DISUSUN OLEH :
Nama : Nayela Jacinda Putri
No. Absen : 14
Kelas : XI Bahasa
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................1
1.2 Tujuan......................................................................................................1
BAB II.................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN.....................................................................................................2
2.1 Asal Usul Suku Kerinci...........................................................................2
2.2 Administrasi pemerintahan....................................................................2
2.3 Tradisi Suku Kerinci.............................................................................. 7
2.3.1 Upacara Adat.........................................................................................7
2.3.2 Upacara Perkawinan.............................................................................8
2.4 Hubungan Kekerabatan.......................................................................10
2.5 Kondisi Geografis dan Mata Pencaharian..........................................12
2.6 Bahasa dan Kesenian............................................................................14
BAB III..................................................................................................................15
PENUTUP.............................................................................................................15
3.1 KESIMPULAN...........................................................................................15
3.2 SARAN........................................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Suku Kerinci
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa suku Kerinci termasuk kelompok
suku bangsa asli yang pada awalnya datang ke Sumatra. Kelompok tersebut
kemudian dikenal dengan 'Kecik Wok Gedang Wok' yang diduga telah berada di
wilayah 'Alam Kerinci' semenjak 10.000 tahun yang lalu. Nama Kerinci berasal
dari bahasa Tamil, yaitu nama bunga kurinji (Strobilanthes kunthiana) yang
tumbuh di India Selatan pada ketinggian di atas 1800m yang mekarnya satu kali
selama dua belas tahun. Karena itu Kurinji juga merujuk pada kawasan
pegunungan. Dapat dipastikan bahwa hubungan Kerinci dengan India telah
terjalin sejak lama dan nama Kerinci sendiri diberikan oleh pedagang India Tamil.
2
Kemudian terjadi perubahan sistem pemerintahan sigindo untuk bebeapa
wilayah sigindo, namun sifatnya hanya terbatas atau tidak secara keseluruhan di
wilayah sigindo. Pada sistem pemerintahan Pamuncak berlaku dengan pola yang
sama namun gelar sebutannya agak berbeda dengan sebelumnya menggunakan
nama sigindo. Negara dengan sistem pamuncak ini antara lain, Kerajaan
Pamuncak nan Tigo Kaum (Kerajaan Manjuto) yang terdiri dari Pamuncak Tuo di
Pulau Sangkar, Pamuncak Tengah di Tanjung Kaseri (Serampas), Pamuncak
Bungsu di Koto Tapus (Sungai Tenang). Masa sistem pemuncak adalah sejak
awal abad ke 13 Masehi sampai dengan akhir abad ke 13 M. Namun sampai
berjalannya pemerintahan selama satu abad tersebut belum diperoleh informasi
mengenai siapa pimpinan adat dari awal berdirinya sampai berakhirnya masa
pemerintahan pamuncak, informasi yang diperoleh hanya salah satu pimpinan
adat terakhir saja yang banyak diketahui. Namun Daerah pamuncak lain adalah
Pamuncak Pulau Rengas dan Pamuncak Pemenang – Pemberab, lahir kemudian
karena tidak menganut sistem kedepatian melainkan gelar pemimpin adatnya
adalah “Pemangku” maka nama pamuncak di dua daerah ini tidak mengalami
perubahan.
Di antara sumbangan pemikiran dalam pembenahan sistem dan struktur
pemerintahan adalah dalam hal penyempurnaan gelar pejabat atau pemangku adat.
Maka masuklah beberapa istilah Jawa ke dalam ketatanegaraan masyarakat
Kerinci seperti: kata (A)depati, (Te) menggung, (Per) menti, (Pe) mangku, Rio,
Ngabi, Kaluhan, Ngalawe, Mendapo, dan lain-lain. Dengan adanya asimilasi
penduduk pendatang terutama dari Jawa ke dalam struktur pemerintahan Sigindo
sehingga menyebabkan terjadinya perubahaan dalam ketatanegaraan dan sistem
pemerintahan. Pimpinan adat dinamakan Depati yang menguasai dusun atau
beberapa dusun.
Semenjak itu pula maka sistem kemasyaratan di Alam Kerinci mengalami
perubahan nama bagi pemimpin adat mereka. Nama “depati’ digunakan untuk
menggantikan nama sigindo dan pamuncak. Masing-masing wilayah sigindo dan
pamuncak bermunculan pemimpin wilayah yang bergelar depati. Gelar Depati ini
digenapi dengan mengangkat pimpinan depati dan depati-depati pendukung
pimpinan yang sering pula diistilahkan dengan istilah ‘kemerkan atau kembang
rekan’. Sehingga pimpinan adat tidak berjalan sendiri, beliau dibantu oleh depati-
depati kembang rekan.
Daerah kekuasaan masing-masing sigindo sebelum zaman depati di sekitar
wilayah negeri masing tempat duduknya penguasa-penguasa tersebut. Jadi
masing-masingnya merupakan penguasa dari kelompok-kelompok masyarakat yg
tidak begitu besar. Fungsi nasing-masing mereka bukan pula sebagai seorang raja
absolut, tetaoi hanya sebagai tua kampung atau kepala suku.
Dalam masa pemerintahan sigindo ini, Kerinci telah mengenal hubungan
dengan daerah-daerah luar. Adapun orang-orang luar yang penting masuk ke
Kerinci dan kemudian menetap di Kerinci waktu itu antara lain:
3
1. Sultan Maharaja Hakekat, keturunan raja Pagarruyung. Beliau diutus ke Kerinci
untuk menyebarkan Agama Islam, menetap di Tamiai dengan nama Raden
Serdang (lihat Tambo Raden Serdang). Beliau kawin dengan anak Sigindo Bauk,
sesuai dengan adat setempat beliau berhak menerima gelar adat dan berhak pula
menggantikan mertuanya sebagai kepala adat setempat. Nama Sigindo Bauk
akhirnya diganti dengan nama Depati Muaro Langkap.
2. Indra Jati, berasal dari Kerajaan Minangkabau dan keturunan Mengkudum di
Sumanik (lihat tambo Indrapura). Sama halnya dengan Raden Serdang, beliau
kemudian diangkat menjadi pimpinan adat di Tanah Hiyang (Klerk. 1890). Gelar
kebesaran yang dianugerahkan kepada Indra Jati gelar Depati Atur Bumi. Oleh
karena beliau kawin dengan anak sigindo Kuning di Seleman, maka beliau juga
menyandang gelar Depati Batu Hampar.
3. Raja Keninting, adik raja Minangkabau Tuanku Syah Alam. Dengan melalui
Indrapura beliau sampai di negeri Banto. Dalam perjalanan selanjutnya di daerah
Batang Merangin beliau bertemu Raden Serdang di Tamiai. Kemudian anak Raja
Keninting bernama Sigindo Batinting kawin dengan Puti Unduk Pinang Masak
yang berasal dari Pagarruyung. Pada zaman depati gelar tertinggi yang memimpin
wilayah sigindo Batinting atau Pamuncak Tuo adalah Depati Rencong Telang.
4. Lain halnya dengan Sigindo Teras yang berada di Pengasi, beliau adalah
penduduk asli daerah tersebut dan seiring dengan perkembangan wilayah, gelar
sigindo teras berubah nama menjadi Depati Biang Sari.
Tentang waktu kedatangan ke tiga orang di atas tidak begitu jelas namun
mereka datang ke Kerinci dalam waktu yang tidak berbeda jauh. Pada sekitar
tahun 1280 M masing-masing mereka sudah menyandang gelar sigindo. Pada
masa pemerintahan Sigindo ini, agama Islam telah berkembang di Kerinci.
Perkembangan selanjutnya dikatakan bahwa nama itu kemudian menjadi
berubah sesudah adanya penyatuan netral Kerinci sebagai akibat dari ada dua
kiblat pemerintahan yang selalu berusaha untuk merangkul Kerinci sebagai bagian
dari negara atau pemertintahannya, yaitu Kerajaan Melayu Dharmasraya yang
sudah dari awal ingin mengontrol Kerinci, ini ditandakan ditemukannya Kitab
Undang-Undang Tanjung Tanah oleh Uli Kozok, yang di dalam uraiannya
tercantum bahwa UU itu dibuat semasa Kerajaan Melayu Dharmasraya pada abad
ke 13 dan dikirim ke penguasa di Kerinci untuk diterapkan kepada seluruh
masyarakat Kerinci.
Menghadapi kekuatan besar kerajaan Melayu Dharmasraya mempengaruhi
Pemerintahan Depati IV Alam Kerinci tersebut, maka pemerintahan ini selalu
melakukan reposisi kondisi internal daerah dan negara secara keseluruhan.
Penguatan institusi terjadi secara terus menerus, pimpinan adat diperkuat
dengan menambah perangkat adat lainnya. Misalnya untuk kepentingan dan
kekuatan wilayah Depati Atur Bumi, maka ditambah pula beberapa depati seperti
4
Depati Batu Hampar adalah pimpinan wilayah secara internal memimpin urusan
dalam wilayah mereka. Bila ada urusan keluar atas nama wilayah maka yang
dibawa nama adalah Depati Atur Bumi. Di wilayah Rencong Telang juga
berkembang banyak depati, antara lain Depati Telago, Depati Sangkar dan
lainnya. Untuk urusan internal dalam wilayah Depati Rencong Telang maka
secara internal dipimpin oleh Depati Telago, namun kalau ada urusan yang
berhubungan dengan negara konfederasi (Depati IV Alam Kerinci) maka gelar
yang dibawa keluar oleh Depati Talago adalah Depati Rencong Telang.
Tidak itu saja ada kesepakatan bahwa siapa saja yang ditunjuk oleh
kerapatan adat, depati yang ditunjuk mewakili wilayah harus membawa keluar
nama kebesaran Depati Rencong Telang. Demikian pula di Tamia, untuk urusan
internal dibentuk Depati Muncak, Depati Miai, Depati Brau dan lainnya. Untuk
urusan pemerintahan sehari-hari dipimpin oleh Depati Muncak, sedangkan untuk
kepentingan pemerintahan Depati IV Alam Kerinci gelar yang disandang oleh
Depati Muncak atau yang lainnya adalah Depati Muara Langkap. Gelar kebesaran
untuk wilayah Serampas adalah Depati Sri Bumi Putih. Gelar kebesaran wilayah
Sungai Tenang adalah Depati Purwo Menggalo. Demikian seterusnya untuk
wilayah-wilayah di Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Lengkapnya seperti
berikut ini:
5
2. Depati Karan Pandan
3. Depati Langit
6
H. Lembaga Adat Wilayah Depati Setio Rajo
1. Depati Setio Rajo
7
masyarakat dengan para pemimpinnya dan masyarakat kampung lain.
Sebagaimana tertuang dalam pantun adat: ijuk jadikan sapu, ambil buluh jadi
pelupuh, bersatu kita padu, bercerai kita rubuh.Kesadaran untuk melakukan
pembangunan manusia seutuhnya, membangun fisik dan mental, kepala diisi
dengan ilmu pengetahuan, dada dipenuhi dengan iman dan taqwa sehingga
melahirkan kesadaran yang tinggi, menimbulkan kejujuran yang mantap.
8
Suku Kerinci. Kulok perkawinan Suku Kerinci memiliki unsur-unsur,
diantaranya adalah 2 susun cincin kulok (sangkul), lidah kulok dengan maco
4 warna, 7 sirih layang, 7 kunci, turai dan bunga aut. Namun kulok
mengalami perubahan dari masa ke masa. Pada tahun 1978 unsur-unsur kulok
yang digunakan pada saat upacara perkawinan masih lengkap, Pada tahun
1981, bunga aut dan turai pada kulok tidak lagi digunakan saat upacara
perkawinan. Pada tahun 1994, 7 kunci, bunga aut dan turai mulai hilang
dalam penggunaannya dalam perkawinan suku Kerinci, selanjutnya pada
tahun 2001 unsur-unsur kulok mulai berubah bentuk, bentuk sirih layang, dan
7 kunci mengalami perubahan bentuk, maco 4 warna, turai dan bunga aut
tidak lagi digunakan. Terakhir pada tahun 2017 unsur-unsur kulok terdiri dari
sangkul, 7 kunci , lidah kulok, turai dan bunga aut. Sedangkan maco 4 warna
tidak lagi digunakan, sirih layang juga mengalami perubahan bentuk.
Akad nikah biasanya dilakukan di rumah pengantin wanita, atau di
mesjid. Pada zaman dahulu dilakukan di rumah pengantin wanita. Namun
saat ini, sebagian masyarakan melaksanakan akad nikah di masjid. Pengantin
pria bersama rombongan datang ke rumah pengantin wanita, yang dihadiri
oleh ninik mamak (orang adat). Maka di adakanlah akad nikah secara Islam.
Yang dihadiri oleh penghulu, wali,dan saksi-saksi. Setelah acara akad nikah
selesai, maka para keluarga ke dua belah pihak makan bersama/ syukuran di
acara kenduri pernikahan. Keluarga yang menyediakan makanan adalah pihak
perempuan yang telah menyiapkan semua hidangan.
Setelah acara kenduri selesai, biasanya diadakan tari rentak kudo, sebagai
hiburan untuk keluarga dan masyarakat. Setelah selesai acara hiburan, maka
pengantin pria kembali pulang ke rumahnya, dan keluarganya semua. Karena
besok pagi akan di adakan upacara penjemputan pengantin pria oleh
pengantin wanita beserta keluarganya.
Acara yang paling pokok dalam perkawinan menurut adat istiadat
mempersandingkan pengantin wanita dan pengantin pria di pelaminan dengan
disaksikan oleh para tamu yang hadir. Untuk itulah pihak pengantin wanita
bersama keluarga besarnya datang menjemput pengantin pria, dengan diarak
menuju rumah pengantin pria. Pada upacara ini, pengantin menggunakan
pakaian adat Kerinci. Pakaian pengantin wanita berupa, baju kurung, kain
singket, hiasan kepala (kuluk), asesoris lain, sedangkan pakaian pengantin
pria menggunakan baju teluk belango, topi adat dan memakai selempang,
kain songket, serta keris.
Selama di perjalanan menuju rumah pengantin wanita, sekelompok ibu-
ibu menyanyikan syair lagu-lagu Kerinci, yang berisikan pantun-pantun, yang
biasa disebut dengan Talea. Talea ini di iringi dengan musik berupa rebana
besar. Setelah sampai dirumah pengantin pria, para rombongan disambut
dengan berbalas pantun antara dua belah pihak di depan rumah. Selanjutnya,
rombongan pengantin wanita dan penjemput dipersilahkan naik kerumah
9
pengantin pria. Kedua pengantin disandingkan di pelaminan. Keluarga
pengantin pria, menyediakan makanan untuk para tamu.
Setelah selesai upacara penjemputan, pengantin wanita dan pria, diarak
kembali menuju rumah mempelai wanita. Rombongan keluarga pengantin
pria, membawa seserahan berupa, kasur, bantal, selimut, perlengkapan mandi,
kosmetik, dan sebagainya. Sesampai di rumah pengantin wanita, pengantin
disandingkan kembali. Para utusan keluarga kedua belah pihak, kembali
berbalas pantun. Adapun isi dari pantun tersebut bermakna, keluarga
pengantin pria, menyerahkan atau mengantar pengantin pria untuk tinggal
dirumah pengantin wanita.
Berkaitan dengan sistim kekerabatan matrilineal, setelah upacara
pernikahan usai diselenggarakan, maka suami tinggal di rumah istrinya.
Sungguhpun ia bertempat kediaman di rumah sang isteri, bukan berarti ia
menjadi kepala keluarga dirumah isterinya. Dirumah isterinya berkedudukan
sebagai semenda (uhang sumendo).
10
Kata ganti orang kedua sering digunakan ketika berbicara langsung dengan
orang lain. Penggunaan kata ganti orang kedua ini sangat ditentukan oleh umur
dari lawan yang diajak bicara. Bila lawan bicara berumur lebih tua dari kita, maka
kata ganti yang digunakan adalah kayo artinya kamu, tetapi dalam tingkatan kata
ganti yang paling sopan. Kata kayo ini digunakan baik bagi lelaki atau
perempuan.
Bila lawan bicara sebaya atau setara dengan kita, maka kata ganti yang
digunakan adalah "iko" artinya juga kamu. Kata ganti ini juga digunakan oleh
orang yang lebih tua untuk menyapa orang yang lebih muda secara sopan. Selain
kata "iko", sering juga digunakan kata "awak" namun kata "awak" dapat
bermakna ganda, bisa sebagai kata ganti orang pertama atau kata ganti orang
kedua, semuanya tergantung konteks pembicaraan.
Bila lawan bicara berusia jauh lebih muda dari kita, anak-anak dan remaja
maka kata ganti yang digunakan adalah "mpoun" dan "ka'u". Mpoun digunakan
untuk laki-laki sementara ka'u digunakan untuk perempuan. Meskipun ada dusun
yang menggunakan kata mpu,mpun atau mpoun ini untuk laki-laki maupun
perempuan.
Sapaan kekerabatan adalah kata sapaan bagi anggota kerabat yang lain dalam
sebuah keluarga terutama yang berusia lebih tua dari kita. Sapaan tersebut sangat
tergantung dari urutan kelahiran seseorang.Anak ke-1 disebut sebagai Tuwo atau
Uwo, anak ke-2 disebut sebagai T'ngah atau Ngah, anak ke-3 disebut sebagai
Pandak atau Andak, anak ke-4 disebut sebagai Putih atau Utih, anak ke-5 disebut
sebagai Kitam atau Itam, anak ke-6 disebut sebagai Knek atau Nek, dan anak
bungsu disebut sebagai Knsu atau Nsu.
Kata sapaan Ibu dalam bahasa Kerinci disebut sebagai Indouq atau Ndouq.
Saudara ibu yang laki-laki disebut sebagai Tuwan atau Mamak. Bila saudara laki-
laki ibu lahir pada urutan pertama maka disebut dengan Tuwan Tuwo dan begitu
seterusnya dengan memperhatikan urutan lahir. Saudara perempuan ibu yang
lebih tua juga disebut sebagai Indouq ditambah dengan sapaan urutan lahir.
Misalnya, bila saudara perempuan ibu yang lebih tua lahir diurutan kedua maka
dipanggil sebagai Indouq T'ngah.
Sementara itu, saudara perempuan ibu yang lebih muda disebut sebagai Nde
atau Nday. Kata sapaan di atas umumnya digunakan oleh generasi tua, sementara
generasi saat ini sudah banyak mengganti kata sapaan Indouq menjadi amak atau
mak. Sedangkan kata Nday atau Nde diganti dengan kata Itek.
Kata sapaan Bapak dalam bahasa Kerinci disebut sebagai ayah, apak, abak.
Saudara ayah yang perempuan disebut sebagai Datung atau Latung disertai
dengan pertimbangan urutan lahir misalnya datungtuwo, datungknek dan
seterusnya. Sementara itu, saudara ayah yang laki-laki juga disebut sebagai apak
dengan mempertimbangkan urutan lahir (misalnya Pak Tuwo, Pak Tngah, Pak
11
Andak dan seterusnya). Bila usianya lebih muda dari usia ayah kita maka disebut
sebagai Pak Cik.
Kakek dan Nenek dalam bahasa Kerinci disebut sebagai Nyantan dan Tino.
Orangtua dari Nyantan dan Tino disebut sebagai Muyang, orangtua dari muyang
disebut sebagai Piyut. Generasi di atas piyut disebut sebagai tentah. Orang Kerinci
jarang bertemu dengan generasi kelima di atas mereka yang masih hidup sehingga
disebut sebagai tentah yang berasal dari kata Nyantan Entah (kakek yang tidak
diketahui lagi).
Anak dari saudara perempuan ayah atau saudara laki-laki ibu yang
berlawanan gender dengan kita disebut Pubisan atau Suku Duwo. Sementara itu,
yang memiliki kesamaan gender disebut sebagai Ipa(r).
Saudara-saudara satu generasi yang lebih tua dari kita baik laki-laki dan
perempuan dipanggil berdasarkan urutan lahirnya saja. Namun generasi saat ini,
sudah banyak yang menggantinya dengan istilah abang (untuk laki-laki) atau uni
(untuk perempuan).
Suami dari datung dipanggil sebagai mamak begitu pula sebaliknya istri dari
mamak dipanggil sebagai datung. Suami dari saudara perempuan istri kita disebut
sebagai Luway atau Duway. Istilah ini juga berlaku bagi umum bagi uhang
semendo (para suami) lain yang istrinya satu generasi dengan istri kita dalam
sebuah suku atau klan. Sementara itu, saudara perempuan dari istri kita disebut
sebaagai kido.
Di Kerinci ada semacam larangan untuk menyebut nama seseorang secara
langsung sebagai salah satu adat kesopanan. Biasanya, penyebutan nama secara
langsung berlaku bagi mereka yang belum menikah, sesuai dengan pepatah adat
"kcik benamo, gedang bagela" (kecil bernama, besar bergelar).
Bila seseorang sudah menikah maka yang disebut adalah nama suami atau
istrinya misalnya Laki Si Anu atau Bini Si Anu. Bagi yang sudah memiliki anak
atau cucu biasanya dipanggil disertai dengan nama anak atau cucu mereka yang
paling tua. Misalnya Indouq Ali (Ibunya Ali), Nyantan Fatimah (Kakeknya Si
Fatimah).
Para orangtua yang sudah uzur (setingkat nyantan, tino dan muyang)
dipanggil dengan nama aliasnya. misalnya Hangtuo Tinggi (didasarkan pada
postur tubuhnya yang tinggi), Hangtuo Gundok (didasarkan pada posturnya yang
gemuk) dan lain sebagainya.
12
hampir menyerupai kuali, sehingga letak pemukiman serta tempat mata pencarian
berada ditengah tengah bukit serta pegunungan.
Pegunungan serta bukit yang melingkungi bumi alam Kerinci antara lain
gunung Kerinci (dengan ketinggian 3.805.M.dpl) merupakan gunung berapi
tertinggi dan paling aktif di Pulau Sumatera,gunung kunyit dan gunung raya)
sedangkan bukitnya antara lain bukit gajah.bukit tiong,bukit siru,bukit tapan,bukit
sitinjau,dll.
Dataran tinggi dan lembah lembah yang berada di alam Kerinci merupakan
daerah yang sangat subur dan memiliki hutan belantara yang lebat dan dihuni
beragam flora dan fauna langka seperti gajah,harimau, rusa, kijang, kancil, napuh,
serta puluhan jenis burung dan primata.
Penduduk suku Kerinci disamping berusaha dilapangan pertanian dengan
menggarap lahan sawah dan perkebunan kopi dan casiavera serta pertanian
holtikultura juga melakukan usaha kegiatan peternakan secara tradisional dengan
mengusahakan peternakan kerbau,sapi(jawi),kuda kambing,biri biri,ayam,dan itik
khas Kerinci. Khusus untuk ternak sapi dan kerbau disamping untuk di konsumsi
dan dijual juga dimanfaatkan sebagai sarana transportasi dan digunakan sebagai
alat pembantu untuk kegiatan pertanian disawah,kedua jenis ternak ini digunakan
untuk membajak lahan persawahan.
Secara geografis keadaan alam pemukiman suku Kerinci berupa dataran
tinggi,dengan ketinggian antara 900 -1.500. M.Dpl dengan curah hujan rata rata
berkisar 3.000 – 4.000.M3 pertahun dengan suhu maksimum 28 Derajat Celcius.
letak pemukiman penduduk berada dibawah lereng gunung dan diatas areal
persawahan,sehingga secara keseluruhan daerah pemukiman orang Kerinci
bentuknya hampir menyerupai kuali yang dikelilingi oleh bukit bukit dan gunung
gunung,kondisi dan kontur lahan pemukiman alam Kerinci memiliki kesamaan
dengan Bandung ibukota Propinsi Jawa Barat.
Diantara suku suku asli yang ada di Propinsi Jambi,suku Kerinci memiliki
jumlah penduduk yang relatif lebih banyak, disamping tingkat kepadadatan cukup
padat dibandingkan dengan Kabupaten lain selain Kota Jambi,masyarakat suku
Kerinci memiliki taraf pendidikan yang cukup baik, pada dekade tahun 1970 an
hingga menjelang akhir tahun 1990 an jumlah warga suku Kerinci yang berhasil
meraih gelar sarjana lebih banyak dibandingkan dengan penduduk suku suku asli
lainnya di Jambi bahkan puluhan putra terbaik alam Kerinci mampu meraih
prestasi pendidikan dan jabatan tinggi baik yang berkarir dibidang pendidikan,
dunia usaha, PNS, Politisi, maupun Militer.
Potensi lahan alam yang indah dan subur membuat negeri ini oleh pujangga
diumpamakan Sekepal tanah surga yang tercampak kedunia,alam kerinci yang
elok dan permai serta tanahnya yang subur memberikan peluang besar
masyarakatnya untuk bergerak disektor pertanian
Bentuk usaha pertanian dimaksud dapat dibagi atas jenis usaha
bersawah,berladang dan berkebun,lebih dari 85% dari total penduduk di alam
13
Kerinci bergerak di bidang pertanian (bersawah) mata pencarian lain adalah
berladang dengan menanam kopi,casiavera,cengkeh dan tembakau, disamping itu
masyarakat juga mengusahakan lahan lahan dengan menanam palawijaya seperti
kentang, tomat, sayur mayur, kacang kacangan. dll.
Untuk dapat menghasilkan produksi khususnya bercocok tanam
padi,masyarakat petani menggunakan alat,antara lain berupa: cangkul yang
menyerupai /mempunyai bentuk huruf L dengan ukuran 1M, yang terdiri dari
tangkai dan cangkul itu sendiri.
Bajak yang digerakkan dengan menggunakan alat bantu ternak kerbau atau
sapi,sedangkan wadah yang digunakan merupakan alat produksi untuk
menyimpan,menimbun,dan memuat hasil padi,macam macam alat bantu produksi
itu adalah patting,jangki,ambung,anai anai,kincir padi,umbir, niru,rumah bilik
padi dan masyarakat petani di alam Kerinci memiliki beberapa jenis padi antara
lain padi ekor tupai,padi payo,padi silang minyak dan padi silang rantai yang agak
menyerupai padi ekor tupai.
BAB III
14
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Budaya Kerinci yang merupakan hasil karya masyarakat Kerinci dalam
sejarah perkembangannya telah banyak dikenal di tataran nasional dan
internasional merupakan sumber nilai, inspirasi dan dasar interpretasi kehidupan
bermasyarakat, wajib diaktualisasikan ke dalam proses pembangunan yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah khususnya Pemerintah Kabupaten
Kerinci dan Pemerintah Kota Sungai Penuh yang merupakan institusi
penyelenggara administrasi di Sakti Alam Kerinci.
Budaya Kerinci adalah hasil permufakatan masyarakat atau sekelompok
masyarakat yang digali dari unsur cipta, rasa, dan karsa suku Kerinci, sehingga
tidak ada satupun yang bertentangan dengan kebihinnekaan budaya dan agama di
Indonesia. Karena di Kerinci Agama Islam adalah sumber inspirasi dari budaya
Kerinci.
3.2 SARAN
Berbagai cara dapat dilakukan dalam melestarikan budaya, namun yang
paling penting yang harus pertama dimiliki adalah menumbuhkan kesadaran serta
rasa memiliki akan budaya tersebut, sehingga dengan rasa memiliki serta
mencintai budaya sendiri, orang akan termotivasi untuk mempelajarinya, sehingga
budaya akan tetap ada karena pewaris kebudayaannya akan tetap terus ada. Ada
berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan budaya lokal di
antaranya (Yunus: 2014: 123): (1) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia
dalam memajukan budaya lokal; (2) Mendorong masyarakat untuk
memaksimalkan potensi budaya lokal beserta pemberdayaan dan pelestariannya;
(3) Berusaha menghidupkan kembali semangat toleransi, kekeluargaan,
keramahtamahan dan solidaritas yang tinggi; (4) Selalu mempertahankan budaya
Indonesia agar tidak punah. Mengusahakan agar masyarakat mampu mengelola
keanekaragaman budaya lokal.
15