Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DI PENDIDIKAN DINIYAH

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Abdul. Halim Soebahar, M.A.

Oleh MPI C3 :
Kelompok 4
1. Kawakibud Durriyah (202101030052)
2. Dindya Vikri Roemaissha (202101030100)
3. Mudya Fahira M.T (202101030089)
4. Wasi’ah Putri Agustin (202101030079)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH. ACHMAD SIDDIQ (UIN KHAS) JEMBER
MARET 2023
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah - Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul "Kebijakan Pendidikan Islam di Pendidikan Diniyah".

Sholawat dan salam tetap tercurahkan limpahkan kepada junjungan kita yaitu
Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah
memperjuangkan agama islam. Kemudian dari pada itu, kami sadar bahwa dalam
menyusun makalah ini banyak yang membantu terhadap usaha kami, mengingat hal itu
dengan segala hormat kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Abdul
Halim Soebahar, M.A. Selaku dosen pembimbing mata kuliah Analisis Manajemen
Pendidikan Islam.

Dalam penyusunan makalah ini kami sadar bahwa masih banyak kekurangan
dan kekeliruan, maka dari itu kami mengharapkan kritikan positif, sehingga bisa di
perbaiki seperlunya. Kami berharap semoga makalah ini bisa menjadi butiran-butir
amalan kami dan bisa bermanfaat , khususnya bagi kami dan umumnya bagi seluruh
pembaca .Amin Ya rabbal Alamin.

Jember, 19 Maret 2023

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ....................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................... ii

BAB I Pendahuluan .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 3
C. Tujuan Masalah .......................................................................................... 3

BAB II Pembahasan .............................................................................................. 4

A. Pengertian Pendidikan Diniyah .................................................................. 4


B. Kebijakan Pendidikan Islam di Pendidikan Diniyah ................................. 5

BAB III Penutup ................................................................................................. 15

A. Kesimpulan ............................................................................................. 15
B. Saran ....................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di belahan dunia ini, tidak ada negara yang tidak mengintervensi
penyelenggaraan pendidikan di negaranya, karena setiap negara berkepentingan
agar warga negaranya menjadi warga yang baik sesuai harapan pemerintah. Bahkan
untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak negara menerapkan
kontrol sangat ketat terhadap program-program pendidikan, baik yang
diselenggarakan sendiri oleh negara maupun yang dilakukan masyarakat. Alasan
lain intervensi pemerintah terhadap pendidikan warganya karena pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat, terutama dalam hal pendidikan makro, tidak
akan memadai lebih-lebih di era kehidupan masyarakat yang kian kompleks. Di
samping itu, proses pendidikan yang dilakukan masyarakat tanpa keterlibatan
pemerintah, berpeluang terjadinya konflik dan pertentangan dalam masyarakat
yang heterogin. Sejumlah masalah yang bisa menimbulkan konflik ketika
diterjemahkan dalam praktik pendidikan adalah keragaman agama dan
kepercayaan; adat istiadat; suku, daerah dan ras; pengaruh budaya asing; respon
atas kemajuan; organisasi; dan status sosial.
Oleh karena itu, untuk menghindari konflik dan pertentangan yang tajam
antar warga masyarakat, maka dibutuhkan keterlibatan negara dalam mengelola
pendidikan. Di Indonesia, keterlibatan pemerintah dalam bidang pendidikan selain
karena alasan di atas, juga merupakan amanat konstitusi, sebagaimana tertuang
dalam batang tubuh UUD 1945, khususnya pasal 31, yang berbunyi “Setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan (ayat 1); Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (ayat 2); Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional … (ayat
3).” Atas dasar ini, pemerintah Indonesia sejak merdeka hingga kini telah banyak
melakukan kebijakan dalam bidang pendidikan untuk meningkatkan kualitas

1
warganya. Arah kebijakan pendidikan nasional selalu diperbaharui seiring dengan
perkembangan zaman. Bagaimana dengan kebijakan pemerintah terkait pendidikan
Islam? Di Indonesia, dengan penduduk mayoritas muslim, hubungan agama dan
negara cukup unik. Negara Indonesia dibangun berdasarkan Pancasila, tidak
berdasar agama tertentu. Karena itu, Indonesia bukan negara agama. Kendati
demikian, Indonesia tidak pula disebut sebagai negara sekuler karena Pancasila,
sebagai dasar negara, sangat apresiatif terhadap agama dan penganutnya.
Indonesia, menurut Mahfud MD, lebih tepat disebut negara kebangsaan yang
religius. Atau dalam pandangan Azyumardi Azra, Indonesia dengan dasar
Pancasila is religiously friendly. Hal ini tercermin dari sila pertama dalam Pancasila
yang berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa.’ Dengan sila ini, negara melindungi
semua penganut agama yang diakui di Indonesia. Perlindungan pemerintah
diwujudkan dalam bentuk memberikan kebebasan kepada setiap pemeluk agama
untuk melaksanakan ajaran agamanya dan pemberian bantuan agar setiap penganut
agama dapat mengembangkan kehidupan beragama dengan baik.
Simbul apresiasi negara terhadap agama dan penganutnya ditunjukkan
dengan dibentuknya Kementerian Agama yang menjadi wadah pembinaan
kehidupan umat beragama. Sikap negara yang apresiatif terhadap agama
berpengaruh pada penyelenggaraan pendidikan agama. Negara melindungi
pelaksanaan pendidikan agama dalam semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan,
dengan menekankan agar pendidikan agama dapat meningkatkan iman dan takwa
setiap peserta didik sesuai agamanya masing-masing. Kendati pemerintah sangat
apresiatif terhadap pendidikan agama, dalam tataran praktis tidak mudah
menerjemahkannya dalam bentuk kebijakan, terutama terkait dengan pendidikan
Islam. Dalam perjalanan panjang, sejak Indonesia merdeka hingga kini, kebijakan
pemerintah terhadap pendidikan Islam terjadi pasang surut, ada kalanya terkesan
merugikan umat Islam sehingga timbul prasangka negatif dari kalangan muslim
terhadap pemerintah. Namun ada kalanya terkesan menguntungkan umat Islam

2
sehingga muncul pandangan iri dari kalangan nonmuslim terhadap pemerintah.
Atas penjelasan di atas, penting dan menarik untuk membahas lebih lanjut tentang
bagaimana kebijakan pemerintah terkait dengan penyelenggaraan pendidikan
Islam, khususnya terhadap pendidikan diniyah atau madrash diniyah, selama
pemerintahan orde lama, orde baru, dan orde reformasi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian pendidikan diniyah (madrasah diniyah)?
2. Bagaimana kebijakan pendidikan islam di pendidikan diniyah?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan diniyah (madrasah diniyah)
2. Untuk mengetahui kebijakan pendidikan islam di pendidikan diniyah

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Madrasah Diniyah


Madrasah diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan
pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara terus menerus
memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi
pada jalur sekolah yang diberikan melalui sistem klasikal serta menerapkan
jenjang pendidikan. Pendidikan tersebut adalah Madrasah Diniyah Awwaliyah,
yaitu pendidikan agama Islam tingkat dasar selama 4 (empat) tahun dan jumlah
jam belajarnya 18 jam pelajaran seminggu. Selanjutnya, Madrasah Diniyah
Wustho, yaitu pendidikan agama Islam tingkat menengah pertama sebagai
pengembangan pengetahuan yang diperoleh pada Madrasah Diniyah
Awwaliyah, masa belajar selama 2 (dua) tahun dengan jumlah jam belajarnya
18 jam pelajaran seminggu. Kemudian, Madrasah Diniyah Ulya, yaitu
pendidikan agama Islam tingkat menengah atas dengan melanjutkan dan
mengembangkan pendidikan Madrasah Diniyah Wustho, masa belajar 2 (dua)
tahun dengan jumlah jam belajarnya 18 jam per minggu. Madrasah diniyah
dilihat dari stuktur bahasa Arab berasal dari dua kata, yaitu madrasah dan al-
din. Kata madrasah dijadikan nama tempat dari asal kata darosa yang berarti
belajar. Jadi, madrasah mempunyai makna tempat belajar sedangkan al-din
dimaknai dengan makna keagamaan. Dari dua struktur kata yang dijadikan satu
tersebut, madrasah diniyah berarti tempat belajar masalah keagamaan, dalam
hal ini agama Islam.
Madrasah diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan
pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara terus-menerus
memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi
pada jalur sekolah yang diberikan melalui sistem klasikal serta menerapkan
jenjang pendidikan, yaitu madrasah Diniyah Awwaliyah, Wustho dan Ulya.

4
Madrasah diniyah termasuk lembaga pendidikan nonformal, yaitu usaha yang
terorganisasi secara sistematis dan kontinu di luar sistem persekolahan melalui
hubungan sosial untuk membimbing individu, kelompok, dan masyarakat agar
memiliki sikap dan cita-cita sosial (yang efektif) guna meningkatkan taraf
hidup di bidang materiil, sosial, mental dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan sosial.
Pendidikan nonformal adalah salah satu bentuk pendidikan di samping
pendidikan formal dan informal. Kedudukan pendidikan nonformal ini tidak
kalah peranannya dari pendidikan formal. Banyak hal yang tidak terjangkau
oleh pendidikan formal dapat dilaksanakan melalui pendidikan nonformal.
Oleh karena itu, Pendidikan nonformal memegang peranan yang sangat
strategis dalam ikut serta memberdayakan pendidikan di Indonesia. 1

B. Kebijakan Pendidikan Islam di Madrasah Diniyah


1. Kebijakan Madrasah di Masa Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka, segera dilakukan upaya-upaya
pembaharuan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. BP KNIP (Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) dalam sidangnya tanggal 29
Desember 1945 membuat sejumlah rekomendasi kepada Kementerian
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, yang intinya agar selekas
mungkin mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran yang
dijalankan sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan dan pengajaran
baru. Dalam rekomendasi itu juga disinggung tentang keberadaan madrasah
dan pesantren, yang menyatakan: “… Madrasah dan pesantren-pesantren
yang pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan
pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat dan berakar dalam masyarakat

1
Umar Sidiq, Wiwin Widyawati, Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Islam Di Indonesia
(Ponorogo: CV. Nata Karya, 2019) 65-67.

5
Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang
nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.
Sebagai respon atas rekomendasi BP KNIP tersebut, tanggal 1
Maret 1946 Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (Dr. Mr.
T.S.G Mulia) melalui Surat Keputusan Nomor 104/Bhg.O membentuk
sebuah komisi khusus dengan nama Panitia Penyelidik Pengajaran yang
diketuai oleh Ki Hajar Dewantara dan Soegarda Poerbakawatja sebagai
sekretaris, dengan tugas; (a) Merencanakan susunan baru dari tiap-tiap
macam sekolah; (b) Menetapkan bahan pengajaran dengan
mempertimbangkan keperluan yang praktis dan jangan terlalu berat; (c)
Menyiapkan rencana pelajaran untuk tiap jenis sekolah termasuk fakultas.
Tentang pendidikan agama, Panitia Penyelidik merekomendasikan
hal-hal berikut;
a. Pelajaran agama dalam semua sekolah diberikan pada jam pelajaran
sekolah;
b. Para guru dibayar oleh pemerintah;
c. Pada Sekolah Dasar, pendidikan agama diberikan mulai kelas IV;
d. Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu;
e. Para guru agama diangkat oleh Departemen Agama;
f. Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum;
g. Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama;
h. Diadakan latihan bagi para guru agama;
i. Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki; dan
j. Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan.
Dari sekian rekomendasi di atas, perhatian khusus terhadap madrasah
hanya pada nomor 9, selebihnya diarahkan pada pendidikan agama di
sekolah. Rekomendasi terhadap madrasah mengarah pada perbaikan mutu
madrasah. Hal ini menunjukkan bahwa madrasah di awal kemerdekaan

6
belum sesuai dengan harapan pemerintah yang menjadikan sekolah sebagai
standar. Pengelolaan madrasah masih berjalan secara tradisional dengan
materi keislaman murni, kecuali beberapa madrasah yang mulai mengadopsi
materi umum dan sistem sekolah.
Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1/1946 tersebut juga
diatur penjenjangan madrasah yang meliputi:
a. Madrasah Tingkat Rendah, dengan lama belajar sekurang-kurangnya 4
tahun, dan siswa dibatasi pada usia 6 sampai 15 tahun; dan
b. Madrasah Lanjutan, dengan masa belajar sekurang-kurangnya
c. tahun setelah tamat Madrasah Tingkat Rendah, siswa berumur 11 tahun
ke atas
Pada tahun 1952, ketentuan di atas disempurnakan melalui
Peraturan Menteri Agama Nomor 7/1952. Dalam peraturan ini jenjang
pendidikan madrasah menjadi;
a. Madrasah Rendah, dengan masa belajar 6 tahun
b. Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama, dengan lama belajar 3 tahun
setelah tamat Madrasah Rendah; dan
c. Madrasah Lanjutan Tingkat Atas, dengan lama belajar 3 tahun setelah
tamat Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama.

Tujuan pendidikan tersebut belum tampak adanya perhatian serius


pemerintah dalam membina mental spiritual dan keagamaan melalui proses
pendidikan. Oleh sebab itu, tidak heran jika keberadaan madrasah dalam
undang-undang tersebut tidak disinggung secara khusus, kecuali pada pasal
10 (ayat 2) tentang Kewajiban Belajar, yang menyatakan “Belajar di
sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama
dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.

Untuk melaksanakan amanat UU Nomor 12/1954, khususnya


tentang wajib belajar, pada tahun 1958 Kementerian Agama mempelopori

7
berdirinya Madrasah Wajib Belajar (MWB) dengan lama belajar 8 tahun.
MWB diarahkan pada pembangunan jiwa bangsa untuk kemajuan di
lapangan ekonomi, industrialisasi, dan transmigrasi. Materi pelajarannya
meliputi: pendidikan agama, umum, dan keterampilan untuk mendukung
kesiapan anak untuk berproduksi atau bertransmigrasi dengan swadaya.
Kurikulum MWB merupakan gabungan dari tiga perkembangan; akal, hati
nurani, dan keterampilan. Dengan komposisi mata pelajaran; 25% mata
pelajaran agama dan 75% mata pelajaran umum dan keterampilan.33 Lama
belajar MWB 8 tahun, dengan pertimbangan bahwa pada usia 6 tahun anak
sudah wajib sekolah dan setelah umur 15 tahun diizinkan mencari nafkah.
Sayangnya, rintisan gemilang ini hanya bertahan sampai tahun 1970 karena
tak didukung dana memadai.

Di antara upaya Kementerian Agama dalam menata dan membina


madrasah adalah melalui penataan organisasi dan membuat “pilot projek”
madrasah percontohan dengan cara penegerian sejumlah madrasah swasta.
Melalui cara ini, keberadaan madrasah yang beranekaragam diharapkan
bisa memiliki model yang sama dalam pengembangannya.

Penegerian pertama dilakukan pada madrasah tingkat pemula


(ibtidaiyah) melalui sejumlah keputusan/ketetapan Menteri Agama berikut:

1. Ketetapan Menteri Agama Nomor 1/1959; sebanyak 205 Sekolah


Rendah Islam (SRI) di Aceh yang sejak 1946 dikelola Pemerintah
Daerah setempat diserahkan pemeliharaannya kepada Kementerian
Agama, dan namanya diganti menjadi Sekolah Rakyat Islam (SRI).
2. Keputusan Menteri Agama Nomor 2/1959; Sebanyak 19 SRI di
Lampung yang semula dikelola Pemerintah Daerah setempat
diserahkan pemeliharaannya kepada Kementerian Agama, dan
namanya diganti menjadi Sekolah Rakyat Islam (SRI).

8
3. Keputusan Menteri Agama Nomor 12/1959; sebanyak 19 SRI di
Karesidenan Surakarta yang semula dikelola Pemerintah Daerah
setempat diserahkan pemeliharaannya kepada Kementerian Agama, dan
namanya diganti menjadi Sekolah Rakyat Islam (SRI).
4. Keputusan Menteri Agama Nomor 104/1962; nama Sekolah Rakyat
Islam (SRI) diubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), yang
berlaku hingga sekarang.

2. Kebijakan Madrasah di Masa Orde Baru


Upaya penegerian madrasah (Madrasah Ibtidaiyah) yang telah
dilakukan di akhir orde lama, dilanjutkan ke jenjang berikutnya pada masa
orde baru. Hal ini ditunjukkan dengan proses penegerian Madrasah
Tsanawiyah yang dimulai tahun 1967. Namanya setelah dinegerikan
menjadi Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri (MTs.A.I.N). Sampai
tahun 1970, MTs.A.I.N telah berjumlah 182 buah yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia. Di tahun 1967, penegerian madrasah berlanjut ke
jenjang berikutnya (Madrasah Aliyah) berdasar Keputusan Menteri Agama
Nomor 80/1967. Madrasah Aliyah yang pertama kali dinegerikan adalah
MA al-Islam Surakarta, MA di Magetan, dan MA Palangki di Sumatera
Barat. Setelah dinegerikan, namanya menjadi Madrasah Aliyah Agama
Islam Negeri (M.A.A.I.N). Selanjutnya proses penegerian terus
berlangsung sampai dikeluarkannya KMA Nomor 213/1970 tentang
penghentian penegerian madrasah swasta atau pendirian madrasah negeri.
Sampai tahun 1970 jumlah M.A.A.I.N stelah mencapai 43 buah.
Restrukturisasi madrasah dilanjutkan pada tahun 1978 (berdasar Keputusan
Menteri Agama Nomor 15, 16, 17 tahun 1978) dengan mengubah kembali
nama-nama madrasah negeri tersebut (MIN, MTs.AIN, MA.AIN) menjadi
MIN, MTsN, dan MAN, yang berlaku hingga kini.

9
Langkah berikutnya, penataan madrasah dilakukan tahun 1975,
tepatnya tanggal 24 Maret 1975, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan
Bersama (SKB) Nomor 6/1975 dan Nomor 037/U/1975 antara Menteri
Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri
tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah. Latar belakang
lahirnya SKB 3 Menteri bermula dari keluarnya Keputusan Presiden Nomor
34/1972, tanggal 18 April 1972, tentang Tanggungjawab Fungsional
Pendidikan dan Latihan, yang sebagian isinya menyatakan bahwa semua
lembaga pendidikan di Indonesia berada di bawah tanggungjawab
Departemen P & K, termasuk lembaga pendidikan agama.
Sebagai tindak lanjut dari petunjuk di atas, dibentuk tim kerjasama
tiga kementerian yang akhirnya menghasilkan SKB Tiga Menteri tentang
Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah. Bunyi SKB tersebut antara
lain :
a. Madrasah meliputi tiga tingkatan: Madrasah Ibtidaiyah, setingkat
dengan Sekolah Dasar; Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan
Sekolah Menengah Pertama; dan Madrasah Aliyah, setingkat dengan
Sekolah Menengah Atas (Bab I pasal 1 ayat 2).
b. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah
sekolah umum yang setingkat; Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke
sekolah umum yang setingkat lebih atas; Siswa madrasah dapat pindah
ke sekolah umum yang setingkat (Bab II pasal 2).
c. Pengelolaan madrasah dilakukan oleh Menteri Agama; Pembinaan mata
pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama;
Pembinaan dan pengawasan mutu mata pelajaran umum pada madrasah
dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersama-sama
dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri ( Bab IV pasal 4).

10
Menurut A. Malik Fadjar, pengakuan madrasah sebagai sekolah
umum berciri khas Islam merupakan wujud budaya simpatik jati diri budaya
bangsa yang berakar pada peradaban “Bhinneka Tunggal Ika” Azyumardi
Azra mengatakan, pengakuan tersebut menunjukkan bahwa secara perlahan
namun pasti, dikotomi antarmadrasah dan sekolah umum mulai pudar.
Sedangkan menurut Maksum, pengakuan tersebut dapat ditafsirkan sebagai
upaya melakukan “integrasi” pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan
nasional. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi berikut; pertama,
pendidikan agama menjadi salah satu mata pelajaran wajib dalam setiap
jenis, jenjang, jalur pendidikan. Kedua, dalam sistem pendidikan nasional,
madrasah dimasukkan ke dalam katagori pendidikan jalur sekolah. Jika
sebelumnya terdapat dualisme antara sekolah dan madrasah, maka melalui
kebijakan tersebut dapat dikatakan bahwa madrasah adalah sekolah umum
berciri khas agama Islam. Ketiga, kendati madrasah termasuk ke dalam
jalur pendidikan sekolah, pemerintah masih memberikan peluang untuk
mengembangkan madrasah dengan jurusan khas keagamaan.

Di samping mengakui madrasah sebagai sekolah umum berciri khas


Islam, UU Nomor 2/1989 masih mengakomodasi keberadaan lembaga
pendidikan keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan menengah
(pasal 15 ayat ).52 Dan sesuai PP Nomor 29/1990 (pasal 11 ayat 2),
“Tanggungjawab pengelolaan sekolah menengah keagamaan dilimpahkan
oleh Menteri (Pendidikan dan Kebudayaan) kepada menteri Agama”.
Maka, sebagai tindak lanjut peraturan di atas Menteri Agama, berdasar
KMA Nomor 371/1993, mendirikan sekolah menengah keagamaan dengan
nama Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Sebagai lembaga pendidikan
keagamaan, muatan kurikulum MAK agak berbeda dengan MA.
Kurikulumnya—berdasar KMA Nomor 374/1993 tentang Kurikulum
Pendidikan Menengah Keagamaan—lebih didominasi materi keagamaan

11
(±70%). Dengan persentase materi agama yang dominan, maka MAK
sesungguhnya merupakan kelanjutan dan pengembangan dari program
MAPK yang telah dirintis tahun 1987 (oleh Menteri Agama Munawir
Syadzali). Hanya, jangkauan MAK lebih luas dibanding MAPK.

3. Kebijakan Madrasah di Era Reformasi


Di era reformasi yang saat ini sedang berlangsung, belum banyak
kebijakan terkait madrasah. Yang jelas kehadiran UU Nomor 20/2003
tentang Sistem Pendidika Nasional, semakin memperkuat posisi madrasah
sebagaimana telah dirintas dalam UU Nomor 2/1989. Di antara
indikatornya adalah penyebutan secara eksplisit istilah madrasah yang
selalu bersanding dengan penyebutan sekolah, yang hal ini tak ditemukan
dalam undang-undang sebelumnya. Beberapa pasal berikut akan
menunjukkan hal dimaksud:
a. Pasal 17 ayat 2 : Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)
atau bentuk lain yang sederajat.
b. Pasal 18 ayat 3 : Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah
Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang
sederajat.

Di samping itu, undang-undang pendidikan ini juga


mengakomodasi pendirian “madrasah baru” yang dalam undang-undang
sebelumnya tidak dikenal, yaitu Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).
Keberadaan MAK ini menunjukkan kesungguhan pemerintah untuk
“benar-benar” menyetarakan madrasah dan sekolah. Dengan demikian, jika
di sekolah menengah ada SMK, maka di madrasah pun sama, ada MAK.

12
Selain itu, kebijakan lain di era reformasi yang menguntungkan
umat Islam dalam bidang pendidikan adalah keluarnya Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan. Melalui peraturan ini—yang selanjutnya
diterjemahkan ke dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014
tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan Peraturan Menteri Agama
Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok
Pesantren. Melalui ketentuan ini, pemerintah mengakui “madrasah baru”
baru yang selama ini hanya diakui sebagai “madrasah nonformal” sehingga
harus dilakukan penyetaraan ijazah agar lulusannya bisa setara dengan
lulusan sekolah/madrasah formal sejenis. Madrasah baru tersebut
Pendidikan Diniyah Formal dan Satuan Pendidikan Mua’adalah.

Pendidikan Diniyah Formal adalah satuan pendidikan formal pada


jenjang pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan di dan oleh
pondok pesantren. Demikian pula Satuan Pendidikan Mua’dalah, adalah
satuan pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
yang diselenggarakan di dan oleh pondok pesantren. Pada dua satuan
pendidikan ini, di samping harus didirikan pesantren, peserta didiknya pun
harus mondok di pesantren. Maka, dengan adanya pengakuan “madrasah
pesantren” ini, para pelajar muslim semakin mendapat banyak pilihan untuk
melanjutkan studinya, apakah memilih madrasah dalam arti sekolah berciri
khas Islam atau madrasah pesantren (pendidikan diniyah formal atau satuan
pendidikan muadalah)? Semuanya memiliki kedudukan yang sama sebagai
lembaga formal.

Selain itu, kebijakan yang semakin positif terhadap keberadaan


madrasah juga dilakukan Kementerian Agama sebagai penanggungjawab
pengelolaan dan pembinaan madrasah. Di kementerian ini, sejak tahun
2006 (berdasar Keputusan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 2006),

13
pengelolaan madrasah berada dalam direktorat tersendiri, yaitu Direktorat
Pendidikan Madrasah. Sebelumnya, madrasah berada dalam satu direktorat
bersama Pendidikan Agama Islam di Sekolah (bernama Direktorat
Madrasah dan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum). Dengan
menjadi direktorat tersendiri, menunjukkan bahwa Kementerian Agama
lebih serius dalam membangun madrasah, karena lebih fokus dan anggaran
untuk pengembangan madrasah pun lebih banyak. Sehingga upaya
pengembangan mutu madrasah lebih mudah dilakukan.2

2
Mohammad Kosim, Dinamika Kebijakan Madrasah di Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde
Reformasi (Pamekasan: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, 2016) 7-17.

14
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
 Madrasah diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan pada
jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara terus-menerus
memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak
terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan melalui sistem klasikal serta
menerapkan jenjang pendidikan, yaitu madrasah Diniyah Awwaliyah,
Wustho dan Ulya. Madrasah diniyah termasuk lembaga pendidikan
nonformal, yaitu usaha yang terorganisasi secara sistematis dan kontinu di
luar sistem persekolahan melalui hubungan sosial untuk membimbing
individu, kelompok, dan masyarakat agar memiliki sikap dan cita-cita
sosial (yang efektif) guna meningkatkan taraf hidup di bidang materiil,
sosial, mental dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial
 Di masa awal orde lama, pemerintah lebih memilih lembaga sekolah--
peninggalan penjajah--sebagai model pengembangan sistem pendidikan
nasional, sehingga perhatian pemerintah terhadap madrasah kurang.
Faktor penyebab kebijakan tak berpihak terhadap madrasah ini, dapat
dilihat secara internal dan eksternal. Secara internal dipengaruhi sikap
umat Islam yang masih tertutup dan hati-hati dalam menerima kebijakan
pemerintah yang cenderung mengekor kepada penjajah. Dari pihak
pemerintah, para pejabat penentu kebijakan dalam bidang pendidikan
banyak diisi kelompok nasionalis sehingga lebih berpihak pada sistem
sekolah. Selain itu, pemerintah memandang bahwa madrasah masih
dikelola secara tradisional dan kurikulumnya murni diniyah, sehingga
tidak cocok dengan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada
sekolah.

15
 Di masa orde baru, pemerintah mulai memberikan perhatian terhadap
madrasah. Tomggaknya ditunjukkan dengan terbitnya SKB tiga menteri
tentang Peningkatan Mutu Madrasah tahun 1975 dan disahkannya UU
Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Melalui SKB 3
Menteri, pemerintah mulai terlibat intens membina madrasah, dan lulusan
madrasah pun mulai diakui setara dengan lulusan sekolah dalam semua
jenjang. Dan melalui UU No. 2/1989 madrasah benarbenar diakui setara
dengan sekolah, bahkan dapat dipandang sebagai sekolah plus, yaitu
sekolah berciri khas agama Islam. Faktor penyebab kebijakan pro
madrasah ini karena umat Islam mulai membuka diri terhadap
pembaharuan. Pemerintah juga menunjukkan itikad baik untuk
mengembangkan madrasah tanpa tercerabut dari akarnya sebagai lembaga
pendidikan Islam.
 Di masa reformasi, kebijakan pemerintah terhadap madrasah semakin
berpihak. Hal ini ditunjukkan dengan disahkannya UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini,
nomenklatur madrasah disebut secara tegas beriringan dengan sekolah
yang belum pernah ditemukan dalam undangundang pendidikan
sebelumnya. Selain itu, dalam undang-undang ini pemerintah membentuk
madrasah jenis baru, yaitu MAK (Madrasah Aliyah Kejurusan) yang setara
dengan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Kebijakan yang semakin pro
madrasah ini disebabkan oleh kian meningkat hubungan positif umat Islam
dan pemerintah di berbagai bidang sehingga terjadi sinergi dalam
mengembangkan madrasah.

16
B. Saran
 Penulis memahami betul makalah yang kami buat ini banyak sekali
kesalahan serta sangat jauh dari kesempurnaan. Pastinya, penulis akan terus
memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang bisa
dipertanggung jawabkan nantinya. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan
koreksi dari para pembaca agar nantinya makalah ini bisa menjadi lebih
baik dari sebelumnya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Umar Sidiq, Wiwin Widyawati, Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Islam Di


Indonesia (Ponorogo: CV. Nata Karya, 2019) 65-67.
Mohammad Kosim, Dinamika Kebijakan Madrasah di Masa Orde Lama, Orde Baru,
dan Orde Reformasi (Pamekasan: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, 2016) 7-17.

18

Anda mungkin juga menyukai