Anda di halaman 1dari 18

 

Kebudayaan Upacara Panjang Jimat di Cirebon

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester

Matakuliah Komunikasi Lintas Budaya

Dosen pengampu : Dian Andriany,S.Sos.M.I.Kom.

Disusun Oleh :

Nama : Rizky Dwi Andini


Npm : 120100184
Kelas :3F

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur  saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebagai
pencipta atas segala kehidupan yang senantiasa memberikan rahmat-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini 
Dalam kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih dengan hati
yang tulus kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini  semoga Tuhan senantiasa membalas dengan kebaikan yang berlipat
ganda.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak guna perbaikan dan kelengkapan  penyusunan makalah ini. Harapan
saya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua .
 
 
 
Cirebon, 14 November 2022

Penulis
 

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
Bab I.......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................2
A. Sejarah Cirebon.........................................................................................................................2
B. Budaya Cirebon..........................................................................................................................3
C. Sejarah dan Juga Budaya Keraton..............................................................................................5
D. Pengertian Upacara Panjang Jimat............................................................................................8
E. Pelaksanaan dan Perubahan Upacara Panjang Jimat...............................................................10
F.......................................................................................................................................................10
BAB III..................................................................................................................................................14
PENUTUP.............................................................................................................................................14
A. Kesimpulan..............................................................................................................................14
B. Saran........................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu bentuk kebudayaan Nasional adalah sistem ritual upacara keagamaan yang
banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Upacara Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan
Cirebon merupakan salah satu bentuk kebudayaan lokal yang ikut memperkaya kebudayaan
Nasional Indonesia. Upacara Panjang Jimat sudah dilaksanakan sejak Keraton Kasepuhan
didirikan dan terus berlangsung sampai sekarang.
Panjang Jimat merupakan salah satu tradisi kuno yang masih dilakukan hingga saat
ini. Pada proses pelaksanaan panjang jimat yang di laksanakan pada puncak (pelal) Maulid
Nabi telah banyak perubahan yang dilakukan demi penyesuaian antara tradisi lama dengan
keadaan masyarakat yang melaksanakannya pada saat ini. Bahwa perubahan sosial dan
kebudayaan yang telah dan sedang terjadi di lingkungan Cirebon telah mempengaruhi situasi
dan kondisi Keraton Kasepuhan. Perubahan sosial dan kebudayaan tersebut, di antaranya,
telah mempengaruhi keseragaman tata cara hidup tradisional. Keraton sebagai institusi yang
terlahir dari tradisi lamapun tidak luput dari pengaruh perubahan tersebut. Sebagai contoh
pada tradisi Panjang Jimat yang mengalami banyak perubahan dari dahulu hingga saat ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah Cirebon?


2. Apa Budaya Cirebon?
3. Bagaimana Sejarah dan Budaya Keraton yang ada di Cirebon?
4. Apa Pengertian Upacara Panjang Jimat?
5. Bagaimana Pelaksanaan dan Perubahan Upacara Panjang Jimat?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui sejarah Cirebon


2. Mengetahui pengertian dari Upacara Panjang Jimat
3. Mengetahui pelaksanaan Upacara Panjang Jimat

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Cirebon

Asal kota Cirebon ialah pada abad ke 14 di pantai utara Jawa Barat ada desa
nelayan kecil yang bernama Muara Jati yang terletak di lereng bukit Amparan Jati. Muara Jati
adalah pelabuhan nelayan kecil. Penguasa kerajaan Galuh yang ibu kotanya Rajagaluh
menempatkan seorang sebagai pengurus pelabuhan atau syahbandar Ki Gedeng Tapa.

Pelabuhan Muara Jati banyak di singgahi kapal-kapal dagang dari luar di antaranya
kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat, yang di perdagangkannya
adalah garam, hasil pertanian dan terasi. Kemudian Ki Gendeng Alang-alang mendirikan
sebuah pemukiman di lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km, ke arah Selatan dari
Muara Jati. Karena banyak saudagar dan pedangan asing juga dari daerah-daerah lain yang
bermukim dan menetap maka daerah itu di namakan Caruban yang berarti campuran
kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi Cirebon hingga sekarang.

Raja Pajajaran Prabu Siliwanggi mengangkat Ki Gede Alang-alang sebagai kepala


pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon. Daerahnya yang ada di bawah pengawasan
Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di sebelah Timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah
Selatan, pengunungan Kromong di sebelah Barat dan Junti (Indramayu) di sebelah Utara.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama
Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan
diangkat sebagai Adipati Carbon dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa
upeti kepada Raja di ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa
kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara, tetapi Cakrabumi
berhasil mempertahankannya.

Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan kerajaan


Cirebon dengan memakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana telah memeluk agama Islam
dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih
tetap ada hubungan dengan kerajaan Hindu Pajajaran.

Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena bertambahnya lalu
lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil setempat sejauh daerah pedalaman Asia
Tengara. Dari sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai
sekarang ini. Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar
Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon

2
B. Budaya Cirebon

Lokasi Cirebon yang berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat
memberikan corak tersendiri bagi Kesultanan Cirebon, sehingga budaya yang dimiliki
masyarakat Cirebon tidak condong ke budaya Jawa maupun Sunda. Hasilnya, sebuah budaya
khas yang unik gabungan keduanya. Berikut beberapa budaya yang terkenal dan menjadi ciri
khas kota dan wisata Cirebon.

1. Tari Sintren
Tarian khas Cirebon ini diperankan oleh gadis Cirebon yang masih suci,
dengan dibantu oleh seorang pawang dan enam orang bermain gending.
Tari Sintren berkisah tentang sepasang kekasih bernama Sulasih dan
Sulandono yang kisah kasihnya tidak direstui. Mereka berdua akhirnya
melarikan diri dari rumah. Sulandono menjadi seorang pertapa, sementara
Sulasih menjadi seorang penari

2. Keraton
Sebagai tempat tinggal sultan, keraton memiliki keistimewaan tersendiri
sebagai bagian dari budaya Cirebon. Adanya tiga keraton di Cirebon
berarti ada tiga keunikan arsitektur pula. Keraton Kasepuhan sebagai
keraton tertua dan terluas merupakan bangunan bergaya candi yang
didominasi oleh material bata merah. Keraton Kanoman berbeda dari
Keraton Kasepuhan karena dibuat di era yang berbeda. Di Keraton
Kanoman, bangunan yang ada didominasi warna putih dengan banyaknya
tempelan piring-piring kecil di bagian dindingnya. Piring-piring tersebut
adalah warisan era Tionghoa. Selanjutnya adalah Keraton Kacirebonan
yang usianya paling muda. Kebudayaan di jamannya juga mempengaruhi
desain arsitekturnya sehingga materialnya didominasi kayu dan bercorak
batik megamendung.

3. Kirab Budaya Cirebon


Kirab Budaya Cirebon adalah event tahunan yang merupakan bentuk
perayaan masyarakat atas hari jadi kota Cirebon, sekaligus bentuk rasa
syukur mereka atas apa yang sudah mereka terima selama setahun penuh.
Di momen Kirab Budaya, seluruh masyarakat Cirebon turun ke jalan
untuk melihat pawai yang memamerkan seluruh budaya Cirebon. Ada
yang disajikan dalam bentuk peragaan busana, hias menghias kendaraan,
pertunjukan seni, hingga seluruh abdi dalem keraton pun turun ke jalan.

4. Panjang Jimat
Panjang jimat adalah sebuah tradisi warisan leluhur keraton
kesepuhan untuk memperingati lahirnya rosulullah Muhammad Saw
atau maulud nabi. Tradisi panjang jimat diyakini oleh masyarakat
sekitar bisa menghilangkan wabah penyakit di desa tersebut.

3
Dari arti kata panjang jimat itu sendiri ialah :
Panjang itu adalah “lestari” dan jimat adalah “pusaka” jadi secara
etimologi panjang jimat berarti upaya untuk melestarikan pusaka paling
berharga milik umat islam selaku umat Nabi Muhammad yaitu dua
kalimat syahadat. Atau kalau menujuh pada utak atik gatuk dalam bahasa
jawa cirebon,jimat dimaksud adalah siji kang dihormati yakni lafadz
syahadat itu sendiri.
Sebenarnya acara tersebut hanya untuk menarik warga desa setempat agar
masuk islam,karena pada saat itu masyarakat sudah memeluk agama
hindu
terlebih dulu dan susah untuk percaya terhadap agama lain ,maka cara
islam berdakwah pada masa itu yaitu dengan mencampurkan tradisi hindu
dan islam.
Suasana tradisi saat itu begitu khidmat. Ribuan warga Cirebon memenuhi
empat telatah bersejarah dan sakral dalam perjalanan syiar Islam di
kawasan Cirebon. Prosesi Panjang Jimat rutin dilakukan setiap 12 Rabiul
awal, yang menjadi puncak atau pelal peringatan maulud Nabi
Muhammad saw, yang sarat makna dan selalu dijubeli ratusan ribu massa.
Menurut catatan, tradisi pelal Panjang Jimat ini telah dilaksanakan lebih
dari 6 abad. Pelaksanaannya dilakukan di empat tempat yang menjadi
peninggalan dari Sunan Gunung Djati. Antara lain, Keraton Kasepuhan,
Keraton Kanoman, Keraton kacirebonan dan Kompleks makam Syekh
Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, pendiri kasultanan
Cirebon.

4
C. Sejarah dan Juga Budaya Keraton

Nilai budaya merupakan konsep- konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam
pikiran sebagian besar masyarakat yang dianggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup
sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada
kehidupan para warga masyarakat tadi.

Dapat diartikan bahwa nilai budaya merupakan serangkaian dari konsep-konsep


abstrak yang hidup di masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, serta
apa yang dianggap tidak berharga atau tidak penting dalam hidup. Selain itu, nilai budaya
menjadi pedoman perilaku hidup manusia di masyarakat. Nilai budaya mengandung norma
dan sikap yang dalam bentuk abstrak tercermin dari cara berpikir sedangkan bentuk
kongkretnya terlihat dari pola perilaku anggota masyarakat yang unik.

Salah satu dari keragaman budaya yang ada di negara ini adalah mengenai budaya
yang terdapat pada Keraton Kesepuhan di Kota Cirebon. Cirebon memiliki banyak ragam
budaya, diantaranya adalah adat istiadat dan tradisi yang ada di Keraton Kasepuhan. Seperti
diketahui bahwa keraton merupakan sebuah struktur sosial yang di dalamnya terdapat aturan-
aturan masyarakat yang kompleks sehingga mampu menciptakan kebudayaan yang memiliki
kekhasan. Suatu kebudayaan tidak akan timbul tanpa adanya interaksi dan eksistensi dari
masyarakat. Hal itu pula yang terjadi pada tradisi di Keraton Kasepuhan.

Keraton yang terletak di Kelurahan Kasepuhan Kecamatan Lemahwungkuk ini


awalnya bernama Keraton Pakungwati. Keraton ini didirikan sekitar tahun 1430 M oleh
Pangeran Cakrabuana putra dari penguasa Kerajaan Padjajaran yaitu Prabu Siliwangi. Asal
mula nama istana Pakungwati ini diambil dari nama putri Pangeran Cakrabuana yaitu Ratu
Mas Pakungwati. Pakungwati berarti “udang betina”, hal ini sejalan dengan kondisi letak
geografisnya yang berada di daerah pesisir laut Jawa. Banyak yang dihasilkan dari laut salah
satunya adalah udang yang kecil- kecil atau yang dikenal dengan istilah udang rebon, hal ini
pula yang melatarbelakangi asal mula nama dari Cirebon yang berasal dari dua kata yaitu “ci”
atau cai yang berarti air dan kata “rebon” yang berarti udang kecil sehingga Cirebon dapat
diartikan air udang.

Ratu Pakungwati kemudian menikah dengan saudara sepupunya yaitu Syarif


Hidayatullah. Syarif Hidayatullah memiliki kepribadian yang sangat baik di mata Pangeran
Cakrabuana, oleh karenanya Pangeran Cakrabuana menyerahkan Keraton Pakungwati kepada
menantu sekaligus keponakannya untuk memimpin keraton. Maka raja Cirebon pada saat itu
adalah Syarif Hidayatullah. Beliau merupakan raja sekaligus aulia dan seorang wali penyebar
agama islam di Pulau Jawa atau yang dikenal dengan istilah “Wali Songo” maka Syarif
Hidayatullah dari gelar kewaliannya bergelar Sunan Gunung Jati. Karena itu pula Syarif
Hidayatullah menjadikan keraton sebagai pusat pendidikan dan syiar penyebaran agama
islam di Pulau Jawa bagian kulon atau barat. Posisi wali Songo yang berjumlah sembilan itu
delapan diantaranya berada di Jawa Timur dan satu di Jawa Barat yaitu Syarif Hidayatullah
yang bergelar Sunan Gunung Jati.

5
Kemudian pemerintahan di Keraton tersebut secara turun temurun diteruskan oleh
generasi berikutnya di keraton hingga pada generasi ke empat dari Sunan Gunun Jati atau
tepatnya setelah dipimpin oleh Panembahan Girilaya yang wafat di Mataram, terjadi
perpecahan politik sehingga keraton terpecah menjadi dua. Salah satu penyebabnya adalah
karena Panembahan Girilaya memiliki dua putra yang ingin berkuasa. Keraton yang awalnya
Keraton Pakungwati menjadi Keraton Kasepuhan dipimpin oleh kakaknya yaitu Sultan Sepuh
I Pangeran Martawijaya atau Sultan Syamsudin, sedangkan adiknya Sultan Anom I atau
Sultan Badridin mendirikan keraton yang lebih kecil berada di sebelah utara Keraton
Kasepuhan yaitu Keraton Kanoman. Akibatnya keraton di Cirebon terbagi menjadi dua, dan
aset keraton yang awalnya hanya milik Keraton Pakungwati kemudian terbagi menjadi dua
sampai sekarang yakni Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Selanjutmya keluarga dari
Keraton Kanoman mendirikan dua bangunan yang khusus digunakan untuk keturunan
mereka, pertama yaitu Peguron Kaprabonan merupakan suatu perguruan tempat belajar dan
menimba ilmu agama islam yang lokasinya tidak jauh dari Keraton Kanoman. Kedua adalah
Kacirbonan yakni suatu tempat yang bentuk fisiknya seperti keraton tetapi fungsinya tidak
sebesar Keraton Kasepuhan, hanya sebagai tempat khusus untuk trah keturunan Keraton
Kanoman.

Keraton Kasepuhan merupakan salah satu keraton yang masih terpelihara dan terjaga
keasliannya. Keunikan keraton dapat kita lihat secara kasat mata dari bentuk dan
peninggalan- peninggalan sejarah masa lampau yang menjadi saksi bisu dalam perkembangan
zaman bangsa- bangsa dunia yang dulu sempat singgah di bumi pertiwi. Sebagai contoh
ruang luar keraton kasepuhan, terlihat bagaimana perpaduan unsur-unsur Eropa, seperti
meriam dan patung singa di halaman muka, furniture dan meja kaca gaya Perancis tempat
para tamu sultan berkaca sebelum menghadap. Gerbang ukiran Bali dan pintu kayu model
ukiran Perancis. Arsitektur dan koleksi benda-benda milik Keraton Kasepuhan yang
tersimpan dalam museum keraton memberikan sebuah gambaran tentang keraton pada masa
kejayaan kesultanan Cirebon pada abad ke-15 dan ke-16M

Disamping keindahan dan gaya arsitektur bangunan keraton yang menarik, keunikan
keraton lain tercermin dari adat istiadat dan tradisi keraton yang masih dipegang teguh dan
dijunjung tinggi, sebagai bagian dari kewajiban dan upaya melestarikan budaya bangsa. Salah
satu tradisi yang cukup terkenal dari Keraton Kasepuhan adalah Tradisi Mauludan yang
diadakan setiap tanggal 12 Robi’ul Awal untuk memperingati kelahiran Nabi Besar
Muhammad SAW.

Dalam Tradisi Muludan terdapat ritual Upacara Panjang Jimat yakni urut-urutan
prosesi peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang disimbolkan degan benda-benda
tertentu yang kaya akan makna. Tujuan intinya ialah agar umat Islam selalu meneladani Nabi
Muhammad saw. Pengaruh khalifah itu kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk
Cirebon. Pada abad ke- 15, Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang) mengadopsi perayaan
Maulid dengan disesuaikan dengan adat setempat. Hal tersebut juga masih terdapat di daerah-
daerah lain, seperti di Indonesia dan Solo juga memiliki upacara peringatan Maulud Nabi
Muhammad yang dikenal dengan istilah tradisi upacara “sekaten” yang ritualnya hampir
serupa dengan tradisi upacara Panjang Jimat.

Berbagai persiapan dilakukan baik dari keluarga, abdi dalem keraton maupun dari
masyarakat sekitar yang ingin ikut terlibat dalam perayaan tersebut. Keluarga keraton

6
bersiap-siap membersihkan segala peralatan yang akan dipakai untuk upacara Panjang Jimat
atau yang biasa disebut dengan ritual ngumbah jimat atau penyucian. Berikutnyakeraton
menyiapkan keperluan atau sarana yang akan digunakan pada perayaan tersebut. Pada malam
perayaan para tamu undangan dipersilahkan memasuki area dalam keraton dengan
memperlihatkan kartu undangan yang akan menentukan dimana posisi tempat duduk.
Sedangakan bagi masyarakat yang ingin ikut menyaksikan tetapi tidak dapat masuk ke dalam
keraton juga telah dipersiapkan tempat di luar keraton.

Upacara Panjang Jimat ini diawali dengan pembacaan sholawat nabi oleh seluruh
warga keraton dari ba’da magribh hingga pukul 21.00 WIB. Ritual upacara Panjang Jimat ini
dibagi ke dalam sembilan kelompok. Masing- masing kelompok memiliki tugas dan
peranannya sendiri. Selain itu, tradisi upacara Panjang Jimat ini memiliki urutan-urutan
tertentu yang menggambarkan prosesi kelahiran Nabi Besar Muhammad saw yang
dilambangkan melalui simbol-simbol tertentu yang sarat akan nilai-nilai dan filosofi luhur.

Ritual Upacara Panjang Jimat dianggap penting dan merupakan puncak dari tradisi
Muludan ini memiliki makna yakni “Panjang” yang bermakna tanpa batas seumur manusia.
Sedangkan Jimat itu sebuah singkatan dari bahasa Jawa Cirebon yaitu “Ji” atau siji yang
berarti satu dan “mat” atau dirumat bermakna selalu dipelihara atau dijaga. Jadi, Panjang
Jimat dapat diartikan bahwa sebagai seorang muslim itu harus memiliki pegangan yaitu
syahadat yang harus dijaga dan dipelihara. Hal ini mengandung makna bahwa sebagai
seorang muslim harus selalu mengakui dan mengingat adanya Allah SWT sebagai Tuhan
semesta alam dengan selalu mengikuti perintahnya dan menjauhi segala larangannya dengan
cara taat beribadah.

Tradisi upacara Panjang Jimat ini telah ada sejak zaman dahulu lebih tepatnya sejak
para wali songo memimpin dan sejak berdirinya keraton yakni kurang lebih sekitar tahun
1430 M. Tradisi upacara Panjang Jimat ini terus mengalami perubahan dari masa ke masa.
Perbedaannya pada zaman dahulu hanya terbatas pada kalangan intern keluarga dan kerabat
sultan saja. Masyarakat biasa tidak dapat mengikuti prosesi upacara ritual Panjang Jimat
tersebut. Selain itu, sekarang ritual Panjang Jimat telah banyak mengalami perkembangan
dan menyesuaikan dengan perubahan zaman. Salah satunya tanpa mengurangi kekhusyukan
prosesi upacara ritual Panjang Jimat, pihak keraton bekerjasama dengan pejabat setempat
menyediakan hiburan dan pasar malam di area keraton agar lebih menarik pengunjung.
Tujuan lainnya ialah agar masyarakat lebih tertarik mempelajari tradisi dan budaya lokal
yang ada di daerahnya dan merupakan salah satu upaya melestarikan budaya bangsa, hal lain
yang menjadi nilai tambah diantaranya adalah dapat mejadi sumber penghasilan bagi warga
sekitar dan pendapatan daerah.

Keraton Kasepuhan memiliki peraturan dan adat kebiasaan sendiri yang wajib
dipatuhi oleh siapa saja yang berada di wilayah kekuasaan keraton. Akan tetapi pada masa
sekarang terutama setelah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia aturan tersebut
hanya berlaku bagi orang-orang yang berada di lingkungan keraton saja, karena secara umum
Keraton Kasepuhan juga patuh dan tunduk terhadap peraturan yang berlaku baik pada
pemerintah daerah maupun pusat. Peran Keraton Kasepuhan sekarang adalah sebagai wadah
pelestari budaya atau sentral budaya terutama budaya lokal Kota Cirebon serta Sultan sebagai
pemangku adat saja.
7
Dalam hal ini budaya Keraton Kasepuhan yakni tradisi upacara Panjang Jimat
mengandung nilai-nilai yang sarat akan makna diantaranya adalah nilai religius sebagai
peringatan kelahiran seorang tokoh besar Nabi Muhammad SAW suri tauladan umat manusia
yang wajib dicontoh perilakunya, nilai gotong royong dimana dalam mempersiapkan upacara
tersebut saling bekerja sama, nilai estetika dan nilai historis dimana simbol-simbol dari dari
warisan sejarah keraton dalam bentuk benda diperlihatkan bernilai seni tinggi dihrapkan agar
masyarakat tertarik untuk mengetahui lebih dalam dan turut ikut melestarikan.Selain itu, yang
maenjadi permasalahan adalah kurangnya publikasi dan promosi kepada masyarakat luas
akan pentingnya mengetahui dan menghayati kearifan budaya lokal yang kaya akan nilai-
nilai luhur yang wajib dilestarikan untuk menjaga eksistensi budaya bangsa agar tidak
tergerus perkembangan zaman. Dalam hal ini upacara Panjang Jimat yang merupakan
fragmen kelahiran Nabi Muhammad saw, yang memberi rahmat seluruh alam semesta.
Tradisi ini sebagai penyemangat kaum muslim untuk kembali kepada dua sumber kehidupan
yaitu Al Qur’an dan Hadist Rosulullah

D. Pengertian Upacara Panjang Jimat

Upacara Panjang Jimat yang merupakan rentetan dari acara maulidan di


Keraton Kasepuhan awalnya hanyalah sebuah upacara peringatan kelahiran nabi
Muhammad Saw saja yang di dalamnya terdapat ritual-ritual khusus sebagai simbol
untuk meneladani kerasulannya.

Panjang Jimat adalah sebuah ritual tradisional yang rutin dan turun temurun di
laksanakan di Keraton Cirebon (Kanoman, Kasepuhan, Kacirebonan dan Kompleks
makam Syekh Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, pendiri kasultanan
Cirebon), tiap malam 12 Rabiul Awal atau Maulid, yakni bertepatan dengan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dan memang, tujuan utama dari panjang jimat ini
sendiri adalah untuk memperingati dan sekaligus mengenang hari kelahiran Nabi
Muhammad. Sebutan Panjang Jimat sendiri adalah berasal dari dua kata yaitu Panjang
dan Jimat. Panjang yang artinya lestari dan Jimat yang berarti pusaka. Jadi, secara
etimologi, panjang jimat berarti upaya untuk melestarikan pusaka paling berharga
milik umat Islam selaku umat Nabi Muhammad yaitu dua kalimat syahadat. Atau
kalau merujuk pada utak atik gatuk dalam bahasa Jawa Cirebon, jimat yang dimaksud
adalah siji kang dirohmat yakni, lafadz Syahadat itu sendiri.

Prosesi adat “Panjang Jimat” adalah refleksi dari proses kelahiran Nabi
Muhammad SAW dan merupakan acara puncak dari serangkaian kegiatan Maulud
Nabi Muhamad di Keraton Kasepuhan Cirebon. “Panjang” berarti sederetan iring-
8
iringan berbagai benda pusaka dalam prosesi itu dan “Jimat” berarti “siji kang
dirumat” atau satu yang dihormati yaitu kalimat sahadat “La Illa ha Illahah” sehingga
arti gabungan dua kata itu adalah sederetan persiapan menyongsong kelahiran nabi
yang teguh mengumandangkan kalimat sahadat kepada umat di dunia. Pada umumnya
masing-masing upacara terdiri atas kombinasi berbagai macam unsur upacara seperti
berkorban, berdo’a, bersaji makan bersama, berprosesi, semadi, dan sebagainya.
Urutannya telah tertentu sebagai hasil ciptaan para pendahulunya yang telah menjadi
tradisi.

Pengaruh Khalifah Sholahuddin Al Ayubi seperti telah dijelaskan kemudian


menyebar ke seluruh dunia termasuk ke Kerajaan Cirebon dan Sultan Cirebon Syarif
Hidayatullah kemudian mengadopsikan acara maulud nabi itu dengan budaya Jawa
sehingga menjadi prosesi Panjang Jimat. Secara serentak, upacara pelal Panjang Jimat
di Cirebon diselenggarakan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Syarief
Hidayatullah. Masing-masing di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton
Kacirebonan/Kasunanan dan kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah pendiri
Kasultanan Cirebon atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati.

Ada beberapa pengertian mengenai Panjang Jimat, yaitu :

1. Panjang, artinya terus menerus diadakan, yakni satu kali setahun. Jimat,
maksudnya dipuja-puja (dipundi-pundi/dipusti-pusti) di dalam
memperingati hari lahir Nabi Besar Muhammad saw.

2. Panjang Jimat, sebuah piring besar (berbentuk elips atau bundar) terbuat
dari kuningan atau porselin. Dan Panjang Jimat bagi Cirebon mempunyai
sejarah khusus yakni salah satu benda pusaka Kraton Cirebon ialah
merupakan sebuah pemberian dari Sang-hyang Bango ketika masa
pengembangan dari Raden Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), di
dalam rangka mencari agama Nabi (agama islam). Maka besar
kemungkinan inilah sebabnya masyarakat Cirebon menyebut-nyebut iring-
iringan Panjang Jimat (piring panjang jimat di Kraton Kanoman dan pendil
jimat di Kraton Kasepuhan).

9
3. Saat turunnya/keluarnya Panjang Jimat ini sebagai Penggambaran lahirnya
sang bayi, jadi sebenarnya kita harus mengerti bahwa pawai allegorie tadi
memiliki falsafah yang sangat tinggi, yang erat sekali hubungannya di kala
itu dengan syi’ar Islam.

E. Pelaksanaan dan Perubahan Upacara Panjang Jimat

1. Pelaksanaan Upacara Panjang Jimat

Ritual-ritual Panjang Jimat hampir sama dengan upacara yang lainnya, yang
semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisil. Maka pada saat itu
tampaklah raja melakukan miyos dalem (penampilan raja kehadapan rakyatnya).
Kemampuan raja mencapai kesatuan dimanfaatkan untuk mendengarkan
keabsahan keraton. Pada kegiatan itu raja menyampaikan berkahnya untuk
kesejahteraan rakyatnya
Di Keraton Kasepuhan Panjang Jimat diturunkan oleh petugas dan ahli agama di
lingkungan kerabat kesultanan Keraton kasepuhan, yang terdiri atas:

1) Diadakan Susrana Tahap ini diadakan di gedung/bangsal dalem.


Disinilah disajikan Nasi Rosul sebanyak 7 golongan, untuk tiap-tiap
golongan ditumpangkan/ditempatkan di atas tasbih/piring besar.
Petugas-petugasnya adalah : Nyi Penghulu, Nyi Krum yang disaksikan
oleh para Ratu Dalem. Di belakang Bangsal Dalem yang disajikan air
mawar, kembang goyah, “serbad boreh” (panem) dan hidangan
tumpeng 4 “pangsong”/”ancek”/”angsur”. Yang berisi kue-kue dan
tempat dong-dang yang berisis makanan, petugasnya adalah Nyi Kotif
Agung, Nyi Kaum dengan disaksikan oleh para Ratu/family kasultanan.

2) Di Gedung Bangsal Prabayaksa yaitu sebelah utara bangsal dalem dan


di bangsal Pringgadani (sebelah utara bangsal Prabayaksa),
diperuntukan bagi para undangan di tengah ruangan dilowongkan
untuk deretan upacara, terus dari Jinem ke Sri Manganti.

Adapun urutan-urutan dan atribut-atribut yang digunakan dalam upacara Panjang


Jimat ini adalah :

A. Beberapa lilin dipasang di atas standartnya (dahulu pakai dlepak/dian)


B. Dua buah Manggaran, dua buah Nagan dan dua buah Jantungan.
C. Kembang Goyak (Kembang bentuk sumping) 4 (empat) kaki.
D. Serbad dua buah guci dan dua puluh botol bir tengahan.
E. Boreh/Parem.
10
F. Tumpeng.
G. Ancak Sanggar (panggung) 4 buah yang keluar dari pintu Bangsal
Pringgandani.
H. 4 buah dongdang berisi masakan, menyusul belakangan, keluar pintu Barat
Bangsal Pringgandani pula, ke teras Jinem.

Pada puncak malam 12 Rabiul Awal, yang oleh masyarakat Cirebon disebut dengan
malam pelal inilah diadakan ritual seremonal Panjang Jimat dengan mengarak berbagai
macam barang yang sarat akan makna filosofis, diantaranya barisan orang yang mengarak
nasi tujuh rupa atau nasi jimat dari Bangsal Jinem yang merupakan tempat sultan bertahta ke
masjid atau mushala keraton, yang memiliki makna filosofis sebagai hari kelahiran nabi yang
suci yang dilambangkan melalui nasi jimat ini. Nasi jimat sendiri konon berasal dari beras
yang disisil (proses mengupas beras dengan tangan dan mulut) selama setahun oleh abdi
keraton perempuan yang sepanjang hidupnya memutuskan untuk tidak pernah menikah atau
disebut juga dengan perawan sunti.

Nasi Jimat itu diarak dengan pengawalan 200 barisan abdi dalem yang masing-
masing dari mereka membawa barang-barang yang memiliki simbol-simbol tertentu seperti
lilin yang bermakna sebagai penerang, kemudian nadaran, manggar, dan jantungan yang
merupakan simbol dari betapa agung dan besarnya orang yang dilahirkan pada saat itu, yakni
Nabi Muhammad SAW. selanjutnya, di belakang orang-orang yang membawa jantungan dan
sebagainya itu, menyusul barisan abdi dalem keraton yang membawa air mawar dan
kembang goyang yang melambangkan air ketuban dan ari-ari sang jabang. Kemudian di
barisan berikutnya, ada abdi dalem keraton yang pembawa air serbat yang disimpan di 2 guci
yang melambangkan darah saat bayi dilahirkan. Kemudian 4 baki yang menjadi lambang 4
unsur yang ada dalam diri manusia, yakni angin, tanah, api dan air
.
Iring-iringan ini yang berawal dari Bangsal Prabayaksa akan menuju satu tempat
yakni Langgar Agung di mana nantinya akan di sambut oleh pengawal pembawa obor yang
yang bisa dimaknai sebagai sosok Abu Thalib, sang paman nabi ketika beliau menyambut
kelahiran keponakannya lahir yang pada saatnya kemudian tumbuh menjadi manusia agung
pengemban amanat dari Tuhan untuk menyebarkan agama Islam.Sesampainya di sana
langgar agung itu, nasi jimat tujuh rupa itu kemudian dibuka berikut sajian makanan lain
termasuk makanan yang disimpan dalam 38 buah piring pusaka. Piring pusaka ini dikenal
amat bersejarah dan paling dikeramatkan karena merupakan peninggalan Sunan Gunung
Djati, dan berusia lebih dari 6 abad. Di Langgar Agung ini dilakukan shalawatan serta
pengajian kitab Barjanzi hingga tengah malam.

Pengajian dipimpin imam Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan. Setelah
itu makanan tadi disantan bersama-sama. Di sinilah kejadian unik berlaku. Rakyat yang
berjubel-jubel di luar masjid, berusaha berebutan menyalami atau sekadar menyentuh tangan
PRA Arief, Sultan Kasepuhan. Dalam keyakinan masyarakat, bila berhasil menyentuh calon
Sultan tersebut, maka ia akan mendapatkan berkah dalam kehidupannya. Tak heran bila PRA
Arief mendapat pengawalan ketat dari pengawal keraton.

11
2. Perubahan Panjang Jimat

Pelaksanaan upacara Panjang Jimat sekarang mengalami perubahan atau


pergeseran. Secara umum perubahan pelaksanaan Panjang Jimat tersebut bukan terletak pada
struktur upacaranya tapi dalam bentuk permukaannya. Perubahan penyelenggaraan dalam
bentuk permukaannya banyak berubah dilakukan untuk mendukung program pemerintah
yakni pariwisata dan pembangunan. Sedangkan mengenai tujuan, kesakralan, struktur secara
intern masih tetap terjaga. Prosesi upacara masih lengkap meskipun sedikit ada
penyederhanaan.

Seperti yang telah diketahui bahwa upacara Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan
sudah ada sejak jaman dahulu dan sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat
Cirebon. Hal ini khususnya dikarenakan masyarakat masih memegang teguh adat istiadat
ataupun kebiasaan akan tradisi yang diwariskan turun temurun. Secara prinsip, upacara
panjang Jimat tetap dilakukan dari tahun ke tahun, namun dalam pelaksanaannya lebih
ditingkatkan yakni dilaksanakan dengan lebih besar, meriah, diisi dengan program
pembangunan dan dikaitkan dengan pariwisata. Terdapat suatu indikasi bahwa hal ini
disebabkan karena sudah memasuki jaman globalisasi yang serba modern.

Akibat dari globalisasi tersebut menyebabkan upacara Panjang Jimat yang


merupakan salah satu adat atau kultur Keraton kasepuhan juga mengalami perubahan. Hal ini
sebenarnya tidak menjadi masalah karena meskipun mengalami perubahan tapi tetap
mempunyai struktur, tujuan, esensi yang sama dengan pelaksanaan grebeg maulud dahulu.
Nilai kesakralan dan getaran emosi masyarakat masih tetap ada.

Selanjutnya jika dilihat perubahan dalam pelaksanaan upacara Panjang Jimat


saat ini terletak pada bentuk luarnya yaitu untuk mendukung program pariwisata dan
pembangunan seperti diketahui bahwa sebelum upacara dimulai dengan pesta rakyat
menyongsong perayaan Panjang jimat, yakni berupa keramaian untuk hiburan masyarakat.
Apabila jaman dahulu dalam Panjang Jimat ini tidak ada keramaian berupa pasar malam dan
para pedagang, maka sekarang mereka ada dan sangat ramai sekali.
Pekan raya atau pasar malam yang dipergunakan untuk kepentingan pariwisata dan
pembangunan, antara lain:

a. Sebagai arena rekreasi bagi masyarakat misalnya; sirkus, arena permainan anak-anak,
panggung kesenian (musik) dan lain-lain

b. Sebagai forum informasi dan komunikasi tentang kebijaksanaan yang dapat diperoleh
dari eksposisi atau pameran dari instansi pemerintah

c. Sebagai sarana melestarikan kesenian kebudayaan daerah. Untuk itu disediakan


panggung kesenian daerah, pentas kesenian daerah dan lainnya.

Pasar malam tersebut dipakai sebagai ajang berjualan bagi para pedagang seperti
penjual makanan, minuman, mainan anak-anak, pakaian, sepatu, bunga dan lainya. Akibat

12
adanya pasar malam dalam perayaan sekaten membuat susana menjadi meriah dan ramai.
Disamping itu dalam kegiatan pasar malam tersebut juga diadakan kegiatan keagamaan
khususnya agama islam. Kegiatan keagamaan itu antara lain santapan rohani melalui menara
siaran, pengajian umum, pameran keagamaan. Pentas seni keagamaan, tabligh di masjid besar
dan lainnya.

Hal utama yang paling terlihat adalah maksud dan tujuan masyarakat khususnya
generasi muda yang akan datang ke acara Panjang Jimat ini. Pada masa Syarif Hidayatullah
ketika Panjang Jimat ini diadakan masyarakat memang benar-benar khusyuk mengikuti ritual
Panjang Jimat ini dan mendengarkan ilmu agama dari tabligh yang diadakan oleh ulama.
Sekarang keadaannya bergeser, mereka malah lebih bertujuan untuk mengunjungi pasar
malam khususnya anak-anak remaja. Memang masih banyak golongan tua yang benar-benar
berniat untuk mengikuti Panjang Jimat ini secara keseluruhan, namun kebanyakan dari
generasi mudanya hanya ingin datang ke pasar malamnya saja.

Upacara Panjang Jimat dalam bentuk luarnya telah mengalami pergeseran khususnya
dari kalangan anak muda yang kurang memperhatikan kesakralan dari makna Panjang Jimat
itu sendiri. Demikian adalah beberapa perubahan yang terjadi pada pelaksanaan upacara
Panjang Jimat saat ini. Tampak dalam perubahannya bukan yang menyangkut strukur tapi
yang mendukung pariwisata dan pembangunan secara prinsipil kesakralan, tujuan, nilai serta
struktur dalam upacara grebeg tidak mengalami perubahan.

Meskipun dalam prosesi upacara ada sedikit perbedaan hal tersebut disebabkan
karena perubahan jaman, dianggap lebih praktis, ekonomis, sehingga dalam pelaksanaan
upacara ada sedikit perkembangan bila dibandingkan dengan dahulu.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Upacara Maulid Nabi adalah suatu bentuk kebudayaan tradisional. Maulid Nabi
merupakan suatu salah satu bentuk rasa cinta umat kepada Rasul Nya. Awal mula dari
Maulid Nabi ini, pertama kali oleh penguasa bani Fatimah yang pertama menetap di Mesir
kemudian sampai ke Indonesia atas jasa Sultan Salahuddin Al Ayyubi Khalifah dari dinasti
Abbasiah, di Jawa tradisi Maulid Nabi telah ada sejak zaman walisongo sedangkan di
Cirebon sendiri Maulid Nabi setelah Sultan Syarief Hidayatullah berkuasa. Proses dari
Maulid Nabi ini sama seperti upacara lainnya. Dalam proses Maulid Nabi ini terdapat
beberapa lilin yang dipasang di atas standar, manggara, nagam, jantungan Tumpeng yang
mendukung upacara Maulid Nabi.

Dengan berkembangnya jaman yang semakin modern dan mengarah ke


globalisasi, maka Maulid Nabi juga mengalami perubahan. Di aspek sosial Maulid Nabi
sekarang lebih mendukung kepada pariwisata dan pembangunan namun secara prinsipil
kesakralan, tujuan, nilai serta struktur dalam upacara grebeg tidak mengalami perubahan.
Meskipun dalam prosesi upacara ada sedikit perbedaan hal tersebut disebabkan karena
perubahan jaman, dianggap lebih praktis, ekonomis, sehingga dalam pelaksanaan upacara ada
sedikit perkembangan bila dibandingkan dengan dahulu. Di aspek ekonomi Maulud Nabi
yang dahulu merupakan sebuah upacara peringatan kelahiran nabi Muhammad Saw saja yang
di dalamnya terdapat ritual-ritual khusus sebagai simbol untuk meneladani kerasulannya kini
dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat mencari rezeki.

B. Saran
Sebagai masyarakat yang berbudaya dan menghormati perbedaan kebudayaan
disekitar kita, sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikan budaya-budaya di sekitar kita.
Terutama tradisi di wilayah kota cirebon khususnya tradisi panjang jimat yang sampai saat ini
masih terjaga keasliannya sebagai salah satu budaya Indonesia yang patut dibanggakan.

DAFTAR PUSTAKA

14
http://silihasih.blog.com/sejarah-cirebon/
http://portalcirebon.blogspot.co.id/2011/02/tradisi-panjang-jimat-keraton-
cirebon.html
Sulendraningrat, P.S.1985.Sejarah Cirebon.Jakarta:PN BalaiPustaka

15

Anda mungkin juga menyukai