Anda di halaman 1dari 27

MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA KERAJAAN CIREBON

(Makalah Sejarah Indonesia Masa Islam)


Dosen Pengampu:
Drs. Maskun, M.H
Sumargono, S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh:

KELOMPOK 5
Arum Mita Prameswari 2013033051
Iskandar 2013033026
Milarisa 2013033055
Anisa Nofa Safitri 2013033022
Avip Andreansyah 2013033039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH SWT yang telah melimpahkan nikmat kepada penulis,
terutama nikmat, iman, islam, dan sehat. Sehingga penulisan makalah yang berjudul
“Muncul dan Berkembangnya Kerajaan Cirebon” dapat terselesaikan sesuai harapan.
Sholawat serta salam tercurahkan kepada sayyidina Muhammad SAW. Dalam penulisan
makalah ini tentu banyak pihak yang telah berpartisipasi membantu menyelesaikan
makalah ini, maka dengan ini penulis menyampaikan banyak terimakasih atas, kerja
sama, dorongan, serta bimbingan Bapak/Ibu dosen pengampu. Terutama kepada Bapak
Drs.Maskun,M.H. dan Bapak Sumargono,S.Pd.,M.Pd. Selaku dosen pengampu mata
kuliah Sejarah Indonesia Masa Islam, yang telah memberikan bimbingan kepada kami
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna semoga makalah ini
dapat menambah wawasan tentang Muncul dan Berkembangnya Kerajaan Cirebon.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan dan semoga hasil dari
makalah ini bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Bandar Lampung, 20 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................i

KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
...................................................................................................................................
..................

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
..................

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1


1.1 Latar Belakang Masalah..........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan.....................................................................................4

BAB 11 PEMBAHASAN......................................................................................5

2.1 Kerajaan Cirebon ....................................................................................5

2.1.1. Letak Kerajaan......................................................................................5

2.1.2. Berita Dalam dan Luar Negeri..............................................................6

2.1.3. Sistem Pemerintahan.............................................................................9

2.1.4. Kehidupan Sosial, Budaya dan Ekonomi............................................10

2.1.5. Keruntuhan Kerajaan...........................................................................13

2.1.6. Peninggalan Kerajaan..........................................................................20

BAB III PENUTUP..............................................................................................23

3.1 Kesimpulan...........................................................................................23

3.2 Saran......................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal Alang- Alang
yang kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Raden
Walangsungsang1 diubah namanya menjadi Caruban. Nama Caruban sendiri terbentuk
karena diwilayah Cirebon dihuni oleh beragam masyarakat dan sebutan lain Cirebon
adalah Caruban Larang. Pada perkembangannya Caruban berubah menjadi Cirebon
karena kebiasaan masyarakatnya sebagai nelayan yang membuat terasi udang dan petis,
masakan berbahan dasar air rebusan udang/cai-rebon. Tahun 1389 M, Cirebon disebut
“Caruban Larang”, terdiri atas Caruban pantai/ pesisir dan Caruban Girang. Letak
Cirebon yang berada dipesisir Pantai Utara Jawa yang merupakan jalur strategis
perdagangan lokal maupun internasional membuat Cirebon cepat berkembang menjadi
tempat persinggahan para pedagang dari luar negeri. Para pedagang yang singgah di
pelabuhan Cirebon. Umumnya adalah pedagang Islam yang berasal dari China, Arab,
dan Gujarat yang kemudian banyak diantara mereka yang menetap di Cirebon.

Sejak abad ke 15 M Cirebon sudah banyak didatangi pedagang Islam yang


kemudian menetap. Oleh karena itu menurut Tome Pires, seorang pedagang Portugis
yang pernah mengadakan pelayaran disepanjang pantai Utara Jawa pada tahun 1531,
kerajaan Pajajaran melarang orang-orang muslim terlalu banyak masuk ke dalam.
Kerajaan Pajajaran adalah kerajaan yang bercorak Hindu-Budha yang menguasai wilayah
Sunda termasuk hingga kewilayah Cirebon. Kerajaan Sunda Pajajaran sendiri pada saat
itu di pimpin oleh raja yang bergelar Sri Paduka (Baduga) Maharaja atau yang lebih
dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Karena Prabu Siliwangi penganut ajaran Sang
Hyang/Hindu- Budha, maka masuknya agama Islam dibatasi agar tidak mengancam
kekuasaannya. Akan tetapi, penyebaran Islam di Cirebon menjadi berkembang pesat
setelah Pangeran Cakrabuana menjadi Kuwu di Cirebon.

iv
Pangeran Cakrabuana adalah Raden Walangsungsang, anak Sulung Prabu Siliwangi
dan Permaisuri Nyai Subang Larang yang beragama Islam. Dari pernikahan Prabu
Siliwangi dan Nyai Subang Larang lahir tiga keturunan bernama Raden
Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sengara/Kian Santang.6Setelah dewasa
Raden Walangsungsang diperkenankan meninggalkan Pajajaran untuk memperdalam
ilmu Islamnya disusul kemudian oleh adiknya Lara Santang. Diperjalanan menuju
Cirebon Raden Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis.

Tempat pertama Islam diperkenalkan di wilayah Cirebon adalah pelabuhan Muara


Jati dan Dukuh Pasambangan. Orang pertama yang mengenalkan Islam adalah Syekh
Idlofi/Syekh Datuk Kahfi/Syekh Nurul Jati yang kemudian menetap dan mendirikan
pesantren. Raden Walangsungsang, Lara Santang, dan Endang Geulis yang kemudian
berguru pada Syekh Nurul Jati membuka pedukuhan di daerah Tegal Alang-Alang.
Lambat-laun para pribumi yang tertarik dengan ajaran Islam mulai memeluk Islam
dengan suka rela.

Setelah mendirikan pedukuhan Raden Walangsungsang dan Lara Santang pergi


menunaikan Ibadah Haji. Diperjalanannya Lara Santang menikah dengan Syarif Abdillah
Bin Nurul Alim, Sultan Mesir yang bergelar Sulthon Makhmud Syarif Abdullah dari
keluarga Bani Hasyim. Agar mudah diterima kemudian nama Lara Santang diubah
menjadi Syarifah Muda’im. Dari pernikahan ini Syarifah Muda’im melahirkan dua orang
putra yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.7 Syarif Hidayatullah kelak menjadi
Sultan pertama di Kesultanan Cirebon dan menjadi salah satu diantara Wali Songo, para
penyebar agama Islam di Jawa. Sunan Gunung Jati atau yang dikenal Syarif Hidayatullah
dilahirkan di Mekah tahun 1448 M dari pernikahan Syarif Abdullah dengan Syarifah
Mudaim atau Lara Santang. Pada usia 120 tahun, Sunan Gunung Jati wafat di Cirebon
pada tahun 1568 M. Jenazahnya dikebumikandipuncak Gunung Sembung/Astana Agung
Gunung JatiCirebon. Kesultanan Cirebon lahir setelah Sunan Gunung Jati Syarif
Hidyatullah menikahi sepupunya Nyai Pakungwati, anak dari Pangeran
Cakrabuana/Walangsungsang sebagai Kuwu Cirebon.

Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah yang pada tahun 1479 M mendapat restu
Pangeran Cakrabuana dan dewan Walisongo yang diketuai Sunan Ampel telah
menghentikan upeti kepada Pajajaran yang menandakan telah berdirinya Cirebon. Saat

v
itulah Kesultanan Cirebon berdiri terlepas dari Pajajaran dan menjadi Kerajaan yang
berdaulat. Setelah Sunan Gunung Jati mendirikan dan memimpin Kesultanan Cirebon,
proses Islamisasi menjadi lebih nyata terjadi. Hal itu terlihat dari wilayah kekuasaan
Kesultanan Cirebon, antara lain Luragung, Kuningan, Banten, Sunda Kelapa, Galuh,
Sumedang, Japura Talaga, Losari dan Pasir Luhur.

Dakwah Sunan Gunung Jati tidak dilakukan dengan cara yang revolusioner, tetapi
dengan cara yang mudah diterima yakni dengan memperbaiki yang sudah ada. Kegiatan-
kegiatan keagamaan contohnya, dalam perayaan Panjang Jimat dan Sekatenadalah
percampuran budaya yang hingga sekarang masih bisa kita lihat. Selain itu, contoh
percampuran budaya juga terlihat sangat unik dalam ornamen keagamaan seperti di
Masjid Agung Sang Ciptarasa yang menggunakan bentuk bengunan limasan khas budaya
Hindu.

Saat Sunan Gunung Jati menjadi Sultan petama di Cirebon sekaligus


pengangkatannya sebagai Sunanpada tahun 1479 M hingga tahun 1568 M, budayaHindu-
Budha yang merupakan agama peninggalan Pajajaran tidak dihapuskan, melainkan
diselaraskan dengan ajaran Islam. Melaui penjelasan ini maka penulis akan menjelaskan
Bagaimana kemunculan dan Perkembangan Kerajaan Cirebon yang bernuansa islam
dalam menyebarkan pengaruhnya.

vi
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah Kerajaan Cirebon?
2. Bagaimana perkembangan awal Kerajaan Cirebon?
3. Bagaimana Kehidupan Kerajaan Cirebon?

1.3 Tujuan Penulisan


Dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, tujuan dari penulisan makalh
ini adalah:
1. Agar dapat mengetahui Sejarah Kerajaan Cirebon.
2. Agar dapat mengetahui Bagaimana Perkembangan awal Kerajaan Cirebon.
3. Agar dapat mengetahui seperti apa Kehidupan Kerajaan Cirebon

vii
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Kerajaan Cirebon

Menurut Sulendraningrat  yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah


Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya
adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan
berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda:
campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa,
agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat
tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai
nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di
sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas
pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-
rebon (Bahasa Sunda: air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir
utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di
kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh
menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

2.1.1 Letak Kerajaan

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan di Jawa pada abad ke-15 dan 16,


dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau.
Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa
Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara
kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas,
yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan
Sunda. Kesultanan Cirebon didirikan di dalem agung pakungwati sebagai pusat
pemerintahan negara islam kesultanan Cirebon, letak dalem agung pakungwati sekarang
menjadi Keraton Kasepuhan.

Kerajaan Cirebon merupakan bagian dari administratif Jawa Barat. Cirebon


sendiri mempunyai arti seperti di daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari bahasa
sunda “ci” yang berarti air, sedangkan “rebon” berarti udang. Cirebon mempunyai arti

viii
sungai udang atau kota udang. Cirebon didirikan pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran
Cakrabuana. Pada tahun 1479 M Pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon yang
bertempat di kraton Pakungwati Cirebon menyerahkan kekuasaannya pada Sunan
Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah seorang menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu
Ratu Mas Rara santang. Sejak inilah Cirebon menjadi negara merdeka dan bercorak
Islam.

Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam di bawah kekuasaan Sunan Gunung


Jati wilayah Cirebon dibagi menjadi dua daerah, pesisir dan pedalaman. Daerah pesisir
dipimpin oleh Ki Gendeng Jumajan Jati, sedangkan wilayah pedalaman dipimpin oleh Ki
Gendeng Kasmaya. Keduanya adalah saudara Prabu Anggalarung dari Galuh. Sunan
Gunung Jati kemudian menikah dengan Ratu Mas Pakungwati dari Cirebon pada tahun
1479 dan pada tahun itu juga di bangun Istana Pakungwati atau keraton Kasepuhan.

Putra Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Pasarean pada tahun 1528 diangkut
sebagai pemangku kekuasaan di Cirebon. Sebelum sempat menggantikan ayahnya,
Pangeran Pasarean wafat pada tahun 1552. Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat
Aria Kemuning menjadi sultan Cirebon. Aria Kemuning adalah anak angkat dari Sunan
Gunung Jati. Aria Kemuning atau julukannya Dipati Carbon 1 menjabat sebagai sultan
Cirebon kurang lebih 12 tahun, yaitu sejak 1553-1565.

Letak Cirebon yang strategis yaitu di daerah pesisir pantai Utara pulau Jawa.
Cirebon sebagai pusat pelabuhan berfungsi sebagai sumber pendapatan ekonomi dan
sebagai keluar –masuknya barang-barang kebutuhan pada masyarakat pedesaan, dengan
luar daerah, maupun dari negeri lain. Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan
jalur laut. Jalur darat biasanya dengan alat transportasi darat seperti dengan berkuda atau
mengendarai gajah. Jalurnya dari Banyumas menuju Tegal kemudian menuju Periangan.
3 wilayah pedalaman diandalkan sebagai penghasil bahan-bahan pertanian seperti sayur
mayur, buah-buahan, padi. Sedangkan barang dagangan yang dibawa dari luar daerah
yaitu : logam, besi, emas, perak, sutera, dan keramik. Barang-barang tersebut biasanya
berasal dari Cina.

Dalam transaksi perekonomian dan perdagangan Cina mempunyai peranan yang


sangat besar karena barang-barang kebutuhan masyarakat dibawa oleh pedagang-
pedagang dari Cina. Mereka memakai sistem barter yang dimaksud barter disini yaitu
barter uang dengan mempergunakan mata uang. Perdagangan Cirebon mengalami

ix
kemunduran karena adanya monopoli perdagangan dari kompeni Belanda pada 30 April
1632.

2.1.2 Berita Dalam dan Luar Negeri

Perkembangan Awal.

Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah
seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura (Kerajaan ini ditugasi mengatur
pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak adanya penerus takhta di kerajaan
tetangganya yaitu Surantaka setelah anak perempuan penguasanya yaitu Nyi Ambet
Kasih menikah dengan Jayadewata (prabu Silih Wangi)

Cheng Ho dalam misi diplomatiknya sempat berlabuh di pelabuhan Muara Jati,


Cirebon pada tahun 1415, kedatangan Cheng Ho disambut oleh Ki Gedeng Tapa, Cheng
Ho kemudian memberikan cenderamata berupa piring yang bertuliskan ayat kursi (piring
ini sekarang tersimpan di keraton Kasepuhan, kesultanan Kasepuhan Cirebon) . Cheng
Ho dan anak buahnya kemudian berbaur dengan warga sekitar dan berbagi ilmu
pembuatan keramik, penangkapan ikan dan manajemen pelabuhan. Kung Wu Ping
(Panglima angkatan bersenjata pada armada Cheng Ho) kemudian menginisiasi pendirian
sebuah mercusuar (bahasa Cirebon: Prasada Tunggang Prawata) untuk pelabuhan Muara
Jati pembangunannya kemudian mengambil tempat di bukit Amparan Jati.

Pemukiman warga muslim Tionghoa pun kemudian dibangun di sekitar prasada


tunggang prawata bukit Amparan Jati, yaitu di wilayah Sembung, Sarindil dan Talang
lengkap dengan masjidnya, pemukiman di Sarindil ditugaskan untuk menyediakan kayu
jati guna perbaikan kapal-kapal, pemukiman di Talang ditugaskan untuk memelihara dan
merawat pelabuhan, pemukiman di Sembung ditugaskan memelihara mercusuar, ketiga
pemukiman Tionghoa tersebut secara bersama-sama ditugaskan pula memasok bahan-
bahan makanan untuk kapal-kapal, masjid di wilayah Talang sekarang telah berubah
fungsinya menjadi sebuah klenteng.

Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang ke


Cirebon untuk memperdalam agama Islam, pangeran Walangsungsang kemudian
membangun sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana pada tahun 1428
Masehi. yang sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton Kanoman, kesultanan

x
Kanoman, setelah mendapatkan pengajaran agama yang cukup, pangeran
Walangsungsang dan nyimas Rara Santang kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekah,
di sana nyimas Rara Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan
menikah sehingga nyimas tidak ikut kembali ke Cirebon. Sepulangnya dari
melaksanakan haji pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk membuka
lahan guna membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia cita-citakan,
setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan perkampungan baru tersebut
akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.

Menurut sejarah lisan dan sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa
Pengeran Walangsungsang diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati)
untuk membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir, tetapi dikatakan bahwa di Kebon Pesisir
tidak sepenuhnya kosong karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan
istrinya yang tinggal di sana, akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka Kuwu (Kepala
Desa) Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Danusela
dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah
Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau
Subangkranjang, yang tak lain adalah putri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng
Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi
penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Pada masa
pemerintahan ki Danusela sebagai kuwu Kebon Pesisir, dibangun juga tajug (bahasa
Indonesia: Mushola) pertama di wilayah tersebut atas prakarsa dari menantunya yaitu
pangeran Walangsungsang, tajug tersebut bernama tajug Jalagrahan.

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putra pertama Sri Baduga


Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertama bernama Subanglarang (putri Ki
Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu
Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang. Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak
mendapatkan haknya sebagai putra mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh
karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat
itu (abad 15) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur
orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa,
anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.

xi
Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir,
membangun Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) mendirikan Dalem
Agung Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M..
Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah
Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai
menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja"
Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan
agama Islam kepada penduduk Cirebon. Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat
dengan keberadaan Kesultanan Demak. Pangeran Walangsungsang wafat pada tahun
1529 M dan dimakamkan di gunung Sembung, Cirebon.

2.1.3 Sistem Pemerintahan

Kurang lebih satu tahun, setelah Sunan Gunung Jati menetap di Cirebon tepatnya
pada tahun 1479 Masehi, Pangeran Cakrabuana selaku penguasa Cirebon menyerahkan
tampuk pimpinan kepada Sunan Gunung Jati, keponakannya dan sekaligus sebagai
menantunya. Penobatan Sunan Gunung Jati didukung oleh para Wali Allah di Pulau Jawa
yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Sunan Gunung Jati oleh para wali dianugrahi gelar
sebagai penetep/panata agama Islam di tanah Sunda dan sebagai Tumenggung Cirebon.
Sejak itu tokoh-tokoh Islam lainnya banyak yang menyerahkan pengikutnya kepada
Sunan Gunung Jati. Tokoh-tokoh Islam yang dimaksud tadi antara lain adalah Syekh
Datuk Khafi, Syekh Majagung, Syekh Siti Jenar, Syekh Magribi, Pangeran Kejaksan, dan
para Ki Gedeng. (Ekadjati, 1991: 103-104, Sulendraningrat, 1984: 34-35).

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati merupakan “Pandita Ratu” karena selain
sebagai kepala pemerintahan (penguasa) ia juga berperan sebagai Wali Sanga penyebar
Islam. Sedangkan oleh kalangan tradisi setempat, ia disebut “Ingkang Sinuhun Kangjeng
Susuhunan Jati Purba Panetep Penata Agama Awaliya Allah Kutubid Zaman Kholipatur
Rosulullah S.A.W.” (Sulendraningrat, 1985: 21, Ekajati, 1991:37).

Setelah menjadi penguasa langkah awal tindakan politik yang dijalankan oleh
Sunan Gunung Jati ialah menggalang kekuatan terlebih dahulu dengan Demak (Ambary,
1995: 13) dan kekuatan-kekuatan Islam lainnya serta melepaskan diri dari kekuasaan
Kerajaan Sunda Pajajaran. Sunan Gunung Jati menghentikan kewajiban memberi upeti

xii
tahunan berupa garam dan terasi kepada Kerajaan Sunda Pajajaran. Tindakan Sunan
Gunung Jati itu membuat Raja Sunda Pajajaran marah dan kemudian mengutus
Tumenggung Jagabaya beserta 60 orang pasukannya untuk mendesak supaya penguasa
Cirebon menyerahkan upeti. Akan tetapi setibanya di Cirebon, Tumenggung Jagabaya
beserta pasukannya tidak menja- lankan perintah dari Raja Pajajaran, bahkan “membelot”
dan semuanya berkeinginan masuk agama Islam. Mereka tidak kembali lagi ke Pajajaran
dan menetap di Cirebon mengabdi kepada Sunan Gunung Jati (Ekadjati, Sulendraningrat,
1984: 35; Atja dan Ayatrohaedi, 1986: 73).

Degan dihentikannya upeti kepada Kerajaan Sunda Pajajaran, itu merupakan


pertanda bahwa Cirebon sejak dipegang oleh Sunan Gunung Jati melepaskan diri dari
Kerajaan Sunda Pajajaran. Selanjutnya, dimulailah sebuah negara yang bebas dan
merdeka serta berdaulat penuh atas rakyat dan wilayahnya. Upaya Sunan Gunung Jati
untuk melepaskan diri dari Kerajaan Sunda Pajajaran tidak mendapat halangan yang
berarti. Hal itu dikarenakan adanya beberapa penyebab, yaitu: Pertama, karena Kerajaan
Sunda Pajajaran sedang mengalami kemun- duran dan kekuatannya makin digerogoti
oleh penguasa-penguasa daerah yang ingin melepaskan diri dari kekuasaannya, seperti
Raja Galuh, Talaga, dan Banten. Kedua, membelotnya Tumenggung Jayabaya be- serta
pasukannya yang tergolong kuat, mengakibatkan terpukulnya hati Raja Pajaja- ran,
sehingga konsentrasi kepada kerajaan terganggu. Ketiga, Sunan Gunung Jati masih
keturunan Prabu Siliwangi, dan keempat, Raja Pajajaran, Sribaduga Maha- raja (Prabu
Siliwangi) keburu meninggal dunia (1521).

2.1.4 Kehidupan Sosial, Politik dan Ekonomi

Kehidupan Sosial Kerajaan Cirebon Perkembangan Cirebon tidak lepas dari


pelabuhan, karena pada mulanya Cirebon memang sebuah bandar pelabuhan. Maka dari
sini tidak mengherankan juga kondisi sosial di Kerajaan Cirebon juga terdiri dari
beberapa golongan. Diantara golongan yang ada antara lain, golongan raja beserta
keluargana, golongan elite, golongan non elite, dan golongan budak.Golongan Raja Para
raja/Sultan yang tinggal di kraton melaksanakan ataupun mengatur pemerintahan dan
kekuasaannya. Pada mulanya gelar raja pada awal perkembangan Islam masih digunaka,
tetapi kemudian diganti dengan gelar Sultan akibat adanya pengaruh Islam. Kecuali gelar
Sultan terdapat juga gelar lain seperti Adipati, Senapati, Susuhunan, dan Panembahan.

xiii
Raja atau Sultan sebaai penguasa terinnggi dalam pemerintahan memiliki hubungan erat
dengan pejabat tinggi kerajaan seperti senapati, menteri, mangkubumi, kadi, dan lain
sebagainya.

Pertemuan antara raja dengan pejabat ataupun langsung dengan rakyat tidak
dilakukan setiap hari. Kehadiran raja di muka umum kecuali pada waktu
audiensi/pertemuan juga pada waktu acara penobatan mahkota, pernikahan raja, dan putra
raja.Golongan Elite Golongan ini merupakan golongan yang mempunyai kedudukan di
lapisan atas yang terdiri dari golongan para bangsawan/priyayi, tentara, ulama, dan
pedagang. Diantara para bangsawan dan pengusa tersebut, patih dan syahbandar memiliki
kedudukan kedudukan penting. Di Cirebon, pernah ada orang-orang asing yang dijadikan
syahbandar dan mereka memempati golongan elite. Hal ini dipertimbangkan atas suatu
dasar bahwa mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas tentang
perdagangan dan hubungan internasional. Golongan keagamaan yang terdiri dari ulama
juga memiliki memiliki kedudukan yang tinggi, mereka umumnya berperan sebagai
penasehat raja .Golongan Non Elite Golongan ini merupakan merupakan lapisan
masyarakat yang besar jumlahnya dan terdiri dari masyarakat kecil yang bermata
pencaharian sebagai petani, pedagang, tukang, nelayan, dan tentara bawahan dan lapisan
masyarakat kecil lainnya. Petani dan pedagang merupakan tulang punggung
perekonomian, dan mereka mempunyai peranan sendiri-sendiri dalam kehidupan
perekonomian secara keseluruhan.Golongan Budak Golongan ini terdiri dari orang-orang
yang bekerja keras, menjual tenagai sampai melakukan pekerjaan yang kasar. Adanya
golonga buak tersebut disebabkan karena seseorang yang tidak bias membayar utang,
akibat kalah perang. Golongan budak menempati status sosial paling rendah, namun
mereka juga diperlukan oleh golongan raja maupun bangsawan untuk melayani keperluan
mereka. Mereka dipekerjakan dalam membantu keperluannya dengan menggunakan fisik
yang kuat. Mereka harus taat pula dengan peraturan yang dibuat oleh majikannya. Namun
bagi mereka yang nasibnya baik dan bisa membuat majikan berkenan maka mereka bisa
diangkat sebagai tukang kayu, juru masak dan lain sebagainya .

Perkembangan politik yang terjadi pada Cirebon berawal dari hubungan


politiknya dengan Demak. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan Cirebon.
Dikatakan oleh Tome Pires yang menjadi Dipati Cirebon adalah seorang yang berasal
dari Gresik. Babad Cirebon menceritakan tentang adanya kekuasaan kekuasaan

xiv
Cakrabuana atau Haji Abdullah yang menyebarkan agama  islam di kota tersebut
sehingga upeti berupa terasi ke pusat Pajajaran lambat laun dihentikan.   Selain
hubungannya dengan Demak, kehidupan politik pada kala itu juga dipengaruhi oleh
beberapa konflik. Konflik yang terjadi ada konflik internal dan  menjadi vassal VOC

    Pertama yang terjadi, dimulai dari keputusan Syarif Hidayatullah yang resmi
melepaskan diri dari kerajaan Sunda tahun 1482. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun
1570, dan kepemimpinannya digantikan oleh anaknya yaitu Pangeran Ratu atau
Panembahan Ratu. Pada masa kepemerintahannya, Panembahan Ratu menyaksikan
berdirinya karajaan Mataram dan datangnya VOC di Batavia.
            Panembahan Ratu cenderung berperan sebagai ulama dari pada sebagai raja.
Sementara di bidang politik, Panembahan Ratu menjaga hubungan baik dengan Banten
dan Mataram .Setelah wafat pada tahun 1650, dalam usia 102 tahun, Panembahan Ratu
digantikan oleh cucunya, yaitu Pangeran Karim yang dikenal dengan nama Panembahan
Girilaya atau Panembahan Ratu II karena anaknya Pangeran Seda Ing Gayam telah wafat
terlebih dahulu .
            Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo, Panembahan Senapati dijemput oleh
utusan dari kesultanan Banten ke Kediri. Dalam perjalanan kondisi Senapati yang sakit-
sakitan menyebabkan dia meninggal dunia dan akhirnya dimakamkan di bukit Giriliya.
Sedangkan kedua anaknya dibawa ke Banten, yaitu: Pangeran Martawijaya dan Pangeran
Kartawijaya. Namun, kemudian mereka dikembalikan ke Cirebon, disana mereka
membagi tiga kekuasaan.
            Ketiga penguasa Cirebon ini berusaha untuk menjadikan diri sebagai penguasa
tunggal. Sultan Sepuh merasa bahwa ia yang berhak atas kekuasaan tunggal karena ia
anak tertua. Sementara Sultan Anom, juga berkeinginan yang sama sehingga ia mencoba
mencari dukungan kepada Sultan Banten. Di lain pihak, Pangeran Wangsakerta , yang
menjadi pengurus kerajaan saat kedua kakaknya dibawa ke Mataram, merasa berhak juga
menjadi penguasa tunggal. Sultan Sepuh mencoba mendapat dukungan VOC dengan
menawarkan diri menjadi vassal VOC. VOC sendiri tidak pernah mengakui gelar sultan
pemberian Sultan Banten dan selalu menyebut mereka panembahan .
Dengan surat perjanjian tanggal 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi vassal
VOC. Jadilah, urusan perdagangan diserahkan kepada VOC, berbagai keputusan terkait
Cirebon (termasuk pergantian sultan, penentuan jumlah prajurit) harus sepersetujuan

xv
VOC di Batavia, ketika para Sultan akan bepergian harus atas ijin VOC dan naik kapal
mereka, dalam berbagai yupacara, pejabat VOC harus duduk sejajar dengan para Sultan.

Setelah kedatangan Belanda ke Cirebon membuat banyak  perubahan, khususnya


di bidang politik. Pada tahun 1696, Sultan Anom II atas kehendak VOC menjadi Sultan.
Pada Tahun 1768 kesultanan Cirebon dibuang ke Maluku.
            Situasi politik Cirebon yang sudah terkotak-kotak itu, memang tidak bisa
dihindarkan. Namun ada hal yang menarik, bahwa seorang keturunan Sunan Gunung Jati,
yaitu Pangeran Aria Cirebon, tampak berusaha langsung atau tidak langsung untuk
menunjukkan soliditas Cirebon, sebagai suatu dinasti yang lahir dari seorang Pandita
Ratu. Pertama, ketika ia diangkat sebagai opzigther dan Bupati VOC untuk Wilayah
Priangan dan kedua , ia menulis naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Kehidupan Ekonomi Cirebon mengandalkan perekonomiannya pada perdagangan
jalur laut, dimana terletak bandar- bandar dagang yang berfungsi sebagai tempat singgah
para pedagang dari luar Cirebon yang juga memiliki fungsi sebagai tempat jual beli
barang dagangan. Sejak Syarif Hidayatullah memerintah, bandar-bandar di Cirebon
makin ramai. Selain itu perekonomian Cirebon juga ditunjang oleh kegiatan
masyarakatnya yang menjadi nelayan dimana Cirebon kaya akan udangnya.

2.1.5 Keruntuhan Kerajaan


Panggilan hati Sunan Gunung Jati rupanya lebih cenderung pada upaya penyebaran
agama Islam dari pada menjadi raja. Oleh karena itu pada tahun 1528 urusan
pemerintahan kesultanan ia serahkan kepada Pangeran Pasarean, putra Sunan Gunung Jati
dari Nyai Tepasari. Selanjutnya, Sunan Gunung Jati lebih mengkhususkan diri
menyebarkan agama Islam ke daerah pedalaman (Ekadjati, 1991: 107-108). Tentu saja
Pangeran Pasarean statusnya hanya mewakili saja, artinya belum menjadi raja, sebab
Sunan Gunung Jati masih hidup dan belum menyerahkan statusnya. Dengan posisinya itu,
jelaslah bahwa Pangeran Pasarean telah dipromosikan oleh Sunan Gunung Jati sebagai
calon penggantinya dikemudian hari. Akan tetapi, meskipun ia telah mewakili Sunan
Gunung Jati selama 18 tahun, ia tidak sempat mewarisi tahta kerajaan karena ia keburu
meninggal dunia di Demak pada tahun 1546. Urusan pemerintahan kemudian diwakili
oleh Fadhillah Khan, menantu Sunan Gunung Jati (Ekadjati, 1991: 64).

xvi
Setelah Pangeran Pasarean me- ninggal dunia, selanjutnya yang dipromo- sikan
untuk menggantikan Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Sawarga, putra Pangeran
Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Ia telah menduduki jabatan penting dalam birokrasi
Kesultanan Cirebon sehingga namanya berubah menjadi Pangeran Dipati Carbon. Akan
tetapi ia meninggal dunia terlebih dahulu, yaitu pada tahun 1565 (Ekadjati, 1991: 88).
Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal dunia, roda pemerintahan Kesul-
tanan Cirebon tetap dijalankan oleh Fadhillah Khan sampai ia meninggal pada tahun
1570. Setelah itu, yang naik tahta adalah cicit Sunan Gunung Jati yang bernama Pangeran
Emas putra Pangeran Swarga Dipati Carbon dari perkawinan dengan Nhay Mas Ratu
Wanawati Raras, putri Fadhillah Khan.
Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I, ia memerintah Kesul- tanan
Cirebon selama 79 tahun, yaitu dari tahun 1570 sampai 1649 M. Pada masa Panembahan
Ratu I di Cirebon tidak terjadi masalah apapun. Hal yang demikian itu terjadi karena
kondisi Cirebon pada masa itu sangat kondusif. Kerajaan Sunda sudah tidak menjadi
ancaman lagi bagi eksistensi Kesultanan Cirebon.
Demikian pula dengan Kerajaan Banten. Pada masa itu Banten masih tetap
konsisten memandang Cirebon sebagai sumber pertama eksistensi kesul- tanannya. Selain
itu, terjalin hubungan yang erat dengan Kerajaan Pajang dan juga hubungan dagang
dengan luar negeri berjalan lancar. Pelabuhan-pelabuhan seba- gai aset Kesultanan
Cirebon yang amat penting terjaga keamanannya sehingga kapal-kapal dagang asing
makin banyak yang singgah untuk melakukan transaksi dengan masyarakat Cirebon
(Sunardjo, 1996: 44).
Namun demikian, pada masa Panem- bahan Ratu I Kesultanan Cirebon tidak lagi
melebarkan wilayahnya ke daerah-daerah lain, karena pada waktu itu posisi Cirebon
terjepit di antara dua kerajaan besar, yaitu Banten di barat dan Mataram di timur.
Sebenarnya Cirebon bisa saja diruntuhkan baik oleh Banten maupun oleh Mataram
mengingat kekuatan angkatan bersenjata Banten atau Mataram lebih kuat dari Cirebon.
Akan tetapi kedua kerajaan terse- but masih menghormati Cirebon. Banten menghormati
Cirebon sebagai tahta leluhur- nya, yaitu Sunun Gunung Jati, sedangkan Mataram
memandang Cirebon sebagai guru dan keramat (Ekadjati, 1991).
Bukan mustahil Cirebon, yang selalu bersahabat dengan Mataram, dalam banyak
hal menjadi teladan bagi Mataram. Mungkin Sitiinggil yang terdapat di Keraton Cirebon
pada tahun 1625 ditiru oleh Susuhunan untuk keratonnya dan mungkin pula makam

xvii
keramat Sunan Gunung Jati dipakai sebagai contoh untuk makamnya di Wonogiri. Ketika
Sidang Raya Kerajaan Mataram berlangsung pada tahun 1636, rupanya Panembahan Ratu
yang dituakan dan dihor- mati diundang untuk datang ke Mataram dengan maksud untuk
memperbesar kewi- bawaan Susuhunan (De Graaf, 1986: 292).
Pada masa Panembahan Ratu I ternyata Cirebon lebih dekat ke Mataram daripada
ke Banten. Sebagai contoh Putri Ratu Ayu Sakluh yang merupakan kakak perempuan
Panembahan Ratu I menikah dengan Sultan Agung Mataram. Dari pernikahan itu, Sultan
Agung berputra Susuhunan Amangkurat I. Kelak salah seorang putri Susuhunan
Amangkurat 1 bersuamikan Panembahan Girilaya dari Cirebon (Atja dan Ajatrohaedi,
1986: 22; Atja, 1986: 72 dalam Edi S. Ekadjati, 1991:
112; Tjandrasasmita, 1995: 144). Selain itu, menurut F. Dee Haan (1912: 38), juga
ditandai dengan dibangunnya kuta (dinding) yang mengitari keraton Pakungwati. Kuta
yang mengelilingi keraton Cirebon itu dibangun kurang lebih pada 1590 yang
pembangunannya merupakan persembahan Senapati Mataram terhadap Panembahan Ratu
I Cirebon.
Sepeninggalnya Panembahan Ratu I pada 1649, kedudukannya sebagai kepala
pemerintahan Cirebon digantikan oleh cucunya yang bernama Pangeran Putra atau
disebut juga Raden Rasmi dan bergelar Panembahan Adiningkusuma atau bergelar
Panembahan Ratu II, setelah meninggal dunia, ia lebih dikenal dengan Panembahan
Girilaya, karena dimakamkan di sebuah bukit yang bernama Girilaya, yang letaknya di
sebelah timur Wonogiri, Jogjakarta (Tedjasubrata, 1966 : 112).
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu II, Cirebon mulai mengalami masalah
dalam bidang politik. Raja Mataram yaitu Amangkurat I yang juga mertuanya meminta
agar Panembahan Ratu II membujuk Banten untuk bersahabat dengan Mataram dan mau
menghentikan serangannya terhadap Belan- da. Panembahan Ratu II mau tidak mau
menuruti kemauan Amangkurat I. Ia beberapa kali berkunjung ke Banten untuk
membujuk sultan Ageng Tirtayasa agar mau bergabung dengan Mataram dan menghenti-
kan serangan ke Belanda, tetapi usahanya itu gagal. Bahkan Sultan Ageng Tirtayasa
mengajaknya untuk bergabung dengan Banten daripada dengan Mataram. Sultan Ageng
Tirtayasa juga memperingatkan bahwa Mataram dapat mengancam kedaulat- an Cirebon
(Sunardjo, 1996: 53-54).
Kegagalan Panembahan Ratu II di dalam membujuk Banten membawa akibat yang
fatal. Amangkurat I merasa kecewa dan menganggap Panembahan Ratu II telah bersekutu

xviii
dengan Banten. Karena itulah pada tahun 1662 Amangkurat I mengundang Panembahan
Ratu II ke Mataram untuk menghadiri upacara penghormatan. Tentu saja Panembahan
Ratu II tidak bisa menolak undangan tersebut. Ia bersama kedua putranya, yaitu
Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya datang ke Mataram. Sesampainya di
Mataram dan setelah upacara penghormatan itu selesai, Panem- bahan Ratu II beserta
kedua anaknya tidak diperbolehkan pulang ke Cirebon. Rupanya undangan itu tidak
semata dimaksudkan sebagai penghormatan tetapi juga sebagai pertanggungjawaban
Panembahan Ratu II yang gagal melaksanakan misi Mataram. Di Mataram Panembahan
Ratu II dengan kedua putranya menjadi tahanan politik meskipun demikian Panembahan
Ratu II tetap diakui sebagai Raja Cirebon. Mereka tinggal di kompleks perumahan
bangsawan Mataram dan diperlakukan secara baik (Herlina, et. al., 2003: 196).
Menurut Burger (1962: 59) tindakan itu merupakan kebijakan politik pemerin-
tahan Susuhunan Amangkurat I terhadap penguasa-penguasa pesisir. Mataram di bawah
Susuhunan Amangkurat I berusaha mencurahkan seluruh tenaga untuk dapat
mengendalikan penguasa-penguasa di daerah pesisir guna kepentingannya. Cara yang
dipergunakan oleh Mataram itu adalah dengan jalan menjadikan penguasa-penguasa
pesisir sebagai abdi istana. Hal itu, dimaksudkan agar penguasa daerah pesisir yang
cenderung bersikap terbuka terhadap pengaruh luar menjadi kurang membahaya- kan dan
sekaligus kekuasaan mereka bisa diawasi lebih ketat.
Selama Panembahan Ratu II dan kedua puteranya berada di Mataram, pemerintahan
sehari-hari di Cirebon dipe- gang oleh putra ketiganya, yaitu Pangeran Wangsakerta yang
tidak ikut serta ke Mataram. Dalam menjalankan roda pemerin- tahannya, Pangeran
Wangsakerta selalu diawasi secara ketat oleh orang-orang Mataram yang ditugaskan oleh
Susuhunan Amangkurat I. Hal yang demikian itu jelas menunjukkan bahwa Cirebon
sudah kehi- langan kedaulatannya. Apa yang pernah dikatakan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa kepada Panembahan Ratu II bahwa Mataram dapat mengancam kedaulatan
Cirebon menjadi kenyataan.
Selama bertahun-tahun mereka ting- gal di Mataram, sampai akhirnya pada tahun
1667 Panembahan Ratu II meninggal dunia dan dimakamkan di Girilaya. Sejak saat itu
Panembahan Ratu II sering disebut dengan nama Panembahan Girilaya. Sepuluh tahun
kemudian yaitu sekitar tahun 1677, Raden Trunojoyo mengadakan serangan besar-
besaran terhadap keraton Mataram. Serangan itu bukan saja berhasil menduduki ibukota
Mataram, melainkan juga dapat membebaskan kedua Pangeran Cirebon, yaitu Pangeran

xix
Martawidjaja dan Pangeran Kertawidjaja dari cengkraman Sunan Amangkurat I.
Selanjutnya kedua Pangeran Cirebon itu dibawa oleh pasukan Raden Trunojoyo ke
Kediri. Dari Kediri kedua Pangeran tersebut diambil oleh utusan Sultan Ageng Tirtayasa
ke Banten (Ekadjati, 1991: 115-116; Sunardjo, 1983: 139; Atja,
1988: 10).
Di Banten Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat kedua pangeran itu sebagai sultan
Cirebon dan menetapkan wilayah dan rakyatnya masing-masing. Pangeran Marta- wijaya
menjadi Sultan Sepuh dan Pangeran Kartawijaya menjadi Sultan Anom. Sedangkan
Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Cirebon tetapi tanpa memiliki
wilayah kekuasaan dan keraton secara formal (Ekadjati, 1991: 93).
Menurut catatan Brandes (1911: 24), mereka kembali ke Cirebon, tahun 1678.
Dengan pengakuan Sultan Ageng Tirtayasa, maka Pangeran Martawidjaja (Pangeran
Samsudin) menjadi Sultan Sepuh/Kasepuhan yang pertama, Pangeran Kertawidjaja
(Pangeran Badrudi/Komarudin) menjadi Sultan Anom/Kanoman yang pertama,
sedangkan Pangeran Wangsakerta (Raden Godang) menjadi Panembahan Cirebon yang
pertama/Sultan Cirebon (Atja, 1988: 10-11). Keputusan Sultan Ageng Tirtayasa menye-
babkan Cirebon terbagi menjadi tiga bagian dan mulai saat itu Cirebon berada di bawah
pengaruh dominasi Banten. Sultan Sepuh (Pangeran Samsudin) kemudian menempati
Keraton Pakungwati sebagai keratonnya (sekarang letaknya di sebelah timur Keraton
Kasepuhan). Sultan Anom (Pangeran Badrudin) menempati bekas rumah pertama
Pangeran Cakrabuana untuk dijadikan keratonnya. Tempat itu sekarang termasuk ke
dalam wilayah kelurahan Lemah Wungkuk Kotamadya Cirebon. Adapun Sultan Cerbon
(Panem- bahan Cirebon) untuk sementara waktu tinggal bersama-sama dengan Sultan
Sepuh di kompleks Keraton Pakungwati (Sunardjo, 1983: 153).
Sejak saat itu pula pemakaian gelar di Cirebon berubah, yaitu dari panembahan
menjadi sultan. Pangeran Martawijaya memakai gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi
Muhammad Samsudin (1677-1703) dan Pangeran Kartawijaya memakai gelar Sultan
Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723). Gelar Sultan itu diberikan
oleh Sultan Ageng Tirtayasa ketika ia melantik kedua Pangeran Cirebon itu di ibu
kota Banten. Sebagai Sultan, kedua pangeran dari Cirebon itu mempunyai kekuasaan
penuh atas wilayah dan rakyatnya dan juga memiliki keraton masing-masing. Namun
demikian, Sultan Ageng Tirtaysa tidak mengangkat anak laki-laki ketiga dari
Panembahan Ratu II, yang bernama Pangeran Wangsakerta sebagai sultan. Ia hanya

xx
diangkat sebagai Panembahan Cire- bon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil
Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713). Dengan demikian, ia
tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton sendiri. Tempat tinggalnya hanya
berupa rumah besar biasa yang terletak di sebelah Timur Keraton Pakungwati
(Subagja, 1990: 54-55).
Dengan terbaginya Cirebon menjadi dua kesultanan yang sederajat dan satu
panembahan, sulit bagi Cirebon untuk mengembalikan lagi kebesaran dan kewi-
bawaan yang pernah diraih semasa Cirebon dipegang oleh Sunan Gunung Jati. Ketiga
orang itu mempunyai konsep yang berbeda. Sehingga muncullah persaingan bahkan
konflik di antara ketiganya. Untuk mere- dakan persaingan yang keras itu, semua
pihak meminta bantuan Kompeni Belanda untuk menyelesaikannya (Herlina, et.al.,
2003: 197). Kondisi semacam itu tentu saja dimanfaatkan oleh Kompeni Belanda
untuk menanamkan kekuasaannya di Cirebon. Kompeni Belanda menyambut baik
permin- taan dari pihak Cirebon untuk bertindak sebagai penengah yang dapat
menyelesaikan konflik di kalangan elit Cirebon, sambil mencari peluang untuk
mengambilalih kekuasaan di Cirebon.
Sejak saat itu maka dimulailah suatu era perjanjian, berbagai perjanjian
diadakan oleh pihak Kompeni Belanda dengan kedok mendamaikan para elit Cirebon
tetapi dibalik itu semua diprogramkan upaya merebut kekuasan secara bertahap
namun pasti. Pada tanggal 4 Desember 1685, 8 September 1688, dan 4 Agustus
1699 dilakukan perjanjian kesepakatan di antara penguasa Cirebon disaksikan oleh
para pejabat Kompeni Belanda. Dalam teks perjanjian itu dinyatakan bahwa Gubernur
Jenderal Kompeni dan Raad van Nederlandsch Indie bertindak sebagai pemrakarsa
dan pelindung Kesultanan Cirebon dengan perantaraan masing-masing Kapten
Francois Tack, Johanes de Hartog, dan Komisaris Kompeni Cirebon. Adapun
perjanjian tahun 1688 dan 1699 ditujukan secara tersurat untuk memperbaiki
hubungan persaudaraan di antara tiga keluarga Keraton Cirebon. Dalam naskah
perjanjian dinyata- kan secara tersurat tentang derajat kedudukan di antara ketiganya.
Sultan Sepuh berada pada posisi paling atas, kemudian Sultan Anom pada posisi
kedua, dan Panembahan Cirebon pada posisi ketiga. Urutan kedudukan itu tentu saja
berlaku terhadap putra mahkota masing-masing (Ekadjati, 1991: 81-82).
Selain mengatur masalah derajat kedudukan para sultan, perjanjian itu juga
mengatur tentang banyak hal, yaitu: (1) yang berhubungan dengan jalannya

xxi
pemerintahan, seperti; pengeluaran pemerintah, pembagian hasil dari pelabuhan,
penerimaan dan jawaban surat, penerimaan dan penyampaian pesan kepada utusan
dari negara lain, dan pelaksanaan upacara rutin di alun-alun; (2) yang berhubungan
dengan rakyat, seperti; pembuatan kampung, pembuatan jalan, pembuatan dan
perbaikan pengairan, pengadilan, pembuatan stempel, perselisihan para pedagang,
pembagian pendapatan dan hasil tanah, pengolahan Bandar pelabuhan, pengangkatan
dan pemberhentian pejabat kerajaan, dan penetapan putra mahkota, yaitu Pangeran
Dipati anom dan Pangeran Ratu (Ekadjati, 1991: 81-82). Dari berbagai penjanjian itu
secara tidak langsung para penguasa Cirebon menerima dan mengakui pengaruh
kekuasaan Kompeni Belanda.
Begitulah perkembangan politik di Cirebon. Keadaan Cirebon makin parah dan
penguasa-penguasa Cirebon sudah tidak bisa berbuat banyak. Secara politis, Cirebon
berada di bawah perlindungan kekuasaan Kompeni Belanda. Kondisi itu semakin
rumit setelah Sultan Sepuh I meninggal dunia (1697). Harta benda kasepuhan dibagi
dua kepada Pangeran Dipati dan Pangeran Aria Adiwidjaja, namun mengenai siapa
penguasa yang paling utama di Cirebon, kembali menimbulkan pertentangan yang
sengit sehingga mengundang kembali pihak kompeni untuk menjadi penengah lagi.
Pengaruh Kompeni sangat terlihat dalam kontrak tertanggal 4 Agustus 1699
yang antara lain menetapkan bahwa Sultan Anom 1 menempati derajat pertama,
Panembahan Cirebon menempati derajat kedua, dan kedua putera Sultan Sepuh 1,
yaitu Pangeran Dipati Anom dan Pangeran Aria Adiwidjaja menempati derajat ketiga
dalam urusan kepemerintahan di kesultanan Cirebon (Ekadjati, 1991: 123). Dengan
demikian, di Cirebon ada empat raja. Kemudian pada tahun 1773 jumlahnya
berkurang menjadi tiga orang raja setelah Panembahan Cirebon meninggal dunia.
Karena Panembahan Cirebon tidak ber- putera maka peninggalannya dibagi dua, yaitu
kepada Sultan Sepuh dan Sultan Anom (Veth, 1878: 453; Hageman, 1852: 246).
Melalui berbagai perjanjian lambat laun Cirebon jatuh ke tangan Kompeni
Belanda dan pada tahun 1681 Kompeni Belanda berhasil menanamkan dominasinya
secara penuh. Hal yang demikian itu dapat dilihat dari perjanjian antara Cirebon
dengan Kompeni Belanda tanggal 7 Januari 1681. Adapun isi penjanjian itu adalah:
(1) Kompeni memperoleh hak monopoli impor pakaian, kapas, dan opium. Semuanya
itu bebas dari bea impor, padahal sebelumnya keraton mengenakan bea impor sebesar
2% dari nilai barang; (2) Kompeni memperoleh hak monopoli ekspor komoditas

xxii
seperti lada, kayu, gula, beras, dan produk-produk lain yang dikehendaki oleh
Kompeni; (3) Tanaman lada yang diusahakan di Cirebon diatur oleh Kompeni dan
Kompeni juga yang menentukan harganya; (4) Pelayaran pribumi harus mendapatkan
lisensi dari VOC dan sangat dibatasi. Tidak semua kapal boleh masuk, kecuali atas
ijin dari VOC (Herlina, et.al., 2003: 201).
Dari isi perjanjian tersebut jelaslah bahwa secara politis maupun militer,
Cirebon telah berada di bawah dominasi Kompeni Belanda. Kota Cirebon berada di
bawah kontrol Kompeni Belanda. Adapun para penguasa Kesultanan Cirebon pada
kondisi semacam itu hanyalah berperan sebagai perantara antara kompeni dengan
masyarakat pedesaan di pedalaman. Namun demikian, rupanya pihak kompeni masih
belum puas juga dengan keadaan itu, karena pihak keraton ternyata masih mempunyai
kekuatan ekonomis agraris. Untuk itulah pihak kompeni pun akhirnya berhubungan
langsung dengan masyarakat sehingga pihak Keraton Cirebon kehilangan sumber
daya ekonominya.
Dengan demikian, sumber ekonomi Kesultanan Cirebon baik di pelabuhan maupun
di pedalaman dikuasai sepenuhnya oleh pihak kompeni. Benteng VOC menjadi pusat
perdagangan sedangkan keraton ber- henti dari aktifitas perdagangan. Keraton akhirnya
hanya bisa melakukan aktifitas di bidang kesenian, kerohanian, gaya hidup, dan upacara-
upacara keraton yang adilu- hung. Cirebon terpuruk dan akhirnya, pada tahun 1809,
Gubernur Jenderal Daendels menghapus kekuasaan para Sultan Cirebon (Herlina, et.al.,
2003: 201-203).

2.1.6 Peninggalan Kerajaan

Kesultanan Cirebon adalah salah satu kesultanan Islam yang berdiri sejak abad ke
15 M di Jawa Barat. Kesultanan Cirebon adalah pangkalan penting bagi jalur
perdagangan, pelayaran, dan penyebaran Islam di Jawa selain Demak. Kesultanan ini
pada masa silam sempat mengalami masa kejayaan di masa kepemimpinan Fatahillah
sebelum akhirnya terpecah pada tahun 1677.   Pada artikel berikut, kita akan membahas
beberapa peninggalan Kerajaan Cirebon tersebut untuk mengenali sejarah kesultanan ini
di masa silam.
   Peninggalan Berupa Keraton Peninggalan Kerajaan Cirebon Keraton  
Kesultanan Cirebon meninggalkan beberapa keraton yang antara lain keraton Kasepuhan
Cirebon, Keraton Kanomanan, dan Keraton Kacirebonan.
a. Keraton Kasepuhan Cirebon kini terletak di Kec. Lemah Wungkuk, Kotamadya
Cirebon. Ia merupakan pusat pemerintahan dari kesultanan Cirebon pada masa

xxiii
silam. Di keraton ini akan dapat kita jumpai bangunan-bangunan dengan gaya
arsitekturnya yang unik, kereta Singa Barong, benda-benda kuno dan naskah
kuno.
b. Keraton Kanoman adalah keraton yang didirikan oleh Sultan Anom I pada tahun
1678. Letaknya berada di 300 meter sebelah utara keraton Kasepuhan. Keraton ini
telah berdiri sejak wafatnya Panembahan Girilaya.
c. Keraton Kacirebonan adalah keraton terkecil yang dimiliki kesultanan Cirebon.
Letaknya berada di 1 km barat daya Keraton Kasepuhan. Di dalamnya juga
terdapat berbagai benda-benda bersejarah peninggalan kerajaan Cirebon seperti
keris, wayang, gamelan, dan perlengkapan perang.
 Peninggalan Berupa Masjid Selain mewarisi peninggalan sejarah berupa keraton,
Kerajaan Cirebon juga meninggalkan beberapa bangunan masjid. Adanya bangunan-
bangunan masjid kuno tersebut tentu bisa menjadi bukti bahwa syiar Islam pada masa itu
memang telah berkembang dengan sangat pesat. Adapun beberapa masjid peninggalan
kerajaan Cirebon tersebut antara lain
a. Masjid Sang Cipta Rasa adalah masjid yang dibangun Wali Songo pada tahun
1498 di kompleks keraton Kasepuhan. Berdasarkan cerita rakyat, masjid ini
didirikan hanya dalam waktu 1 malam saja. Subuh keesokan harinya masjid yang
hingga kini masih berdiri kokoh tersebut telah digunakan untuk sholat berjamaah.
b. Masjid Jami Pakuncen berada di Tegal Arum, Kab. Tegal - Jawa Tengah. Masjid
ini didirikan oleh Sunan Amangkurat I sebagai tempat penting untuk keperluan
syiar Islam di tanah Cirebon pada masa itu
 Peninggalan Berupa Makam Pemakaman muslim kuno yang kini masih terpelihara
juga merupakan peninggalan yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan Islam
di Kesultanan Cirebon. Di antara makam tersebut misalnya makam Sunan Gunung Jati
dan makam para penguasa kerajaan lainnya. Peninggalan Kerajaan Cirebon Keraton
Kompleks pemakaman peninggalan Kerajaan Cirebon terletak di Keraton Cirebon, 6 km
dari pusat Kota Cirebon, Jawa Barat. Di hari Jumat, kompleks pemakaman ini sangat
ramai karena banyak orang dari berbagai daerah datang untuk berziarah dan mengalap
berkah. Selain makam Sunan Gunung Jati, dikompleks ini juga terdapat makam
Fatahillah, panglima perang Batavia. Adapun di dalam kompleks tersebut, ada banyak
benda-benda bersejarah seperti perkakas, piring, dan logam-logam kuno yang berasal dari
masa kekuasaan Dinasti Ming, China.
Peninggalan Berupa Benda Pusaka Kesultanan Cirebon juga meninggalkan beberapa
benda pusaka dan yang paling terkenal adalah pusaka yang berwujud kereta, misalnya
kereta Singa barong atau kereta Paksi Naga Liman. Kereta ini adalah kereta kuno yang
berasal dari tahun 1549 buatan cucu Sunan Gunung Jati yang bernama Panembahan
Losari. Peninggalan Kerajaan Cirebon Keraton Kereta ini memiliki bentuk yang sangat
unik dan penuh filosofi. Pada kereta ini terukir pahatan belalai gajah, kepala naga, dan
buroq. Gajah melambangkan persahabatan Cirebon dan India, naga melambangkan
persahabatan Cirebon dan China, sedangkan buroq melambangkan persahabatan Cirebon

xxiv
dan Mesir. Perlu diketahui bahwa keunikan kereta ini juga terletak pada bagian sayapnya
yang dapat otomatos mengepak ketika kereta tengah berjalan.

xxv
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
.Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal Alang-Alang
yang kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Raden
Walangsungsang diubah namanya menjadi Caruban. Nama Caruban sendiri terbentuk
karena diwilayah Cirebon dihuni oleh beragam masyarakat dan sebutan lain Cirebon
adalah Caruban Larang. Kerajaan Cirebon merupakan bagian dari administratif Jawa
Barat. Cirebon sendiri mempunyai arti seperti di daerah-daerah lainnya. Cirebon
berasal dari bahasa sunda “ci” yang berarti air, sedangkan “rebon” berarti udang.
Cirebon mempunyai ati sungai udang atau kota udang. Cirebon didirikan pada 1 Sura
1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479 M Pangeran Cakrabuana
sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati Cirebon
menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah
seorang menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu Ratu Mas Rara sasantang. Sejak
inilah Cirebon menjadi negara merdeka dan bercorak Islam. Kerajaan Cirebon terbagi
menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan dipegang oleh Sultan Sepuh, Keraton
Kanoman dipegang oleh Sultan Anom, Keraton Karicebonan dipegang oleh
Panembahan Karicebonan. Mereka hanya mengurusi kerajaan masing-masing.
Mengakibatkan kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai hancur.

3.2 Saran
Saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan makalah
ini. Bagi para pembaca dan teman-teman lainnya, jika ingin menambah wawasan dan
ingin mengetahui lebih jauh maka kami mengharapkan dengan rendah hati agar
membaca buku-buku ilmiah. 

xxvi
DAFTAR PUSTAKA

Adeng, et. al., 1998, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Atja. 1972. Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari. Jakarata: Ikatan Karyawan Museum.
, 1986.
Carita Purwaka Caruban Nagari; Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan
Sejarah. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.,1988.
Menjelang Penetapan Hari Jadi Pemerintahan Kabupaten Cirebon. Cirebon:
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon. dan Edi Ekajati. 1989.
Pustaka Rajya- rajya I Bhumi NusantaraI. I. Suntingan Naskah dan Terjemahan.
Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda.Ekadjati, S.
Edi. 1991.
Sejarah Perkembangan Pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.,1978.
Babad Cirebon Edisi Brandes Tinjauan Sastra dan Sejarah. Bandung: Fakultas
Sastra, Universitas Padjadjaran. Hermana. 1994/1995.
Pola Kehidupan Santri di Pesanttren Jagasatru Kotamadya
http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/12/8-peninggalan-kerajaan-cirebon-sejarah.html

http://kansasunsilk.blogspot.co.id/2014/04/kerajaan-cirebon-islam.html

http://padepokansutajayabantargebang.blogspot.co.id/2013/04/peninggalan-masa-
kejayaan-islam-di.html

https://www.google.com/search?q=wilayah+kekuasaan+di+cirebon&client=firefox-
a&rls=org.mozilla:en-US:

http://kerajaancirebon.blogspot.com/2014/03/kehidupan-sosialbudaya-dan-
politik.html
https://media.neliti.com/media/publications/292023-eksistensi-keraton-di-cirebon-
kajian-per-4a2d044c.pdf
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/view/13
0

Anda mungkin juga menyukai