Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ANTROPOLOGI ETNOGRAFI

BUDAYA SUKU KERINCI

DISUSUN OLEH :
Nama : Nayela Jacinda Putri
No. Absen : 14
Kelas : XI Bahasa

MADRASAH ALIYAH NEGERI 2


TULUNGAGUNG
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ‘Etnografi
Budaya Suku Kerinci” sebagai persyaratan memenuhi tugas Mata Pelajaran
Antropologi.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Agung,
Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di hari kiamat nanti. Tidak lupa
saya ucapkan terima kasih kepada Ibu Erna Dwi Astuti, S.Pd selaku guru
pembimbing Mata Pelajaran antropologi.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih terdapat banyak
kesalahan dan memerlukan penyempurnaan terutama bagian isi. Penulis menerima
segala bentuk kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan makalah. Apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, mohon maaf sebesar-besarnya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat

Tulungagung, 8 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................1
1.2 Tujuan......................................................................................................1
BAB II.................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN.....................................................................................................2
2.1 Asal Usul Suku Kerinci...........................................................................2
2.2 Administrasi pemerintahan....................................................................2
2.3 Tradisi Suku Kerinci.............................................................................. 7
2.3.1 Upacara Adat.........................................................................................7
2.3.2 Upacara Perkawinan.............................................................................8
2.4 Hubungan Kekerabatan.......................................................................10
2.5 Kondisi Geografis dan Mata Pencaharian..........................................12
2.6 Bahasa dan Kesenian............................................................................14
BAB III..................................................................................................................15
PENUTUP.............................................................................................................15
3.1 KESIMPULAN...........................................................................................15
3.2 SARAN........................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki
beranekaragam kekayaan alam yang potensial dari Sabang sampai merauke.
Berbagai macam etnis dengan budaya yang unik dan khas serta berbagai
peninggalan sejarah membuat Indonesia menjadi sebuah daerah tujuan wisata
yang sangat mempesona, khususnya Provinsi Jambi yang merupakan salah satu
daerah tujuan wisata yang memiliki keindahan alam yang sangat memikat serta
yang tak kalah pentingnya yaitu keanekaragaman budaya daerah yang dapat
dijadikan sebagai modal utama untuk mengembangkan sektor pariwisata,
khususnya kebudayaan suku Kerinci yang memiliki ciri khas tersendiri diantara
kebudayaan yang dimiliki oleh suku-suku lainnya yang ada di provinsi Jambi.
Oleh sebab itu, sudah selayaknya kebudayaan suku Kerinci dikenal oleh seluruh
masyarakat agar dapat terus dilestarikan dan dijadikan sebagai salah satu objek
wisata di Provinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Kerinci sendiri.
Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh masyarakat Kerinci yaitu
upacara adat kenduri sko yang merupakan salah satu dari sekian banyaknya
budaya suku Kerinci yang memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri yang masih
hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Kerinci. Dalam pelaksanaan
upacara adat kenduri sko ini sangat banyak sekali keunikan yang menarik untuk
disuguhkan kepada wisatawan sebagai suatu atraksi wisata budaya, mulai dari
cara mengundang, ritual-ritual persiapan, pelaksanaan atau acara puncak, hingga
acara penutupan, serta nilai-nilai yang terkandung dalam prosesi upacara adat
tersebut. Keseluruhan dari tahap demi tahap upacara ini memiliki ritual-ritual
khusus yang harus dilaksanakan setiap tahunnya.
Selain upacara adat kenduri sko, masih banyak upacara-upacara adat
lainnya yang dimiliki oleh daerah ini yang masih sangat natural dan belum dikenal
oleh masyarakat luar, hal ini dikarenakan oleh kurangnya perhatian pemerintah
terhadap objek wisata budaya serta minimnya promosi pariwisata yang dilakukan
oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah kebudayaan Suku Kerinci di Jambi?
1.2 Tujuan
Menganalisis kebudayaan Suku Kerinci di Jambi

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Suku Kerinci
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa suku Kerinci termasuk kelompok
suku bangsa asli yang pada awalnya datang ke Sumatra. Kelompok tersebut
kemudian dikenal dengan 'Kecik Wok Gedang Wok' yang diduga telah berada di
wilayah 'Alam Kerinci' semenjak 10.000 tahun yang lalu. Nama Kerinci berasal
dari bahasa Tamil, yaitu nama bunga kurinji (Strobilanthes kunthiana) yang
tumbuh di India Selatan pada ketinggian di atas 1800m yang mekarnya satu kali
selama dua belas tahun. Karena itu Kurinji juga merujuk pada kawasan
pegunungan. Dapat dipastikan bahwa hubungan Kerinci dengan India telah
terjalin sejak lama dan nama Kerinci sendiri diberikan oleh pedagang India Tamil.

2.2 Administrasi pemerintahan


Sampai pada abad ke 12 Masehi hampir semua sistem pemerintahan di
Alam Kerinci menggunakan sistem pemerintahan sigindo, yaitu pemuka
masyarakat yang menjadi pimpinan dusun. Namun kira-kira semenjak tahun
1280-an semenjak kedatangan pasukan ekspedisi Pamalayu yang sudah
berinteraksi dengan penduduk lokal dalam bentuk perkawinan dan lainnya tidak
berniat untuk kembali ke pulau Jawa. Kemudian sebagian pemimpin mereka yang
mereka yang tidak bersedia untuk pulang ke Jawa, mereka menyebar sampai ke
Alam Kerinci dipimpin oleh Patih Semagat (Raden Serdang) dan tokoh-tokoh
lain. Tentang kedatangan sebagain pasukan Ekspedisi Pamalayu ke Kerinci
tercatat dalam tulisan rencong sko pedandan dusun Tanjung Tanah dan kitab
Daluwang bertulisan Jawa Kuno. Pasukan Ekspedisi Pamalayu yang datang ke
Kerinci semuanya menetap dan akhirnya membaur dan berinteraksi dengan orang
Kerinci walaupun tidak mampu merubah semua tatanan sistem pemerintahan dan
keakraban dalam masyarakat namun banyak terjadi perubahan dan penyesuaian
yang terjadi di alam Kerinci akibat dari kedatangan mereka yang berbeda latar
belakang sosial budaya.
Berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat telah terjadi di Alam
Kerinci. Salah satunya terkait dengan ikatan kumunitas masyarakat adat dalam
dusun yang ternyata sangat kuat di dalam mengatur warganya. Pimpinan larik,
pimpinan dusun dan para tetua dusun sangat kental pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, dusun tidak hanya diatur semata berdasarkan ketentuan
adat tetapi juga telah diatur dengan tata nilai keagamaan. Para pemuka agama
turut memberikan andil yang besar dalam membina masyarakat. Pengaturan dusun
dilakukan pemangku adat yang terjadi mengindikasikan adanya pergeseran sistem
nilai dalam kepemimpinan masyarakat, dimana kekuasaan para Segindo mulai
menjadi kabur dan kurang berpengaruh lagi. Perubahan yang terjadi sudah tentu
menghendaki beberapa penyesuaian dalam sistem tata pemerintahan masyarakat,
baik dalam bentuk pemerintahan dusun, negeri maupun kesatuan negeri.

2
Kemudian terjadi perubahan sistem pemerintahan sigindo untuk bebeapa
wilayah sigindo, namun sifatnya hanya terbatas atau tidak secara keseluruhan di
wilayah sigindo. Pada sistem pemerintahan Pamuncak berlaku dengan pola yang
sama namun gelar sebutannya agak berbeda dengan sebelumnya menggunakan
nama sigindo. Negara dengan sistem pamuncak ini antara lain, Kerajaan
Pamuncak nan Tigo Kaum (Kerajaan Manjuto) yang terdiri dari Pamuncak Tuo di
Pulau Sangkar, Pamuncak Tengah di Tanjung Kaseri (Serampas), Pamuncak
Bungsu di Koto Tapus (Sungai Tenang). Masa sistem pemuncak adalah sejak
awal abad ke 13 Masehi sampai dengan akhir abad ke 13 M. Namun sampai
berjalannya pemerintahan selama satu abad tersebut belum diperoleh informasi
mengenai siapa pimpinan adat dari awal berdirinya sampai berakhirnya masa
pemerintahan pamuncak, informasi yang diperoleh hanya salah satu pimpinan
adat terakhir saja yang banyak diketahui. Namun Daerah pamuncak lain adalah
Pamuncak Pulau Rengas dan Pamuncak Pemenang – Pemberab, lahir kemudian
karena tidak menganut sistem kedepatian melainkan gelar pemimpin adatnya
adalah “Pemangku” maka nama pamuncak di dua daerah ini tidak mengalami
perubahan.
Di antara sumbangan pemikiran dalam pembenahan sistem dan struktur
pemerintahan adalah dalam hal penyempurnaan gelar pejabat atau pemangku adat.
Maka masuklah beberapa istilah Jawa ke dalam ketatanegaraan masyarakat
Kerinci seperti: kata (A)depati, (Te) menggung, (Per) menti, (Pe) mangku, Rio,
Ngabi, Kaluhan, Ngalawe, Mendapo, dan lain-lain. Dengan adanya asimilasi
penduduk pendatang terutama dari Jawa ke dalam struktur pemerintahan Sigindo
sehingga menyebabkan terjadinya perubahaan dalam ketatanegaraan dan sistem
pemerintahan. Pimpinan adat dinamakan Depati yang menguasai dusun atau
beberapa dusun.
Semenjak itu pula maka sistem kemasyaratan di Alam Kerinci mengalami
perubahan nama bagi pemimpin adat mereka. Nama “depati’ digunakan untuk
menggantikan nama sigindo dan pamuncak. Masing-masing wilayah sigindo dan
pamuncak bermunculan pemimpin wilayah yang bergelar depati. Gelar Depati ini
digenapi dengan mengangkat pimpinan depati dan depati-depati pendukung
pimpinan yang sering pula diistilahkan dengan istilah ‘kemerkan atau kembang
rekan’. Sehingga pimpinan adat tidak berjalan sendiri, beliau dibantu oleh depati-
depati kembang rekan.
Daerah kekuasaan masing-masing sigindo sebelum zaman depati di sekitar
wilayah negeri masing tempat duduknya penguasa-penguasa tersebut. Jadi
masing-masingnya merupakan penguasa dari kelompok-kelompok masyarakat yg
tidak begitu besar. Fungsi nasing-masing mereka bukan pula sebagai seorang raja
absolut, tetaoi hanya sebagai tua kampung atau kepala suku.
Dalam masa pemerintahan sigindo ini, Kerinci telah mengenal hubungan
dengan daerah-daerah luar. Adapun orang-orang luar yang penting masuk ke
Kerinci dan kemudian menetap di Kerinci waktu itu antara lain:

3
1. Sultan Maharaja Hakekat, keturunan raja Pagarruyung. Beliau diutus ke Kerinci
untuk menyebarkan Agama Islam, menetap di Tamiai dengan nama Raden
Serdang (lihat Tambo Raden Serdang). Beliau kawin dengan anak Sigindo Bauk,
sesuai dengan adat setempat beliau berhak menerima gelar adat dan berhak pula
menggantikan mertuanya sebagai kepala adat setempat. Nama Sigindo Bauk
akhirnya diganti dengan nama Depati Muaro Langkap.
2. Indra Jati, berasal dari Kerajaan Minangkabau dan keturunan Mengkudum di
Sumanik (lihat tambo Indrapura). Sama halnya dengan Raden Serdang, beliau
kemudian diangkat menjadi pimpinan adat di Tanah Hiyang (Klerk. 1890). Gelar
kebesaran yang dianugerahkan kepada Indra Jati gelar Depati Atur Bumi. Oleh
karena beliau kawin dengan anak sigindo Kuning di Seleman, maka beliau juga
menyandang gelar Depati Batu Hampar.
3. Raja Keninting, adik raja Minangkabau Tuanku Syah Alam. Dengan melalui
Indrapura beliau sampai di negeri Banto. Dalam perjalanan selanjutnya di daerah
Batang Merangin beliau bertemu Raden Serdang di Tamiai. Kemudian anak Raja
Keninting bernama Sigindo Batinting kawin dengan Puti Unduk Pinang Masak
yang berasal dari Pagarruyung. Pada zaman depati gelar tertinggi yang memimpin
wilayah sigindo Batinting atau Pamuncak Tuo adalah Depati Rencong Telang.
4. Lain halnya dengan Sigindo Teras yang berada di Pengasi, beliau adalah
penduduk asli daerah tersebut dan seiring dengan perkembangan wilayah, gelar
sigindo teras berubah nama menjadi Depati Biang Sari.

Tentang waktu kedatangan ke tiga orang di atas tidak begitu jelas namun
mereka datang ke Kerinci dalam waktu yang tidak berbeda jauh. Pada sekitar
tahun 1280 M masing-masing mereka sudah menyandang gelar sigindo. Pada
masa pemerintahan Sigindo ini, agama Islam telah berkembang di Kerinci.
Perkembangan selanjutnya dikatakan bahwa nama itu kemudian menjadi
berubah sesudah adanya penyatuan netral Kerinci sebagai akibat dari ada dua
kiblat pemerintahan yang selalu berusaha untuk merangkul Kerinci sebagai bagian
dari negara atau pemertintahannya, yaitu Kerajaan Melayu Dharmasraya yang
sudah dari awal ingin mengontrol Kerinci, ini ditandakan ditemukannya Kitab
Undang-Undang Tanjung Tanah oleh Uli Kozok, yang di dalam uraiannya
tercantum bahwa UU itu dibuat semasa Kerajaan Melayu Dharmasraya pada abad
ke 13 dan dikirim ke penguasa di Kerinci untuk diterapkan kepada seluruh
masyarakat Kerinci.
Menghadapi kekuatan besar kerajaan Melayu Dharmasraya mempengaruhi
Pemerintahan Depati IV Alam Kerinci tersebut, maka pemerintahan ini selalu
melakukan reposisi kondisi internal daerah dan negara secara keseluruhan.
Penguatan institusi terjadi secara terus menerus, pimpinan adat diperkuat
dengan menambah perangkat adat lainnya. Misalnya untuk kepentingan dan
kekuatan wilayah Depati Atur Bumi, maka ditambah pula beberapa depati seperti

4
Depati Batu Hampar adalah pimpinan wilayah secara internal memimpin urusan
dalam wilayah mereka. Bila ada urusan keluar atas nama wilayah maka yang
dibawa nama adalah Depati Atur Bumi. Di wilayah Rencong Telang juga
berkembang banyak depati, antara lain Depati Telago, Depati Sangkar dan
lainnya. Untuk urusan internal dalam wilayah Depati Rencong Telang maka
secara internal dipimpin oleh Depati Telago, namun kalau ada urusan yang
berhubungan dengan negara konfederasi (Depati IV Alam Kerinci) maka gelar
yang dibawa keluar oleh Depati Talago adalah Depati Rencong Telang.
Tidak itu saja ada kesepakatan bahwa siapa saja yang ditunjuk oleh
kerapatan adat, depati yang ditunjuk mewakili wilayah harus membawa keluar
nama kebesaran Depati Rencong Telang. Demikian pula di Tamia, untuk urusan
internal dibentuk Depati Muncak, Depati Miai, Depati Brau dan lainnya. Untuk
urusan pemerintahan sehari-hari dipimpin oleh Depati Muncak, sedangkan untuk
kepentingan pemerintahan Depati IV Alam Kerinci gelar yang disandang oleh
Depati Muncak atau yang lainnya adalah Depati Muara Langkap. Gelar kebesaran
untuk wilayah Serampas adalah Depati Sri Bumi Putih. Gelar kebesaran wilayah
Sungai Tenang adalah Depati Purwo Menggalo. Demikian seterusnya untuk
wilayah-wilayah di Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Lengkapnya seperti
berikut ini:

A. Lembaga Adat Wilayah Depati Rencong Telang


1. Depati Talago
2. Depati Sangkar
3. Depati Kerinci
4. Depati Suko Berajo
5. Depati Belinggo
6. Depati Anggo Rajo

B. Lembaga Adat Wilayah Depati Muaro Langkap


1. Depati Muara Langkap
2. Depati Muncak
3. Depati Miai
4. Depati Berau

C. Lembaga Adat Wilayah Depati Biang Sari


1. Depati Biang Sari

5
2. Depati Karan Pandan
3. Depati Langit

D. Lembaga Adat Wilayah Depati Atur Bumi


1. Depati Batu Hampar
2. Depati Mudo Terawang Lidah
3. Depati Kuning
4. Depati Taroh Bumi
5. Depati Cahayo Negeri
6. Depati Kepalo Sembah

E. Lembaga Adat Wilayah Depati Sri Bumi Putih


1. Depati Katri Udo Menggalo
2. Depati Seniudo
3. Depati Suto Menggalo
4. Depati Ango Bayo
5. Depati Singo Negaro
6. Depati Pulang Jawo

F. Lembaga Adat Wilayah Depati Purwo Menggalo


1. Depati Ranah Yuda
2. Depati Udo Menggalo
3. Depati Muncak Alam Tiang Agamo
4. Depati Mudo Pamuncak Alam
5. Depati Sembilan Tiang Pumpung
6. Depati Mangku Yudho

G. Lembaga Adat Wilayah Depati Setio Nyato


1. Depati Setio Nyato

6
H. Lembaga Adat Wilayah Depati Setio Rajo
1. Depati Setio Rajo

I. Lembaga Adat Wilayah Depati Setio Beti


1. Depati Setio Beti

2.3 Tradisi Suku Kerinci


2.3.1 Upacara Adat
Kali ini kita akan membahas salah satu upacara adat yang ada di Suku
Kerinci, yaitu kenduri sko. Kenduri Sko adalah rangkaian acara adat berupa
peringatan (kenduri) yang dilaksanakan oleh masyarakat suku Kerinci di
Provinsi Jambi. Acara ini juga disebut dengan istilah Kenduri Pusako
(Pusaka).[1] Istilah sko berasal dari kata saka berarti keluarga atau leluhur
dari pihak ibu dan biasa disebut dengan khalifah ngan dijunnung dan waris
yang dijawab. Sko sendiri dibagi menjadi sko tanah dan sko gelar, dimana
sko gelar dapat diberikan oleh ibu kepada saudara laki-laki dari pihak ibu
(mamak).
Pada acara ini terdapat dua agenda pokok yaitu acara untuk menurunkan
dan menyucikan benda-benda pusaka, dan acara untuk mengukuhkan pada
orang yang akan menerima gelar adat. Acara penurunan benda pusaka
biasanya dilaksanakan tiap setahun sekali, atau 5-10 tahun sekali, bahkan 25
tahun sekali.Di daerah Tanjung Tanah acara penurunan benda pusaka
dilaksanakan setiap 7 sampai 10 tahun.
Kenduri sko menggambarkan adanya keterpaduan, keakraban, kesadaran,
kebersamaan dan keterbukaan antara sesama anggota masyarakat dan antara
anggota masyarakat dengan pemimpinnya sebagaimana falsafah Nagari
Kerinci. Keterpaduan merupakan satu hal yang diperlukan dalam membangun
nagari, kerjasama yang terpadu antara pemimpin dengan rakyatnya,
melambangkan musyawarah-mufakat, sebagaimana tertuang dalam pantun
adat “memasak nasi dalam periuk, menggoreng dalam kuali. tegak berunding
duduk bainok, alamat usaha akan menjadi.” Keakraban diperlukan di tengah-
tengah masyarakat, sehingga melahirkan persatuan dan kesatuan, bersatu
anggota masyarakatnya dan bersatu dalam tekadnya.
Kalau ini sudah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya tidak ada kesulitan
dalam usaha apa saja; bulat nan seguling, picak nan selayang, tak ada berat
yang tak dapat dipikul, tak ada ringan yang tak dapat dijunjung. Kenduri sko
dapat menumbuhkan keakraban antara sesama anggota masyarakat, anggota

7
masyarakat dengan para pemimpinnya dan masyarakat kampung lain.
Sebagaimana tertuang dalam pantun adat: ijuk jadikan sapu, ambil buluh jadi
pelupuh, bersatu kita padu, bercerai kita rubuh.Kesadaran untuk melakukan
pembangunan manusia seutuhnya, membangun fisik dan mental, kepala diisi
dengan ilmu pengetahuan, dada dipenuhi dengan iman dan taqwa sehingga
melahirkan kesadaran yang tinggi, menimbulkan kejujuran yang mantap.

Kesadaran untuk menjaga kejujuran akan menimbulkan kerjasama yang


baik. Perhelatan kenduri sko melatih orang untuk menjadi jujur. Karena
diyakini oleh masyarakat bahwa orang yang tidak jujur akan mendapat
‘teguran’? dari orang gunung (kemasukan arwah).

Perhelatan kenduri sko merupakan rangkaian kegiatan yang memiliki tujuan


antara lain:
1. Pengukuhan dan penobatan orang adat seperti depati, hulubalang, rio dan
ninik mamak sebagai pengganti pemangku adat yang telah berhenti sesuai
dengan ketentuan adat.
2. Pembersihan dan penurunan benda-benda pusaka adat untuk dapat dilihat
oleh masyarakat kampung.
3. Mengikat dan menjalin silaturahim, persatuan dan kesatuan antara
masyarakat dalam satu kampung dengan masyarakat dari kampung lain.
4. Pembacaan naskah asal-usul yangdinobatkan dan warga setempat agar
warga tahu terutama kaum muda dari mana mereka berasal.
5. Memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga kepada roh
nenek moyang.

2.3.2 Upacara Perkawinan


Kerinci merupakan daerah yang banyak menyimpan beragam budaya
yang kaya akan nilai tradisi. Perkawinan adat Kerinci adalah salah satu
warisan budaya Kerinci. Adapun tahapan perkawinan Suku Kerinci adalah
Bamudea, Batuwek, Tmou ahak, Meletak Tando, Akad nikah, Mulang
Muntaiang, Kanduhai. Dalam tahapan Kanduhai pengantin menggunakan
baju adat Kerinci, pengantin wanita menggunakan mahkota yang disebut
dengan kulok. Kulok adalah penutup kepala wanita khas kerinci. Namun
seiring dengan perkembangan zaman kulok mulai mengalami perubahan.
Fungsi kulok adalah sebagai penutup aurat bagi kaum perempuan Suku
Kerinci, dan bermakna sebagai simbol adat dan bagian (busana) dari adat
istiadat masyarakat Suku Kerinci, dalam perkawinan kulok melambangkan
keagungan seorang wanita dan identitas diri sebagai bagian dari masyarakat

8
Suku Kerinci. Kulok perkawinan Suku Kerinci memiliki unsur-unsur,
diantaranya adalah 2 susun cincin kulok (sangkul), lidah kulok dengan maco
4 warna, 7 sirih layang, 7 kunci, turai dan bunga aut. Namun kulok
mengalami perubahan dari masa ke masa. Pada tahun 1978 unsur-unsur kulok
yang digunakan pada saat upacara perkawinan masih lengkap, Pada tahun
1981, bunga aut dan turai pada kulok tidak lagi digunakan saat upacara
perkawinan. Pada tahun 1994, 7 kunci, bunga aut dan turai mulai hilang
dalam penggunaannya dalam perkawinan suku Kerinci, selanjutnya pada
tahun 2001 unsur-unsur kulok mulai berubah bentuk, bentuk sirih layang, dan
7 kunci mengalami perubahan bentuk, maco 4 warna, turai dan bunga aut
tidak lagi digunakan. Terakhir pada tahun 2017 unsur-unsur kulok terdiri dari
sangkul, 7 kunci , lidah kulok, turai dan bunga aut. Sedangkan maco 4 warna
tidak lagi digunakan, sirih layang juga mengalami perubahan bentuk.
Akad nikah biasanya dilakukan di rumah pengantin wanita, atau di
mesjid. Pada zaman dahulu dilakukan di rumah pengantin wanita. Namun
saat ini, sebagian masyarakan melaksanakan akad nikah di masjid. Pengantin
pria bersama rombongan datang ke rumah pengantin wanita, yang dihadiri
oleh ninik mamak (orang adat). Maka di adakanlah akad nikah secara Islam.
Yang dihadiri oleh penghulu, wali,dan saksi-saksi. Setelah acara akad nikah
selesai, maka para keluarga ke dua belah pihak makan bersama/ syukuran di
acara kenduri pernikahan. Keluarga yang menyediakan makanan adalah pihak
perempuan yang telah menyiapkan semua hidangan.
Setelah acara kenduri selesai, biasanya diadakan tari rentak kudo, sebagai
hiburan untuk keluarga dan masyarakat. Setelah selesai acara hiburan, maka
pengantin pria kembali pulang ke rumahnya, dan keluarganya semua. Karena
besok pagi akan di adakan upacara penjemputan pengantin pria oleh
pengantin wanita beserta keluarganya.
Acara yang paling pokok dalam perkawinan menurut adat istiadat
mempersandingkan pengantin wanita dan pengantin pria di pelaminan dengan
disaksikan oleh para tamu yang hadir. Untuk itulah pihak pengantin wanita
bersama keluarga besarnya datang menjemput pengantin pria, dengan diarak
menuju rumah pengantin pria. Pada upacara ini, pengantin menggunakan
pakaian adat Kerinci. Pakaian pengantin wanita berupa, baju kurung, kain
singket, hiasan kepala (kuluk), asesoris lain, sedangkan pakaian pengantin
pria menggunakan baju teluk belango, topi adat dan memakai selempang,
kain songket, serta keris.
Selama di perjalanan menuju rumah pengantin wanita, sekelompok ibu-
ibu menyanyikan syair lagu-lagu Kerinci, yang berisikan pantun-pantun, yang
biasa disebut dengan Talea. Talea ini di iringi dengan musik berupa rebana
besar. Setelah sampai dirumah pengantin pria, para rombongan disambut
dengan berbalas pantun antara dua belah pihak di depan rumah. Selanjutnya,
rombongan pengantin wanita dan penjemput dipersilahkan naik kerumah

9
pengantin pria. Kedua pengantin disandingkan di pelaminan. Keluarga
pengantin pria, menyediakan makanan untuk para tamu.
Setelah selesai upacara penjemputan, pengantin wanita dan pria, diarak
kembali menuju rumah mempelai wanita. Rombongan keluarga pengantin
pria, membawa seserahan berupa, kasur, bantal, selimut, perlengkapan mandi,
kosmetik, dan sebagainya. Sesampai di rumah pengantin wanita, pengantin
disandingkan kembali. Para utusan keluarga kedua belah pihak, kembali
berbalas pantun. Adapun isi dari pantun tersebut bermakna, keluarga
pengantin pria, menyerahkan atau mengantar pengantin pria untuk tinggal
dirumah pengantin wanita.
Berkaitan dengan sistim kekerabatan matrilineal, setelah upacara
pernikahan usai diselenggarakan, maka suami tinggal di rumah istrinya.
Sungguhpun ia bertempat kediaman di rumah sang isteri, bukan berarti ia
menjadi kepala keluarga dirumah isterinya. Dirumah isterinya berkedudukan
sebagai semenda (uhang sumendo).

Seiring dengan perkembangan zaman, maka keesokan harinya diadakan


resepsi atau pesta, untuk mengundang para tamu undangan, kerabat jauh dan
dekat. Resepsi ini di adakan di rumah pengantin wanita, atau di gedung
pertemuan namun ada juga diadakan di rumah pengantin laki-laki.
Tergantung dengan kesepakatan keluarga.
Pada acara resepsi ini pengantin memakai pakaian adat Kerinci lengkap,
dengan dihiasi pelaminan. Biasanya dihiburkan dengan musik, Orgen tunggal
untuk menghibur pengantin dan para tamu undangan.

2.4 Hubungan Kekerabatan


Masyarakat Kerinci menarik garis keturunan secara matrilineal, artinya
seorang yang dilahirkan menurut garis ibu menurut suku ibu. Suami harus tunduk
dan taat pada tenganai rumah, yaitu saudara laki-laki dari istrinya. Dalam
masyarakat Kerinci perkawinan dilaksanakan menurut adat istiadat yang
disesuaikan dengan ajaran agama Islam.
Hubungan kekerabatan di Kerinci mempunyai rasa kekeluargaan yang
mendalam. Rasa sosial, tolong-menolong, kegotongroyongan tetap tertanam
dalam jiwa masyarakat Kerinci. Antara satu keluarga dengan keluarga lainnya ada
rasa kebersamaan dan keakraban. Ini ditandai dengan adanya panggilan-panggilan
pasa saudara-saudara dengan nama panggilan yang khas. Karenanya keluarga atau
antar keluarga sangat peka terhadap lingkungan atau keluarga lain. Antara orang
tua dengan anak, saudara-saudara perempuan seibu, begitupun saudara-saudara
laki-laki merupakan hubungan yang potensial dalam menggerakkan suatu
kegiatan tertentu.

10
Kata ganti orang kedua sering digunakan ketika berbicara langsung dengan
orang lain. Penggunaan kata ganti orang kedua ini sangat ditentukan oleh umur
dari lawan yang diajak bicara. Bila lawan bicara berumur lebih tua dari kita, maka
kata ganti yang digunakan adalah kayo artinya kamu, tetapi dalam tingkatan kata
ganti yang paling sopan. Kata kayo ini digunakan baik bagi lelaki atau
perempuan.
Bila lawan bicara sebaya atau setara dengan kita, maka kata ganti yang
digunakan adalah "iko" artinya juga kamu. Kata ganti ini juga digunakan oleh
orang yang lebih tua untuk menyapa orang yang lebih muda secara sopan. Selain
kata "iko", sering juga digunakan kata "awak" namun kata "awak" dapat
bermakna ganda, bisa sebagai kata ganti orang pertama atau kata ganti orang
kedua, semuanya tergantung konteks pembicaraan.
Bila lawan bicara berusia jauh lebih muda dari kita, anak-anak dan remaja
maka kata ganti yang digunakan adalah "mpoun" dan "ka'u". Mpoun digunakan
untuk laki-laki sementara ka'u digunakan untuk perempuan. Meskipun ada dusun
yang menggunakan kata mpu,mpun atau mpoun ini untuk laki-laki maupun
perempuan.
Sapaan kekerabatan adalah kata sapaan bagi anggota kerabat yang lain dalam
sebuah keluarga terutama yang berusia lebih tua dari kita. Sapaan tersebut sangat
tergantung dari urutan kelahiran seseorang.Anak ke-1 disebut sebagai Tuwo atau
Uwo, anak ke-2 disebut sebagai T'ngah atau Ngah, anak ke-3 disebut sebagai
Pandak atau Andak, anak ke-4 disebut sebagai Putih atau Utih, anak ke-5 disebut
sebagai Kitam atau Itam, anak ke-6 disebut sebagai Knek atau Nek, dan anak
bungsu disebut sebagai Knsu atau Nsu.

Kata sapaan Ibu dalam bahasa Kerinci disebut sebagai Indouq atau Ndouq.
Saudara ibu yang laki-laki disebut sebagai Tuwan atau Mamak. Bila saudara laki-
laki ibu lahir pada urutan pertama maka disebut dengan Tuwan Tuwo dan begitu
seterusnya dengan memperhatikan urutan lahir. Saudara perempuan ibu yang
lebih tua juga disebut sebagai Indouq ditambah dengan sapaan urutan lahir.
Misalnya, bila saudara perempuan ibu yang lebih tua lahir diurutan kedua maka
dipanggil sebagai Indouq T'ngah.
Sementara itu, saudara perempuan ibu yang lebih muda disebut sebagai Nde
atau Nday. Kata sapaan di atas umumnya digunakan oleh generasi tua, sementara
generasi saat ini sudah banyak mengganti kata sapaan Indouq menjadi amak atau
mak. Sedangkan kata Nday atau Nde diganti dengan kata Itek.
Kata sapaan Bapak dalam bahasa Kerinci disebut sebagai ayah, apak, abak.
Saudara ayah yang perempuan disebut sebagai Datung atau Latung disertai
dengan pertimbangan urutan lahir misalnya datungtuwo, datungknek dan
seterusnya. Sementara itu, saudara ayah yang laki-laki juga disebut sebagai apak
dengan mempertimbangkan urutan lahir (misalnya Pak Tuwo, Pak Tngah, Pak

11
Andak dan seterusnya). Bila usianya lebih muda dari usia ayah kita maka disebut
sebagai Pak Cik.
Kakek dan Nenek dalam bahasa Kerinci disebut sebagai Nyantan dan Tino.
Orangtua dari Nyantan dan Tino disebut sebagai Muyang, orangtua dari muyang
disebut sebagai Piyut. Generasi di atas piyut disebut sebagai tentah. Orang Kerinci
jarang bertemu dengan generasi kelima di atas mereka yang masih hidup sehingga
disebut sebagai tentah yang berasal dari kata Nyantan Entah (kakek yang tidak
diketahui lagi).
Anak dari saudara perempuan ayah atau saudara laki-laki ibu yang
berlawanan gender dengan kita disebut Pubisan atau Suku Duwo. Sementara itu,
yang memiliki kesamaan gender disebut sebagai Ipa(r).
Saudara-saudara satu generasi yang lebih tua dari kita baik laki-laki dan
perempuan dipanggil berdasarkan urutan lahirnya saja. Namun generasi saat ini,
sudah banyak yang menggantinya dengan istilah abang (untuk laki-laki) atau uni
(untuk perempuan).
Suami dari datung dipanggil sebagai mamak begitu pula sebaliknya istri dari
mamak dipanggil sebagai datung. Suami dari saudara perempuan istri kita disebut
sebagai Luway atau Duway. Istilah ini juga berlaku bagi umum bagi uhang
semendo (para suami) lain yang istrinya satu generasi dengan istri kita dalam
sebuah suku atau klan. Sementara itu, saudara perempuan dari istri kita disebut
sebaagai kido.
Di Kerinci ada semacam larangan untuk menyebut nama seseorang secara
langsung sebagai salah satu adat kesopanan. Biasanya, penyebutan nama secara
langsung berlaku bagi mereka yang belum menikah, sesuai dengan pepatah adat
"kcik benamo, gedang bagela" (kecil bernama, besar bergelar).
Bila seseorang sudah menikah maka yang disebut adalah nama suami atau
istrinya misalnya Laki Si Anu atau Bini Si Anu. Bagi yang sudah memiliki anak
atau cucu biasanya dipanggil disertai dengan nama anak atau cucu mereka yang
paling tua. Misalnya Indouq Ali (Ibunya Ali), Nyantan Fatimah (Kakeknya Si
Fatimah).
Para orangtua yang sudah uzur (setingkat nyantan, tino dan muyang)
dipanggil dengan nama aliasnya. misalnya Hangtuo Tinggi (didasarkan pada
postur tubuhnya yang tinggi), Hangtuo Gundok (didasarkan pada posturnya yang
gemuk) dan lain sebagainya.

2.5 Kondisi Geografis dan Mata Pencaharian


Total luas alam Kerinci yang meliputi Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai
Penuh seluas lebih kurang 4.200 Km2, berada di wilayah paling barat Propinsi
Jambi, dataran tinggi yang terdapat didalam wilayah alam Kerinci bentuknya

12
hampir menyerupai kuali, sehingga letak pemukiman serta tempat mata pencarian
berada ditengah tengah bukit serta pegunungan.
Pegunungan serta bukit yang melingkungi bumi alam Kerinci antara lain
gunung Kerinci (dengan ketinggian 3.805.M.dpl) merupakan gunung berapi
tertinggi dan paling aktif di Pulau Sumatera,gunung kunyit dan gunung raya)
sedangkan bukitnya antara lain bukit gajah.bukit tiong,bukit siru,bukit tapan,bukit
sitinjau,dll.
Dataran tinggi dan lembah lembah yang berada di alam Kerinci merupakan
daerah yang sangat subur dan memiliki hutan belantara yang lebat dan dihuni
beragam flora dan fauna langka seperti gajah,harimau, rusa, kijang, kancil, napuh,
serta puluhan jenis burung dan primata.
Penduduk suku Kerinci disamping berusaha dilapangan pertanian dengan
menggarap lahan sawah dan perkebunan kopi dan casiavera serta pertanian
holtikultura juga melakukan usaha kegiatan peternakan secara tradisional dengan
mengusahakan peternakan kerbau,sapi(jawi),kuda kambing,biri biri,ayam,dan itik
khas Kerinci. Khusus untuk ternak sapi dan kerbau disamping untuk di konsumsi
dan dijual juga dimanfaatkan sebagai sarana transportasi dan digunakan sebagai
alat pembantu untuk kegiatan pertanian disawah,kedua jenis ternak ini digunakan
untuk membajak lahan persawahan.
Secara geografis keadaan alam pemukiman suku Kerinci berupa dataran
tinggi,dengan ketinggian antara 900 -1.500. M.Dpl dengan curah hujan rata rata
berkisar 3.000 – 4.000.M3 pertahun dengan suhu maksimum 28 Derajat Celcius.
letak pemukiman penduduk berada dibawah lereng gunung dan diatas areal
persawahan,sehingga secara keseluruhan daerah pemukiman orang Kerinci
bentuknya hampir menyerupai kuali yang dikelilingi oleh bukit bukit dan gunung
gunung,kondisi dan kontur lahan pemukiman alam Kerinci memiliki kesamaan
dengan Bandung ibukota Propinsi Jawa Barat.
Diantara suku suku asli yang ada di Propinsi Jambi,suku Kerinci memiliki
jumlah penduduk yang relatif lebih banyak, disamping tingkat kepadadatan cukup
padat dibandingkan dengan Kabupaten lain selain Kota Jambi,masyarakat suku
Kerinci memiliki taraf pendidikan yang cukup baik, pada dekade tahun 1970 an
hingga menjelang akhir tahun 1990 an jumlah warga suku Kerinci yang berhasil
meraih gelar sarjana lebih banyak dibandingkan dengan penduduk suku suku asli
lainnya di Jambi bahkan puluhan putra terbaik alam Kerinci mampu meraih
prestasi pendidikan dan jabatan tinggi baik yang berkarir dibidang pendidikan,
dunia usaha, PNS, Politisi, maupun Militer.
Potensi lahan alam yang indah dan subur membuat negeri ini oleh pujangga
diumpamakan Sekepal tanah surga yang tercampak kedunia,alam kerinci yang
elok dan permai serta tanahnya yang subur memberikan peluang besar
masyarakatnya untuk bergerak disektor pertanian
Bentuk usaha pertanian dimaksud dapat dibagi atas jenis usaha
bersawah,berladang dan berkebun,lebih dari 85% dari total penduduk di alam

13
Kerinci bergerak di bidang pertanian (bersawah) mata pencarian lain adalah
berladang dengan menanam kopi,casiavera,cengkeh dan tembakau, disamping itu
masyarakat juga mengusahakan lahan lahan dengan menanam palawijaya seperti
kentang, tomat, sayur mayur, kacang kacangan. dll.
Untuk dapat menghasilkan produksi khususnya bercocok tanam
padi,masyarakat petani menggunakan alat,antara lain berupa: cangkul yang
menyerupai /mempunyai bentuk huruf L dengan ukuran 1M, yang terdiri dari
tangkai dan cangkul itu sendiri.
Bajak yang digerakkan dengan menggunakan alat bantu ternak kerbau atau
sapi,sedangkan wadah yang digunakan merupakan alat produksi untuk
menyimpan,menimbun,dan memuat hasil padi,macam macam alat bantu produksi
itu adalah patting,jangki,ambung,anai anai,kincir padi,umbir, niru,rumah bilik
padi dan masyarakat petani di alam Kerinci memiliki beberapa jenis padi antara
lain padi ekor tupai,padi payo,padi silang minyak dan padi silang rantai yang agak
menyerupai padi ekor tupai.

2.6 Bahasa dan Kesenian


Sebagian besar suku Kerinci menggunakan bahasa Kerinci yang merupakan
bagian dari bahasa Melayu. Bahasa Kerinci memiliki beragam dialek, yang bisa
berbeda cukup signifikan antar satu dusun dengan dusun lainnya. Untuk berbicara
dengan pendatang biasanya digunakan bahasa Melayu lainnya seperti bahasa
Melayu dialek Jambi serta bahasa Minangkabau, karena pendatang dari Sumatra
Barat juga cukup signifikan, bahasa Minang banyak dipakai di pasar-pasar
wilayah kabupaten kerinci khususnya di kota sungai penuh. Bahasa Indonesia
(yang masih dikenal dengan sebutan Melayu Tinggi) juga digunakan untuk
berkomunikasi kepada pendatang dari luar, dan menjadikan bahasa ini menjadi
bahasa kedua setelah bahasa daerah disana.Suku Kerinci memiliki aksara yang
disebut aksara incung yang merupakan salah satu variasi surat ulu. Sebagaimana
diketahui dari Naskah Tanjung Tanah, naskah Melayu tertua yang ditemukan di
Kerinci, yang dikirimkan oleh raja Malayu di Dharmasraya pada abad ke-14
kepada depati di Kerinci dan telah disetujui oleh maharajadiraja Adityawarman
yang berada di Suruaso dekat Pagaruyung di Tanah Datar.
Selain terkenal dengan keindahan alam dan sejarah budaya, Suku Kerinci
juga memiliki berbagai jenis kesenian tradisional yang salah satunya berbentuk
tarian. Beberapa diantaranya adalah Tari Rentak Kudo, Tari Rangguk, Tari Iyo
Iyo, dan Tari Niti Naik Mahligai. Tarian ini biasanya ditampilkan ketika
berlangsungnya acara kenduri Sko, menyambut tamu, Festival Masyarakat Peduli
Danau Kerinci dan juga acara lainnya.

BAB III

14
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Budaya Kerinci yang merupakan hasil karya masyarakat Kerinci dalam
sejarah perkembangannya telah banyak dikenal di tataran nasional dan
internasional merupakan sumber nilai, inspirasi dan dasar interpretasi kehidupan
bermasyarakat,  wajib diaktualisasikan ke dalam proses pembangunan yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah khususnya Pemerintah Kabupaten
Kerinci dan Pemerintah Kota Sungai Penuh yang merupakan institusi
penyelenggara administrasi di Sakti Alam Kerinci.
Budaya Kerinci adalah hasil permufakatan masyarakat atau sekelompok
masyarakat yang digali dari unsur cipta, rasa, dan karsa suku Kerinci, sehingga
tidak ada satupun yang bertentangan dengan kebihinnekaan budaya dan agama di
Indonesia. Karena di Kerinci Agama Islam adalah sumber inspirasi dari budaya
Kerinci.

3.2 SARAN
Berbagai cara dapat dilakukan dalam melestarikan budaya, namun yang
paling penting yang harus pertama dimiliki adalah menumbuhkan kesadaran serta
rasa memiliki akan budaya tersebut, sehingga dengan rasa memiliki serta
mencintai budaya sendiri, orang akan termotivasi untuk mempelajarinya, sehingga
budaya akan tetap ada karena pewaris kebudayaannya akan tetap terus ada. Ada
berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan budaya lokal di
antaranya (Yunus: 2014: 123): (1) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia
dalam memajukan budaya lokal; (2) Mendorong masyarakat untuk
memaksimalkan potensi budaya lokal beserta pemberdayaan dan pelestariannya;
(3) Berusaha menghidupkan kembali semangat toleransi, kekeluargaan,
keramahtamahan dan solidaritas yang tinggi; (4) Selalu mempertahankan budaya
Indonesia agar tidak punah. Mengusahakan agar masyarakat mampu mengelola
keanekaragaman budaya lokal.

15

Anda mungkin juga menyukai