehidupannya
sebagai muslim yang beriman, bertaqwa dan beramal saleh, serta berakhlak mulia
dan menjadi warga negara yang berkepribadian, sehat jasmani dan rohaninya
dalam menata kehidupan masa depan.
Maka, dalam hal ini, kami akan mencoba memaparkan mengenai
kedudukan mdta di bawah naungan pemerintah tersebut sesuai dengan sumber
yang kami dapatkan. Kesemua bagian akan dibahas lebih lanjut dalam makalah
ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian mdta?
2. Bagaimana pendidikan madrasah di Indonesia?
3. Bagaimana kedudukan mdta dibawah naungan pemerintah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian mdta.

1
2. Untuk mengetahui pendidikan madrasah di Indonesia.
3. Untuk mengetahui kedudukan mdta dibawah naungan pemerintah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian MDTA
Kata “Madrasah Diniyah Takmiliyah” berasal dari bahasa Arab
“Madrosatun” artinya madrasah. Diniyah artinya keagamaan. Sedangkan
Takmiliyyah artinya kelengkapan. Adapun yang dimaksud dengan Madrasah
Diniyah Takmiliyyah menurut Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok
Pesantren Kementrian Agama dalam jurnal Muaddib Madrasah Diniyah
Takmiliyyah merupakan salah satu lembaga pendidikan di luar penidikan formal
yang diselenggarakan secara terstruktur dan berjenjang sebagai pelengkap
pelaksanaan pendidikan keagamaan.1
Diniyah Takmiliyah Awaliyah adalah suatu satuan pendidikan keagaman
Islam nonformal yang menyelenaggarakan pendidikan agama Islam sebagai
pelenkgap bagi siswa Sekolah Dasar (SD/Sederajat), yang menyelenggarakan
pendidikan agama Islam tingkat dasar dengan masa belajar 4(empat) tahun dan
jumlah jam belajar minimal 18 jam pelajaran seminggu.Amri Darwis juga
mengatakan bahwa Pendidikan Diniyah Takmiliyah Awaliyah adalah lembaga
pendidikan Islam yang sudah mengakar di masyarakat yang secara nonformal
diharpkan mampu menambah kekurangan pendidikan Agama Islam di sekolah
umum terkhusus SD (Sekolah Dasar).
Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan
pendidikan dan pengajaran secara klasikal dalam pengetahuan agama Islam
kepada pelajar bersama-sama sedikitnya berjumlah 10 orang atau lebih,
diantaranya anak-anak yang berusia 7 (tujuh) sampai 18 (delapan belas) tahun.
Maka dapat disimpulkan bahwa Madrasah Diniyah adalah lembaga
pendidikan keagamaan pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara
terus menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didik dengan
materi yang lengkap yaitu fiqih, tafsir, tauhid dan ilmu-ilmu agama lainya secara
1
Moch Djahid, Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah Diniyah Takmiliyah Di
Ponorogo, Jurnal Muaddin, Vol. 06, No. 1, 2016, hlm. 24.

3
klasikal berjumlah 10 orang atau lebih, diantaranya anak-anak yang berusia
7(tujuh) sampai 18 (delapan belas) tahun.
Jadi, Pendidikan Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah adalah usaha
sadar dan terencana di luar pendidikan formal untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran yang berfokus pada materi-materi keislaman seperti
fiqih, tafsir, tauhid, dan ilmu agama Islam lainnya, agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan.
Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) atau yang saat ini dikenal dengan
Madrasah Diniyah Takhmiliyah Awaliyah adalah Madrasah Diniyah setingkat
SD/MI untuk siswa-siswi Sekolah Dasar (4 tahun). Lembaga Pendidikan
Madrasah Diniyah Takhmiliyah Awaliyah pada umumnya merupakan pendidikan
berbasis masyarakat yang bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar
kepada santri yang berusia dini untuk dapat mengembangkan kehidupannya
sebagai muslim yang beriman, bertaqwa dan beramal saleh, serta berakhlak mulia
dan menjadi warga negara yang berkepribadian, sehat jasmani dan rohaninya
dalam menata kehidupan masa depan. Jumlah jam belajar 18 jam pelajaran
seminggu. Materi yang diajarkan meliputi: Fiqih, Tauhid, Hadits, Tarikh, Nahwu,
Sharaf, Bahasa Arab, Alquran, Tajwid dan Akhlak. Dengan materi yang
diberikan, diharapkan santri dapat lebih baik penguasaannya terhadap ilmu-ilmu
keagamaan.
Peran Madrasah Diniyah Takhmiliyah Awaliyah dalam
menyelenggarakan pendidikan Keagamaan sangat berarti bagi masyarakat sekitar,
hal ini dikarenakan sebahagian besar anak-anak yang berada di lingkungan Peran
Madrasah Diniyah Takhmiliyah Awaliyah tersebut tidak sepenuhnya mendapat
pengetahuan agama di sekolah mereka masing-masing, karena sebahagian besar
dari mereka bersekolah di lembaga pendidikan umum yaitu di Sekolah Dasar
Negeri. Keberadaan Peran Madrasah Diniyah Takhmiliyah Awaliyah juga sangat
membantu anak didik untuk lebih mengenal, mengetahui, memahami serta
mengamalkan ajaran agama dengan baik dan benar di mana hal tersebut tidak
mereka dapatkan di sekolah mereka masing-masing secara maksimal dikarenakan
keterbatasan waktu dan hal yang lain. Dalam melaksanakan kegiatan pendidikan

4
keagamaan, Madrasah Diniyah Takhmiliyah Awaliyah berusaha semaksimal
mungkin memberikan yang terbaik guna mencapai tujuan yang hendak dicapai.
Dari itulah proses pendidikan keagamaan di Madrasah Diniyah Takhmiliyah
Awaliyah tersebut sangat menarik untuk diteliti, terlebih lagi dalam hal dinamika
kelembagaan, dinamika kurikulum, dan dinamika manajemen pendididikannya.
Hal ini dilakukan guna mencapai tujuan yaitu membentuk peserta didik menjadi
peserta didik yang mampu memahami, mengetahui serta dapat mengamalkan
ajaran agama dengan baik dan benar.

B. Dinamika Kelembagaan Madrasah Diniyah Takhmiliyah


Berkembangnya madrasah di Indonesia di awal abad ke 20 M,
merupakan wujud upaya dari pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan oleh
para cendekiawan muslim Indonesia. Mereka melihat bahwa lembaga pendidikan
Islam ini merupakan asli (tradisional) tersebut dalam beberapa hal tidka lagi
sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Selain itu, kedekatan sistem
belajar mengajar madrasah dengan sistem belajar sekolah umum yang ketika
madrasah mulai bermunculan, memang telah banyak dikembangkan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Hal demikian membuat orang berpandangan bahwa
madrasah sebenarnya merupakan bentuk lain dari sekolah hanya saja diberi
muatan dan corak keislaman.
Membicarakan madrasah di Indonesia dalam kaitannya dengan sejarah
munculnya lembaga pendidikan tradisional Islam sering kali tidak bisa dipisahkan
dari pembicaraan mengenai pesantren sebagai cikal bakalnya. Dengan kata lain,
bahwa madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari pesantren. Maka
menjadi penting untuk mengamati proses historis sebagai mata rantai yang
menhubungkan perkembangan pesantren di masa lalu dengan munculnya
madrasah di kemudia hari.
Perkembangan dan dinamika madrasah di Indonesia sesungguhnya
banyak diwarnai oleh perjalanan bangsa ini, dari mulai awal Islam masuk ke
Indonesia sampai zaman kontemporer hari ini. Apa yang pernah dikatakan oleh
Bung Karno bahwa up and down perjalanan bangsa ini juga sangat dirasakan oleh

5
lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah. Jika hari ini madrasah eksis
berdiri dengan gagah dan megah, maka itu tidak terlepas dari proses yang cukup
panjang dan rumit.2
Perkembangan dan dinamika madrasah di Indonesia sesungguhnya
banyak diwarnai oleh perjalanan bangsa ini, dari mulai awal Islam masuk ke
Indonesia sampai zaman kontemporer hari ini. Apa yang pernah dikatakan oleh
Bung Karno bahwa up and down perjalanan bangsa ini juga sangat dirasakan oleh
lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah. Jika hari ini madrasah eksis
berdiri dengan gagah dan megah, maka itu tidak terlepas dari proses yang cukup
panjang dan rumit. Menurut Haedari sistem belajar di madrasah Diniyah
merupakan evolusi dari sistem belajar yang dilaksanakan di pesantren salafiyah,
karena pada awalnya dalam penyelenggaraan pendidikannya dilakukan dengan
cara tradisonal. Adapun ciri khas untuk mempertahankan tradisi pesantren adalah
mempertahankan paradigma penguasaan “kitab kuning”. Awalnya sistem
pembelajarannya yang digunakan adalah dengan metode “halaqoh”, yaitu guru
duduk di lantai di kelilingi oleh santri (murid), dengan mendengarkan
penyampaian ilmu-ilmu agama. Namun seiring pekembangan zaman model
halaqoh tersebut mengalami pergeseran. Terjadi perubahan yang dilakukan
dengan dari sistem halaqoh ke sistem klasikal. Perubahan model tersebut
berdampak pada respon masyarakat muslim dalam perkembangan pendidikan
Islam.3
Madrasah Diniyah merupakan bagian dari pendidikan formal pondok
pesantren, Dua lembaga pendidikan keagamaan selalu berkaitan. Disamping
posisinya yang penting secara filosofis maupun historis, secara yuridispun dengan
tercakup dalam ketentuan-ketentuan yang ada dalan undang-undang tentang
sistem pendidikan Nasional. Hal ini dapat dilihat dalam rincian berikut:

2
Dedi Sahputra Napitupulu, “Dinamika Madrasah Sebelum Indonesia Merdeka”, dalam
Ittihad: Jurnal Pendidikan, Vol. II, No. 2 Tahun 2018, hlm. 154-155.
3
Dahlina Sari Saragih, dkk, Dinamika Madrasah Diniyah Takhmiliyah Awaliyah (Studi
Kasus Mdta Di Kecamatan Percut Sei Tuan), Jurnal Edu Riligia, Vol. 3, No. 1, 2019, hlm. 20.

6
a. Dari segi jalur pendidikan, pondok pesantren dan Madrasah Diniyah
dapat memasukkan kedalam jalur formal dan non formal, karena
pondok pesantren dan madrasah diniyah ada yang diselenggarakan
secara berjenjang, berkelanjutan dan ada yang tidak. Pondok
pesantren yang dilaksanakan secara berjenjang dan berkelanjutan
termasuk kedalam jalur pendidikan formal, sedangkan yang tidak
berjenjang dan tidak berkelanjutan termasuk jalur pendidikan non
formal.
b. Dari segi pendidikan, pondok pesantren dan Madrasah Diniyah
termasuk jenis pendidikan keagamaan, yaitu pendidikan berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamannya dan atau
menjadi ahli ilmu agama.
c. Dari segi jenjang pendidikan, dengan nama dan bentuk yang berbeda-
beda, pondok pesantren yang berjenjang dapat dikelompokkan dalam
jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, sedangkan madrasah
diniyah mencakup jenjang pendidikan anak usia dini, dasar dan
menengah
Secara legal formal keberadaan Madrasah Diniyah sebagai satuan
pendidikan keagamaan (Islam) yang telah diakui dalam UU Sistem Pendidikan
Nasional nomor 20 tahun 2003 maupun peraturan pemerintah (PP No 55 Tahun
2003). Keberadaannya efektif untuk menambah pengetahuan agama para anak
didiknya, yang tidak diperoleh di bangku sekolah formal.
Kehadiran Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003 semakin memperkuat posisi madrasah sebagaimana telah dirintas
dalam Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989. Di
antara indikatornya adalah penyebutan secara eksplisit madrasah yang selalu
bersanding dengan penyebutan sekolah, yang hal ini tak ditemukan dalam
undang-undang sebelumnya. Beberapa pasal berikut akan menunjukkan hal
dimaksud:

7
1. Pasal 17 ayat 2 : Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)
atau bentuk lain yang sederajat.
2. Pasal 18 ayat 3 : Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah
Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang
sederajat.4
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah.
Madrasah Diniyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk
memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah
termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama
Islam. Secara operasional ketentuan madrasah diniyah diatur dalam Keputusan
Menteri Agama No.1 Tahun 2001 setelah lahirnya Direktorat Pendidikan
Keagamaan dan Pondok pesantren yang khusus melayani pondok pesantren dan
madrasah diniyah. Keberadaan madrasah diniyah dipertegas lagi dengan
disahkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 Tahun 2007
tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan terutama pasal 21 ayat 1- 3
menyebutkan bahwa5:
1. Pendidikan Diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk
pengajian kitab, majelis taklim, Pendidikan Al Qur’an, Diniyah
Taklimiyah atau bentuk yang sejenis.
2. Pendidikan Diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berbentuk satuan pendidikan.
3. Pendidikan diniyah nonformal yang berkembang menjadi satuan
pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Departemen Agama

4
Mohammad Kosim, Madrasah di Indonesia (Pertumbuhan dan Perkembangan), Jurnal
Tadris, Vol. 2, No. 1, 2007, hlm. 57.
5
Dahlina Sari Saragih, dkk, Dinamika Madrasah Diniyah Takhmiliyah Awaliyah (Studi
Kasus Mdta Di Kecamatan Percut Sei Tuan), Jurnal Edu Riligia, Vol. 3, No. 1, 2019, hlm. 23.

8
Kabupaten/ Kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan
pendirian satuan pendidikan.

C. Kedudukan Madrasah dalam UU Sistem Pendidikan Nasional


Tantangan utama yang dihadapi para ahli dan praktisi pendidikan Islam
dalam hal pengintegrasian madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional adalah
menghapuskan dikotomi ilmu umum dan ilmu agama. Ilmu harus dipandang
sebagai identitas tunggal yang telah mengalami perkembangan dalam sejarah.
Perkembangan ilmu dalam sejarah menunjukkan bahwa setiap peradaban manusia
termasuk peradaban Islam telah memberi sumbangannya sendiri.
Madrasah Diniyah Takmiliyah merupakan bagian dari pendidikan
keagamaan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional,
seperti yang telah dijabarkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3, yaitu: “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”6
Maka dapat disimpulkan bahwa MDTA termasuk kedalam pendidikan
keagaman. Madrasah diniyah takmiliyah diselenggarakan dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan nasional.
Integrasi madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional menemukan
bentuknya dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) yang
dilansir pemerintah pada tahun 1989. Melalui UUSPN, madrasah mengalami
perubahan definisi, dari sekolah agama menjadi sekolah umum berciri khas Islam.
Perubahan definisi ini penting artinya, karena dengan demikian berarti madrasah
tidak hanya mendapat legitimasi sepenuhnya sebagai bagian dari sistem

6
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3.

9
pendidikan nasional. Oleh karena itu, UUSPN ini disambut dengan antusias oleh
Departemen agama, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap madrasah
dan lembaga pendidikan Islam pada umumnya. Akan tetapi, perubahan definisi itu
selanjutnya menuntut ada perubahan kurikulum. Karena madrasah tidak lagi
sekolah agama, maka kurikulumnya harus didominasi oleh mata pelajaran umum.

Seperti yang dijelaskan dalam peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5


Tahun 2014 Pada Bab II Pasal 3, bahwa MDTA berkedudukan sebagai satuan
pendidikan agama Islam non formal yang menyelenggarakan pendidikan islam
sebagai pelengkap pengajaran pendidikan formal.7

Tahun 1994 bisa jadi merupakan satu periode penting dalam


perkembangan madrasah di Indonesia. Pada tahun itu, Depag telah menetapkan
berlakunya kurikulum baruyang kemudian dikenal dengan kurikulum 1994 yang
mensyaratkan pelaksanaan sepenuhnya kurikulum sekolah umum di bawah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya
bahwa madrasah memberikan 70 % mata pelajaran umum dan 30 % mata
pelajaran agama Islam, pada kurikulum 1994 madrasah diwajibkan
menyelenggarakan sepenuhnya 100 % mata pelajaran umum sebagaimana
diberikan di sekolah-sekolah umum di bawah Depdikbud
Sekilas nampak memang bahwa yang paling menonjol dari kurikulum
1994 adalah penghapusan 30 % mata pelajaran agama yang diajarkan sejak
pemberlakuan kurikulum 1975. Namun bila dilihat lebih jauh, istilah penghapusan
tersebut tentu tidak bisa dilihat semata-mata sebagai meniadakan mata pelajaran
di madrasah. Hal yang berlangsung pada dasarnya lebih merupakan perumusan
kembali pemberian mata pelajaran madrasah. Ajaranajaran Islam tidak lagi
diberikan dalam bentuk mata pelajaran formal., melainkan diintegrasikan secara
penuh dalam mata pelajaran umum. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari upaya
Depag belakangan ini menyusun buku panduan guru mata pelajaran umum yang
bernuansa Islam. Diharapkan, beberapa mata pelajaran umum diberikan di

7
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Wajib Belajar Madrasah
Diniyah Takmiliyah Awaliyah Bab II Pasal 3, hlm. 6.

10
madrasah dengan tetap mempertahankan nuansa Islam.27Dengan kurikulum
1994, dualisme ilmu agama dan ilmu umum di madrasah berusaha dihilangkan.
Madrasah diharapkan menyelenggarakan pelajaran yang terintegrasi sepenuhnya
dengan mata pelajaran umum

Namun dilihat dari sisi manapun, pendidikan Islam memiliki peran dalam
konteks pendidikan nasional.Hanya saja harus pula dimaklumi dan dipahami jika
hingga hari ini secara kelembagaan pendidikan Islam kerap menempati posisi
kedua dalam banyak situasi. Sebagai misal, jurusan yang menawarkan pendidikan
Islam kurang banyak peminatnya, jika dibandingkan dengan jurusan lain yang
dianggap memiliki orientasi masa depan yang lebih baik.Dalam hal
pengembangan kelembagaan akan pula terlihat betapa program studi/sekolah yang
berada di bawah pengelolaan dan pengawasan Departemen Agama tidak selalu
yang terjadi di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas),
bahkan harus dengan tertatih untuk menyesuaikandengan yang terjadi di sekolah-
sekolah umum tersebut. Meski disadari betapa pentingnya posisi pendidikan Islam
dalam konteks pendidikan nasional. Namun, harus pula diakui hingga saat ini
posisi pendidikan Islam belum beranjak dari sekadar sebuah subsistem dari sistem
besar pendidikan nasional. Barangkali itulah yang menjadikan Ahmadi dalam
pidato pengukuhan guru besarnya menyatakan posisi pendidikan Islam hanya
sekadar suplemen
Undang – undang nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional memposisikan madrasah dan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan)
sama, yaitu sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.
Sebagai lembaga pendidikan, baik madrasah maupun sekolah berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.

11
Bentuk dan jenjang pendidikan madrasah secara konstitusional setara
dengan bentuk dan jenjang pendidikan persekolahan. Pasal 17 ayat (2)
menyebutkan, Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah
Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTS) atau bentuk lain sederajat. Selanjutnya
pada bagian kedua Pendidikan Menengah pasal 18 ayat (3) , disebutkan, ”
Pendidikan Menegah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), dan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk
lain yang sederajat.
Kesamaan dan kesetaraan lembaga pendidikan madrasah dengan sekolah
mensyaratkan perlakuan sama tanpa diskriminasi dari pemerintah, baik
pendanaan, kesempatan dan perlakuan. Hal ini berbeda dengan undang-undang
sebelumnya UUSPN nomor 2 tahun 1989 yang tidak secara eksplisit menyebutkan
madrasah sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan lembaga persekolahan,
sehingga berimplikasi kepada perlakuan, perhatian dan pendanaan program
pendidikan yang dilaksanakan. Contoh perlakuan diskriminasi paling mencolok
terhadap madrasah adalah kebijakan pengalokasian anggaran pendidikan yang
hanya memprioritaskan sekolah Negeri atau Umum, sedangkan anggaran yang
dialokasikan untuk pengembangan madrasah sangat terabaikan dan terlalu kecil.
Sikap diskriminatif terhadap madrasah sebelum disahkannya UUSPN
nomor 20 tahun 2003 lebih disebabkan karena anggapan bahwa madrasah
merupakan lembaga pendidikan agama yang berjarak dengan sistem pendidikan
nasional. Pandangan semacam ini berawal dari sistem pendidikan yang dualistik
antara pendidikan umum (nasional) yang mengambil peran lebih dominan disatu
pihak dan pendidikan agama (islam) dilain pihak. Dualisme tersebut pada awalnya
pada awalnya merupakan produk penjajahan Belanda, namun selanjutnya dalam
batas tertentu merupakan refleksi dari pergumulan dua basis ideologi politik,
nasionalisme – islami dan nasionalisme – sekuler. Pada awal kemerdekaan, dua
ideologi ini telah menjadi faktor benturan yang cukup serius meskipun
kenyataannya telah terjadi rekonsiliasi dalam formula Negara berdasarkan
pancasila. Tetapi implikasi dualisme itu tidak bisa dihapuskan pada masa yang

12
pendek. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangan posisi madrasah dalam sistem
pendidikan nasional sebelum disahkannya UUSPNnomor 20 tahun 2003 . dengan
disahkannya UUSPN nomor 20 tahun 2003 madrasah benar-benar terintegrasi
dalam sistem pendidikan nasional. Oleh karenanya madrasah mendapat legalitas,
persamaan dan kesetaraan sebagai bagian sistem pendidikan nasional.
Enam tahun pasca disahkannya UUSPN nomor 20 tahun 2003 yang
mengintegrasikan madrasah dalam SPN, Madrasah nampaknya masih belum
mampu memacu ketertinggalannya dalam pengelolaan sistem pendidikan.
Akibatnya, meskipun mendapatkan perlakuan, kesempatan, dan perhatian
pendanaan yang proporsional madrasah masih di pandang sebagai sekolah kelas
kedua setelah sekolah umum.8 Selain itu, masyarakat masih mempunyai
pandangan bahwa madrasah adalah sekolah yang ”kurang” bermutu, berkualitas
dan lulusannya kurang mampu berkompetisi dalam melanjutkan di sekolah atau
perguruan tinggi berkelas favorit. Realitas menunjukkan bahwa sulit untuk
menjadikan madrasah menjadi pilihan utama bagi masyarakat, sedangkan anggota
masyarakat yang sama sekali belum mengenal madrasah pun masih banyak.
Diakui bahwa dikalangan tertentu, terutama kalangan pesantren, minat
masyarakat terhadap madrasah sangat tinggi dan angka statistikpun telah
menunjukkan tingginya jumlah madrasah di Indonesia. Meski demikian secara
nasional tingkat favoritas masyarakat kita terhadap madrasah lebih rendah
dibanding sekolah pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa problem
utama yang dihadapi madrasah yaitu:
1. Problem manajemen pengelolaan madrasah, sebagian besar madrasah
yang ada masih dikelola dengan manajemen apa adanya (tradisional),
sehingga kurang diterapkannya secara baik dan sistematis
fungsifungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan evaluasinya.
2. Kepemimpinan madrasah. Pemimpin atau kepala madrasah sebagian
besar berpendidikan baru atau kurang dari sarjan strata S1 dan kurang
memenuhi kualifikasi dan kompetensi sebagai kepala sekolah.

8
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 89.

13
3. Problem sumberdaya madrasah, rendahnya kualitas atau kualifikasi
tenaga pendidik juga menjadi problem tersendiri bagi peningkatan
kualitas dan kepercayaan madrasah.
4. Problem pendanaan, pendanaan madrasah sebagian besar
mengandalkan pada masyarakat melalui orang tua murid, yayasan
atau wakaf sehingga kebutuhan pengelolaan pendidikan secara
maksimal tidak tercukupi, bahkan sebagian besar madrasah tidak
mendapatkan bantuan pendanaan dari pemerintah.
5. Mutu madrasah, problem ini sesungguhnya merupakan akumulasi
dari berbagai problem yang dihadapi madrasah, manajemen,
kepemimpinan, SDM, dan pembiayaan yang akhirnya bermuara pada
mutu pendidikan madrasah.
Kedudukan Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah di bawah naungan
pemerintah di dasari berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan peraturan
pemerintah sebagaimana terdapat dalam pendidikan formal dalam PP. No. 55
Tahun 2007 pasal 15 bahwa madrasah Diniyah atau Pendidikan Diniyah formal
menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam
pada jenjang anak usia dini, pendidikan dasar, Pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi. Madrasah Diniyah termasuk kedalam pendidikan yang
dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam
penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.
Indikator mutu pendidikan adalah tercapainya delapan standard. Standard
Nasional Pendidikan yaitu : Standard Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Proses, Standar Sarana dan
Prasarana, Standar Pembiayaan, Standar Pengelolaan, dan Standar Penilaian
Pendidikan. Kedelapan standar tersebut tampaknya harus terus diupayakan untuk
mencapai pendidikan madrasah yang bermutu.

Disahkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20


Tahun 2003 merupakan babak baru bagi pendidikan madrasah untuk bangkit,
berbenah, meningkatkan kualitas, lebih mengenalkan dirinya di tengah-tengah

14
masyarakat dan mengambil peran lebih besar lagi untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa Indonesia.
Jadi, kesimpulannya adalah integritas madrasah ke dalam Sistem
Pendidikan Nasional bukan merupakan integritas dalam artian penyelenggaraan
dan pengelolaan, tetapi lebih pada pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah
adalah bagian dari Sistem Pendidikan Nasional walaupun pengelolaannya
diserahkan kepada Departemen Agama.19 Posisi tersebut telah diperkuat dengan
lahirnya Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kini lembaga-lembaga pendidikan Islam telah memperoleh perlakuan dan
pengakuan sama dengan lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya di
Indonesia. 9

BAB III
9
Idi, Abdullah dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara
Wacana. 2006) h. 66-68

15
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah adalah usaha sadar
dan terencana di luar pendidikan formal untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran yang berfokus pada materi-materi keislaman seperti fiqih,
tafsir, tauhid, dan ilmu agama Islam lainnya, agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan.
Kedudukan MDTA di bawah naungan pemerintah termasuk kedalam pendidikan
keagaman. Madrasah diniyah takmiliyah diselenggarakan dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan nasional.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini, kami berharap supaya pembaca termasuk
kelompok kami sendiri lebih bisa memahami mengenai “Kedudukan MDTA di
Bawah Naungan Pemerintah”. Agar mdta tidak lagi dianggap hanya sekolah biasa
tanpa ada kedudukan dalam pemerintahannya yang setara dengan sekolah
keagamaan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

16
Daradjat, Zakiah. 2000. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Djahid, Moch. 2016. Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah Diniyah Takmiliyah


Di Ponorogo. Jurnal Muaddin. Vol. 06. No. 1.
Idi, Abdullah dan Toto Suharto. 2006. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Tiara Wacana.

Kosim, Mohammad. 2007. Madrasah di Indonesia (Pertumbuhan dan


Perkembangan). Jurnal Tadris. Vol. 2. No. 1.
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3.

Napitulu, Dedi Sahputra. 2018. “Dinamika Madrasah Sebelum Indonesia


Merdeka”, dalam Ittihad: Jurnal Pendidikan. Vol. II. No. 2.
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Wajib Belajar
Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah Bab II Pasal 3

Saragih, Dahlina Sari, dkk. 2019. Dinamika Madrasah Diniyah Takhmiliyah


Awaliyah (Studi Kasus Mdta Di Kecamatan Percut Sei Tuan). Jurnal Edu
Riligia. Vol. 3. No. 1.

17

Anda mungkin juga menyukai