Disusun Oleh:
Yusnita Rahman Salhi (2104453)
1. Ontologi post-positivisme
Secara ontologis, post-positivisme bersifat critical realism. Critical realism
memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam
tetapi hal yang mustahil bila manusia dapat melihat realitas tersebut secara benar. Oleh
karena itu secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup
tetapi harus menggunakan triangulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode,
sumber data, peneliti dan teori.
Terdapat tiga bentuk ontologi yang berkembang meliputi realisme, nominalisme,
dan konstruksionisme sosial. Kalangan realis meyakini bahwa realitas yang dapat diamati
adalah realita sebenarnya yang mutlak. Sementara kalangan nominalis menganggap bahwa
keberadaan fenomena sosial hanya terwujud dalam batas nama dan label yang subjek
berikan pada realitas tersebut. Kalangan konstruksionis sosial menekankan bahwa realitas
itu dianggap ada atau tidak bergantung pada pengaruh makna sosial yang dimiliki subjek,
makna sosial ini dibentuk melalui interaksi historis yang dialami subjek.
Kalangan peneliti dalam tradisi post positivisme dilihat sebagai kalangan realis
kritis. Mereka masih meyakini bahwa keberadaan fenomena bersifat lepas dari persepsi
dan teori-teori kita. Realisme ini dicirikan dengan gagasan bahwa subjek peneliti tidak akan
bisa mengerti realitas secara utuh begitupun dengan mekanisme dunia sosial tidak akan
bisa ditangkap secara penuh. Ontologi post positivisme sebenarnya tidak menolak gagasan-
gagasan realisme dalam berbagai pendekatan yang menekankan konstruksi sosial atas
realitas. Pos positivisme memandang adanya peran serta subjek yang menentukan ada
tidaknya realitas.
Post positivisme mirip dengan pandangan konstruksionisme sosial terutama dalam
dua cara. Pertama, post positivisme meyakini bahwa proses konstruksi sosial terjadi dalam
berbagai cara dan terpola secara relatif pada kerja penelitian. Kedua, banyak kalangan post
positivis meyakini bahwa konstruksi sosial tersebut dapat ditemukan secara objektif pada
para pelaku dunia sosial. Dari konstruksi tersebut penelitian harus diarahkan untuk
mempelajari akses dari pengaruh konstruksi ini dalam kehidupan komunikatif.
2. Epistemologi dan Aksiologi
Asumsi-asumsi kalangan post positivis tentang landasan ilmu-ilmu sosial dan
aturan nilai dalam produksi pengetahuan sosial pada dasarnya didasarkan pada prinsip
objektivisme. Asumsi ini mencakup tiga gagasan: (a) ilmu pengetahuan bisa diperoleh
denan pencarian relasi kausal dan keteraturam antara berbagai komponen dunia sosial; (b)
relasi kausal dan keteraturan tersebut bisa ditemukan bila ada pemisahan total antara
penyidik dan subjek yang ditelitinya, (c) pemisahan ini dapat terjamin Melalui penggunaan
metode ilmiah.
Kalangan teoritis post positivisme secara umum mengacu pada asumsi
objektivisme positivisme. Pertama, pencarian atas pengetahuan dilakukan dengan
bersandar pada penjelasan kausal dan bergantung pada keteraturan yang ditemukan dalam
dunia fisik dan sosial. Kedua, Adanya pemisahan antara objek yang diamati dengan subjek
yang mengamati.
Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau
realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan. Aliran ini meyakini bahwa subjek tidak mungkin
dapat melihat kebenaran, apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat
dengan objek secara langsung. Oleh karena itu hubungan antara pengamat dengan objek
harus bersifat interaktif dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin.
C. Struktur dan Fungsi Teori dalam Perspektif Post-positivisme
1. Struktur teori post positivisme
Dubin menyatakan bahwa sebuah teori terdiri dari satuan pembentuk. Unit
utamanya adalah konsep yang menjadi inti dari teori tersebut. Setelah menetapkan unit-
unit yang diinginkan, teori harus dapat menspesifikasikan hukum-hukum interaksi antara
unit-unit yang dimilikinya dan juga harus menspesifikasikan batas-batas konseptual
penerapan suatu teori. Di samping itu, seorang peneliti juga harus membuat detail
Bagaimana sebuah teori bisa terhubung dengan dunia penelitian empirik. Berarti sebuah
teori harus mencakup indikator empirik untuk setiap term teoritisnya. Seperti penjelasan
Dubin, teori harus dipahami dari unit-unit terdaftarnya atau dari konsep-konsep dan
definisi dari unit-unit tersebut.
Struktur teori dalam tradisi post positivisme mensyaratkan bahwa teori-teori yang
ada mesti menyediakan penjelasan abstrak fenomena empiris dalam bentuk konsep-konsep
spesifik ataupun definisi-definisi, relasi-relasi spesifik antara konsep-konsep tersebut
beserta hubungan eksplisit antara konsep-konsep abstrak dan observasi empirik suatu
fenomena. Struktur seperti ini menekankan pendekatan deduktif dalam teori di mana
abstraksi tentang dunia diolah untuk kemudian diuji melalui observasi dalam dunia sosial.
Kriteria di atas tidak bersifat eksklusif. Misalnya sebuah teori dengan ruang lingkup
yang luas mesti juga bersifat menghasilkan banyak hal. Ada pula saatnya terdapat
kontradiksi dalam kriteria tersebut. Kalangan teoritisi yang mengejar kesederhanaan
dan sifat keterbatasan sebuah teori akan melakukan hal yang sama Dalam memprediksi
lingkup keakuratan teori tersebut.
4. Proses Perkembangan Teori
Faktor utama dalam perkembangan teori dan pertumbuhan ilmu pengetahuan dalam
tradisi post positivisme adalah keterusterangan. Kalangan post positivisme
mengembangkan teori dan mengakumulasi pengetahuan tentang dunia lewat proses
pengujian teori secara empirik. Metode ilmiah dan penelitian perspektif post-
positivisme daoat dilihat dalam catatan berikut ini:
seleksi konsep-konsep abstrak untuk merepresentasikan fenomena yang
diselidiki
pendefinisian konsep-konsep baik secara konseptual maupun operasional
menghubungkan konsep-konsep tersebut lewat proposisi
pengujian teori dengan bukti penyelidikan
mengontrol penjelasan alternatif lewat desain studi
pengolahan definisi dan prosedur prosedur umum untuk penelitian oleh
komunitas ilmiah
penggunaan bukti-bukti yang tidak bersifat bias dalam membuat klaim
kebenaran
rekonsiliasi teori dan observasi secara objektif
Pandangan rasionalistis beranggapan bahwa suatu teori baru akan diterima kalau
sudah terbukti bahwa ia dapat meruntuhkan teori lama yang ada sebelumnya. Adapun
pengujian terhadap kekuatan dua teori dilakukan melalui tas empiris yaitu untuk
memfasifikasi apa yang diujinya. Dengan demikian objektif tidak akan pernah tercapai,
karena setiap ilmu memiliki kemungkinan salah atau keliru. Yang bisa dicapai dalam
sebuah ilmu hanyalah mengurangi kadar kesalahan sampai sejauh mungkin dapat
mendekati kebenaran objektif.
Konsep-konsep Popper ditentang oleh Thomas Kuhn. Menurut Kuhn, ilmu itu tidak
tunggal melainkan plural. Ilmu-ilmu muncul dari paradigma tertentu. Paradigma dapat
dianggap sebagai super teori yang menjadi sumber bagi munculnya teori-teori.
Paradigma adalah: (1) kerangka konseptual untuk mengklasifikasi dan
menerangkan objek-objek fisikal alam; (2) patokan untuk spesifikasi metode yang
tepat, teknik-teknik dan instrumen penelitian; (3) kesepakatan tentang tujuan-tujuan
kognitif yang absah.
Kuhn meyakini bahwa idea of progress yang diyakini Popper tidaklah benar.
Pertama, apabila suatu eksperimen tidak berhasil membuktikan prognosisnya, maka
yang pertama harus disalahkan bukanlah teori utama melainkan ilmuwan yang
merencanakan prosedur penelitian. seorang ilmuwan yang terburu-buru menyalahkan
teorinya sama seperti tukang kayu yang menyalahkan gergajinya ketika kursi yang
dibuat tidak sesuai dengan model yang dipesan. Kedua, eksperimen yang secara
sungguh-sungguh hendak menjatuhkan suatu teori merupakan peristiwa yang sangat
langka. Ketiga, Popper tidak membedakan dua jenis kerja ilmiah yaitu kerja ilmiah
normal dan kerja ilmiah revolusioner. Ilmu normal adalah tahap pengembangan dan
penerapan suatu teori sedangkan revolusi ilmiah adalah tahap pengetesan dan
pengguguran suatu teori. Keempat, setiap teori dengan sendirinya mengandung sifat
kebal terhadap falsifikasi. Kekebalan terhadap klasifikasi ini disebabkan karena setiap
teori mengandung unsur hukum utama dan unsur empiris.