PARADIGMA PENDIDIKAN
Disusun oleh :
Suhirman
Fajar setiyawan
Paradigma pendidikan merupakan pemikiran teoritis yang sifatnya mendasar yang dipakai
sebagai latar belakang bagi disusunnya suatu framework untuk pelaksanaan pendidikan.
Biasanya paradigma itu dinyatakan dalam bentuk skema, yang memperlihatkan hubungan –
hubungan antara unsur – unsur yang terlibat didalamnya. Paradigma bukanlah sistem, tetapi
dalam suatu sistem terdapat sejumlah paradigma, yang merupakan konsep dasar dalam
pelaksanaan sistem itu. Namun sebuah paradigma dapat berkembang menjadi sebuah sistem.
Sebuah paradigma dapat berubah tergantung sejauhmana kebenaran paradigma itu masih
dapat diterima. Proses pengembangan sains menurut Thomas Kuhn mengikuti paradigma yang
dimulai dengan tahap “pra sains”, diikuti tahap “sains normal” lalu periode “sains luar biasa”,
lalu tahap “sains normal” kembali dan seterusnya.
Dimana proses itu merupakan lingkaran kegiatan dan demikian terjadi struktur revolusi ilmu
pengetahuan menurut Kuhn. Karena itu sebuah paradigma dapat berubah menjadi paradigma
baru apabila paradigma lama itu mendapatkan dikritik terhadap kelemahannya.
Seperti telah dimaklumi bahwa salah satu perubahan penting dalam sistem pemerintahan di
Indonesia di era reformasi adalah perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi yang ketat
menjadi sentralisasi terbatas yang dikenal dengan otonomi pemerintah daerah, yang bermakna
bahwa pemerintah daerah memiliki otonomi daerah yang luas untuk membangun daerahnya
dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan, dimana sistem pendidikan
nasional yang selama ini dilaksanakan secara sentralistis, dengan paradigma pemerintahan
otonomi daerah masing – masing.
Dalam konteks kehidupan bangsa dan bernegara, Indonesia hanya memiliki sistem
pendidikan yaitu sistem pendidikan nasional, yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
bangsa dan mewujudkan tujuan nasional
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian paradigma pendidikan dan perkembangan dalam pendidikan
2. Untuk mengetahui paradigma teori behavioristik, kontruktivistik dan sosial kognitif dalam
pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut istilah, Adam Smith mendefinisikan paradigma sebagai cara kita memahami
kehidupan, seperti air bagi ikan. William Harmon menulis bahwa paradigma adalah cara yang
mendasar dalam memahami, berfikir, menilai, dan cara mengerjakan sesuatu yang digabungkan
dengan visi tentang kehidupan tertentu. Sedangkan Barker sendiri mendifinisikan paradigma
sebagai seperangkat peraturan dan ketentuan (tertulis maupun tidak) yang melakukan dua hal: (1)
ia menciptakan atau menentukan batas-batas; dan (2) ia menjelaskan kepada anda cara untuk
berperilaku di dalam batas-batas tersebut agar menjadi orang yang berhasil.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, tampaklah bahwa paradigma adalah cara
dan pola yang mendasari pemahaman, penilaian, peraturan, dan pedoman dalam mengerjakan
sesuatu. Jadi, "paradigma baru" berarti cara atau pola baru dalam melakukan sesuatu.
Paradigma ilmu dirumuskan oleh Kuhn sebagai kerangka teoritis, atau suatu cara memandang
dan memahami alam, yang telah digunakan oleh komunitas ilmuwan sebagai pandangan
dunianya. Paradigma ilmu ini berfungsi sebagai lensa, sehingga melalui lensa ini para ilmuwan
dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masing dan
jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah tersebut.
Paradigma diartikan sebagai alam disiplin intelektual, yaitu cara pandang seseorang terhadap
diri dan lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif),
dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai,
dan praktek yang diterapkan dalam memandang realitas kepada sebuah komunitas yang sama,
khususnya, dalam disiplin intelektual.
Sehingga paradigma pendidikan adalah suatu cara memandang dan memahami pendidikan,
dan dari sudut pandang ini kita mengamati dan memahami masalah-masalah pendidikan yang
dihadapi dan mencari cara mengatasi permasalahan tersebut.
Dalam ilmu sosial, menurut Ritzer dan tiga paradigma. Pertama, paradigma fakta sosial yang
berakar pada pemikiran Emile Durkheim sehingga juga populer disubut dengan Perspektif
Durkheimian. Paradigma ini mendasar kan pada filsafat positime dari Auguste Comte yang
menyatakan segala seauatu serba terukur dan berkembang mengikuti hukum sebab akibat.
Kehidupan ini lalu di bangun menggunakan hukum dan logika ‘jika-maka’. Tidak ada gejala
yang tidak bisa di jelaskan. Gejala yang tidak bisa di ukur dan tidak bisa di jelaskan, diartikan
sebagai tidak ada.
Dalam pradigma fakta sosial, tindakan seseorang di asumsikan merupakan fungsi dari sistem
atau struktur dalam masyarakat. Mereka lalu mempertanyakan fungsi elemen-elemen dalm
sistem atau struktur tersebut. Elemen tersebut harus memiliki fungsi dan harus memiliki dan
memberi sumbangan bagi upaya membangun harmoni. Pendidikan sebagai elemen dalam
masayrakat misalnya, harus memiliki sumbangn terhadap pemacahan masalah yang dihadapi
masyarakat, dan membantu menciptakan keseimbangan.
Mereka yang berfikir sistemik seperti ini disebut Ritzer sebagai penganut paradigma fakta
sosial. Fakta sosial yang di maksud tiada lain adalah suatu yang bersifat eksternal di luar individu
dan bersifat memaksa individu, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tradisi aturan,
hukum, sebagai kesepakatan, struktur sosial, kesemua itu berada di luar dan memaksa individu
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Kedua, paradigma definisi sosial. Dalam paradigma yang berakar dari gagsan Max Weber ini
berangkat dari asumsi dasar yang mengatakan bahwa tindakan seseorang bukan karena faktor
dari luar, melainkan datang dari dorongan diri sendiri. Tradisi atau budaya yang berkembang di
lingkungannya bukan sebagai pendorong seseorang melakukan tindakan. Tindakan seseorang
merupakan hasil dari keinginan, motivasi, harapan,nilai-nilai serta berbagai bentuk penafsiran
manusia sebagai individu terhadap dunia dimana ia hidup. Pemikiran inilah yang disubut Ritzer
sebagai paradigma definisi sosial. Individu bertindak atas dasar devinisi atau pemaknaan yang
diberikn atas sesuatu. Oleh karena itu tidak seperti penganut paradigma fakta sosial yang
mengatakan individu produk masyarakat, maka dalam paradigama definisi sosial justru
masyarakat dipandan sebagai hasil dari tindakan dan penafsiran individu atas dunianya.
Pertanyaan yang di anjurkan biasanya adalah bagaimana seseorang menafsirkan dan memahami
sebuah fenomena.
Ketiga, paradigma pertukaran sosial. Paradigma ini muncul dari gagasan skinner. Dalam hal
ini seperti paradigma fakta sosial, individu bertindak berdasarkan stimulus dari luar. Namun
tidak seperti paradigma fakta sosial yang memendang faktor struktual atau system yang menjadi
acuan tindakan seseorang, maka menurut paradigma memandang siapa mendapat apa. Mereka
berasumsi bahwa stimulus yang bagus akan menghasilkan respon yang bagus pula. Sebaliknya
stimulus yang buruk kan menghasilkan respon yang buruk pula.
Paradigma sosial yang di gagas Ritzer tersebut juga berkembang dalam pemikiran tentang
pengembangan model pendidikan. Model pengembangan pendidikan itu termasuk berimplikasi
terhadap pola pengembangan kurukulium dan silabi, kepemimpinan, menejemen sumber daya,
pengelolaan kelas dan tentu juga strategi pembelajaran, disamping cara-cara melakukan evaluasi
pendidikan. Paradigma prilaku sosial mendasarkan pada perspektif pertukaran dalam pendidikan
kemudian melahirkan model behavioristik. Sementara itu paradigma perilaku sosial melahirkan
model konstruktivistik dalam pendidikan.
B. Paradigma Behavioristik, Kontruktivistik Dan Sosial Kognitif Dalam Pendidikan
1. Paradigma Behavioristik Dalam Pendidikan
Dalam dunia pendidikan selama ini dikenal paradigma klasik yang disebut paradigma
behavioristik. Paradigma ini muncul terutama pada tahun 1930-an. Paradigma ini
dipelopori oleh Pavlov (1849-1936), Watson (1878-1958), Skinner dan Thorndike (1874-
1949).
Paradigma ini cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan sampai pada tahun 1960-1970-
an di barat dan bahkan sampai 1990-an di Indonesia. Paradigma behavioristik atau
perilaku sosial ini dapat dilihat dalam berbagai bentuk pengembangan menejemen
pendidikan yang mendasarkan pada pemikiran positivisme, empirisme, teknokrasi dan
manajerialisme. Ia merupakan reaksi terhadap model pmbelajaran sebelumnya yang
menganut perspektif gcstalt yang memfokuskan pada cara kerja pemikiran kognitif.
Perspektif yang dikembangkam oleh Piaget dan Vygotsky ini dianggap oleh penganut
paradigma behavioristik memiliki kelemahan karena tidak memfokuskan langsung
kepada gerakan-gerakan tubuh dan gejala internal tubuh yang bisa diamati.
Pavlov menunjukan hubungan yang simple antara stimulus dan respon dalam pengajaran
untuk membentuk perilaku organisme.
Paradigma ini tidak menempatkan segala sesuatu pikiran, intelegensia, ego dan berbagai
bentuk rasa perorangan yang tak dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang diperhitungkan.
Mereka berpandangan ‘tidak ada hantu dalam sebuah mesin.’ Meskipun mereka
mengakui adanya kesadaran dan pemikiran manusia. Namun hal itu bukan merupakan
faktor yang harus diperhitungkan dalam menyusun strategi pembelajaran. Dalam hal
menyusun pembelajaran, mereka merasa cukup dengan segala sesuatu yang dapat diamati
(observable). Dari pemikiran ini, maka prestasi pembelajaran sering diartikan sebagai
akumulasi dari berbagai skill, pembuatan memori terhadap berbagai fakta dalam wilayah
dan kerangka pengetahuan tertentu. Kesemua itu kemudian membentuk kebiasaan yang
memungkinkan dapat menampilkan hasil dengan cepat.
Pemikiran seperti tergambar diatas, lalu menimbulkan implikasi terhadap berbagai faktor
pemblajaran. Implikasi terhadap peran guru dalam pembelajaran, misalnya, guru harus
bisa melatih skill siswa dengan tugas-tugas yang benar, jelas dan cepat. Implikasinya
terhadap pengembangan kurikulum, siswa harus diperkenalkan mulai dari skill dasar
terlebih dahulu, baru kemudian diberikan skill dan kompetensi yang lebih rumit dan
kompleks. Pemblajaran bukan dimulai dari yang sulit, melainkan dari yang sederhana.
Pembelajaran berlangsung dalam proses stimulus dan respon. Pembetulan sebuah
kesalahan dilakukan dengan membangun hubungan antara stimulus dan respon.
Guna menerapkan paradigma behaviouristic yang juga sering disebut sebagai perspektif
Skinnerian ini guru harus merumuskan tujuan pembelajaran tertentu dalam karangan
pembelajaran behaviouristic. Selanjutnya guna menyusun tahapan-tahapan pembelajaran
tersebut secara hirarkis sehingga pada akhirnya sampai pada tujuan tersebut. Sementara
itu siswa ditempatkan pada situasi yang kondusif untuk mencapai pembentukan perilaku
tertentu.
Lingkungan, situasi atau operant merupakan alat melakukan reinforcement. Alat itu bisa
berupa materi, mainan, perlombaan, kegiatan yang menyenangkan dan dorongn yang
bersifat eksternal lainnya. Oleh karena itu guru harus pandai memilih alat yang tepat
sebagi operant atau pendorong. Hal itu harus dilakukan karena menurut Skinner
pendorong yang baik (positif reinforcement) akan menghasilkan respon yang baik atau
efektif. Sebaliknya pendrong yang jelek (negatif reinforcement) akan menghasilkan
respon yang jelek oleh karena itu tidak efektif.
a. Mengetahui perilaku siswa secara tepat dan mendorong disiplin diri siswa.
Guru juga harus memiliki kemampuan membuat perencanaan untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu, melalui progam, sasaran tahapan aktifitas, menyediakan contoh,
mengkoreksi praktik agar sesuai dengan rencana, dan tidak melepas siswa belajar sendiri.
Untuk itu guru harus melakukan upaya antara lain :
b. Menyusun tujuan yang jelas dalam progam pembelajaran dalam rangka mencapai
tujuan pembelajaran siswa sebagai mana telah yang di sepakati sebelumnya.
c. Pilih dan buat tahapan aktifitas belajar untuk mencapai tujuan yang telah di
rencanakan.
d. Perhatikan tujuan siswa dan segala capaian yang telah di raih oleh siswa
sebelumnya.
f. Hubungan proses penilaian atau evaluasi dengan strategi, tujuan, isi dan tugas
pembelajaran.
Tugas guru dengan demikian adalah memahami fakto-faktor instrinik yang ada dalam diri
siswa. Dengan demikian, menciptakan situasi pembelajaran yang menarik dan kondusif,
bukan semata tugas guru. Pada paradima behavioristik, tugas meciptakan lingkungan
pembelajaran yang kondusif adalah tugas guru. Guru harus bisa menciptakan alat
reinforcement yang bagus. Sebaliknya, dalam paradigma konstruktifistik, siswa juga
memiliki potensi intrinsik dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
a. Kontruktivisme Psikologi
Dalam hal ini pendidikan difokuskan kepada siswa sebagai individu dan bagaimana
mereka mengkonstruk pengetahuan, keyakinan dan identitasnya sendiri selama
proses pembelajaran.
b. Kontruktivisme Sosial
Dalam hal ini pendidikan difokuskan kepada peran faktor sosial dan budaya dalam
mengembangkan pembelajaran. Interaksi sosial ini yang dapat membentuk
perkembangan kognisi. Interaksi sosial dengan demikian merupakan kunci dalam
proses pembelajaran.
Selebihnya paradigma kontruktivistik seperti dirinci dengan baik oleh Mclnerney dan
Mclnerney dapat dilihat dari cara menyampaikan materi, metodologi, motivasi dan
perumusan tujuan dan cara evaluasi sebagai berikut :
1) Penyampaian materi merupakan bagian tidak terpisahkan dari pilihan yang
dilakukan oleh siswa tentang proyek, aktivitas atau apa yang dikerjakan.
2) Pembelajaran merupakan proses menghubungkan materi dengan
pengalaman yang menjadi minat siswa
2) Kegiatan pembelajaran dilakukan secara terpadu dan nyata dan relevan
dengan minat siswa
4) Bukan hanya meningkatkan skill tetapi pemikiran dan pemahaman siswa
Evaluasi
Dengan demikian pembelajaran dalam perspektif ini dapat diartikan sebagai aktifitas
sosial dan kolaborasi. Didalamnya siswa mengembangkan pemikirannya bersama – sama.
Kelompok kerja bukan soal pilihan tambahan. Pembelajaran dilakukan secara
parsipatoris. Apa yang dipelajari bukan hanya yang dimiliki individu namun sesuatu yang
bisa dibagikan dengan orang lain, dan oleh karena itu paradigma ini disebut dengan
‘distributed cognition’ pemikiran yang terbagikan.
Selebihnya, paradigma sosial kognitif dirinci dengan baik oleh Mclnerney dan Mclnerney
sebagai berikut :
Aktivitas/metodologi
Evaluasi
1) Melakukan evaluasi formative secara terus menerus dan memberi respon
terhadap umpan balik secara langsung
2) Mereproduksi pendorong kepuasan yang diperlukan untuk membentuk perilaku
3) Menggunakan skill yang diperlukan dalam situasi yang sama maupun yang
baru melalui transformasi
Pengalaman, pengetahuan, dan minat siswa harus menjadi titik awal guru mengemas
pembelajaran di kelas. Dengan demikian pembelajaran lebih bermakna bagi siswa.
Oleh karena latar belakang pengetahuan dan minat mereka beragam, maka guru
sangat dianjurkan untuk belajar tentang multikultur.
1. Paradigma pendidikan adalah suatu cara memandang dan memahami pendidikan, dan dari
sudut pandang ini kita mengamati dan memahami masalah-masalah pendidikan yang dihadapi
dan mencari cara mengatasi permasalahan tersebut. Dan juga dalam pendidikan terdapat
sejumlah paradigma berfikir. Paradigma behavioristik, kontruktivistik dan sosial kognitif yang
memiliki rpengaruh dalam pendidikan.
b. Paradigma kontruktivistik yang menegaskan pembelajaran hanya akan efektif jika ada
dorongan instrinsik dari siswa. Dan strategi pembelajarannya difokuskan pada aktifitas dan
inisiatif siswa.
J. Bruner, 1996, kutip James dalam John Gradner, Assessment and Learning, 2006