Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengan adanya kajian paradigma ilmu pengetahuan sosial kemudian

dikembangkanlah metode baru yang berdasar pada hakikat dan sifat paradigma

ilmu, yaitu manusia yang disebut metode kualitatif. Kemudian berkembanglah

istilah ilmiah tersebut dalam bidang manusia serta ilmu pengetahuan lain

misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya, serta bidang-bidang lainnya.. Dengan

demikian paradigma menempati posisi dan fungsi yang strategis dalam proses

kegiatan. Perencanaan, pelaksanaan, dan hasil-hasilnya dapat diukur dengan

paradigma tertentu yang diyakini kebenarannya.

Paradigma adalah gambaran fundamental dari pokok bahasan dalam ilmu

pengetahuan. Dia menentukan apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang

harus diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan, dan

aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang

diperoleh. Paradigma adalah unit terluas dari konsensus dalam ilmu

pengetahuan dan membedakan satu komunitas ilmiah dari yang lain. Ia

memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan sejumlah contoh, teori dan

metode serta instrument yang ada didalamnya. Kemudian, bertolak dari suatu

paradigma atau asumsi dasar tertentu seorang yang akan menyelesaikan

permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat rumusan, baik yang

menyangkut pokok permasalahannya, metodenya agar dapat diperoleh jawaban

yang dapat dipertanggungjawabkan.

1
2

Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuan tentang apa

yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang

ilmu pengetahuan. Jadi paradigma adalah suatu sudut pandang dimana kita

melihat suatu fenomena ataupun fakta atau sesuatu yang menjadi subyek dari

ilmu. Menurut Agust Comte pada tahun 1798-1857 adalah semuanya berasal

dari Tuhan. Tahapannya yaitu teologis ( pola pikir yang berasal dari alam

ataupun seorang pemimpin, dalam artian dari tuhan atau sang pencipta) ,

metafisika (sebab-akibat), dan positivisme (harus bisa dibuktikan). Terjadi

perbedaan antar komunitas dalam suatu cabang ilmu, khususnya dalam

sosiologi, George Ritzer mengungkapkan tiga faktor, yaitu karena dari semula

pandangan filsafat yang mendasari pemikiran ilmuan tentang apa yang

semestinya menjadi substansi itu berbeda, sebagai konsekuensi logis dari

pandangan filsafat yang berbeda itu maka teori-teori yang dibangun dan

dikembangkan oleh masing-masing komunitas itu berbeda, metode yang

dipergunakan untuk memahami substansi ilmu itu juga sangat berbeda.

Sosiologi adalah ilmu yang berparadigma ganda, yaitu paradigma fakta sosial,

paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Paradigma fakta sosial,

fakta adalah sesuatu yang diluar diri kita yang mampu memaksa kita untuk

melakukan sesuatu. Contohnya yaitu kelas, ketika siswa masuk ke dalam kelas

maka dengan otomatis siswa tersebut akan duduk di kursi siswa. Fakta sosial

adalah melihat sesuatu yang bersifat umum atau biasa disebut dengan

generalisasi. Sedangkan paradigma fakta sosial adalah paradigma yang menjadi

kajian obyek persoalan berupa fakta sosial. Menurut Emile Dhurkheim,

masyarakat itu untuk mengontrol individu. Individu itu harus beradaptasi dengan

struktur sehingga menyebabkan individu tidak bisa eksis, yang terjadi adalah
3

kelompok yang akan menang. Jadi orang atau individu itu harus dipaksa terlebih

dahulu sehingga akan muncul suatu kesadaran. Misalnya adanya norma dan

aturan.

Paradigma sosial merupakan kerangka berpikir dalam masyarakat yang

menjelaskan bagaimana cara pandang terhadap fakta kehidupan sosial dan

perlakuan terhadap ilmu atau teori yang ada. Paradigma ini juga menjelaskan

bagaimana meneliti dan memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian

sebagai landasan untuk menjawab masalah

Paradigma ini lahir sebagai respon atas paradigma fakta sosial yang

menganalisis fenomena sosial secara komprehensif. Analisis paradigma ini

menitik beratkan pada tindakan sosial yang dilakukan berdasarkan atas

kesadaran penuh seseorang. Yang dimaksudkan tindakan sosial adalah tindakan

yang dilakukan oleh seseorang yang mengandung makna bagi dirinya sendiri

dan tindakan itu diarahkan pada pihak lain. Tindakan yang diarahkan pada pihak

lain akan mendapatkan respon atau reaksi balik yang berupa tindakan juga.

Paradigma ini bertolak dari asumsi bahwa manusia mempunyai

kemampuan yang kreatif, inovatif, dan daya selektif yang kuat, sehingga apa

yang diperbuat bersumber dari dalam dirinya. Tindakan seseorang merupakan

cerminan dari dirinya sendiri dan mereka bebas untuk melakukan perbuatan

tanpa terpengaruh oleh sistem atau setruktur sosial di luar dirinya. Diri manusia

merupakan sumber inspirasi terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat

dan tanpa ada sifat-sifat itu tidak akan ada perubahan dalam peradaban

manusia. Jadi menurut paradigma ini, sistem atau struktur di luar diri manusia

tidak mempunyai kemampuan mempengaruhi potensi dalam diri manusia. Tokoh


4

utama paradigma ini adalah Max Weber yang telah melahirkan teori Aksi Sosial

atau social action.

Menurut paradigma ini, dalam mengamati tindakan sosial diperlukan

pemahaman atau penafsiran dari tindakan sosial tersebut. Karena itu yang

menjadi perhatian paradigma ini adalah usaha mengungkap apa yang menjadi

keinginan dari si actor dalam melakukan suatu tindakan dan mengapa ia

melakukan tindakan itu. Sehubungan dengan itu Weber menggunakan istilah

verstehen atau interpretative understanding, yaitu suatu konsep untuk

memahami makna sedalam-dalamnya dari fenomena yang muncul atas tindakan

sosial manusia.

B. Rumsan Masalah

Rumusan masalah pada makalah ini adalah “bagaimana paradigma

defenisi social?”
5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tokoh Paradigma Definisi Sosial

1. Max Weber (1864-1920)

Paradigma definisi sosial dalam sosiologi yang telah dipelopori oleh Max

Weber merupakan suatu pendekatan terhadap individu. Tanpa melepaskan dari

pencarian untuk penjelasan kausal Max Weber (1864-1920) menempatkan

konsep tindakan individu yang bermakna pada pusat teorinya tentang

masyarakat.

Bagi Weber ciri yang mencolok dari hubungan-hubungan sosial adalah

kenyataan bahwa hubungan-hubungan tersebut bermakna bagi mereka yang

mengambil bagian didalamnya. Melalui analisis kenyataan tindakan manusialah

kita memperoleh pengetahuan mengenai ciri dan keanekaragaman masyarakat

manusia. Perfektif kontruktifisme beranggapan bahwa perilaku manusia secara

fundamental berbeda dengan perilaku alam. Manusia selalu bertindak sebagai

agen dengan bertindak mengkonstruksi realitas sosial. Sosiologi bagi Weber

adalah ilmu tentang perilaku sosial, perilaku sosial terjadi dikarenakan

pergeseran kearah kenyakinan, motivasi dan tujuan dari anggota masyarakat,

yang semuanya memberi isi dan bentuk kepada kelakuannya. Pada halaman

pertama bukunya Wirtschaft und Gesellschaft (Economy and society), ia

menuliskan bahwa sosiologi; “eine wissenchaft, welche soziales handeln deutend

versthen und dadurch in seinen wirkungen ursachlich arklaren will”. Artinya  ilmu

yang bertujuan untuk memahami perilaku sosial melalui penafsirannya, dan

dengan itu menerangkan jalan perkembangannya dan akibat-akibatnya menurut

5
6

sebab-sebabnya. Sedangkan tujuan interpretatif dari tindakan sosial adalah

untuk sampai pada penjelasan kausal mengenai berbagai peristiwa beserta

akibatnya.

2. Peter L. Berger dan Thomas Luckman

Sekitar tahun 1962 bekerja sama dengan Thomas Luckman dan Peter L. Berger

menulis sebuah buku berjudul Social Construction of Reality; A Treatise in The

Sociology of Knowledge, yang banyak diinspirasi oleh filsafat dan biologi. Dalam

buku tersebut keduanya menunjukkan peran sentral sosiologi pengetahuuan

sebagai instrument penting dalam membangun teori sosiologi kedepan.

Peter Berger dan Thomas Luckman melihat masyarakat sebagai sebuah proses

yang berlangsung dalam 3 momen dialektis sekaligus yaituu proses

eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi terkait dengan persoalan legitimasi

yang berdimensi kognitif dan normatif yang kemudian disebutdengan realitas

social (Sriningsih, 2010:143). Dari pemikiran Peter Berger dan Thomas

Luckmanperanan sosiologi yang sebelumnya dipandang sebagai sejarah

pemikiran intelektuual memperoleh posisinya yang baru, dan tampil sebagai

instrumen penting dalam menemukan hakikat masyarakat kedepan secara lebih

jelas (wirawan, 2011:107).

B. Paradigma Definisi Sosial

Manusia adalah merupakan aktor yang kreatif dari realitas

sosialnya.Realitas sosial bukan merupakan alat yang statis daripada paksaan

fakta sosial.Manusia mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di

luar batas control dari fakta sosial.Adapun metode yang biasa digunakan para

penganutParadigma Definisi Sosial adalah metode observasi. Paradigma definisi


7

sosial tidak berangkat dari sudut pandang fakta sosial yang objektif, seperti

struktur-struktur makro dan pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat.

Paradigma definisi sosial justru bertolak dari proses berpikir manusia itu sendiri

sebagai individu. Dalam merancang dan mendefinisikan makna dan interaksi

sosial, individu dilihat sebagai pelaku tindakan yang bebas tetapi tetap tanggung

jawab. Artinya, di dalam bertindak atau berinteraksi itu, seseorang tetap di bawah

pengaruh bayang-bayang struktur sosial dan pranata-pranata dalam masyarakat,

tetapi fokus perhatian paradigma ini tetap pada individu dengan tindakannya itu

(Veeger,1993).

Paradigma definisi sosial dalam sosiologi yang telah dipelopori oleh Max

Weber merupakan suatu pendekatan terhadap individu. Tanpa melepaskan dari

pencarian untuk penjelasan kausal Max Weber (1864-1920) menempatkan

konsep tindakan individu yang bermakna pada pusat teorinya tentang

masyarakat. Menurut paradigma ini, proses-proses aksi dan interaksi yang

bersumber pada kemauan individu itulah yang menjadi pokok persoalan dari

paradigma ini. Paradigma ini memandang, bahwa hakikat dari realitas sosial itu

(dalam banyak hal) lebih bersifat subjektif dibandingkan objektif menyangkut

keinginan dan tindakan individual. Dapat dikatakan, realita sosial itu, lebih

didasarkan pada kepada definisi subjektif dari pelaku-pelaku individual. Jadi,

menurut paradigma ini tindakan sosial tidak pertama-tama menunjuk kepada

struktur-struktur sosial, tetapi sebaliknya, bahwa struktur sosial itu merujuk pada

agregat definisi (makna tindakan) yang telah dilakukan oleh individu-individu

anggota masyarakat itu (Veeger,1993).

Paradigma ini dilandasi analisa Weber tentang tindakan sosial (social

action). Analisa Weber dengan Durkheim sangat terlihat jelas. Jika Durkheim
8

memisahkan struktur dan institusi sosial, sebaliknya Weber melihat ini menjadi

satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna.

Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang mempunyai makna atau arti

subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya,

tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata

tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan sosial

(dalam Ritzer, 2009, h. 38).

Menurut Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga

melihat tindakan manusia. Sebab tindakan manusia merupakan bagian utama

dari kehidupan sosial. Bagi Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha

menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai hubungan sosial

sampai kepada penjelasan kausal. Untuk itu, paradigma ini disebut juga sebagai

sosiologi interpretatif(dalam Margaret Wetherell, 2019). Paradigma definisi sosial

didukung oleh beberapa teori, seperti teori aksi, teori interaksionisme simbolik,

teori fenomenologi, dan teori etnometodologi.

Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretave

understhanding) atau dengan terminologi vestehen dan harus memahami motif

tindakan aktor. Tekanan vestehen untuk memperoleh data yang valid tentang

arti-arti subjektif tindakan sosial. Bagi Weber, istilah ini, tidak sekedar introspeksi.

Introspeksi memberikan pemahaman atau motif sendiri atau arti subjektif, tidak

cukup memahami arti-arti subjek tindakan orang lain. Sebaliknya apa yang

diminta adalah empati kemampuan untuk menempatkan kerangka diri untuk

berfikir kerangka orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi-situasi

dan tujuannya mau dilihat dalam perfektif itu. Sosiologi sebagai cara pandang
9

dengan metode vestehen menjadikan sosiologi menjadi cara pandang yang

melakukan pembongkaran terhadap yang terkandung dari tindakan.

C. Teori Paradigma definisi sosial

Ada tiga teori yang termasuk ke dalam paradigma definisi sosial ini, yakni:

Teori aksi (action theory), teori interaksionisme simbolik (symbolic interactionism)

dan teori fhenomenologi (fhenomenology). Ketiga teori ini mempunyai kesamaan

ide dasarnya yang berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang aktif dan

kreatif dari realitas sosialnya. Artinya tindakan manusia tidak sepenuhnya

ditentukan norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya yang

kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial. Manusia mempunyai cukup banyak

kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol dari fakta sosial.

Di sini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial

dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial menganggap bahwa

perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat

pengendalian sosial lainnya. Sedangkan paradigma perilaku sosial (social

behavior) adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkahlaku manusia senantiasa

dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuasaan atau kemungkinan

penggunaaan kekuatan (re-enforcement).

Teori pendukung paradigma definisi sosial

1. Teori aksi

Teori aksi atau teori bertindak pada awalnya dibangun berdasarkan

pemikiran Weber dan Pareto. Menurut Weber, individu melakukan suatu tindakan

berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan atas suatu obyek

stimulus atau situasi tertentu. Di sini Weber melihat tindakan sosial berkaitan
10

dengan interaksi sosial. Sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika

individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut.

Dengan konsep rasionalitas, Weber membagi beberapa macam tindakan

sosial. Semakin rasional tindakan sosial tersebut, maka semakin mudah

memahaminya. Adapun pembagian tindakan sosial itu terbagi menjadi empat

macam, yaitu: Pertama, tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan yang

ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan untuk dicapai dan

menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Bila individu tersebut bertindak rasional

maka tindakannya pun dapat dipahami. Kedua tindakan rasionalitas yang

berorientasi nilai, yaitu tindakan yang didasari oleh kesadaran keyakinan

mengenai nilai-nilai yang penting seperti etika, estetika, agama, dan nilai-nilai

lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya.

Tindakan ini masih rasional meski tidak serasional tindakan pertama, sehingga

tindakannya masih dapat dipahami. Ketiga, tindakan afektif (affectual), yaitu

tindakan yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan dan perasaan individu yang

melakukannya. Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang

dimilikinya, biasanya timbul secara spontan begitu mengalami suatu kejadian.

Tindakan ini sukar dipahami karena kurang rasional. Keempat tindakan

tradisional, yaitu tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang telah

mendarah daging. Tindakan ini biasanya dilakukan atas dasar tradisi atau adat

istiadat secara turun-temurun. Tindakan ini pun sukar dipahami karena kurang

rasional bahkan tidak rasional.6

Setelah Weber, teori aksi berkembang ketika sosiolog Amerika Charles

Horton Cooley membuktikan bahwa sesuatu yang mempunyai arti penting dalam

kehidupan bermasyarakat adalah kesadaran subyektif. Cooley juga membuktikan


11

bahwa perasaan-perasaan individual, sentimen dan ide-ide merupakan faktor

pendorong manusia untuk berinisiatif atau mengakhiri tindakannya terhadap

orang lain.

Sedangkan Talcott Parsons menyatakan, bahwa penggunaan istilah

“action” (aksi atau tindakan) dimaksudkan untuk membedakan teori ini dengan

teori perilaku, yang menggunakan istilah “behavior” (perilaku atau tindakan yang

dilakukan berulang-ulang). “Aksi” menunjukkan adanya suatu aktivitas,

kreativitas dan proses penghayatan diri individu. Sedangkan “perilaku”

menunjukkan adanya penyesuaian mekanistik perilaku, sebagai respon terhadap

stimulus (rangsangan) dari luar.Menurut Parsons, teori perilaku mengabaikan

sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas tindakan manusia. Sebaliknya,

teori aksi sangat memperhatikan sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas

tindakan manusia.

Teori aksi terus berkembang seiring banyaknya para sosiolog

mengembangkan teori ini, khususnya para sosiolog Amerika. Karya terkemukan

yang menjadi rujukan dari teori aksi antara lain, Florian Znaniecki melalui

karyanya The Method of Sociology (1934) dan Social Actions (1936), Robert

Morrison MacIver melalui karyanya Sociology: Its Structure and Changes (1931),

dan Talcott Parsons melalui karyanya The Structure of Social Action (1937).

Karya-karya tersebut kemudian menjadi landasan Roscoe Hinkle untuk

merumuskan asumsi dari teori aksi. Menurut Hinkle, tindakan manusia muncul

dari kesadarannya sendiri sebagai subyek, dan dari situasi eksternal dalam

posisinya sebagai obyek. Sebagai subyek, manusia bertindak atau berperilaku

tertentu dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam bertindak

manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode, serta perangkat yang


12

diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan.7 Kelemahan dari teori ini, cenderung

memfokuskan analisis pada level individu dan mengabaikan faktor kolektivisme.

2. Teori interaksionisme simbolik

Teori interaksionisme simbolik lahir sebagai persfektif baru yang

dilatarbelakangi kemandekan aplikasi teori aksi. Landasan teori ini didasarkan

pada analisis Weber. Teori ini memfokuskan pada pembahasan individu yang

terkait pada hubungan antara simbol dan interaksi yang terjadi (interaksi sosial

mikro).

Awalnya teori ini dikembangkan di Universitas Michigan oleh John Dewey

dan Charles Horton Cooley. Kemudian John Dewey pindah mengajar ke

Universitas Chicago. Kepindahan John Dewey diikuti denganmengembangkan

teori interaksionis simbolik. Ternyata teori interaksionis simbolik mendapat

apresiasi yang sangat baik. Sehingga Universitas Chicago dianggap sebagai

tempat yang pertama kali berkembangnya teori interaksionis simbolik. Maka teori

ini juga dikenal sebagai aliran Chicago.Dari John Dewey, kemudian

dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa tokoh sosiolog Amerika seperti William

Isaac Thomas,George Herbert Mead,Herbert Blumer, Robert E. Park, William

James, Ernest Burgess,James Mark Baldwin, Manfred Kuhn dan Kimball Young.

Prinsip dasar dari teori ini adalah; (a) manusia pada dasarnya memiliki

kemampuan berpikir, (b) kemampuan berpikir ini kemudian dibentuk melalui

interaksi sosial, (c) individu dalam setiap interaksi dengan orang lain mempelajari

makna dan simbol yang memungkinkanmereka menggunakan kemampuan

berpikirnya, (d) setiap individu dapat memodifikasi makna dan simbol yang

mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka atas

situasi yang ada, (e) setiap individu dapat menentukan tindakan apa yang
13

dilakukan setelah individu tersebut menafsirkan situasi, (f) dari interaksi ini

kemudian individu tersebut menciptakan kelompok dan masyarakat. 8 Adapun

kelemahan dari teori ini adalah mengabaikan pembahasan pada struktur sosial

makro, seperti nilai-nilai, norma sosial, hukum, serta institusi sosial dan terlalu

fokus pada pembahasan interaksi sosial mikro (hubungan antar pribadi).

Tokoh-tokoh teori Interaksionisme Simbolik adalah John Dewey, Charles

Horton Cooley, G.H. Mead. Ide dasar teori ini bersifat menentang behaviorisme

radikal yang dipelopori oleh JB Watson. Hal ini tercermin dari gagasan tokoh

sentral teori ini yakni G.H. Mead yang bermaksud untuk membedakan teori

interaksionisme simbolik dengan teori behavioralisme radikal.

Behaviorisme Radikal berpendirian bahwa perilaku individu adalah

sesuatu yang dapat diamati. Mempelajari tinglah laku (behavior) manusia secara

obyektif dari luar. Penganut behaviorisme cenderung melihat perilaku manusia

itu seperti perilaku binatang dalam arti hanya semata-mata merupakan hasil

rangsangan dari luar.

Mead dari Interaksionisme Simbolik, mempelajari tindakan sosial dengan

mempergunakan teknik intropeksi untuk dapat mengetahui sesuatu yang melatar

belakangi tindakan sosial dari sudut aktor dengan pengggunaan bahasa serta

kemampuan belajar yang tidak dimiliki oleh binatang. Pendekatan dari

intereksionisme simbolik ini mengikuti pendektan Weber dalam teori aksi.

Sumbangan Parsosns dalam pengikut utama Weber terhadap pengembangan

teori baru ini juga sangat besar, walaupun tanpa pengakuan dan penganut teori

ini.

Beberapa asumsi teori Interaksionisme Simbolik menurut Arnold Rose :


14

1) Manusia hidup dalam suatu lingkungan simbol-simbol. Manusia memberikan

tanggapan terhadap simbol-simbol melalui proses belajar dan bergaul dalam

masyarakat. Kemampuan manusia berkomunikasi, belajar, serta memahami

simbol- simbol itu merupakan kemampuan yang membedakan manusia

dengan binatang.

2) Melalui simbol-simbol manusia berkemampaun menstimulir orang lain

dengan cara yang mungkin berbeda dari stimuli yang diterimanya dari orang

lain.

3) Melalui komunikasi simbol-simbol dapat dipelajari sejumlah besar arti dan

nilai-nilai, dan karena itu dapat dipelajari cara-cara tindakan orang lain.

4) Terdapat satuan-satuan kelompok yang mempunyai simbol-smbol yang

sama., atau akan ada simbol kelompok.

5) Berfikir merupakan proses pencarian kemungkinan yang bersifat simbolis dan

untuk mempelajari tindakan-tindakan yang akan datang, menaksir

keuntungan dan kerugian relative menurut individual, di mana satu

diantaranya dipilih untuk dilakukan.

Kesimpulan utama dari teori Interksionisme Simbolik bahwa kehidupan

bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antara individu

dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahaminya

melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interkasi bukan

semata-mata tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang

dari lingkungannya, tetapi melalui proses belajar.

3. Teori fenomenologi

Teori fenomenologi membahas mengenai bagaimana kehidupan

bermasyarakat itu terbentuk. Berangkat dari pandangan Weber, Alfred Schultz


15

sebagai seorang tokoh yang mengembangkan teori ini memandang bahwa

tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosialbila manusia memberikan arti

atau makna tertentu terhadap tindakannya itu, dan manusia lain memahami pula

tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti. 9Dengan kata lain, teori ini

berpendapat bahwa manusia atau individu bisa menciptakan dunia sosialnya

sendiri dengan memberikan arti kepada perbuatan-perbuatannya itu.

Teori ini muncul sebagai reaksi atas anggapan yang memandang bahwa

manusia atau individu dibentuk oleh kekuatan- kekuatan sosial yang

mengitarinya. Untuk melakukan studi fenomenologis orang harus tinggal dalam

masyarakat yang bersangkutan agar ia bisa menangkap arti fenomena sosial

yang ada dalam masyarakat tersebut.

Ada empat unsur pokok dari teori Fenomenologi Yaitu :

1) Perhatian terhadap aktor dengan memahami makna tindakan aktor yang

ditujukan kepada dirinya sendiri.

2) Memusatkan perhatian kepada kenyataan yang penting atau pokok dan

kepada sikap. yang wajar atau alamiah (natural attitude). Teori ini jelas bukan

bermaksud fakta sosial secara langsung. Tetapi proses terbentuknya fakta

sosial itulah yang menjadi pusat perhatiannya. Artinya bagaimana individu

ikut serta dalam proses pembentukan dan pemeliharaan fakta-fakta sosial

yang memaksa mereka itu. 

3) Memusatkan perhatian kepada masalah makro. Maksudnya mempelajari

proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat

interaksi tatap muka untuk memahaminya dalam hubungannya dengan

situasi tertentu.
16

4) Memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan proses tindakan. Berusaha

memahami bagaimana keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan

dipelihara dalam pergaulan sehari-hari. Norma-norma dan aturan-aturan

yang mengendalikan tindakan manusia dan yang memantapkan struktur

sosial dinilai sebagai hasil interpretasi si aktor terhadap kejadian-kejadian

yang dialaminya.

4. Teori Etnometodologi

Istilah etnometodologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “metode”

yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari.

Kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan

pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat bisa dapat memahami,

mencari tahu, dan betindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan diri

mereka sendiri.” (Heritage, 1984:4)

Teori etnometodologi merupakan cabang dari fenomenologi.

Etnometodologi berusaha mengungkap realitas dunia kehidupan dari individu

atau masyarakat. Etnometodologi mempelajari dan berusaha menangkap arti

dan makna kehidupan sosial suatu masyarakat berdasarkanungkapan-ungkapan

atau perkataan-perkataan yang mereka ucapkan baik secara eksplisit maupun

implisit.Sekalipun etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai

sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, namun etnometodologi memiliki

kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu

fenomenologi, interaksionis simbolik dan teori Talcott Parsons. Teori ini

dikembangkan oleh Harold Garfinkel seorang dosen sosiologi di Universitas

California of Los Angeles (UCLA). Teori ini mulai berkembang sekitar tahun

1950-an.10
17

Garfinkel menekankan, pokok masalah etnometodologi tidak lain adalah

pertukaran komunikasi yang di dalam penelitian etnometodologis disebut proses-

proses komunikasi menuju saling memahami di antara para para pelaku

komunikasi.11

Menurut teori ini, seorang sosiolog tidak perlu memberikan arti atau

makna kepada apa yang dibuat oleh orang lain atau kelompok, tetapi tugas

sosiolog adalah menemukan bagaimana individu atau masyarakat

mengonstruksi kehidupan sosialnya dan mencoba menemukan bagaimana

mereka memberi arti atau makna kepada dunia sosialnya sendiri. Pada teori ini

Grafinkel berusaha menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran

dan eksperimen melalui simulasi.

Etnometodologi memusatkan perhatian pada kehidupan sehari-hari.

Penggambaran Grafinkel tentang etnometodologi sebagai realitas objektif yang

terdapat fakta social didalamnya. Etnometodologi mencari capaian praktis yang

dihasilkan pada tingkat lokal dan endogen. Hal ini, dapat diorganisasikan secara

ilmiah, dilaporkan secara reflektif, berkesinambungan, pencapaian praktis, selalu,

hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan tanpa peluang menghindar,

melampaui, atau menunda.

Salah satu pendirian Grafinkel mengenai etnometodologi yakni “dapat

dijelaskan secara reflektif”. Para aktornya menekankan pada analisis maupun

cara yang diberikan dan diterima (atau di tolak) oleh orang lain. Dalam

menganalisis penjelasan para pakar etnometodologi menganut pendirian

ketakacuhan etnometodologis. Artinya, mereka tidak menilai sifat dasar

penjelasan, tetapi lebih menganalisis penjelasan itu dilihat dari sudut pandang

bagaimana cara penjelasan itu digunakan dalam tindakan praktis. Mereka


18

memperhatikan penjelasan dan metode yang digunakan pembicara dan

pendengar untuk mengajukan, memahami dan menerima atau menolak

penjelasan.

Pada perkembangan selanjutnya etnometodologi dikembangkan Jack

Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, oleh Don Zimmerman dan D.

Lawrence Wieder. Dari beberapa pakar ini, Jack Douglaslah yang

pembahasannya tentang etnometodologi paling lengkap.


19

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Paradigma definisi sosial, yang memandang bahwa pokok persoalan

sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial,

dimana tindakan yang penuh arti itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan

kausal. Struktur dan institusi sosial, merupakan satu kesatuan yang membentuk

tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan

tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan

diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang

diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan

dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan sosial. Paradigma definisi

sosial didukung oleh teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi

dan teori etnometodologi.

B. Saran

Kajian ilmiah ini tentunya diharapkan dapat terus dikemangkan sehingga

besar harapan penulis agar makalah ini dapat dipersentasekan sehingga

kekurangan – kekurangannya dapat dideteksi untuk menyempurnakan makalah

yang sederhana ini.

19
20

Daftar Pustaka

http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2197554-pengertian-paradigma-
progressivisme/, diakses, 4 Juni 2015.

http://juprimalino.blogspot.com/2012/02/pengertian-paradigma-definisi-
paradigma.html, diakses, 4 Juni 2015.

http://juprimalino.blogspot.com/2012/02/paradigma-penelitian-ilmu-ilmu-
sosial.html, diakses, 4 Juni 2015.

http://www.share-ilmu.com/2014/12/makalah-pokok-persoalan-paradigma.html,
diakses, 3 Juli 2015

Anthony, Giddens. dan Jonathan H. Turner (ed) 2008. Social Theory Today;
Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial.
diterjemahkan oleh Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anthony, Giddens. 2010. Teori Strukturasi; Dasar-dasar Pembentukan Struktur


Sosial Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Durkheim, Emile. 1964. The Rules of Sociological Method. London:


CollierMacMillan.

Firdaus. 2010. Makalah Olahraga Sepak Bola Ditinjau dari Aspek Sosial.

George C. Homans. Behaviorisme dan Sesudahnya. dalam Anthony Giddens,


dan Jonathan H. Turner (ed).

George, Ritzer. 2010. Teori Sosiologi Modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

George, Ritzer 2009. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:


Raja Grafindo Persada.

Margaret M, Poloma. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan
Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990.

Weber, Max. 2000. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme.


Surabaya:Pustaka Promethea.

Wirawan, Bagus. 2012. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma.


Jakarta:Kencana Prenadamedia Group.
21

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa Kami panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena tidak

lepas dari Rahmat dan Karunia-Nya sehingga Kami dapat menyelesaikan tugas

makalah ini sebagai salah satu tugas mata kuliah Teori Ilmu-Ilmu Sosial.

Kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini

untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibunda Dosen yang

telah memberikan tugas ini sebagai upaya pengembangan Kajian Ilmu

Pengetahuan.

Semoga Makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi referensi pada tugas-

tugas makalah yang lain. Amin

Penulis

i
i
22

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumsan Masalah 4

BAB II PEMBAHASAN 5

A. Tokoh Paradigma Definisi Sosial 5

B. Paradigma Defenisi Sosial 6

C. Teori Paradigma Defenisi Sosial 9

BAB III PENUTUP 19

A. Kesimpulan 19

B. Saran 19

Daftar Pustaka 20

ii

Anda mungkin juga menyukai