Anda di halaman 1dari 6

Nama : Rizky Dwi Andini

Kelas : 3f ilmu Komunikasi

Npm :120100184

Tugas matkul : etika & Filsafat Komunikasi

1. Paradigma/Perspektif  Mekanistik
Memfokuskan perhatian pada saluran, dengan titik berat pada: 
Efek, sifat  saluran dapat berpengaruh pada efek yang diamati. Bilamana orang  membahas
efek komunikasi, maka ia bergerak dalam paradigma mekanistik, yang bersifat linear.

Hambatan dan kegagalan. Citra  komunikasi yang mekanistik mengemukakan kiasan


mesin sebagai analogi proses komunikasi. Kegagalan mekanistik berarti adanya penghentian
komunikasi, sedangkan hambatan mekanistik mengemukakan adanya  gangguan pada saluran
yang menahan arus pesan.

 Gate keeping (penjaga gawang), bertindak sebagai sumber atau penerima yang menyaring
informasi.

2. Paradigma Psikologis
Paradigma/Perspektif Psikologis, memfokuskan perhatian  pada individu (komunikator dan
komunikan) baik secara teoritis maupun empiris. Secara  lebih spesifik dari psikologis ini yang
menjadi fokus  utama adalah mekanisme internal  penerimaan dan pengolahan informasi, dikenal
dengan SOR (Stimulus-Organisme-Respons).

Dalam model psikologis manusia ditandai sebagai makhluk yang mempunyai fungsi ganda 
menghasilkan dan menerima stimulus. Jadi manusia adalah seorang komunikator dan komuniket
stimulus informasional. Ketika komuniket menyerap stimulus, ia secara otomatis mengolahnya 
melalui berbagai filter. Filter ini merupakan keadaan internal manusia. Filter tidak dapat diamati
secara langsung sebagai keadaan internal, akan tetapi dianggap sangat mempengaruhi peristiwa
komunikasi. Filter dapat digambarkan sebagai sikap, keyakinan, motif, dorongan, citra, kognisi,
konsep diri, tanggapan, orientasi atau sejumlah konstruk lainnya. 

Respons merupakan seperangkat stimulus informasi yang terstruktur  yang dikenal sebagai
isyarat dan simbol. Respon tidak seluruhnya dapat diobservasi secara langsung, ada bagian-
bagian tertentu dari respons itu yang tetap tersembunyi dan karenanya tidak dapat dilihat dalam
peristiwa komunikasi.

3.      Paradigma Interaksional
Paradigma/Perspektif Interaksional, menunjukkan pandangan komunikasi manusia yang telah
berkembang secara tidak langsung  dari cabang sosiologi yang dikenal dengan interaksional
simbolik. Perspektif interaksional simbolik yang paling bersifat manusiawi, dengan menonjolkan
keagungan dan nilai individu di atas nilai pengaruh lainnya. 

Konsep diri Mead ”I” (saya) dan ”Me” (ku), dalam perspektif interaksional ini, merupakan
proses reflektif yang sangat berbeda dari psikologi perilaku (behaviorisme). Perspektif
interaksional memungkinkan individu untuk melihat dirinya sendiri sebagaimana orang-orang 
lain melihat padanya.

4.      Paradigma Pragmatis
Paradigma/Perspektif pragmatis merupakan yang terbaru dari empat perspektif yang ada
dalam komunikasi. Perspektif pragmatis didasarkan pada asumsi pokok teori sistem dan teori
informasi.

Perspektif pragmatis ini merupakan aplikasi yang sesuai dari teori sistem pada komunikasi
dan jelas merupakan perkembangan baru yang berbeda untuk penelitian komunikasi. Sekalipun
istilah pragmatika berasal dari studi semiotika, namun perspektif pragmatis tidak memiliki
hubungan dengan semiotika untuk prinsip-prinsip  teoritis/filosofisnya.

Prinsip-prinsip pragmatis secara langsung lebih banyak berasal dari teori sistem umum,
campuran, multisipliner. Perspektif pragmatis dimulai dengan perilaku orang-orang yang terlibat
dalam komunikasi, dengan satuan komunikasi yang paling mendasar  adalah tindak perilaku
secara verbal dan nonverbal. 

Sepanjang waktu pola interaksi  dapat dipengaruhi oleh perubahan. Sistem komunikasi dapat
mengubah pola interaksi yang khas, di mana perubahan itu secara empiris dapat diketahui
melalui pencatatan perubahan dalam pola yang redundan dari interaksi ganda. Bergeser dari satu
pola interaksi ke pola karakteristik lainnya menunjukkan bahwa sistem komunikasi itu
meninggalkan satu fase interaksi dan meninggalkan fase yang lainnya.

Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy N. Hidayat


(1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan Lincoln (1994) ada tiga paradigma : (A)
paradigma klasik yang mencakup positivisme dan postpositivisme (B) paradigme kritis dan (C)
paradigma konstruktivisme (Bungin, 2008 : 237)

A.    Paradigma Positivisme dan Postpositivisme


August Comte (1798-1857) adalah filsuf yang mempelopori kemunculan aliran filsafat
postivisme. Positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan pada awal abad 20-an dengan
menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia ataupun alam untuk
disebut sebagai ilmu pengetahuan yang benar. Demi terpenuhinya, kriteria-kriteria tersebut,
maka ilmu-ilmu harus memiliki pandangan dunia positivistik sebagai berikut :

 pertama, objektif. Teori- teori tentang semesta haruslah bebas nilai. 


Kedua, fenomenalisme. Ilmu pengetahuan hanya membicarakan tentang semesta yang teramati. 
Ketiga, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati. 
Keempat, naturalisme. Alam semesta adalah objek- objek yang bergerak secara mekanis seperti
bekerjanya jam.

Positivisme memiliki pengaruh yang amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu bahkan sampai
dewasa ini (Bungin, 2008:10).

Ketika para peneliti komunikasi pertama kali berkeinginan meneliti dunia sosial secara
sistematis, mereka menggunakan ilmu pengetahuan fisik sebagai model. Kelompok ilmu yang
tergolong dalam ilmu pengetahuan fisik meyakini positivisme sebagai suatu pandangan bahwa
ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui fenomena yang empiris, dapat diamati dan
diukur serta diuji dengan metode ilmiah. Akan tetapi, manusia bukanlah seperti gelas kimia yang
berisi air. Akibatnya, para ilmuwan sosial berkomitmen dengan praktik metode ilmiah yang
menggunakan teori postpositivis, yaitu teori yang didasarkan pada pengamatan empiris yang
diarahkan oleh metode ilmiah, tetapi menyadari bahwa manusia dan perilaku manusia tidak
sekonstan elemen yang ada didunia fisik (Davis dkk, 2010 :14).

Namun dalam praktiknya, implikasi metodologi keduanya tidak jauh berbeda. Sehingga
dalam tulisannya, Guba menyatukan nya dalam paradigma klasik (Bungin, 2008 : 238)
Dalam memandang suatu wacana dari segi bahasa menurut Moh. A.S. Hikam, paradigma
positivisme dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian
bersama dan diukur kebenaran/ketidakbenarannya terhadap sintaksis dan semantik. Selain itu
pandangan positivisme juga menganggap bahwa media adalah saluran pertukaran pesan dan
berita adalah cerminan dan refleksi dari kenyataan. Karena itu berita haruslah sama dan
sebangun dengan fakta yang dipilihnya, opini dan pandangan subjektif dari pembuat berita harus
disingkirkan. Wartawan berperan sebagai pelapor sehingga berita yang diterima pada tangan
pembaca sama dengan apa yang dimaksudkan dengan pembuat berita. (Eriyanto, 2001:)

B.     Paradigma Konstruktivisme
Dalam aliran Filsafat seperti yang dinyatakan oleh K. Bertens (1993), gagasan
konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato
menemukan akal budi dan ide. Dan gagasan itu lebih konkret lagi setelah Aristoteles
mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia juga
mengatakan bahwa, manusia adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan dengan
kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.

Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Suparno (1997): 
pertama, konstruktivisme radikal; 
kedua, realisme hipotesis;
 ketiga, konstruktivisme biasa.

Konstrukstivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk
itu tidak selalu representasi dari dunia nyata. Pengetahuan bagi mereka merefleksi suatu realitas
objektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Dalam pandangan
realisme hipotetis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati
realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Sedangkan untuk konstruktivisme biasa
memandang bahwa pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari
realitas objek dalam dirinya sendiri.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme dapat dilihat sebagai sebuah kerja
kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara
individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya. Dan konstruksivisme semacam inilah yang
oleh Berger dan Luckmann (1990) disebut dengan konstruksi sosial (Bungin, 2011:14).

Pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media,


wartawan, dan berita dilihat, yaitu:
1.      Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif.
Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda,
tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang
mempunyai pandangan berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002:19)
2.      Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang
mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. Lewat bahasa yang
dipakai; media dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan dapat juga menyebutnya sebagai
perusuh.
3.      Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada
dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah baku jurnalistik
4.      Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan karena ketika
meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.
5.      Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang
menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial.
6.      Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi
berita. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral
yang dalam banyak hal berarti keberpihakan satu kelompok atau nilai tertentu umumnya
dilandasi oleh keyakinan tertentu, adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam
membentuk dan mengkonstruksi realitas.
7.      Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek
yang pasif, yang mempunyai tafsiran sendiri yang bisa saja berbeda dari pembuat berita
(Zamroni, 2009:95)
C.    Paradigma Kritis
Paradigma ini beranggapan bahwa realitas yang kita lihat adalah realitas semu, realitas yang
telah terbentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik, nilai
gender, dan sebagianya, serta telah terkristalisasi dalam waktu yang panjang (Hamad, 2004:43).

Paradigma kritis hadir untuk mengoreksi paradigma konsturktivis yang kurang sensitif pada
proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti
ditulis A.S. Hikam (Eriyanto,2001:6), pandangan konsturktivisme masih belum menganalisis
faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya
berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya.

Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada
kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran pada anlaisis
konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekannkan pada konstelasikekuatan
yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.

Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas
sesuai dengan pikirannya, karena sangat dipengaruhi dan berhubungan dengan kekuatan sosial
yang ada dimasyarakat. Bahasa juga disini dianggap bukan sebagai medium yang netral yang
terletak di luar diri si penulis. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang
membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.

Oleh karena itu analisis teks dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses
bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti
digunakan, atau topik apa yang seharusnya dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini,
wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan
subjek, dan berbagai tindakan representasiyang terdapat dalam masyarakat. (Eriyanto,2001:6)

Anda mungkin juga menyukai