Npm :120100184
1. Paradigma/Perspektif Mekanistik
Memfokuskan perhatian pada saluran, dengan titik berat pada:
Efek, sifat saluran dapat berpengaruh pada efek yang diamati. Bilamana orang membahas
efek komunikasi, maka ia bergerak dalam paradigma mekanistik, yang bersifat linear.
Gate keeping (penjaga gawang), bertindak sebagai sumber atau penerima yang menyaring
informasi.
2. Paradigma Psikologis
Paradigma/Perspektif Psikologis, memfokuskan perhatian pada individu (komunikator dan
komunikan) baik secara teoritis maupun empiris. Secara lebih spesifik dari psikologis ini yang
menjadi fokus utama adalah mekanisme internal penerimaan dan pengolahan informasi, dikenal
dengan SOR (Stimulus-Organisme-Respons).
Dalam model psikologis manusia ditandai sebagai makhluk yang mempunyai fungsi ganda
menghasilkan dan menerima stimulus. Jadi manusia adalah seorang komunikator dan komuniket
stimulus informasional. Ketika komuniket menyerap stimulus, ia secara otomatis mengolahnya
melalui berbagai filter. Filter ini merupakan keadaan internal manusia. Filter tidak dapat diamati
secara langsung sebagai keadaan internal, akan tetapi dianggap sangat mempengaruhi peristiwa
komunikasi. Filter dapat digambarkan sebagai sikap, keyakinan, motif, dorongan, citra, kognisi,
konsep diri, tanggapan, orientasi atau sejumlah konstruk lainnya.
Respons merupakan seperangkat stimulus informasi yang terstruktur yang dikenal sebagai
isyarat dan simbol. Respon tidak seluruhnya dapat diobservasi secara langsung, ada bagian-
bagian tertentu dari respons itu yang tetap tersembunyi dan karenanya tidak dapat dilihat dalam
peristiwa komunikasi.
3. Paradigma Interaksional
Paradigma/Perspektif Interaksional, menunjukkan pandangan komunikasi manusia yang telah
berkembang secara tidak langsung dari cabang sosiologi yang dikenal dengan interaksional
simbolik. Perspektif interaksional simbolik yang paling bersifat manusiawi, dengan menonjolkan
keagungan dan nilai individu di atas nilai pengaruh lainnya.
Konsep diri Mead ”I” (saya) dan ”Me” (ku), dalam perspektif interaksional ini, merupakan
proses reflektif yang sangat berbeda dari psikologi perilaku (behaviorisme). Perspektif
interaksional memungkinkan individu untuk melihat dirinya sendiri sebagaimana orang-orang
lain melihat padanya.
4. Paradigma Pragmatis
Paradigma/Perspektif pragmatis merupakan yang terbaru dari empat perspektif yang ada
dalam komunikasi. Perspektif pragmatis didasarkan pada asumsi pokok teori sistem dan teori
informasi.
Perspektif pragmatis ini merupakan aplikasi yang sesuai dari teori sistem pada komunikasi
dan jelas merupakan perkembangan baru yang berbeda untuk penelitian komunikasi. Sekalipun
istilah pragmatika berasal dari studi semiotika, namun perspektif pragmatis tidak memiliki
hubungan dengan semiotika untuk prinsip-prinsip teoritis/filosofisnya.
Prinsip-prinsip pragmatis secara langsung lebih banyak berasal dari teori sistem umum,
campuran, multisipliner. Perspektif pragmatis dimulai dengan perilaku orang-orang yang terlibat
dalam komunikasi, dengan satuan komunikasi yang paling mendasar adalah tindak perilaku
secara verbal dan nonverbal.
Sepanjang waktu pola interaksi dapat dipengaruhi oleh perubahan. Sistem komunikasi dapat
mengubah pola interaksi yang khas, di mana perubahan itu secara empiris dapat diketahui
melalui pencatatan perubahan dalam pola yang redundan dari interaksi ganda. Bergeser dari satu
pola interaksi ke pola karakteristik lainnya menunjukkan bahwa sistem komunikasi itu
meninggalkan satu fase interaksi dan meninggalkan fase yang lainnya.
Positivisme memiliki pengaruh yang amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu bahkan sampai
dewasa ini (Bungin, 2008:10).
Ketika para peneliti komunikasi pertama kali berkeinginan meneliti dunia sosial secara
sistematis, mereka menggunakan ilmu pengetahuan fisik sebagai model. Kelompok ilmu yang
tergolong dalam ilmu pengetahuan fisik meyakini positivisme sebagai suatu pandangan bahwa
ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui fenomena yang empiris, dapat diamati dan
diukur serta diuji dengan metode ilmiah. Akan tetapi, manusia bukanlah seperti gelas kimia yang
berisi air. Akibatnya, para ilmuwan sosial berkomitmen dengan praktik metode ilmiah yang
menggunakan teori postpositivis, yaitu teori yang didasarkan pada pengamatan empiris yang
diarahkan oleh metode ilmiah, tetapi menyadari bahwa manusia dan perilaku manusia tidak
sekonstan elemen yang ada didunia fisik (Davis dkk, 2010 :14).
Namun dalam praktiknya, implikasi metodologi keduanya tidak jauh berbeda. Sehingga
dalam tulisannya, Guba menyatukan nya dalam paradigma klasik (Bungin, 2008 : 238)
Dalam memandang suatu wacana dari segi bahasa menurut Moh. A.S. Hikam, paradigma
positivisme dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian
bersama dan diukur kebenaran/ketidakbenarannya terhadap sintaksis dan semantik. Selain itu
pandangan positivisme juga menganggap bahwa media adalah saluran pertukaran pesan dan
berita adalah cerminan dan refleksi dari kenyataan. Karena itu berita haruslah sama dan
sebangun dengan fakta yang dipilihnya, opini dan pandangan subjektif dari pembuat berita harus
disingkirkan. Wartawan berperan sebagai pelapor sehingga berita yang diterima pada tangan
pembaca sama dengan apa yang dimaksudkan dengan pembuat berita. (Eriyanto, 2001:)
B. Paradigma Konstruktivisme
Dalam aliran Filsafat seperti yang dinyatakan oleh K. Bertens (1993), gagasan
konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato
menemukan akal budi dan ide. Dan gagasan itu lebih konkret lagi setelah Aristoteles
mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia juga
mengatakan bahwa, manusia adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan dengan
kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Suparno (1997):
pertama, konstruktivisme radikal;
kedua, realisme hipotesis;
ketiga, konstruktivisme biasa.
Konstrukstivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk
itu tidak selalu representasi dari dunia nyata. Pengetahuan bagi mereka merefleksi suatu realitas
objektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Dalam pandangan
realisme hipotetis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati
realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Sedangkan untuk konstruktivisme biasa
memandang bahwa pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari
realitas objek dalam dirinya sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme dapat dilihat sebagai sebuah kerja
kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara
individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya. Dan konstruksivisme semacam inilah yang
oleh Berger dan Luckmann (1990) disebut dengan konstruksi sosial (Bungin, 2011:14).
Paradigma kritis hadir untuk mengoreksi paradigma konsturktivis yang kurang sensitif pada
proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti
ditulis A.S. Hikam (Eriyanto,2001:6), pandangan konsturktivisme masih belum menganalisis
faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya
berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya.
Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada
kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran pada anlaisis
konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekannkan pada konstelasikekuatan
yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas
sesuai dengan pikirannya, karena sangat dipengaruhi dan berhubungan dengan kekuatan sosial
yang ada dimasyarakat. Bahasa juga disini dianggap bukan sebagai medium yang netral yang
terletak di luar diri si penulis. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang
membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.
Oleh karena itu analisis teks dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses
bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti
digunakan, atau topik apa yang seharusnya dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini,
wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan
subjek, dan berbagai tindakan representasiyang terdapat dalam masyarakat. (Eriyanto,2001:6)