Anda di halaman 1dari 17

Nama : Alia Dwi Yanti

Kelas : XII OTKP 1


Mapel : PAI

Makalah Kerajaan Cirebon

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunianya kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah ini yang berjudul Kerajaan
Cirebon. Meskipun  banyak rintangan dan hambatan yang kami alami dalam proses
pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikan dengan baik.
Tak lupa kami mengucapkan terimahkasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam mengerjakan proyek ilmiah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kapada guru
pembimbing yang menuntun kami supaya dapat mengerjakan tugas dengan baik. Kesulitan dan
hambatan dalam membuat makalah ini adalah kesulitan dalam menyusun makalah ini sehingga
dapat diterima dalam kehidupan masyarakat.
Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan, baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini membantu teman-teman mengetahui secara
garis besar tentang Minyak Bumi. Terimakasih saya ucapkan atas waktunya untuk membaca
makalah kami.

Bogor, 2 Desember 2021

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal Alang-Alang yang
kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Raden Walangsungsang diubah
namanya menjadi Caruban. Nama Caruban sendiri terbentuk karena diwilayah Cirebon dihuni
oleh beragam masyarakat dan sebutan lain Cirebon adalah Caruban Larang. Pada
perkembangannya Caruban berubah menjadi Cirebon karena kebiasaan masyarakatnya sebagai
nelayan yang membuat terasi udang dan petis, masakan berbahan dasar air rebusan udang/cai-
rebon. Tahun 1389 M, Cirebon disebut “Caruban Larang”, terdiri atas Caruban pantai/ pesisir
dan Caruban Girang. Letak Cirebon yang berada dipesisir Pantai Utara Jawa yang merupakan
jalur strategis perdagangan lokal maupun internasional membuat Cirebon cepat berkembang
menjadi tempat persinggahan para pedagang dari luar negeri. Para pedagang yang singgah di
pelabuhan Cirebon umunya adalah pedagang Islam yang berasal dari China, Arab, dan Gujarat
yang kemudian banyak diantara mereka yang menetap di Cirebon.
Sejak abad ke 15 M Cirebon sudah banyak didatangi pedagang Islam yang kemudian
menetap. Oleh karena itu menurut Tome Pires, seorang pedagang Portugis yang pernah
mengadakan pelayaran disepanjang pantai Utara Jawa pada tahun 1531, kerajaanPajajaran
melarang orang-orang muslim terlalu banyak masuk ke dalam. Kerajaan Pajajaran adalah
kerajaan yang bercorak Hindu-Budha yang menguasai wilayah Sunda termasuk hingga
kewilayah Cirebon.

Kerajaan Sunda Pajajaran sendiri pada saat itu di pimpin oleh raja yang bergelar Sri
Paduka (Baduga) Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.Karena Prabu
Siliwangi penganut ajaran Sang Hyang/Hindu-Budha, maka masuknya agama Islam dibatasi agar
tidak mengancam kekuasaannya. Akan tetapi, penyebaran Islam di Cirebon menjadi berkembang
pesat setelah Pangeran Cakrabuana menjadi Kuwu di Cirebon.

Pangeran Cakrabuana adalah Raden Walangsungsang, anak Sulung Prabu Siliwangi dan
Permaisuri Nyai Subang Larang yang beragama Islam. Dari pernikahan Prabu Siliwangi dan
Nyai Subang Larang lahir tiga keturunan bernama Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang,
dan Raja Sengara/Kian Santang.Setelah dewasa Raden Walangsungsang diperkenankan
meninggalkan Pajajaran untuk memperdalam ilmu Islamnya disusul kemudian oleh adiknya Lara
Santang. Diperjalanan menuju Cirebon Raden Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang
Geulis.

Tempat pertama Islam diperkenalkan di wilayah Cirebon adalah pelabuhan Muara Jati
dan Dukuh Pasambangan. Orang pertama yang mengenalkan Islam adalah Syekh Idlofi/Syekh
Datuk Kahfi/Syekh Nurul Jati yang kemudian menetap dan mendirikan pesantren. Raden
Walangsungsang, Lara Santang, dan Endang Geulis yang kemudian berguru pada Syekh Nurul
Jati membuka pedukuhan di daerah Tegal Alang-Alang. Lambat-laun para pribumi yang tertarik
dengan ajaran Islam mulai memeluk Islam dengan suka rela.

Setelah mendirikan pedukuhan Raden Walangsungsang dan Lara Santang pergi


menunaikan Ibadah Haji. Diperjalanannya Lara Santang menikah dengan Syarif Abdillah Bin
Nurul Alim, Sultan Mesir yang bergelar Sulthon Makhmud Syarif Abdullah dari keluarga Bani
Hasyim. Agar mudah diterima kemudian nama Lara Santang diubah menjadi Syarifah Muda’im.
Dari pernikahan ini Syarifah Muda’im melahirkan dua orang putra yaitu Syarif Hidayatullah dan
Syarif Nurullah. Syarif Hidayatullah kelak menjadi Sultan pertama di Kesultanan Cirebon dan
menjadi salah satu diantara Wali Songo, para penyebar agama Islam di Jawa.

Sunan Gunung Jati atau yang dikenal Syarif Hidayatullah dilahirkan di Mekah tahun
1448 M dari pernikahan Syarif Abdullah dengan Syarifah Mudaim atau Lara Santang. Pada usia
120 tahun, Sunan Gunung Jati wafat di Cirebon pada tahun 1568 M. Jenazahnya
dikebumikandipuncak Gunung Sembung/Astana Agung Gunung JatiCirebon. Kesultanan
Cirebon lahir setelah Sunan Gunung Jati Syarif Hidyatullah menikahi sepupunya Nyai
Pakungwati, anak dari Pangeran Cakrabuana/Walangsungsang sebagai Kuwu Cirebon.

Pada tahun 1479 M, beberapa misionaris Islam dari Baghdad, Mekah, Mesir, dan Siria
berkumpul dipulau Jawa dalam rangka ekspansi agama Islam9, membentuk sebuah Dewan
Walisongo yang semula diketuai Sunan Ampel (setelah wafat) digantikan diketuai Sunan
Gunung Jati/Syarif Hidayatullah.10Para penyebar Islam di Jawa, dikenal dengan istilah
Walisongo telah lama melihat perkembangan Cirebon sebagai basis dari penyebaran Islam,
karenanya Sunan Gunung Jati sebagai orang yang dianggap memiliki riwayat mumpuni sebagai
orang yang ilmu agama Islamnya tinggi dianggap bisa mewujudkan misi pengembangan Islam di
Jawa.
Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah yang pada tahun 1479 M mendapat restu
Pangeran Cakrabuana dan dewan Walisongo yang diketuai Sunan Ampel telah menghentikan
upeti kepada Pajajaran yang menandakan telah berdirinya Cirebon. Saat itulah Kesultanan
Cirebon berdiri terlepas dari Pajajaran dan menjadi Kerajaan yang berdaulat. Setelah Sunan
Gunung Jati mendirikan dan memimpin Kesultanan Cirebon, proses Islamisasi menjadi lebih
nyata terjadi. Hal itu terlihat dari wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon, antara lain Luragung,
Kuningan, Banten, Sunda Kelapa, Galuh, Sumedang, Japura Talaga, Losari dan Pasir Luhur.

Dakwah Sunan Gunung Jati tidak dilakukan dengan cara yang revolusioner, tetapi dengan
cara yang mudah diterima yakni dengan memperbaiki yang sudah ada. Kegiatan-kegiatan
keagamaan contohnya, dalam perayaan Panjang Jimat dan Sekatenadalah percampuran budaya
yang hingga sekarang masih bisa kita lihat. Selain itu, contoh percampuran budaya juga terlihat
sangat unik dalam ornamen keagamaan seperti di Masjid Agung Sang Ciptarasa yang
menggunakan bentuk bengunan limasan khas budaya Hindu.

Saat Sunan Gunung Jati menjadi Sultan petama di Cirebon sekaligus pengangkatannya
sebagai Sunanpada tahun 1479 M hingga tahun 1568 M, budayaHindu-Budha yang merupakan
agama peninggalan Pajajaran tidak dihapuskan, melainkan diselaraskan dengan ajaran Islam.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejararah Kerajaan Cirebon?

2.      Bagaimana perkembangan awal Kerajaan Cirebon?

3.      Bagaimana masa kesultanan Kerajaan Cirebon?

4.      Bagaimana Terpecahnya Kesultanan Kerajaan Cirebon?

5.      Bagaimna Penyabaran Islam di Kerajaan Cirebon?

6.      Apa penyebab Kerajaan Cirebon di sebutbandar daggang?

7.       Bagaimna runtuhnya Kerajaan Cirebon?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja
pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil
yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa
yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para
pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian
yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai
nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang
pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi
(belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air
rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara
Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan
bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama
Islam di Jawa Barat.
B.     Perkembangan awal Kerajaan Cirebon
1.      Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang
saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan
membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun
Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai
menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
2.      Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu
adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden
Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang,
yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat,
Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu
yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
C.    Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
1.      Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja
Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa).
Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian
Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan
Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota
Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh
Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah
Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh
adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai
Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal,
Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana
Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai
pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana.
Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman,
tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif
menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
2.      Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai
Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif
Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan
gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan
bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai
pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam
di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
3.      Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat
keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh
Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara
resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya
berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan
Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di
Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
4.      Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta
kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati
Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan
memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
5.      Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan
Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena
ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah
meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya
almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan
Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan
kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab
Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan
Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh
mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah
sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan
Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di
Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan
Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di
Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi
makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
D.    Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran
Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak
berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk
meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam
Perang Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk
memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo
yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan.
Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada
kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai
Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan
Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih
hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak
beraliansi lagi dengan Mataram.
1.      Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa
penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan
Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana
kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan
berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
·         Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi
Muhammad Samsudin (1677-1703)
·         Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi
Muhammad Badrudin (1677-1723)
·         Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil
Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya
ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan
keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya
Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri
sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi
kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi
keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari
permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang
dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
2.      Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa
pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang
putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri
dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan
keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang
mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan
pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan
gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu
KesultananKacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V
jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-
1811).
E.     Penyebaran Islam di Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon merupakan bagian dari administratif Jawa Barat. Cirebon sendiri
mempunyai arti seperti di daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari bahasa sunda “ci” yang
berarti air, sedangkan “rebon” berarti udang. Cirebon mempunyai ati sungai udang atau kota
udang. Cirebon didirikan pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479 M
Pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati Cirebon
menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah seorang
menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu Ratu Mas Rara sasantang. Sejak inilah Cirebon menjadi
negara merdeka dan bercorak Islam.
Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam di bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati
wilayah Cirebon dibagi menjadi dua daerah, pesisir dan pedalaman. Daerah pesisir dipimpin oleh
Ki Gendeng Jumajan Jati, sedangkan wilayah pedalaman dipimpin oleh Ki Gendeng Kasmaya.
Keduanya adalah saudara Prabu Anggalarung dari Galuh. Sunan Gunung Jati kemudian menikah
dengan Ratu Mas Pakungwati dari Cirebon pada tahun 1479 dan pada tahun itu juga di bangun
Istana Pakungwati atau keraton Kasepuhan.
Putra Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Pasarean pada tahun 1528 diangkut sebagai
pemangku kekuasaan di Cirebon. Sebelum sempat menggantikan ayahnya, Pangeran Pasarean
wafat pada tahun 1552. Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat Aria Kemuning menjadi
sultan Cirebon. Aria Kemuning adalah anak angkat dari Sunan Gunung Jati. Aria Kemuning atau
julukannya Dipati Carbon 1 menjabat sebagai sultan Cirebon kurang lebih 12 tahun, yaitu sejak
1553-1565.
1.      Berkembangnya Ajaran Islam di Kerajaan Cirebon
a.       Perkembangan Islam pada Masa Syekh Idlofi Mahdi
Menurut Tome Pires, seorang musyafir dari negeri Portugis pendapat Islam masuk pada
Kerajaan Cirebon pada tahun 1470-1475. pada tahun 1420 M, datang serombongan pedagang
dari Baghdad yang dipimpin oleh Syekh Idlofi Mahdi, ia tinggal di dalam perkampunganMuara
Jati dengan alasan untuk memperlancar barang dagangannya. Syekh Idlofi Mahdi memulai
kegiatannya selain berdagang dia juga berdakwah dengan mengajak penduduk serta teman-
temannya untuk mengenal serta memahami ajaran Islam. Pusat penyebarannya brada di Gunung
Jati. Syekh Idlofi Mahdi menyebarkan agama Islam dengan cara bijaksana dan penuh hikmah.
Sebelum masuknya Islam ke pulau jawa pada umumnya dan kerajaan Cirebon khususnya,
situasi masyarakat di pengaruhi sistem kasta pada ajaran agama Hindu kehidupan masyarakatnya
jadi bertingkat-tingkat. Mereka yang mempunyai kasta lebih tinggi tidak dapat bergaul dengan
dengan kasta yang lebih rendah atau pergaulan diantara mereka dibatasi. Setelah ajaran Islam
disebarkan oleh  Syekh Idlofi Mahdi, susunan masyarakat berdasarkan kasta ini mulai terkikis
dan dimulailah kehidupan masyarakat tanpa adanya perbedaan kasta
b.      Perkembangan Islam pada masa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.
Menurut semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk cerita Purwaka Caruban Nagari,
masuknya Islam di Cirebon pada abad 15 yaitu pada tahun 1470. disebarkan oleh Sunan Gunung
Jati atau Syarif Hidayatullah. Penyebaran agama Islam itu dimulai ketika Syarif Hidayatullah
berusia 27 tahun yaitu dengan menjadi mubaliqh Cirebon. Di tahun 1479 Syarif Hidayatullah
menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putre dari pangeran Cakrabuana. Pengganti pangeran
Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon di berikan pada Syarif Hidayatullah. Pada tahun
pengangkatannya Syarif Hidayatullah mengembangkan daerah penyebarannya di wilayah
Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah Serang yang
sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam dari pedagang-pedagang dari Arab dan
Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah mendapat sambutan hangat dari
adipati Banten. Daerah-daerah yang telah diislamkan antara lain : Kuningan, Sindangkasih,
Telaga, Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya, Batulayang, dan
Timbangaten. Di wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di negeri Caruban yang
dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin persahabatan dengan Syarif
Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah Raden Patah bersama-sama para mubaliqh
yang sudah bergelar sunan menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Panata Gama Rasul di tanah
Pasundan. Panata Gama Rasul artinya orang yang ditetapkan sebagai pemimpin penyiaran Agam
Nabi Muhamad di tanah Jawa. Kemudian atas kesepakatan para sunan Syarif Hidayatullah di
beri gelar Sunan Gunung Jati dan menjadi Sunan paling terakhir yaitu sunan ke-9 dari sunan 9
sunan lainnya. Kerajaan-kerajaan yang berhasil ditakhlukkan Sunan Gunung Jati diantaranya:
·         Talaga, sebuah kerajaan yang beragam Hindu yang terletak di sebelah barat daya Cirebon di
bawah kekuasaan Prabu Kacukumun.
·         Rajagaluh, bekas pusat kerajaan Pajajaran yang beragam Hindu yang diperintah Prabu
Cakraningrat. Prabu Cakraningrat tidak senang dengan kemajuan Cirebon dan persebaran agama
Islam di Cirebon di tangan Sunan Gunung Jati. Akibatnya timbulah perang antara Cirebon
dengan Rajagaluh, kemenangan berada di tangan Cirebon. Berakhirnya kekuasaan Rajagaluh
sekaligus merupakan berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di daerah Jawa Barat sebelah
Timur.
·         Pada tahun 1498 para Walisongo yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati membangun
Masjid Agung Cirebon. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga denganseorang arsitek
Raden Sepat ( dari Majapahit bersama 200 orang pembantunya dari Demak ). Masjid ini juga
disebut Sang Cipta Rasa karena terlahir dari rasa dan kepercayaan penduduk. Pada masa itu juga
disebut dengan Masjid Pekungwati karena dulu masjid itu terletak dalam komplek keraton
Pekungwati dan sekarang dalam komplek kasepuhan. Menurut cerita masjid itu dibangun dalam
waktu semalam dan besok pada waktu subuh digunakan untuk Sholat Subuh. Pada tahun 1568
Sunan Gunung Jati meninggal pada usia yang sangat lanjut yaitu 120 tahun, dia dimakamkan di
pertamanan Gunung Jati
F.     Cirebon Sebagai Bandar Dagang
            Letak Cirebon yang strategis yaitu di daerah pesisir pantai Utara pulau Jawa. Cirebon
sebagai pusat pelabuhan berfungsi sebagai sumber pendapatan ekonomi dan sebagai keluar –
masuknya barang-barang kebutuhan pada masyarakat pedesaan, dengan luar daerah, maupun dari
negeri lain. Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat biasanya
dengan alat transportasi darat seperti dengan berkuda atau mengendarai gajah. Jalurnya dari
Banyumas menuju Tegal kemudian menuju Periangan. 3 wilayah pedalaman diandalkan sebagai
penghasil bahan-bahan pertanian seperti sayur mayur, buah-buahan, padi. Sedangkan barang
dagangan yang dibawa dari luar daerah yaitu : logam, besi, emas, perak, sutera, dan keramik.
Barang-barang tersebut biasanya berasal dari Cina.
Dalam transaksi perekonomian dan perdagangan Cina mempunyai peranan yang sangat
besar karena barang-barang kebutuhan masyarakat dibawa oleh pedagang-pedagang dari Cina.
Mereka memakai sistem barter yang dimaksud barter disini yaitu barter uang dengan
mempergunakan mata uang. Perdagangan Ccirebon mengalami kemunduran karena adanya
monopoli perdagangan dari kompeni Belanda pada 30 April 1632.
G.    Pelapisan Sosial Kerajaan Cirebon
Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan kedudukan dan digolongkan menjadi 4
lapisan sosial :
a.       Golongan Raja yang terdiri dari raja beserta keluarganya. Raja ditempatkan pada lapisan
paling tinggi. Para raja atau sultan Cirebon merupakan golongan ningrat yang tinggal di
lingkungan kerajaan atau istana. Raja menjalankan berbagai kebijaksanaan dan perintahnya.
Hubungan antara raja, bangsawan, dan masyarakat sangat dibatasi.
b.      Golongan Elite terdiri dari para bangsawan, priyayi, tentara, golongan Islam, dan pedagang-
pedagang kaya. Patih menempati lapisan yang paling penting karena baik raja maupun pejabat-
pejabat penting lainnya merasa tunduk dan patuh kepada keamanan sang patih
c.       Golongan non Elite. Golongan ini terdiri dari lapisan masyarakat kecil yang pada umumnya
mempunyai mata pencaharian sebagai petani, psdagang, tukang, nelayan, dan golongan
masyarakat bawah. Golongan petani dan pedagang merupakan tulang punggung bagi
perekonomian kerajaan. Prajurit mempunyai tugas cukup berat yaitu ikut dalam peperangan.
d.      Golongan Budak. Golongan ini terdiri dari buruh, para budak, dan pekerja kasar. Mereka
adalah orang-orang yang bekerja berat secara fisik menjual tenaga badaniyah atau mengerjakan
pekerjaan kasar. Golongan ini tidak hanya laki-laki saja tetapi juga wanita kadang anak-anak di
bawah umur. Walaupun budak menempati posisi paling bawah tetapi mereka dibutuhkan oleh
raja untuk melayani kepentingan-kepentingannya.         
H.    Runtunya kerajaan cirebon
Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan dipegang oleh
Sultan Sepuh, Keraton Kanoman dipegang oleh Sultan Anom, Keraton Karicebonan dipegang
oleh Panembahan Karicebonan. Mereka hanya mengurusi kerajaan masing-masing.
Mengakibatkan kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai hancur.
Setelah Sultan Panembahan Gerilya wafat pada tahun 1702, terjadi perebutan kekuasaan
diantara kedua putranya, yaitu antara Pangeran Marta Wijaya dan Pangeran Wangsakerta. Di
samping itu adanya campur tangan VOC yang mengadu domba mereka membuat persaudaraan
mereka menjadi permusuhan.
Islam masuk ke Cirebon pada abad 15, ajaran Islam ini dibawa Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati) dan Syekh Idlofi Mahdi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan
berdakwah dan mendirikan pondok pesantren. Sunan Gunung Jati, mempunyai daerah
penyebaran paling luas. Pada tahun 1498 Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung Cirebon
dan dibantu oleh kedelapan para wali. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat dan beliau
dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.
Cirebon menjadi pusat perdagangan karena letaknya di daerah pesisir utara pulau Jawa.
Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Pedagang dari luar negara yang
mendukung perekonomian di Cirebon adalah Cina dengan barang dagangannya yaitu  sutra dan
keramik. Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan status sosialnya yang dibedakan menjadi 4
golongan, yaitu golongan Raja, golongan Elite, golongan Nonelite, dan golongan Budak. Mereka
mempunyai kedudukan didalam lingkungan kerajaan.
            Cirebon mulai mengalami kehancuran ketika Cirebon dibagi menjadi 3 Kesultanan, Yaitu
Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kerato Kacirebonan. Sehingga kerajaan Cirebon
menjadi terpecah-pecah. Disamping itu adanya perebutan kekuasaan sepeninggal Panembahan
Gerilya pada tahun 1702. Adanya  campur tangan VOC dalam kerajaan yang mengadu domba
mereka juga menjadi penyebab hancurnya kerejaan Cirebon.

I.       Peningalan Kerajaan Cirebon

Kesultanan Cirebon adalah salah satu kesultanan Islam yang berdiri sejak abad ke 15 M
di Jawa Barat. Kesultanan Cirebon adalah pangkalan penting bagi jalur perdagangan, pelayaran,
dan penyebaran Islam di Jawa selain Demak. Kesultanan ini pada masa silam sempat mengalami
masa kejayaan di masa kepemimpinan Fatahillah sebelum akhirnya terpecah pada tahun
1677.             Pada artikel berikut, kita akan membahas beberapa peninggalan Kerajaan Cirebon
tersebut untuk mengenali sejarah kesultanan ini di masa silam.
1.      Peninggalan Berupa Keraton Peninggalan Kerajaan Cirebon Keraton
Kesultanan Cirebon meninggalkan beberapa keraton yang antara lain keraton Kasepuhan
Cirebon, Keraton Kanomanan, dan Keraton Kacirebonan.
a.       Keraton Kasepuhan Cirebon kini terletak di Kec. Lemah Wungkuk, Kotamadya Cirebon. Ia
merupakan pusat pemerintahan dari kesultanan Cirebon pada masa silam. Di keraton ini akan
dapat kita jumpai bangunan-bangunan dengan gaya arsitekturnya yang unik, kereta Singa
Barong, benda-benda kuno dan naskah kuno.
b.      Keraton Kanoman adalah keraton yang didirikan oleh Sultan Anom I pada tahun 1678.
Letaknya berada di 300 meter sebelah utara keraton Kasepuhan. Keraton ini telah berdiri sejak
wafatnya Panembahan Girilaya.
c.       Keraton Kacirebonan adalah keraton terkecil yang dimiliki kesultanan Cirebon. Letaknya
berada di 1 km barat daya Keraton Kasepuhan. Di dalamnya juga terdapat berbagai benda-benda
bersejarah peninggalan kerajaan Cirebon seperti keris, wayang, gamelan, dan perlengkapan
perang.
2.      Peninggalan Berupa Masjid Selain mewarisi peninggalan sejarah berupa keraton, Kerajaan
Cirebon juga meninggalkan beberapa bangunan masjid. Adanya bangunan-bangunan masjid
kuno tersebut tentu bisa menjadi bukti bahwa syiar Islam pada masa itu memang telah
berkembang dengan sangat pesat. Adapun beberapa masjid peninggalan kerajaan Cirebon
tersebut antara lain
a.       Masjid Sang Cipta Rasa adalah masjid yang dibangun Wali Songo pada tahun 1498 di
kompleks keraton Kasepuhan. Berdasarkan cerita rakyat, masjid ini didirikan hanya dalam waktu
1 malam saja. Subuh keesokan harinya masjid yang hingga kini masih berdiri kokoh tersebut
telah digunakan untuk sholat berjamaah.
b.      Masjid Jami Pakuncen berada di Tegal Arum, Kab. Tegal - Jawa Tengah. Masjid ini didirikan
oleh Sunan Amangkurat I sebagai tempat penting untuk keperluan syiar Islam di tanah Cirebon
pada masa itu.
3.      Peninggalan Berupa Makam Pemakaman muslim kuno yang kini masih terpelihara juga
merupakan peninggalan yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan Islam di
Kesultanan Cirebon. Di antara makam tersebut misalnya makam Sunan Gunung Jati dan makam
para penguasa kerajaan lainnya. Peninggalan Kerajaan Cirebon Keraton Kompleks pemakaman
peninggalan Kerajaan Cirebon terletak di Keraton Cirebon, 6 km dari pusat Kota Cirebon, Jawa
Barat. Di hari Jumat, kompleks pemakaman ini sangat ramai karena banyak orang dari berbagai
daerah datang untuk berziarah dan mengalap berkah. Selain makam Sunan Gunung Jati,
dikompleks ini juga terdapat makam Fatahillah, panglima perang Batavia. Adapun di dalam
kompleks tersebut, ada banyak benda-benda bersejarah seperti perkakas, piring, dan logam-
logam kuno yang berasal dari masa kekuasaan Dinasti Ming, China.
4.      Peninggalan Berupa Benda Pusaka Kesultanan Cirebon juga meninggalkan beberapa benda
pusaka dan yang paling terkenal adalah pusaka yang berwujud kereta, misalnya kereta Singa
barong atau kereta Paksi Naga Liman. Kereta ini adalah kereta kuno yang berasal dari tahun
1549 buatan cucu Sunan Gunung Jati yang bernama Panembahan Losari. Peninggalan Kerajaan
Cirebon Keraton Kereta ini memiliki bentuk yang sangat unik dan penuh filosofi. Pada kereta ini
terukir pahatan belalai gajah, kepala naga, dan buroq. Gajah melambangkan persahabatan
Cirebon dan India, naga melambangkan persahabatan Cirebon dan China, sedangkan buroq
melambangkan persahabatan Cirebon dan Mesir. Perlu diketahui bahwa keunikan kereta ini juga
terletak pada bagian sayapnya yang dapat otomatos mengepak ketika kereta tengah berjalan.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal Alang-Alang yang
kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Raden Walangsungsang diubah
namanya menjadi Caruban. Nama Caruban sendiri terbentuk karena diwilayah Cirebon dihuni
oleh beragam masyarakat dan sebutan lain Cirebon adalah Caruban Larang. Kerajaan Cirebon
merupakan bagian dari administratif Jawa Barat. Cirebon sendiri mempunyai arti seperti di
daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari bahasa sunda “ci” yang berarti air, sedangkan
“rebon” berarti udang. Cirebon mempunyai ati sungai udang atau kota udang. Cirebon didirikan
pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479 M Pangeran Cakrabuana
sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati Cirebon menyerahkan
kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah seorang menantu Pangeran
Cakrabuana dari ibu Ratu Mas Rara sasantang. Sejak inilah Cirebon menjadi negara merdeka dan
bercorak Islam. Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan
dipegang oleh Sultan Sepuh, Keraton Kanoman dipegang oleh Sultan Anom, Keraton
Karicebonan dipegang oleh Panembahan Karicebonan. Mereka hanya mengurusi kerajaan
masing-masing. Mengakibatkan kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai hancur.
B.     Saram
Saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Bagi
para pembaca dan teman-teman lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui
lebih jauh maka kami mengharapkan dengan rendah hati agar membaca buku-buku ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/12/8-peninggalan-kerajaan-cirebon-sejarah.html
http://kansasunsilk.blogspot.co.id/2014/04/kerajaan-cirebon-islam.html
http://padepokansutajayabantargebang.blogspot.co.id/2013/04/peninggalan-masa-kejayaan-
islam-di.html
https://www.google.com/search?q=wilayah+kekuasaan+di+cirebon&client=firefox-
a&rls=org.mozilla:en-US:

Anda mungkin juga menyukai