Disusun oleh:
1. Duty Volya
2. Kasyful Iman
3. M. ArifLiputo
4. Edi Yuversa
FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS JAMBI
2020
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, taufik dan hidayahnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Salawat dan salam senantiasa tercurah
kepada keluarga dan para sahabatnya. Aamiin.
Ungkapan terima kasih penulis hanturkan kepada dosen pengampu mata kuliah
Kebijakan Pendidikan, atas bimbingan dan arahannya, hingga tersusunnya makalah ini.
Semoga makalah yang penulis susun ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Karena
keterbatasan waktu, sumber maupun kemampuan penulis, tentunya ada kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Semoga ke depannya penulis dapat menjelaskan lebih detail tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Tak lupa saran serta kritik yang membangun senantiasa penulis
harapkan dalam perbaikan makalah ini.
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu prasyarat untuk mewujudkan masyarakat madani ditentukan oleh sejauh mana
kualitas peradaban masyarakatnya. Peradaban suatu bangsa akan tumbuh dan lahir dari sistem
pendidikan yang digunakan oleh bangsa tersebut. Masyarakat yang berperadaban adalah
masyarakat yang berpendidikan. Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan yang dikemukakan
oleh Muhammad Naquib Al-Attas. Menurutnya pendidikan Islam itu lebih tepat diistilahkan
engan ta’dib (disbanding istilah tarbiyah, ta’lim dan lainnya), sebab dengan konsep “ta’dib”
pendidikan akan memberikan adab atau kebudayaan. Dengan istilah ini yang dimaksudkan
pendidikan berlangsung dengan terfokus pada manusia sebagai objeknya guna pemenuhan
potensi intelektual dan spriritual.
Lembaga pendidikan yang memainkan perannya di Indonesia, jika dilihat dari struktur
internal pendidikan Islam serta praktek-praktek pendidikan yang dilaksanakan, ada empat
kategori. Pertama, pendidikan pondok pesantren, yaitu pendidikan Islam yang
diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran Qur’an dan hadits dan
merancang segenap pendidikannnya untuk mengajarkan kepada siswa Islam sebagai cara
hidup atau way of life. Kedua, pendidikan madrasah, yakni pendidikan Islam yang
diselenggarakan di lembaga-lembaga model Barat, yang menggunakan metode pengajaran
klasikal, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa.
Ketiga, pendidikan umum yang bernafaskan Islam, yaitu pendidikan Islam yang dilakukan
melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembagalembaga
pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum. Keempat,
pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai
suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Maka yang difokuskan pada makalah kali ini
adalah tentang pondok pesantren.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui iplikasi tentang kebijakan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 Tentang PESANTREN di
Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pendapat pertama ada dua versi, yang berpendapat bahwa pondok pesantren
berawal sejak zaman Nabi masih hidup. Dalam awal-awal dakwahnya, Nabi melakukan
dengan sembunyi-sembunyi dengan peserta sekelompok orang, dilakukan dirumah-rumah,
seperti yang tercatat di dalam sejarah, salah satunya adalah rumah Arqam bin Abu Arqam.
Sekelompok orang yang tergolong dalam As-Sabiqunal Awwalun inilah yang kelak menjadi
perintis dan pembuka jalan penyebaran agama Islam di Arab, Afrika, dan akhirnya menyebar
ke seluruh dunia.
Versi kedua menyebutkan bahwa pondok pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan
tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa
penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan
tarekat yang melaksanakan amalanamalan dzikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat itu
disebut kyai, yang mewajibkan pengikutnya melakukan suluk selama 40 hari dalam satu
tahun dengan cara tinggal bersama sesame anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk
melakukan ibadah-ibadah di bawah bimbingan kyai. Untuk keperluan suluk ini, para kyai
menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terdapat di kiri
kanan masjid.
Pendapat kedua mengatakan, pondok pesantren yang dikenal saat ini pada mulanya
merupakan pengambilalihan dari sistem pondok pesantren yang diadakan orang-orang Hindu
di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke
3
Indonesia, lembaga pondok pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat
mengajarkan ajaranajaran agama Hindu.
Menurutnya, selain sudah lama melekat dalam kehidupan di Indonesia, model ini
(pesantren) juga merupakan kreasi budaya Indonesia, setidaknya Jawa, yang patut untuk di
pertahankan dan dikembangkan. Tidak bias dipungkiri bahwa pesantren telah banyak
memberikan andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebelum kolonial Belanda masuk ke nusantara, pesantren tidak hanya berperan sebagai
lembaga pendidikan yang berfungsi menyebarkan ajaran Islam sekaligus juga mengadakan
perubahan-perubahan tertentu menuju keadaan masyarakat yang lebih baik (progresif).
Sebagaimana tercermin dalam berbagai pengaruh pesantren bagi kelancaran kegiatan politik
para raja dan pangeran di jawa, kegiatan perdagangan dan pembukaan pemukiman di daerah
baru. Di saat penjajah belanda menduduki kerajaan-kerajaan di Nusantara, pesantren malah
menjelma sebagai pusat perlawanan dan pertahanan terhadap kolonial Belanda, Inggris, dan
jepang.Bahkan, pasca kemerdekaan tahun 1959-1965, pesantren masih dikategorikan sebagai
“Alat Revolusi” dan “Bahan Peledak” yang mampu menghancurkan kelancaran politik yang
stagnan.
4
KH.Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa ‘’wajib ‘ain’’ (kewajiban yang harus
dilaksanakan individu) bagi umat islam Indonesia untuk mengangkat senjata melawan
Belanda, telah membangkitkan semangat umat islam untuk mempertahankan kemerdekaan
dan menentang kehadiran sekutu.
Saat memasuki orde baru, pesantren dipandang sebagai “potensi pembangunan” negara
bagi masyarakat Indonesia. Di era kemerdekaan, pesantren terlibat dalam perumusan bentuk
dan ideologi bangsa serta terlibat dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Secara
historis, keberadaan pesantren hampir bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia.
Alasannya sangat sederhana, Islam sebagaiagama dakwah, disebarkan secara efektif melalui
proses transformasi ilmu dari ulama ke masyarakat (tarbiyah wa ta‟lim, atau ta‟dib). Proses
ini di Indonesia berlangsung salah satunya melalui pondok pesantren. Perkembangan
pendidikan pesantren pada periode Orde Baru, seakan tenggelam eksistensinya karena seiring
dengan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada kepentingan umat Islam.
Setitik harapan timbul untuk nasib umat Islam setelah terjadinya era reformasi, pondok
pesantren mulai berbenah diri lagi dan mendapatkan tempat lagi dikalangan pergaulan
nasional. Salah satunya adalah pendidikan pesantren diakui oleh pemerintah menjadi bagian
dari sistem pendidikan nasional. Pesantren tidak lagi di pandang sebagai lembaga pendidikan
tradisional yang illegal, namun juga diakui oleh pemerintah sebagai lembaga pendidikan yang
mempunyai kesetaraan dalam hak dan kewajibannya dengan lembaga pendidikan formal
lainnya. Peluang tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh
pesantren.
Pada abad ke-20, pesantren mampu mereposisi diri kearah sistem pendidikan yang
berorentasi kearah masa depan dengan tanpa menghilangkan tradisitradisi yang baik, dengan
berpedoman kepada prinsip “al-muhafadzahalaa alqadiim ash-shalihwa al-akhdbii al-jadiid
al-ashlah”. pada intinya peran pesantren bagi masyarakat tidak patut di pandang sebelah
mata.
Pesantren merupakan produk sejarah yang telah berdialog dengan zamannya yang
memiliki karakteristik berlainan, baik menyangkut sosiopolitik, sosio-kultural, sosio-
ekonomi, maupun sosio-religius. Antara pesantren dan masyarakat sekitar, khususnya
masyarakat desa, Telah terjalin interaksi yang harmonis, bahkan keterlibatan mereka cukup
5
besar dalam mendirikan pesantren. Sebaliknya kontribusi yang relatif besar seringkali
dihadiahkan pesantren untuk pembangunan masyarakat desa, (Mujamil Qomar, 2007 : 17).
Perhatian terhadap adanya kontribusi diasumsikan dengan adanya hubungan erat yang
tidak mungkin terhindarkan antara pesantren dan masyarakat. Kenyataan ini bisa dilihat tidak
hanya dari latar belakang pendirian pesantren pada lingkungan tertentu, tetapi juga dalam
pemeliharaan eksistensi pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, sedekah, hibah dan
sebagainya. Pesantren umumnya “membalas jasa” komunitas lingkungannya dengan
bermacam cara. tidak hanya dalam bentuk memberikan pelayanan pendidikan dan
keagamaan, tetapi juga bimbingan sosial, kultural dan ekonomi bagi masyarakat
lingkungannya, (AzyumardiAzra, 2012 :131).
Pada Pasal 30 Ayat (4) Undangundang Sitem Pendidikan Nasional(UU Sisdiknas) Nomor
20 Tahun 2003, disebutkan bahwa pendidikankeagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lainnya yang sejenis. Pada pasal ini
terlihat jelas adanya pengakuan pemerintah terhadap institusi pesantren sebagai
penyelenggara pendidikan keagamaan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007, merupakan peraturan pemerintah yang
lahir untuk memperjelas UU Sisdiknas tahun 2003, dalam PP ini juga memperjelas fungsi dan
tujuan pesantren sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam Sistem Pendidikan Nasional.
Pada pasal 26 ayat 1, PP Nomor 55 Tahun 2007 dijelaskan tentang tujuan pesantren, dan
memberikan legitimasi yuridis terhadap eksistensi pesantren.
2. Pengertian Pesantren
6
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe di depan dan akhiran an
berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan asal-usul kata “santri”, dalam pandangan
Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat.1 Pertama, pendapat yang mengataakan
bahwa “santri” berasal dari perkataaan “sastri”, sebuah kata daari bahasa sansekerta yang
artinya melek huruf. Pendapat ini menurut Nurcholish Madjid agaknya didasarkan atas kaum
santri adalah kelas literary bagi orang Jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-
kitab bertulisan dan berbahasa Arab.di sisi lain, Zamakhsyari Dhofier berpendapat, kata santri
dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu.atau secara umum
dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu
pengetahuan.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari
bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru
kemana guru pergi menetap.
Istilah pesantren bisa disebut pondok saja atau kata ini digabungkan menjadi pondok
pesantren, secara esensial, semua istilah ini menggabungkan makna yang sama. Sesuai
dengan namanya, pondok berarti tempat tinggal/menginap (asrama), dan pesantren berarti
tempat para santri mengkaji agama Islam dan sekaligus di asramakan.
7
Adapun Penyelenggaraan Pesantren berasaskan UU No. 18 tahun 2019 terdapat 10 asas
sebagaimana tersebut dibawah ini:
b) Kebangsaan;
c) Kemandirian;
d) Keberdayaan;
e) Kemaslahatan;
f) Multikultural;
g) Profesionalitas;
8
Yaitu penyenelenggaraan pondok pesantren dilaksanakan dengan prinsip
manajemen pendidikan dan pengelolaan organisasi.
h) Akuntabilitas;
i) Keberlanjutan; dan
j) Kepastian hukum.
2. Tujuan Pesantren
9
b. Mendidik siswa/santri untuk menjadikan manusia muslim selaku kaderkader ulama
dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan
sejarah Islam secara utuh dan dinamis.
c. Mendidik siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat
kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan dirinya dan
bertanggung jawab kepada pembangunan bangsa dan negara.
d. Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional
(pedesaan/masyarakat lingkungannya).
e. Mendidik siswa/santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor
pembangunan, khususnya pembangunan mental-spiritual.
f. Mendidik siswa/santri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.
a. pendidikan;
10
Dalam kaitannya dengan dua hal tersebut pesanten memilih model tersendiri yang dirasa
mendukung secara penuh tujuan dan hakikat pendidikan manusia itu sendiri, yaitu
membentuk manusia sejati yang memiliki kualitas moral dan intelektual secara seimbang
b. dakwah; dan
c. pemberdayaan masyarakat
Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak dari segala lapisan masyarakat
muslim tanpa membeda-bedakan tingkat sosial ekonomi orang tuanya. Biaya hidup di
pesantren relatif lebih murah daripada di luar pesantren, sebab biasanya para santri
mencukupi kebutuhan sehari-harinya dengan jalan patungan atau masak bersama, bahkan
ada diantara mereka yang gratis, terutama bagi anak-anak yang kurang mampu atau yatim
piatu. Sebagai lembaga sosial, pesanten ditandai dengan adanya kesibukan akan
kedatangan para tamu dari masyarakat, kedatangan mereka adalah untuk bersilaturahim,
berkonsultasi, minta nasihat “doa”, berobat, dan minta ijazah yaitu semacam jimat untuk
menangkal gangguan dan lain sebagainya.
11
c. Pesantren yang menyelenggarakan Pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi
dengan pendidikan umum.
Selain itu secara khusus Pesantren sebagaimana dimaksud di atas harus memenuhi unsur
paling sedikit:
a. Kiai;
Menurut Achmad Patoni ”Adanya seorang kyai di dalam suatu pesantren sangat
mutlak adanya, karena dalam suatu pesantren kyai adalah pengajar sekaligus menjadi
unsur yang yang paling dominan dalam kehidupan pesantren”. Sedangkan menurut
Zamakhsari Dhofir ”Kyai adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang
ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-
kitab klasik kepada para santrinya
1) Santri mukim
Adalah santri yang selama menuntut ilmu tinggal di dalam pondok yang
disediakan pesantren, biasanya mereka tinggal dalam satu kompleks yang berwujud
kamar-kamar. Satu kamar biasanya di isi lebih dari tiga orang, bahkan terkadang
sampai 10 orang lebih.
2) Santri kalong
12
Adalah santri yang tinggal di luar komplek pesantren, baik di rumah sendiri
maupun di rumah-rumah penduduk di sekitar lokasi pesantren, biasanya mereka
datang ke pesantren pada waktu ada pengajian atau kegiatan-kegiatan pesantren yang
lain.
Para santri yang belajar dalam satu pondok biasanya memiliki rasa solidaritas
dan kekeluargaan yang kuat baik antara santri dengan santri maupun antara santri
dengan kyai. Situasi sosial yang berkembang di antara para santri menumbuhkan
sistem sosial tersendiri, di dalam pesantren mereka belajar untuk hidup
bermasyarakat, berorganisasi, memimpin dan dipimpin, dan juga dituntut untuk dapat
mentaati dan meneladani kehidupan kyai, di samping bersedia menjalankan tugas
apapun yang diberikan oleh kyai, hal ini sangat dimungkinkan karena mereka hidup
dan tinggal di dalam satu komplek.
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren. Masjid
adalah bangunan sentral sebuah pesantren, dibanding bangunan lain, masjidlah tempat
serbaguna yang selalu ramai atau paling banyak menjadi pusat kegiatan warga pesantren.
13
Masjid yang mempunyai fungsi utama untuk tempat melaksanakan sholat berjamaah,
melakukan wirid dan do’a, i’tikaf dan tadarus al-Qur'an atau yang sejenisnya. Namun
bagi pesantren dianggap sebagai tempat yang tepat untuk mendidik para santri, terutama
dalam praktek shalat lima waktu, khutbah dan pengajaran kitab-kitab agama klasik
e. kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin.
Spesifikasi kitab dilihat dari formatnya terdiri dari dua bagian: materi, teks asal
(inti) dan syarh (komentar, teks penjelas atas materi). Dalam pembagian semacam ini,
materi selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara
syarah, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang diletakkan di bagian tengah
kitab kuning
Dalam system informasi pesantren juga sudah di atur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 Tentang PESANTREN sabagaimana disebutkan di bawah
ini:
1. Menteri mengembangkan sistem informasi dan manajemen untuk mengelola data dan
informasi Pesantren.
2. Sistem informasi dan manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
secara terpadu dengan pengelolaan data dan informasi oleh Menteri.
14
3. Data dan informasi hasil pengelolaan digunakan untuk pengembangan Pesantren
Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren juga untuk menjamin
penyelenggaraan Pesantren dalam menjalankan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi
pemberdayaan masyarakat, diperlukan pengaturan untuk memberikan rekognisi, alirmasi, dan
fasilitasi kepada Pesantren berdasarkan tradisi dan kekhasannya. Oleh karena itu, diperlukan
undang-undang yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum yang kuat dan menyeluruh
dalam penyelenggaraan Pesantren yang dapat memberikan rekognisi terhadap kekhasannya,
sekaligus sebagai landasan hukum untuk memberikan afirmasi dan fasilitasi bagi
pengembangannya.
Selanjutnya, pada Bab VII pasal 37 tentang kerja sama dalam rangka meningkatkan peran
dan mutu pesantren baik bersifat nasional maupun internasional, bisa dalam bentuk
pertukaran peserta didik, olimpiade, sistem pendidikan, kurikulum, bantuan pendanaan,
pelatihan, dan kerja sama lainnya.
Adapun bentuk Kerjasama yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019
adalah:
15
1. Dalam meningkatkan peran dan mutu, Pesantren dapat melakukan kerja sama yang
bersifat nasional dan/ atau internasional.
2. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat dapat dilakukan dalam bentuk:
a) pertukaran peserta didik;
b) olimpiade;
c) sistem pendidikan;
d) kurikulum;
e) bantuan pendanaan;
f) pelatihan dan peningkatan kapasitas; dan/atau
g) bentuk kerja sama lainnya.
3. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
G. PARTISIPASI MASYARAKAT
Kaitannya dengan fungsi pemberdayaan, pada Bab VIII Pasal 38 Undang-Undang Nomor
18 tahun 2019 membahas partisipasi masyarakat yang bentuk partisipasinya dapat berupa
bantuan program atau pembiayaan, mendukung kegiatan, mutu serta standar pesantren.di
bawah ini adalah bentuk patisipasi menurut undang-undang:
1. Dalam pengembangan penyelenggaraan Pesantren, masyarakat dapat berpartisipasi dalam
pengembangan Pesantren.
2. Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a) memberikan bantuan program dan/atau pembiayaan kepada Pesantren;
b) memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah daiam
penyelenggaraan Pesantren ;
c) mendukung setiap kegiatan Yang dilaksanakan Pesantren;
d) mendorong pengembangan mutu dan standar Pesantren;
e) mendorong terbentuknya wahana pendidikan karakter dan pembinaan moral di dalam
masyarakat dan di sekitar lingkungan Pesantren; dan
f) memperkuat kemandirian dan kemampuan ekonomi Pesantren.
3. Partisipasi dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, badan, dan/atau organisasi
masyarakat.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menjadi sejarah baru bentuk rekognisi
(pengakuan) Negara terhadap pesantren yang eksistensinya sudah ada berabad-abad silam,
jauh sebelum Tanah Air ini merdeka. Tidak hanya rekognisi, UU tentang Pesantren juga
bagian dari afirmasi dan fasilitasi kepada dunia pondok pesantren. Selain itu undang-undang
Nomor 18 Tahun 2019 juga bukan untuk menjadi “pengekang” terhadap independensi
pesantren dan Pendidikan keagamaan. Justru, undang-undang ini diharapkan dapat
memberikan rekognisi yang sepatutnya terhadap Kekhasan pesantren di Indonesia.
Oleh sebab itu, UU tentang Pesantren memang hadir bukan saja untuk kebaikan dan
kemajuan orang-orang pesantren, melainkan juga kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga
hasilnya pun nanti akan dinikmati oleh segenap masyarakat melalui produk-produk pesantren
serta peran dan kiprahnya tri di berbagai sektor.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, ke depanya penulis akan lebih
detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak
yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dalam
mengembangkan pengetahuan tentang Sistem Pendidikan Nasional menurut Undang-Undang
No 20 tahun 2003. Kami harapkan saran dan kritik yang membangun dalam perbaikan
makalah ini.
17
DAFTAR PUSTAKA
Badrudin, B., Purwanto, Y., & Siregar, C. N. (2018). Pesantren dalam Kebijakan Pendidikan
Indonesia. Jurnal Lektur Keagamaan, 15(1), 233. https://doi.org/10.31291/jlk.v15i1.522
Pesantren, A., & Pesantren, S. (n.d.). BAB II LANDASAN TEORI A. Pesantren 1. Sejarah
Pesantren. 13–53.
Putri, N. (2018). Simki-Pedagogia Vol. 02 No. 02 Tahun 2018 ISSN : 2599-073X. 02(02), 4.
Pesantren, A. T., & Pesantren, P. (1986). BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan tentang
Pesantren 1. Pengertian Pesantren. 10–55.
18