Anda di halaman 1dari 3

TUGAS FILSAFAT PENDIDIKAN

Nama : Nurmawati
NIM : 202310550211034
Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa Indonesia

TEORI ILMU SOSIAL SEBAGAI VARIABEL SOSIAL


Ilmu, Teori, dan Praktek
Dalam pengertian modern, ilmu pengetahuan termasuk ilmu sosial dapat
dikelompokkan ke dalam ilmu teoritis dan illmu praktis. Cita-cita ilmu teoritis ialah memberi
penjelasan tentang suatu kenyataan tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi hasrat dan
keinginan tertentu. Dengan sikap semacam itu diharapkan dapat diperoleh pengetahuan sejati
tentang kenyataan dan keadaan yaitu pengetahuan yang berasal dari realitas obyektif. Apabila
pengetahuan objektif tersebut kemudian diterapkan untuk suatu penggunaan tertentu, maka
kita memasuki ilmu praktis yang ditandai secara khas oleh aplikasi teknis dari pengetahuan
teoritis. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan sebagaimana yang ada dan bukannya
melukiskan sesuatu yang diinginkan atau dikehendaki supaya terjadi.
Hal yang menarik di sini ialah pembedaan yang dibuat antara sifat yang teoritis dan
praktis. Semakin kurang orang memikirkan manfaat ilmu, semakin tak peduli seorang
ilmuwan tentang apa yang bisa dihasilkan oleh ilmunya untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri dan kebutuhan orang lain, semakin terjamin pula mutu teoritis ilmu bersangkutan
yang berarti semakin terjamin obyektivitas masalah yang termasuk dalam kompleks
persoalan nilai dalam ilmu.
Pertama, adalah persoalan pemilihan tema/masalah dalam ilmu. Adalah truism lama
untuk mengatakan bahwa pengetahuan dimulai dengan memilih pokok atau tema atau
masalah yang diteliti. Persoalan di sini ialah menentukan identifikasi faktor-faktor mana saja
yang ikut berpengaruh dalam menentukan pemilihan suatu tema. Salah satu faktor utama
ialah ukuran mengenai penting tidaknya suatu tema yang diambil atau suatu masalah yang
hendak diteliti.
Kedua, masalah penciptaan teori. Keberatan yang sering diajukan ialah bahwa para ahli
ilmu sosial dalam membangun teorinya hanya melihat hal-hal tertentu dan tidak melihat hal-
hal lainnya. “para sosiolog hanya melihat apa yang hendak dilihatnya.” Muncul kemudian
anjuran untuk memanfaatkan bantuan psikoanalisis dan wissenssoziologie, agar sikap objektif
selalu bisa dikontrol. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah agar dalam menggarap tema yang
telah dipilihnya, seorang ilmuwan sosial tidak terjebak untuk hanya “melihat apa yang
hendak dilihatnya,”
Keempat, masalah pencampuradukan nilai dan teori yang dimaksud ialah bahwa ada
pilihan-pilihan nilai tertentu yang dikemukakan secara tersembunyi dalam suatu rumusan
ilmiah teoritis. Hal ini akan kentara sekurang-kurangnya dalam dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama yang terlihat pada kecenderungan seorang ilmuwan yang
memutlakkan aspek yang dilihatnya seolah-olah itulah seluruh segi yang tercakup dalam
tema/masalah yang digarapnya. Kecenderungan ini disindir dengan nama Ein-Faktor-theoric
yang menjelaskan segala kenyataan sosial hanya berdasarkan faktor tunggal seperti ras,
nasionalitas, ataupun penguasan alat-alat reproduksi. Kemungkinan kedua akan terlihat pada
kecenderungan untuk mengemukakan suatu pemikiran spekulatif sebagai suatu proposisi
ilmiah.
Kelima, masalah penerapan hasil-hasil studi ilmiah. Persoalan di sini ialah sejauh mana
tugas seorang ilmuwan sosial dalam berhadapan dengan suatu realitas sosial atau perubahan
sosial yang ditelitinya ? apakah dia hanya boleh dan harus mengidentifikasikan masalah-
masalah yang ada, ataukah dia pun harus berikhtiar menyelesaikannya yaitu dengan turut
aktif menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya suatu perubahan sosial
yang diinginkan misalnya. Apakah peneliti dan obyek yang ditelitinya harus dianggap
terpisah atau keduanya harus dilibatkan sebagai instrument perubahan sosial melalui suatu
prosedur penelitian tertentu. Jawaban yang netral adalah bahwa ilmuwan sosial bisa saja
berlaku katif sebagai social engineers, tetapi dengan berbuat demikian dia sudah melampaui
pula tanggung jawab sosial politik tertentu, maka ilmuwan sosial dalam berhadapan dengan
suatu struktur sosial tertentu, tidak hanya akan menjelaskan secara netral melainkan sekaligus
mempertanyakan malahan harus diubah.
Dengan pendirian kritis semacam itu akan sangat sukarlah membedakan apa yang
disebut ilmiah dan apa yang bersifat ideologis. Demi kejelasan, perlu dikemukakan bahwa
predikat ideologis di sini digunakan dalam pengertian yang seluas-luasnya, yaitu baik dalam
arti studi sejarah inteletual yang lebih menekankan peranan nilai daripada segi epistemologis
baik dalam arti suatu konstruksi psikologis yang merupakan hasil proyeksi berdasarkan
dorongan yang berasal dari berbagai struktur intra-psikis, maupun dalam arti studi yang
menekankan sikap-sikap normatif yang penting artinya untuk adanya keseraisan, stabilitas
maupun persistensi dalam masyarakat. Ideologi akan mengandung sejumlah kepercayaan,
norma atau nilai yang dianut dan yang dikenal sebagai Weltanschauung, tetapi sekaligus juga
merupakan suatu sudut pandangan tertentu dalam memandang seluruh realitas. Ideologi
sekaligus mempengaruhi pemilihan tentang apa yang dilihat dan bagaimana melihanya.
Dalam semua itu selalu terlihat suatu keterlibatan emosional yang kuat.
Sebuah contoh yang sangat menarik tentang kritik ideologi telah diberikan oleh Juergen
Habermas. Menurut penjelasannya, ada tiga kegiatan utama yang langsung mempengaruhi
dan menentukan bentuk tindakan dan bentuk pengetahuan manusia, yaitu kerja, komunikasi,
dan kekuasaan. Kerja dibimbing oleh interesse yang bersifat teknis, interaksi dibimbing oleh
interesse yang bersifat praktis, sedangkan kekuasaan dibimbing oleh interesse yang bersifat
emansipatoris. Tiga interesse itu mempengaruhi pula proses terbentuknya ilmu pengetahuan,
yaitu ilmu-ilmu yang termasuk dalam kelompok empiris-analitis, kemudian ilmu-ilmu yang
dapat dihimpun dalam kelompok ilmu historis-hermeneutis dan yang terakhir adalah
kelompok ilmu-ilmu sosial kritis (ekonomi, sosiologi, politi).
Kelompok ilmu empiris analitis akan ditanndai oleh beberapa ciri berikut :
1. Ada satu sistem referensi yang sama, yang menentukan arti proposisi-prpopsisi
empiris, peraturan untuk kontruksi suatu teori maupun peraturan tentang test
empiris yang akan dikenakan pada teori bersangkutan (nomologis).
2. Ilmu-ilmu ini menelurkan teori-teori yang kemudian dengan bantuan metode
dedukasi, memungkinkan diturunkannya hipotesa-hipotesa dengan lebih banyak
isi empisinya.
3. Hipotesa-hipotesa ini merupakan proposisi tentang korelasi antarvariabel
(kovarianz) dalam suatu obyek yang diamati yang kemudian dapat pula
menghasilkan prognose tertentu.
4. Kekuatan norma-norma sosial tersebut didasarkan pada saling pengertian
tentang maksud pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi yang dijamin dan
diawasi oleh pengakuan umum tentang kewajiban yang harus ditaati.
Kelompok kelompok ilmu historis-hermeneutis akan ditandai oleh beberapa ciri berikut
:
1. Kekuatan norma-norma sosial tersebut didasarkan pada saling pengertian
tentang maksud pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi, yang dijamin dan
diawasi oleh pengakuan umum tentang kewajiban yang harus ditaati.
Kelompok sosial kritis akan ditandai oleh beberapa ciri berikut :
1. Seperti ilmu-ilmu empiris-analitis, maka kelompok ilmu-ilmu sosial kritis pun
menghasilkan pengetahuan nomologis yang diturunkan dari suatu sistem refensi
yang sama.
2. Namun langkah lebih jauh yang ditempuh oleh kelompok sosial kritis ialah
meneliti juga apakah teori-teori yang ada, khusunya theories of action, betul
menangkap korelasi tetap yang sungguh-sungguh ada dalam social action dan
bukannya hanya menunjuk suatu korelasi semu yang dipaksakan secara
ideologis. Kalau diketahui bahwa korelasi itu hanya ideologis sifatnya, maka
pada prinsipnya ia pun bisa berubah.
3. Tujuan yang hendak dicapai oleh kelompok kritis ialah mengguncang kembali
lapisan kesadaran yang sudah malas yang menjadi kondisi yang sangat coocok
bagi munculnya hubungan-hubungan yang bersifat ketergantungan.
4. Tujuan tersebut dicapai dengan cara self-reflection.

Ketiga jenis ilmu tersebut masing-masing menghasilkan tiga jenis pengetahuan yang
juga berbeda fungsinya satu sama lain. Ilmu-ilmu empiris-analitis menghasilkan
informasi-informasi yang akan memperbesar penguasaan teknis pada manusia. Ilmu-
ilmu historis-hermeneutis menghasilkan interprestasi-interprestasi yang memungkin
adanya suatu orientasi bagi Tindakan manusia dalam kehidupan bersama. Ilmu-ilmu
sosial-kritis menhasilkan Analisa yang membebaskan kesadaran manusia dari
kungkungan kepercayaan yang didikte oleh ketergantungan kepada kekuasaan ataupun
oleh ketergantungan structural.

Anda mungkin juga menyukai