Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejak zaman kuno,posisi kepulauan nusantara menjadi tempat persilangan

jaringan l alu lintas laut yang menghubungkan Benua Timur dan Benua

Barat.Kendatipun sistem pelayaran smaudera telah dilaksanakan diperlukan

tempat dengan jarak tertentu untuk berlalabuh Jalur Sutera dengan rute lalu

lintas melalui Laut Tengah ,Samudera Hindia,dan Laut China Selatan

meramaikan jaur Selat Malaka.Dari itulah muncul Samudera pasai sebagai

bandar niaga,Pasai sebagai kerjaaan islam mulai menghubungkan Malaka dan

Kerajaan lainnya di wilayah Nusantara Timur,Perkembanagn lebih lanjut

muncul di daerah kota-kota sepanjang pantai timur,termasuk kota Pelabuhan

Cirebon.

1.2. Rumusan Masalah

1
1. Bagaimana awal masuknya Islam di Cirebon?
2. Bagaimana Proses Berkembangnya Kesultanan Cirebon?
3. Siapa saja Raja-raja yang pernah mempimpin Kesultanan Cirebon?
4. Dimana saja wilayah kekuasaan Cirebon?
5. Bagaimana awal terjadinya kejayaan di Kesultanan Cirebon?
6. Apa penyebab dari perpecahan dan keruntuhan di Kesultanan Cirebon?

1.3 Tujuan

1.Sistem Perdagangan,pengelolaan,pelabuhanjenis akomondasi,yang

diperjual belikan,dan tekonologi transportasi yang mendukung Cirebon

sebagai kota pelabuahan.

2.Mengungkapkan sistem pemerintahan,startifikasi sosial,kondisi

kehidupan masyarakat,agama dan kebudayaan yang berlangsung di kota

Cirebon.

3.Memberikan Deskripsi mengenai peranan dan kedudukan Cirebon dalam

perdagangan internasional.

1.4 Manfaat

1.Memberikan informasi lebih dalam mengenai kerajaan Cirebon.

2.Mengambil pelajaran dari kehidupan yang terjadi kerajaan Cirebon.

3.Memacu para Mahasiswa dan Mahasiswi untuk terus belajar mengenai

Sejarah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Cirebon

Cirebon yang semula termasuk daerah kekuasaan kerajaan Sunda

Pajajaran bahkan salah satu pelabuhan kerajaan tersebut. Ketika kehadiran Tome

Pires, seorang musafir asal Portugis sekitar tahun 1513, diberitakan Cirebon sudah

termasuk ke daerah Jawa di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Menurut Tome

Pires, pendapat Islam masuk pada Kerajaan Cirebon pada tahun 1470-1475. pada

tahun 1420 M, datang serombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin oleh

Syekh Idlofi Mahdi, ia tinggal di dalam perkampungan Muara Jati dengan alasan

3
untuk memperlancar barang dagangannya. Syekh Idlofi Mahdi memulai

kegiatannya selain berdagang dia juga berdakwah dengan mengajak penduduk

serta teman-temannya untuk mengenal serta memahami ajaran Islam. Pusat

penyebarannya brada di Gunung Jati. Syekh Idlofi Mahdi menyebarkan agama

Islam dengan cara bijaksana dan penuh hikmah.

(bendera kesultanan Cirebon)

Sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa pada umumnya dan kerajaan

Cirebon khususnya, situasi masyarakat di pengaruhi sistem kasta pada ajaran

agama Hindu kehidupan masyarakatnya jadi bertingkat-tingkat. Mereka yang

mempunyai kasta lebih tinggi tidak dapat bergaul dengan dengan kasta yang lebih

rendah atau pergaulan diantara mereka dibatasi. Setelah ajaran Islam disebarkan

oleh Syekh Idlofi Mahdi, susunan masyarakat berdasarkan kasta ini mulai terkikis

dan dimulailah kehidupan masyarakat tanpa adanya perbedaan kasta.

Menurut semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk cerita Purwaka

Caruban Nagari, masuknya Islam di Cirebon pada abad 15 yaitu pada tahun 1470.

Disebarkan oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Penyebaran agama

Islam itu dimulai ketika Syarif Hidayatullah berusia 27 tahun yaitu dengan

4
menjadi mubaligh Cirebon. Di tahun 1479 Syarif Hidayatullah menikah dengan

Nyi Ratu Pakungwati, putra dari Pangeran Cakrabuana. Pengganti Pangeran

Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon di berikan pada Syarif Hidayatullah. Pada

tahun pengangkatannya Syarif Hidayatullah mengembangkan daerah

penyebarannya di wilayah Pajajaran.

Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke

daerah Serang yang sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam dari

pedagang-pedagang dari Arab dan Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten.

Syarif Hidayatullah mendapat sambutan hangat dari adipati Banten. Daerah-

daerah yang telah diislamkan antara lain : Kuningan, Sindangkasih, Telaga,

Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya, Batulayang, dan

Timbangaten. Di wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di negeri

Caruban yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin

persahabatan dengan Syarif Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah

Raden Patah bersama-sama para mubaligh yang sudah bergelar sunan menetapkan

Syarif Hidayatullah sebagai Panata Gama Rasul di tanah Pasundan. Panata Gama

Rasul artinya orang yang ditetapkan sebagai pemimpin penyiaran Agam Nabi

Muhamad di tanah Jawa. Kemudian atas kesepakatan para sunan Syarif

Hidayatullah di beri gelar Sunan Gunung Jati dan menjadi Sunan paling terakhir

yaitu sunan ke-9 dari sunan 9 sunan lainnya.

Sejak saat itu Cirebon menghentikan upeti ke pusat kerajaan Sunda

Pajajaran di Pakuan. Sebenarnya Islam sudah mulai disebarkan meski mungkin

masih terbatas daerahnya, justru oleh pangeran Cakrabumi alias Haji Abdullah

5
Iman bahkan juga oleh Syeikh Datuk Kahfe yang telah memelopori mendirikan

pesantren sebagai tempat mengajar dan penyebaran agama Islam. Paling tidak

untuk daerah sekitarnya.

2.2. Proses Berkembangnya Kerajaan Cirebon

Perkembangan awal kerajaan Cirebon

a. Ki Gedeng Tapa

Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah

seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura (Kerajaan ini ditugasi mengatur

pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak adanya penerus tahta di kerajaan

tetangganya yaitu Surantaka setelah anak perempuan penguasanya

yaitu Nyi Ambet Kasih menikah dengan Jayadewata (prabu Silih Wangi) ).

Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang ke

Cirebon untuk memperdalam agama Islam, pangeran Walangsungsang kemudian

membangun sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana pada tahun 1428

Masehi.[6] yang sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton

Kanoman,kesultanan Kanoman, setelah mendapatkan pengajaran agama yang

cukup, pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang kemudian

menunaikan ibadah haji keMekah, disana nyimas Rara Santang menemukan

jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah sehingga nyimas tidak ikut

kembali ke Cirebon. Sepulangnya dari melaksanakan haji pangeran

6
Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk membuka lahan guna membuat

perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia cita-citakan, setelah

memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan perkampungan baru tersebut

akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.

b. Ki Gedeng Alang-Alang

Menurut sejarah lisan dan sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa

Pengeran Walangsungsang diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur

Jati) untuk membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir, namun dikatakan bahwa di

Kebon Pesisir tidak sepenuhnya kosong karena sudah ada sepasang suami istri

yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal disana, akhirnya sebagai bentuk

penghormatan maka Kuwu (Kepala Desa) Caruban yang pertama yang diangkat

oleh masyarakat baru itu adalah Ki Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-

alang, sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden

Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau

Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki

Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi

diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran

Cakrabuana. Begitulah awal perkembangan kerajaan Cirebon, selain itu

perkembangan Kesultanan Cirebon juga mencakup kegiatan ekonomi, politik,

sosial dan alain-lain seperti di bawah ini:

A. Kondisi Ekonomi

7
Sebagai sebuah kesultanan yang terletak diwilayah pesisir pulau Jawa,

Cirebon mengandalkan perekonomiannya pada perdangangan jalur laut. Dimana

terletak Bandar-bandar dagang yang berfungsi sebagai tempat singgah para

pedagang dari luar Cirebon. Juga memiliki fungsi sebagai tempat jual beli barang

dagangan.

Pada masa pra-islam Cirebon masih dalam kekuasaan kerajaan Sunda

Pajajaran. Pada masa ini pula terdapat Bandar dagang yang berada di Dukuh

Pasambangan dengan bandar Muhara Jati. Kapal-kapal yang berlabuh di bandar

Muhara Jati antara lain berasal dari Cina, Arab, Tumasik, Paseh, Jawa Timur,

Madura, dan Palembang (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:56).

Dikatakan bahwa sebelum Tome Pires (1513) Cirebon masih

berkeyakinan Hindu-Buddha. Pada saat ini Ciebon masih dibawah kekuasaan

kerajaan Sunda Pajajaran. Menurut cerita tradisi Cirebon mulai memeluk agama

islam sekitar tahun 1337 M yang dibawa oleh Haji Purba. Pada abad 14 M

perdagangan dan pelayaran sudah banyak dilakukan oleh orang muslim.Dari

cerita Purwaka Caruban Nagari diperoleh informasi bahwa terjadi perpindahan

Bandar perdagangan. Bandar dagang yang dahulunya terlertak pada Bandar

Muhara Jati di dukuh Pasambangan dipindah kearah selatan yaitu ke Caruban.

Alasan mengapa Bandar dagang dipindahkan, menurut cerita Bandar dagang di

Muhara jati mulai berkurang keramaiaannya. Caruban sendiri dibangun o0leh

Walangsungsangatau Ki Samadullah atau Cakrabumi sebagai kuwu dan

seterusnya. Sejak Syarif Hidayatullah, Bandar-bandar di Cirebon makin ramai dan

8
makin baik untuk berhubungan dengan Parsi-Mesir, Arab, Cina, Campa, dan

lainnya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:56).

Dengan kedatangan Belanda keadaan ekonomi di Cirebon dikuasai penuh

oleh VOC. Dengan diadakannya perjanjian antara Belanda dengan Cirebon 30

April 1981, Cirebon selalu akan memelihara kepercayaan terhadap Belanda. Akan

tetapi, seluruh komoditi perdagangan di Cirebon, dikuasai Belanda, hal ini hanya

akan menguntungkan pihak Belanda dan merugikan Cirebon. Belanda

menerapkan monopoli perdagangan dan pertanian, salah satu contohnya yaitu

kebijakan menanam 10 pohon kopi tiap kepala keluarga di Priangan Timur. Juga

dengan surat perintah tanggal 1 Maret 1729.

B. Bidang Politik

Perkembangan politik yang terjadi pada Cirebon berawal dari hubungan

politiknya dengan Demak. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan Cirebon.

Dikatakan oleh Tome Pires yang menjadi Dipati Cirebon adalah seorang yang

berasal dari Gresik. Kosoh, dkk (1979:94) Babad Cirebon menceritakan tentang

adanya kekuasaan kekuasaan Cakrabuana atau Haji Abdullah yang menyebarkan

agama islam di kota tersebut sehingga upeti berupa terasi ke pusat Pajajaran

lambat laun dihentikan.

Selain hubungannya dengan Demak, kehidupan politik pada kala itu juga

dipengaruhi oleh beberapa konflik. Konflik yang terjadi ada konflik internal dan

menjadi vassal VOC.

Pertama yang terjadi, dimulai dari keputusan Syarif Hidayatullah yang resmi

melepaskan diri dari kerajaan Sunda tahun 1482. Syarif Hidayatullah wafat pada

9
tahun 1570, dan kepemimpinannya digantikan oleh anaknya yaitu Pangeran Ratu

atau Panembahan Ratu. Pada masa kepemerintahannya, Panembahan Ratu

menyaksikan berdirinya karajaan Mataram dan datangnya VOC di Batavia.

Panembahan Ratu cenderung berperan sebagai ulama dari pada sebagai raja.

Sementara di bidang politik, Panembahan Ratu menjaga hubungan baik dengan

Banten dan Mataram. Setelah wafat pada tahun 1650, dalam usia 102 tahun,

Panembahan Ratu digantikan oleh cucunya, yaitu Pangeran Karim yang dikenal

dengan nama Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II karena anaknya

Pangeran Seda Ing Gayam telah wafat terlebih dahulu.

Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo, Panembahan Senapati dijemput oleh

utusan dari kesultanan Banten ke Kediri. Dalam perjalanan kondisi Senapati yang

sakit-sakitan menyebabkan dia meninggal dunia dan akhirnya dimakamkan di

bukit Giriliya. Sedangkan kedua anaknya dibawa ke Banten, yaitu: Pangeran

Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya. Namun, kemudian mereka dikembalikan

ke Cirebon, disana mereka membagi tiga kekuasaan.

Ketiga penguasa Cirebon ini berusaha untuk menjadikan diri sebagai penguasa

tunggal. Sultan Sepuh merasa bahwa ia yang berhak atas kekuasaan tunggal

karena ia anak tertua. Sementara Sultan Anom, juga berkeinginan yang sama

sehingga ia mencoba mencari dukungan kepada Sultan Banten. Di lain pihak,

Pangeran Wangsakerta , yang menjadi pengurus kerajaan saat kedua kakaknya

dibawa ke Mataram, merasa berhak juga menjadi penguasa tunggal. Sultan Sepuh

mencoba mendapat dukungan VOC dengan menawarkan diri menjadi vassal

10
VOC. VOC sendiri tidak pernah mengakui gelar sultan pemberian Sultan Banten

dan selalu menyebut mereka panembahan (Nina: online).

Dengan surat perjanjian tanggal 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi vassal

VOC. Jadilah, urusan perdagangan diserahkan kepada VOC, berbagai keputusan

terkait Cirebon (termasuk pergantian sultan, penentuan jumlah prajurit) harus

sepersetujuan VOC di Batavia, ketika para Sultan akan bepergian harus atas ijin

VOC dan naik kapal mereka, dalam berbagai yupacara, pejabat VOC harus duduk

sejajar dengan para Sultan.

Setelah kedatangan Belanda ke Cirebon membuat banyak perubahan,

khususnya di bidang politik. Pada tahun 1696, Sultan Anom II atas kehendak

VOC menjadi Sultan. Pada Tahun 1768 kesultanan Cirebon dibuang ke Maluku.

C. Bidang Sosial
Kondisi Sosial Kerajaan Cirebon Perkembangan Cirebon tidak lepas dari

pelabuhan, karena pada mulanya Cirebon memang sebuah bandar pelabuhan.

Maka dari sini tidak mengherankan juga kondisi sosial di Kerajaan Cirebon juga

terdiri dari beberapa golongan. Diantara golongan yang ada antara lain, golongan

raja beserta keluargana, golongan elite, golongan non elite, dan golongan budak

(Sartono Kartodirdjo, 1975:17).

a. Golongan Raja Para raja/ Sultan

Golongan Raja Para raja/Sultan yang tinggal di kraton melaksanakan ataupun

mengatur pemerintahan dan kekuasaannya. Pada mulanya gelar raja pada awal

perkembangan Islam masih digunakan, tetapi kemudian diganti dengan gelar

Sultan akibat adanya pengaruh Islam. Kecuali gelar Sultan terdapat juga gelar lain

11
seperti Adipati, Senapati, Susuhunan, dan Panembahan (Kosoh dkk, 1979:96).

Raja atau Sultan sebaai penguasa terinnggi dalam pemerintahan memiliki

hubungan erat dengan pejabat tinggi kerajaan seperti senapati, menteri,

mangkubumi, kadi, dan lain sebagainya. Pertemuan antara raja dengan pejabat

ataupun langsung dengan rakyat tidak dilakukan setiap hari. Kehadiran raja di

muka umum kecuali pada waktu audiensi/pertemuan juga pada waktu acara

penobatan mahkota, pernikahan raja, dan putra raja (Sartono Kartodirdjo,

1975:17).

b. Golongan Elite

Golongan Elite Golongan ini merupakan golongan yang mempunyai

kedudukan di lapisan atas yang terdiri dari golongan para bangsawan/priyayi,

tentara, ulama, dan pedagang. Diantara para bangsawan dan pengusa tersebut,

patih dan syahbandar memiliki kedudukan kedudukan penting. Di Cirebon,

pernah ada orang-orang asing yang dijadikan syahbandar dan mereka memempati

golongan elite. Hal ini dipertimbangkan atas suatu dasar bahwa mereka memiliki

pengetahuan dan pengalaman yang luas tentang perdagangan dan hubungan

internasional. Golongan keagamaan yang terdiri dari ulama juga memiliki

memiliki kedudukan yang tinggi, mereka umumnya berperan sebagai penasehat

raja (Kosoh dkk, 1979:99).

c. Golongan Non Elite

Golongan Non Elite Golongan ini merupakan merupakan lapisan masyarakat

yang besar jumlahnya dan terdiri dari masyarakat kecil yang bermata pencaharian

12
sebagai petani, pedagang, tukang, nelayan, dan tentara bawahan dan lapisan

masyarakat kecil lainnya. Petani dan pedagang merupakan tulang punggung

perekonomian, dan mereka mempunyai peranan sendiri-sendiri dalam kehidupan

perekonomian secara keseluruhan (Kosoh dkk, 1979:99).

d. Golongan Budak

Golongan Budak Golongan ini terdiri dari orang-orang yang bekerja keras,

menjual tenagai sampai melakukan pekerjaan yang kasar. Adanya golonga buak

tersebut disebabkan karena seseorang yang tidak bias membayar utang, akibat

kalah perang. Golongan budak menempati status sosial paling rendah, namun

mereka juga diperlukan oleh golongan raja maupun bangsawan untuk melayani

keperluan mereka. Mereka dipekerjakan dalam membantu keperluannya dengan

menggunakan fisik yang kuat. Mereka harus taat pula dengan peraturan yang

dibuat oleh majikannya. Namun bagi mereka yang nasibnya baik dan bisa

membuat majikan berkenan maka mereka bisa diangkat sebagai tukang kayu, juru

masak dan lain sebagainya (Kosoh dkk, 1979:100).

D. Kondisi Budaya

Kondisi Budaya Kerajaan Cirebon Agama Islam mengajarkan agar para

pemeluknya agar melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik. Yang dimaksud

kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai bentuk ibadah seagaimana yang

tersimpun dari rukun Islam. Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan

13
riyual/upacara. Secara luwes Islam memberikan warna baru dalam upacara yang

biasanya disebut kenduren atau selamatan (Darori, 1987:130-131).

Membahas masalah budaya, maka tak lepas pula dengan seni, Cirebon

memiliki beberapa tradisi ataupun budaya dan kesenian yang hingga sampai saat

ini masih terus berjalan dan masih terus dlakukan oleh masyarakatnya. Salah

satunya adalah upacara tradisional Maulid Nabi Muhammad SAW yang tela ada

sejak pemerintahan Pangeran Cakrabuana, dan juga Upacara Pajang Jimat dan lain

sebagainya, antara lain :

a. Upacara Maulid Nabi

Upacara Maulid Nabi Upacara Maulid Nabi dilakukan setelah beliau wafat,

700 tahun setelah beliau wafat (P.S. Sulendraningrat, 1978:85) upacara ini

dilakukan sebagai rasa hormat dan sebagai peringatan hari kelahiran kepada

junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Secara istilah, kata maulud berasal dari

bahasa Arab Maulid yang memiliki sebuah arti kelahiran. Upacara Maulid Nabi

di Cirebon telah dilakkan sejak abad ke 15, sejak pemerintahan Sunan Gunung

Jati upacara ini dilakukan dengan besar-besaran. Berbeda dengan masa

pemerintahan Pangeran Cakrabuana yang hanya dilakukan dengan cara sederhana.

Upacara Maulid Nabi di kraton Cirebon diadakan setiap tahun hingga sekarang

yang oleh masyarakat Cirebon bisebut sebagai upacara IRING-IRINGAN

PANJANG JIMAT (P.S. Sulendraningrat, 1978:86).

b. Upacara Pajang Jimat

Upacara Pajang Jimat Salah satu upacara yang dilakukan di Kerajaan

Cirebon adalah Upacara Pajang Jimat. Pajang Jimat memiliki beberapa

14
pengertian, Pajang yang berarti terus menerus diadakan, yakni setiap tahun, dan

Jimat yang berarti, dipuja-puja (dipundi-pundi/dipusti-pusti) di dalam

memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (P.S. Sulendraningrat,

1978:87). Pajang Jimat merupakn sebuah piring besar (berbentuk elips) yang

terbuat dari kuningan. Bagi Cirebon Pajang Jimat memiliki sejarah khusus, yakni

benda pusaka Kraton Cirebon, yang merupakan pemberian Hyang Bango kepada

Pangeran Cakrabuana ketika mencari agama Nabi (Islam). Upacara Pajang Jimat

pada Kraton Cirebon dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awal, setelah Isya,

upacara penurunan Pajang Jimat dilakukan oleh petugas dan ahli agama di

lingkungan kraton. Turunnya Pajang Jimat dimulai dari ruang Kaputren naik ke

Prabayaksa dam selanjutnya diterima oleh petugas khusus yang telah diatur.

c. Seni Bangunan dan Seni Ukir

Seni Bangunan dan Seni Ukir Seni bangunan dan seni ukir yang

berkembang di kerajaan Cirebon tak lepas dari perkembngan seni pada zaman

sebelumnya. Ukiran-ukiran yang ada pada kraton banyak menunjukkan pola

zaman sebelumnya. Ukiran yang menunjukkan sifat khas pada Cirebon adalah

ukiran pola awan yang digambarkan pada batu karang. Penggunaan seni bangunan

masjid tampak asli pada penggunaan lengkungan pada ambang-ambang pintu

masjid. Demikian pula dengan makam-makam yang strukturnya mengikuti zaman

sebelumnya. Yakni berbentuk bertingkat dan ditempatkan di atas bukit-bukit

menyerupai meru.

d. Kasusasteraan

15
Seni Kasusasteraan Diantara seni bangunan dan seni tari, terdapat juga

seni kasusasteraan yang berkembang. Diantarnya adalah seni tari, seni suara, dan

drama yang mengandung unsur-unsur Islam. Seni kasusasteran yang berkembang

ini juga tak lepas dari zaman sebelumnya. Misalnya saja seni tari, yang

diantaranya yang berkembang adalah seni ogel namun mengandung unsur-unsur

Islam.

2.3. RAJA-RAJA YANG PERNAH MEMPIMPIN KESULTANAN

CIREBON
1. Pangeran Cakrabuana atau Dalem Agung Pakungwati (1430- 1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri

Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertama bernama

Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Ia mempunyai dua orang saudara seibu,

yaitu Nyai Rara Santang dan Kian Santang. Sebagai anak sulung dan laki-laki ia

tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini

disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang -

ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah

Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya

digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari

istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang . Pangeran Walangsungsang lalu

membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun Kuta Kosod (susunan

tembok bata merah) mendirikan Dalem Agung Pakungwati serta dan membentuk

pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430. Dengan demikian, yang dianggap

sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau

16
Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji

kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama

yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam

kepada penduduk Cirebon. Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan

keberadaan Kesultanan Demak.

2. Sunan Gunung Jati (1479-1568)

Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di

kabupaten Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai

pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati),

sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung,

kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan

keagaamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia :

pusatnya dunia). Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang

sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif

Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari

Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran

Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan

sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin

Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang

Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah

Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali

17
Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar

berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai Subang Larang

yang memang sudah lama menjadi seorang muslim jauh sebelum menikah dengan

prabu Silih Wangi, namun hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482

(pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali

ditangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka

Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.


Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April

1482 masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan

kepada prabu Silih Wangi selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu

Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti. Maklumat tersebut kemudian diikuti

oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon : gegeden). Pertumbuhan

dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif

Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini

sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten

serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali

(Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Kerajaan yang berhasil ditaklukan Sunan

Gunung Jati diantaranya:


a. Talaga, sebuah kerajaan yang bercorak Hindu yang terletak di sebelah barat

daya Cirebon di bawah kekuasaan Prabu Kacukumun.


b. Rajagaluh, bekas pusat kerajaan Pajajaran yang bercorak Hindu yang

diperintah oleh Prabu Cakraningrat. Prabu Cakraningrat tidak senang dengan

kemajuan Cirebon dan Persebaran agama Islam di Cirebon. Akibatnya

terjadilah peperangan antara Cirebon dengan Rajagaluh, kemenangan berada

18
di tangan Cirebon. Berakhirnya kekuasaa Rajagaluhsekaligus merupakan

berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di daerah Jawa Barat sebelah Timur.

Untuk memperkuat hubungan dengan kesultanan Demak dilakukan dengan

pernikahan putra putri kedua kesultanan.

Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.

Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun

Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan)

Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang Lor) menikah

pada 1511 yang menjadi Sultan Demak kedua pada 1518 .

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah

oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian

diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dankesultanan

Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat

seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten

1. Syiar Islam ke Kuningan dan berkuasanya Pangeran Kuningan

Syiar Islam ke wilayah Kuningan telah dilakukan dengan cara yang persuasif, di

wilayah Luragung Islam sudah terbangun dengan baik pada tahun 1481 m, dengan

19
penguasanya Ki gede Luragung, pada 1 September 1488, Sunan Gunung

Jatimenjadikan putera Ki gede Luragung (anak angkat Sunan Gunung Jati) yang

bernama Pangeran Kuningan atau yang oleh masyarakat kuningan dikenal dengan

nama Sangkuku diangkat sebagai Depati (bahasa Indonesia : gubernur) Kuningan.

2. Datangnya Gamelan Suka Hati dari kerajaan Demak

Pangeran Sulaeman Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon menjelaskan

bahwa setelah wafatnya Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) pada

tahun 1521 pada penyerangan ke Melaka yang dikuasi Portugis, Ratu Ayu, putri

Sunan Jati (Sultan Cirebon kedua) dan istri dari Pangeran Sebrang Lor (Sultan

Demak kedua) kemudian membawa gamelan dakwah yang disebut "Sukahati"

(bahasa Indonesia : kebahagian karena ikhlas) ke wilayah Cirebon dari Demak

sebagai benda untuk mengenang mendiang suaminya. Budayawan Cirebon

meyakini bahwa Gong Sukahati (bahasa Indonesia : gong Sekati) merupakan alat

musik gamelan dakwah pertama yang dibawa masuk ke Cirebon dari Demak.

Sementara Cirebon sudah memiliki gamelan dakwahnya sendiri disaat yang sama,

dalam bahasa Cirebon orang-orang yang sedang terlibat dalam pagelaran

gong Suka Hati disebut Sukaten atau Sekaten dari tata bahasa Cirebon Suka hati +

akhiran -an (yang berarti orang yang melaksanakan kata benda)

sehingga Suka(h)at(ia)n menjadi Sukaten (huruf "h" tidak dibaca dan "i" bertemu

"a" menjadi "e") atau sering masyarakat luar Cirebon mengatakan Sekaten, hingga

20
sekarang kesenian Gong Sekati Cirebon masih sering diperdengarkan di keraton-

keraton Cirebon.

3. Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten

Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan

Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar

Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif

Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya

dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan

hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati

masyarakatWahanten dan pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa

itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari

prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk

wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk

wilayah Wahanten Girang.

Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung

anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai

dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 m) dan PangeranMaulana

Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin : nama pemberian dari kakeknya Sang

Surosowan) yang lahir pada 1478 m. Sang Surosowan walaupun tidak memeluk

agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke

wilayahnya.

21
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima

tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah

sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan

menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.

4. Latar belakang penguasaan Banten

Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu Ayu

(putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima

angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon,

kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.

Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak ini sangat mencemaskan

Jaya dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota

Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka

yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan

Samudera Pasai.

Pada tahun 1513 m, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya

bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten

Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat

ke Mekah, sekembalinya dari MekahSyarif Hidayatullah dan puteranya

yaitu Maulana Hasanuddin kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan,

ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari

mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktifitas dakwah ini di

22
wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh

yang membawa cahaya Allah swt), aktifitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh

Maulana Hasanuddin hingga ke pedalamanWahanten seperti gunung Pulosari

di kabupaten Pandeglang dimana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk

berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke

Ujung Kulon dan pulau Panaitan dengan pola syiar yang kurang lebih sama

seperti yang dilakukan ayahnya.

Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang

muslim yang akan singah di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda hal ini

bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh para

pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang

muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan

karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya

pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki

daerah pedalaman kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga kerajaan Sunda berusaha

mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang

sama dengan kerajaan Sunda, Jaya dewata (Siliwangi) memutuskan untuk

menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi

kekuatan pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.

Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata

(Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan

Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi

23
suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara kerajaan

Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk

melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan

milik kerajaan Sundasebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan

militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang olehkesultanan Demak dan

kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun

benteng.

Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka

mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa

(dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam) untuk membangun benteng

keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya

bersifat ekspansif.

Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan

bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang

dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa[23] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa

akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan

memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda

persahabatan, sebuah batu peringatan atau padra (dibaca : Padraun) dibuat untuk

memperingati peristiwa itu. Padro dimaksud disebut dalam cerita

masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita

rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian

ditandatangani oleh Padam Tumungo(yang terhormat

24
Tumenggung), Samgydepaty (Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e

easy o xabandar (dan Syahbandar). Syahbandar Sunda Kelapa yang

menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia

menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.

5. Penguasaan Banten

Pada tahun 1522, Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi

nama keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun,

pasar, masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan. Sementara yang

menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra

dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya

Sang Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang

pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 m.

Pada tahun 1524 m, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari

kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten Pada

masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten

Pasisirmenghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga

pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang

Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan

Cirebon dan kesultanan Demak mencapaiWahanten Girang, Ki Jongjo (seorang

kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin

25
Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa pucuk

umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktifitas dakwah

Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk

masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten

Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin

untuk menghentikan aktifitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu

ayam) dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana

maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktifitas dakwahnya. Sabung

Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan

aktifitas dakwahnya. Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk

masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.

Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai

pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad

ke-17.

Penyatuan Banten

Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati , Maulana Hasanuddin kemudian

memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir di kompleks

Surosowan sekaligus membangun kota pesisir.

Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526. Pada

tahun yang sama juga Arya Surajayapucuk umum (penguasa) Wahanten

Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten

26
Pasisir kepada Sunan Gunung Jati akhirnya kedua wilayah Wahanten

Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahantenyang kemudian disebut

sebagai Banten dengan status sebagai kadipaten dari kesultanan Cirebon pada

tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 m),

kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan

wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut

sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di

Banten meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya

menjadi penguasa (sultan) di Banten. Alasan-alasan demikianlah yang membuat

pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung

Jatilah yang menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin.

menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai

oleh kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari

berbagai negara.

Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di wilayah Banten

oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

6. Dikuasainya Sunda Kelapa pada 1527

Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau

dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua

tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk

yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk

27
dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100

ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang

dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang

disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang

memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai.

Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda

diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang

lebih 150 ton.

Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di

Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda

Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam) untuk

membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang

Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.

Pada masa ini nama Fatahilah (Fadilah Khan) yang dipercaya sebagian

masyarakat Cirebon berasal dari Passai sudah dikenal dibeberapa kalangan

masyarakat Demak dan Cirebon setelah sebelumnya hidupnya berpindah pindah

dari Passai ke Melaka sebelum datang ke Cirebon akibat kedua tempat tersebut

dikuasai oleh Portugis, Fatahilah dikenal dikarenakan dia turut membantu dalam

hal syiar Islam, di Cirebon setelah meninggalnya Sultan Demak Pangeran Sebrang

Lor ia kemudian menikahi mantan Istri pangeran Sebrang Lor yaitu Ratu Ayu

yang merupakan anak dari Sunan Gunung Jati dan setelah Pangeran Jayakelana

dari Cirebon meninggal, ia pun kemudian menikahi mantan istrinya yang berasal

28
dari kesultanan Demak yaitu Ratu Ayu Pembayun, hal ini membuat Fatahilah

menjadi menantu Sunan Gunung Jati dan kesultanan Demak

Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan

bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang

dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan

menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan

memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda

persahabatan, sebuah batu peringatan atau padra (dibaca : Padraun) dibuat untuk

memperingati peristiwa itu. Padro dimaksud disebut dalam cerita

masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita

rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian

ditandatangani oleh Syahbandar Sunda Kelapa yang bernama Wak Item dari

kalangan muslim Betawi dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.[25]

Padra itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan

Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.

Fatahilah kemudian mengungkapkan rencananya untuk menyerang Portugis di

Sunda Kelapa, rencana Fatahilah mendapatkan dukungan dari kesultanan Demak,

Sultan Trenggana yang melihat kedekatan kerajaan Sunda denganPortugis sebagai

ancaman kemudian juga turut merencanakan serangan ke Sunda Kelapa.

Penyerangan ke Sunda Kelapa kemudian dilakukan dengan gabungan prajurit

kesultanan Cirebon, kesultanan Demak dankesultanan Banten (pada saat

29
itu Banten masih menjadi kadepaten dibawah kesultanan Cirebon) yang baru saja

berdiri pada tahun 1526 hasil penyerangan prajurit Cirebon dan Demak dibawah

pimpinan Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung Jati atas wilayah Banten

Girang, setelah sebelumnya Fatahilah meminta saudara iparnya yaitu Sultan

Banten pertama Maulana Hasanuddin agar tidak menyerang Sunda Kelapa

sendirian.

Pada saat menyerang Sunda Kelapa di tahun 1527, menurut sejarahwan dan

budayawan Betawi Ridwan Saidi, pasukan Fatahilah hanya menghadapi

Syahbandar Sunda Kelapa yaitu Wak Item dan dua puluh anggotanya, Wak Item

tewas dan tubuhnya ditenggelamkan di laut, kemudian Fatahilah

membumihanguskan perkampungan yang ada disana termasuk perkampungan

yang didiami tiga ribu orang muslim Betawi.[25] yang pemukimannya berada di

wilayah Mandi Racan, sekarang masuk wilayah Pasar Ikan, Jakarta, Fatahilah

kemudian membangun istana dengan tembok tinggi di sisi barat Kali Besar

(terusan sungai di sebelah barat Ciliwung), masyarakat muslim Betawi yang

rumahnya berada didekat istananya diusir dan rumahnya dibumihanguskan . Sunda

kelapa akhirnya dapat dikuasai sepenuhnya pada 22 Juni 1527.

7. Keterlambatan bantuan Portugis

Pada pertempuran antara kerajaan Sunda dengan gabungan prajurit Banten,

Cirebon dan Demak di Sunda Kelapa yang berakhir dengan tewasnya Wak Item

(Syahbandar Sunda Kelapa) bersama dua puluh anggotanya serta sebagian

penduduk Sunda Kelapa salah satunya disebabkan karena keterlambatan bantuan

30
dari Portugis, Francisco de Xa yang ditugasi membangun benteng diangkat

menjadi Gubernur Goa sebuah koloni Portugis di India. Keberangkatan

ke kerajaan Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun (kapal

perang) yang dinaiki Francisco De Xa dan berisi peralatan untuk membangun

benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai dan karam di Teluk

Benggala, tepatnya di Ceylon (Srilanka). Francisco De Xa tiba di Malaka tahun

1527.

Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi

karena Banten sudah dikuasai oleh Maulana Hasanuddin, perjalanan dilanjutkan

ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, Francisco De Xa memancangkan

Padro pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio

de So Jorge" (dibaca : Rio de Saun Horhe) yang berarti sungai Santo Jorge.

Kemudian galiun Francisco De Xa memisahkan diri, hanya kapal brigantin yang

dipimpin oleh Duarte Coelho yang langsung berangkat ke Pelabuhan Sunda

Kalapa. Duarte Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi

terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fatahilah, dengan

kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil

meloloskan diri ke Pasai.

Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan

balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Duarte Coelho

demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu di wilayah

31
Pantai Emas Portugal yang merupakan koloni Portugis di Afrika yang sekarang

menjadi bagian dari negara Ghana.

8. Dikuasainya Rajagaluh pada 1528

Perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh bermula

dari permintaan kerajaan Rajagaluh yang mengharuskan kesultanan Cirebon

mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya yang secara langsung menjadikan

kesultanan Cirebon sebagai negara bagian dari kerajaan Rajagaluh.

Duta pertama yang tercatat dikirimkan oleh prabu Cakraningrat (raja Rajagaluh)

adalah depati (bahasa Indonesia : gubernur) Kiban atau pada masyaraakat Cirebon

dikenal dengan nama Arya Kiban (depati palimanan), rombongan

pimpinan depati Kiban berulang kali berusaha memasuki wilayah kota Cirebon

namun selalu ditolak dan hanya beberapa yang diizinkan untuk memasuki kota

Cirebon, mereka yang memasuki kota Cirebon kemudian memeluk agama Islam.

Pada masa awal perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan

Rajagaluh, wilayah Palimanan (sekarang terdiri

dari Ciwaringin, Gempol, Palimanan serta sebagian dari Dukupuntang yang

dahulu disebut sebagai kedondong), merupakan wilayah kerajaan Rajagaluh yang

wilayahnya paling dekat dengan pantai.

Duta kedua yang dikirim prabu Cakraningrat adalah demang Dipasara yang

membawa pesan agar kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai

pusatnya. demang Dipasara tidak berhasil memasuki kota Cirebon dikarenakan

32
rombongannya bertemu dengan pangeran depati Kuningan (putra Ki gede

Luragung yang diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati) dan pasukannya yang

memintanya kembali ke Rajagaluh dengan membawa pesan agar Rajagaluh

tunduk kepada kesultanan Cirebon.

Pangeran Depati Kuningan kemudian memberitahu peristiwa pertemuannya

dengan Demang Dipasara kepada Sunan Gunung Jati sekaligus memohon izin

untuk menyerang kerajaan Rajagaluh, sebelum menyerang, Pangeran Depati

Kuningan membuat pertahanan di Plered sekaligus mengirimkan duta yaitu Ki

Demang Singagati dengan membawa pesan kepada prabu Cakraningrat agar prabu

dan rakyatnya memeluk Islam dan menggabungkan diri dengan kesultanan

Cirebon namun pesan tersebut ditolak prabu Cakraningrat.

9. Perang Palimana

Perang Palimanan terjadi tidak lama setelah kepulangan Ki Demang Singagati

yang membawa pesan penolakan dari prabu Cakraningrat. Prajurit kesultanan

Cirebon pada mulanya dipimpin langsung oleh Pangeran Depati Kuningan

sementara kerajaan Rajagaluh berada dibawah Depati Kiban (penguasa

Palimanan).

Prajurit dari kedua kerajaan kemudian mendapatkan bantuan kekuatan,

prajurit Depati Kiban mendapat bantuan dari pasukan induk kerajaan Rajagaluh

dibawah pimpinan Sanghyang Gempol sementara prajurit

Pangeran Depati Kuningan mendapat bantuan dari pasukan induk kesultanan

33
Cirebon ditambah 700 orang pasukan kesultanan Demak yang pada saat itu

sedang berada di kesultanan Cirebon untuk keperluan pengawalan Sultan Demak

yang pada saat itu sedang berada di Cirebon.

Pada perang Palimanan, Depati Kiban dan Sanghyang Gempol dapat dikalahkan,

pasukan kesultanan Cirebon kemudian bergerak menuju ibukota Rajagaluh dan

mengepung istana kerajaan Rajagaluh.

Perang akhirnya dapat dimenangkan oleh kesultanan Cirebon dan kerajaan

Rajagaluh digabungkan wilayahnya dengan kesultanan Cirebon, sementara para

pemimpin kerajaan Rajagaluh dibiarkan lari.

Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat pada usia 120 tahun, beliau

dimakamkan di pertamanan Gunung Jati, gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

Dengan demikian sudah jelas bahwa Cirebon dibawah kepemimpina Syrif

Hidayatullah yang juga seorang wali berhasil mempercepat perkembangan

Cirebon sebagai syiar Islam dan juga perdagangan. Seperti yang dijelaskan oleh

RH Unang Sunardjo dalam bukunya yang menjelaskan:


1. Telah terpenuhinya prasarana dan sarana pisik essensial

pemerintahan dan ekonomi dalam ukuran suatu Kerajaan Pesisir.


2. Telah dikuasainya daerah-daerah belakang (hinterland) yang dapat

diharapkan mensuplay bahan pangan termasuk daerah penghasil

garam, daerah yang cukup vital bagi income nagari pesisir dengan

luas yang memadai.

34
3. Telah adanya sejumlah pasukan lasykar dengan semangat yang

tinggi, yang dipimpin oleh para panglima (dipati-dipati) yang cukup

berwibawa dan bisa dipercaya loyalitasnya.


4. Adanya sejumlah penasehat-penasehat baik dibidang pemerintahan

maupun agama.
5. Terjalinnya hubungan antar negara yang sangat erat antar Cirebon

dengan Demak.
6. Mendapat dukungan penuh dari para wali.
7. Tidak terdapat indikasi tentang ancaman Prabu Siliwangi untuk

menghancurkan eksistensi cirebon.

Dari uraian diatas dapat dijadikan acuan bahwa Cirebon pada masa Syarif

Hidayatullah berada dalam kejayaannya. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun

1568 dan dimakamkan di Bukit Sembung yang juga dikenal dengan makam

Gunung Jati (Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010:60). Kemudian

digantikan oleh Panembahan Ratu putra Pangeran Suwarga.

2.4. TERPECAHNYA KESULTANAN CIREBON


Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan

kekuasaan. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di

Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat, khawatir atas nasib kedua

kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng

Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang Pagarage), dia

mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki

hubungan diplomatik Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo

yang disokong oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil

diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan

lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua

35
Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan, Pangeran Mertawijaya sebagai

Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman, sedangkan

Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya

diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar

Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.


1. Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi

pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh,

Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak

baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-

masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para

penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:


Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar

Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)


Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan

Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)


Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar

Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan

Tohpati (1677-1713).

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua

Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya

dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka

mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing.

Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya

Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan

tetapi berdiri sebagai Kaprabonan (Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual

36
keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677

berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan

menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak

ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat

memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

2. Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai

pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan

karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan

diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.

Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda

dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral

Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan

Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para

penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak

itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan

Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara takhta Sultan

Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom

Abusoleh Imamuddin (1803-1811).


3. Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin

dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan

dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya.

Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan

pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya

37
Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan

penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun

1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektare. Pada masa

kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan

Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara

administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu

walikota dan bupati.


4. Perkembangan terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi

merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam.

Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya

sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan

sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan

perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival

Keraton Nusantara (FKN). Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana

Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua

yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan

Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan

dan Keraton Kaprabonan. Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik

internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan

Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan takhta Sultan

Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan

perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.

38
2.5. MASA KERUNTUHAN

KERAJAAN CIREBON

Pada saat tahun 1649 Panembahan Ratu Pangeran Emas telah meninggal pada

usia 102 tahun. Dengan wafatnya Dipati Cerbon ke II, maka panembahan ratu

menunjuk cucunya yaitu Pangeran Karim untuk membantunya menjalankan roda

pemerintahan Cerbon Menggantikan ayahnya yaitu Dipati Cerbon ke II. Pangeran

Karim waktu itu berusia 48 tahun menggantikannya sebagai Kepala Pemerintahan

Cerbon yang ke III dengan gelar Panembahan Ratu II.

Karena beliau wafat di Mataram sekitar tahun 1667 dan dimakamkan di

pemakamn di bukit Girilaya, maka disebutlah beliau oleh anak cucunya dengan

sebutan Panembahan Girilaya. Akhirnya nama Panembahan Girilaya itulah yang

disebut terus menerus dalam berbagai sumber sejarah, baik dalam Babad Cirebon,

Sejarah Cirebon, Kitab Negara Kertabumi, maupun Kitab Purwaka Caruban

Nagari. Oleh Karena itu nama Panembahan Girilaya lebih terkenal dari pada gelar

resmi pada waktu penobatannya yaitu Panembahan Ratu ke II.

Pada saat Panembahan Ratu masih hidup beliau mengawinkan Panembahan

Girilaya dengan Putri Sunan Amangkurat ke 1 tapi, untuk masalah kapan

diselenggarakannya pernikahan ini sendiri tidak jelas, karena saat itu Sunan

Amangkurat ke 1 baru naik tahta. Dan jika melihat pada literatur lain itu adalah

perkawinan kedua Panembahan Girilaya. Pada perkawinannya yang pertama

beliau dikaruniai 2 orang anak yang bernama Panembahan Katimang dan

39
Pangeran Gianti sedang pada perkawinan ke II mendapat 3 orang anak yaitu

Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.

Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu hubungan antara Cirebon dan

Mataram sangat Harmonis dan itu terjadi hampir selama 6 tahun. Tetapi setelah

Cirebon dipimpin Panembahan Girilaya hubungan yang tadinya harmonis berubah

menjadi agak merenggang karena perubahan sikap dari Amangkurat 1 yang

beranggapan bahwa Cirebon tak lebih baik atau tidak sederajat dengan Mataram.

VOC yang mengetahui kerenggangan hubungan antara Mataram- Cirebon

memanfaatkan benar peluang ini untuk mengadu domba mereka. Dalam waktu

yang singkat strategi politik Adu Domba VOC bisa membuat kesemrawutan

dalam tubuh Kerajaan Mataram.

Dalam kondisi yang serumit itu Sunan Amangkurat 1 diduga berusaha denga

keras mengatasinya dengan tindakan pembersihan dan penertiban yang pada

nyatanya dilakukan dengan kejam dan kekerasan. Tindakan itu memakan banyak

korban sehingga Panglima Angkatan Perang Mataram yang diandalakan ayahnya

sendiri yaitu Dipati Anom yang sekaligus putra Mahkota mulai membenci dan

meninggalkan Sunan Amangkurat 1.

Pada saat yang seperti itu Mataram mendapat kunjungan dari Panembahan

Girilaya beserta 2 orang anaknya Pangeran Martawijaya dan Pangeran

Kertawijaya serta pengawalnya yang diperkirakan pada tahun 1666/1667. Namun

alasan Panembahan Girilaya mengunjungi Mataram dan sampai di sana

(diperkirakan pada saat berumur 66 tahun) tidak ada penjelasan yang pasti.

Setelah kejadian wafatnya Panembahan Girilaya kedua anaknya yang ikut ke

40
Mataram tadi ditahan dan dibawa oleh Trunojoyo pada tahun 1678 dari Mataram

ke Kediri. Sejak wafatnya Panembahan Girilaya Cirebon telah terpecah belah dan

hancur sehingga tidak mempunyai wibawa lagi dan akhirnya menjadi mainan

belanda, mataram dan banten.

Tidak berhenti disini timbul masalah baru yakni para kerabat Kerajaan yang

setia pada Panembahan Girilaya yang tidak terima akan kemunduran Cirebon

meminta bantuan dari Sultan Ageng Tirtayasa Dari Banten. Dan untuk mengisi

kekosongan dengan cepat dan dengan pertimbangan yang matang Sultan Ageng

Tirtayasa menetapkan pejabat Kepala Negara Cirebon yaitu anak ketiga

Panembahan Girilaya yaitu adalah Pangeran Wangsakerta yang pada waktu itu

tidak ikut kedalam kunjungan ke Mataram dinobatkan sebagai Sultan Cirebon

oleh Sultan Banten.

Pada saat itu setelah Trunojoyo dapat memukul mundur pasukan Cirebon dan

dapat membuat ketakutan serta membuat lari Sunan Amangkurat 1. Hilanglah

kekuasaan Mataram yang Kejam dan Otoriter dan pada saat itu atas permintaan

Sultan Banten, Sultan Banten meminta Trunojoyo membawa dua putra mahkota

pesakitan itu untuk dibawa ke Kediri dan selanjutnya dibawa ke Banten.

Selanjutnya karena kurangnya keterangan yang jelas proses kembalinya 2

pangeran itu ke Cirebon kurang jelas dan pula penobatannya Pangeran

Martawijaya sebagai Sultan Sepuh dengan gelar Raja Syamsudin dan Pangeran

Kertawijaya sebagai Sultan Anom dengan gelar Sultan Mahmud Badridi.

Dengan adanya tiga sultan di Kerajaan Cirebon ini adalah titik dari masa akhir

Kerajaan Cirebon. Pada masa itu sudah ada usulan untuk membagi kerajaan

41
menjadi 3 bagian tapi apa mau dikata ketidaksepahamlah yang didapat , karena

masing masing mempunyai minat yang sama untuk menjadi sultan Cirebon. Pada

tahun 1681 tepatnya 23 Januari dilaksanakanperjanjian persahabatan antara

Sultan-Sultan Cirebon dengan pihak VOC yang diwakili oleh Van Dyck.

Dari penandatanganan itu mengandung arti besar, karena peristiwa itu menjadi

akar dari konflik baru dicirebon. Menurut keterangan P.S. Sulendranigrat dalam

bukunya Sejarah Cirebon peristiwa penandatanganan inimenimbulkan

perpecahan dari para pembesar pemerintahan di Cirebon tentunya adalah pro dan

kontra diadakannya penandatangan perjanjian persahabatan tersebut. Dan setelah

VOC bubar tahun 1800 maka Gubernur Jenderal Daendles menetapkan langkah

strategis dengan mengeluarkan Reglement op het beheer van de Cheribonsche

Landen pada 2 februari 1809 dan dengan keluarnya itu tadi maka Sultan-Sultan

di Cerbon yaitu Kasepuhan , Kanoman dan Kacirebonan tidak memiliki

kekuasaan lagi karena dijadikan Pegawai Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Pada saat akan keluar keputusan Pemerintah Kolonial Belanda , maka di

Kesultanan Kanoman terjadi peristiwa pemecahan diri Kanoman menjadi

Kanoman dan Kacerbonan. Dengan Fakta diatas dapat kita ketahui faktor faktor

penyebab runtuhnya kerajaan Cirebon.

2.6. PENINGGALAN-PENINGGALAN

KERAJAAN CIREBON
1. Keraton Kasepuhan Cirebon
Sekarang terletak di Kecamatan Lemah Wungkuk Kotamadya Cirebon. Di

keratin Kasepuhan ini akan kita dapati bangunan-bangunan dengan

42
arsitekturnya yang khas, benda kuno, kereta Singa Barong dan naskah

kuno.

1. Kereta Singa Barong Kasepuhan


Kereta Singa Barong adalah hasil karya Panembahan Losari, cucu Sunan

Gunung Jati, yang dibuatnya pada 1549. Ukiran binatang pada kereta

Kereta Singa Barong ini berbelalai gajah yang melambangkan

persahabatan Kasultanan Cirebon dengan India, berkepala naga sebagai

lambang persahabatan dengan Cina, serta bersayap dan berbadan Buroq

yang melambangkan persahabatan dengan Mesir.

2. Keraton Kanoman

43
Keraton Kanoman didirikan oleh Sultan Kanoman I (Sultan Badridin).

Terletak sebelah utara (300 meter) dari keratin Kasepuhan Keraton ini

berdiri sejak Panembahan Girilaya Wafat.

3. Kereta Paksi Naga Lima


Kereta Paksi Naga Liman yang merupakan Kereta kebesaran Sunan

Gunung Jati dan para Sultan Cirebon ini dibuat pada tahun yang sama

dengan Kereta Jempana, yaitu tahun Saka 1350 atau 1428, juga atas

prakarsa Pangeran Losari. Kereta Paksi Naga Liman menggabungkan

bentuk paksi (burung), naga, dan liman (gajah) yang belalainya memegang

senjata trisula ganda. Keistimewaan Kereta Paksi Naga Liman yang

disimpan di Keraton Kanoman ini ada pada bagian sayapnya yang bisa

mengepak saat kereta sedang berjalan.

4. Keraton Kacirebonan

44
Keraton Kacirebonan merupakan keraton yang paling kecil diantara

keraton lain yang ad di daerah cirebon.Sejarah Keraton Kacirebonan

dimulai ketika Pangeran Raja Kanoman, pewaris takhta Kesultanan

Keraton Kanoman bergabung dengan rakyat Cirebon dalam menolak pajak

yang diterapkan Belanda, yang memicu pemberontakan di beberapa

tempat. Pangeran Raja Kanoman kemudian tertangkap oleh Belanda dan

dibuang ke benteng Viktoria di Ambon, dilucuti gelarnya, serta dicabut

haknya sebagai Sultan Keraton Kanoman. Namun karena perlawanan

rakyat Cirebon tidak juga reda, Belanda akhirnya membawa kembali

Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon dalam upaya mengakhiri

pemberontakan. Status kebangsawanan Pangeran Raja Kanoman pun

dikembalikan, namun haknya atas Kesultanan Keraton Kanoman tetap

dicabut.

5. Masjid Sang Cipta Rasa


Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun pada tahun 1498 M oleh Wali

Sanga atas prakarsa Sunan Gunung Jati. Pembangunannya dipimpin oleh

Sunan Kalijaga dengan arsitek Raden Sepat (dari Majapahit) bersama

dengan 200 orang pembantunya (tukang) yang berasal dari Demak. Mesjid

45
ini dinamai Sang Cipta Rasa karena merupakan pengejawantahan dari rasa

dan kepercayaan. Penduduk Cirebon pada masa itu menamai mesjid ini

Mesjid Pakungwati karena dulu terletak dalam komplek Keraton

Pakungwati. Sekarang mesjid ini terletak di depan komplek Keraton

Kesepuhan. Menurut cerita rakyat, pembangunan mesjid ini hanya dalam

tempo satu malam; pada waktu subuh keesokan harinya telah

dipergunakan untuk shalat Subuh. Nama Masjid Sang Cipta Rasa sendiri

mempunyai Makna Filosofi Sang berarti Agung, Cipta berarti Bangunan

sedang rasa berarti manfaat, sehingga arti kata Sang Cpta Rasa maksudnya

berarti Bangunan yang memilki Manfaat yang Agung/besar yang dikaitkan

dengan kegiatan syiar agama islam dan agama di tanah cirebon.Keunikan

Masjid ini yaitu dengan diadakannya adzan Pitu (tujuh Muadzin) pada

setiap sholat jumat. Masjid Agung Sang Ciptarasa (sebutan sehari-harinya

masjid agung) ini merupakan salah satu bagian dari kraton Kasepuhan.

Masjid ini terletak di sebelah barat Alun-Alun Sangkalabuwana (Alun-

Alun depan Keraton Kasepuhan). Luas arealnya sekitar 4.750 meter

persegi. Di dalamnya terdapat beberapa sakaguru yang berfungsi sebagai

penopang struktur bagian atas. Yang lebih menarik lagi adalah saka tatal-

nya, yaitu sebuah tihang penopang yang cukup kuat, walaupun hanya

terbuat dari serpihan-serpihan kayu.

46
6. Makam Sunan Gunung Jati

Makam Sunan Gunung Jati Dihiasi dengan keramik buatan Cina dari jaman

Dinasti Ming. Di komplek makam ini di samping tempat dimakamkannya

Sunan Gunung Jati juga tempat dimakamkannya Fatahilah panglima perang

pembebasan Batavia. Lokasi ini merupakan komplek pemakaman bagi

keluarga Keraton Cirebon, terletak + 6 Km ke arah Utara dari Kota Cirebon

Jawa Barat.dan makam ini selalu ramai di kunjungi orang untuk

berziarah,apalagi waktu malam jum'at . Makam Sunan Gunung Jati yang

berada di bukit Gunung Sembung hanya boleh dimasuki oleh keluarga Kraton

sebagai keturunannya selain petugas harian yang merawat sebagai Juru Kunci-

nya.

Selain dari orang-orang yang disebutkan itu tidak ada yang diperkenankan

untuk memasuki makam Sunan Gunung Jati. Alasannya antara lain adalah

begitu banyaknya benda-benda berharga yang perlu dijaga seperti keramik-

keramik atau benda-benda porselen lainnya yang menempel ditembok-tembok

dan guci-guci yang dipajang sepanjang jalan makam.Keramik-keramik yang

47
menempel ditembok bangunan makam konon dibawa oleh istri Sunan Gunung

Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Banyak keramik yang

masih sangat baik kondisinya, warna dan design-nya sangat menarik.

Sehingga dikhawatirkan apabila pengunjung bebas keluar-masuk seperti pada

makam-makam wali lainnya maka barang-barang itu ada kemungkinan hilang

atau rusak.

BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Cirebon yang semula termasuk daerah kekuasaan kerajaan Sunda

Pajajaran bahkan salah satu pelabuhan kerajaan tersebut. Ketika kehadiran Tome

Pires, seorang musafir asal Portugis sekitar tahun 1513, diberitakan Cirebon sudah

termasuk ke daerah Jawa di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Menurut Tome

Pires, pendapat Islam masuk pada Kerajaan Cirebon pada tahun 1470-1475. pada

tahun 1420 M, datang serombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin oleh

48
Syekh Idlofi Mahdi, ia tinggal di dalam perkampungan Muara Jati dengan alasan

untuk memperlancar barang dagangannya. Syekh Idlofi Mahdi memulai

kegiatannya selain berdagang dia juga berdakwah dengan mengajak penduduk

serta teman-temannya untuk mengenal serta memahami ajaran Islam. Pusat

penyebarannya brada di Gunung Jati. Syekh Idlofi Mahdi menyebarkan agama

Islam dengan cara bijaksana dan penuh hikmah.

Sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa pada umumnya dan kerajaan

Cirebon khususnya, situasi masyarakat di pengaruhi sistem kasta pada ajaran

agama Hindu kehidupan masyarakatnya jadi bertingkat-tingkat. Mereka yang

mempunyai kasta lebih tinggi tidak dapat bergaul dengan dengan kasta yang lebih

rendah atau pergaulan diantara mereka dibatasi. Setelah ajaran Islam disebarkan

oleh Syekh Idlofi Mahdi, susunan masyarakat berdasarkan kasta ini mulai terkikis

dan dimulailah kehidupan masyarakat tanpa adanya perbedaan kasta.

Proses perkembangan kerajaan Cirebon di segala bidang (1) Kondisi

Ekonomi , Sebagai sebuah kesultanan yang terletak diwilayah pesisir pulau Jawa,

Cirebon mengandalkan perekonomiannya pada perdangangan jalur laut. Dimana

terletak Bandar-bandar dagang yang berfungsi sebagai tempat singgah para

pedagang dari luar Cirebon. Juga memiliki fungsi sebagai tempat jual beli barang

dagangan. (2) Bidang Politik , Perkembangan politik yang terjadi pada Cirebon

berawal dari hubungan politiknya dengan Demak. Hal inilah yang menyebabkan

perkembangan Cirebon. Dikatakan oleh Tome Pires yang menjadi Dipati Cirebon

adalah seorang yang berasal dari Gresik. Kosoh, dkk (1979:94) Babad Cirebon

menceritakan tentang adanya kekuasaan kekuasaan Cakrabuana atau Haji

49
Abdullah yang menyebarkan agama islam di kota tersebut sehingga upeti berupa

terasi ke pusat Pajajaran lambat laun dihentikan. (3) Bidang Sosial, Kondisi Sosial

Kerajaan Cirebon Perkembangan Cirebon tidak lepas dari pelabuhan, karena pada

mulanya Cirebon memang sebuah bandar pelabuhan. Maka dari sini tidak

mengherankan juga kondisi sosial di Kerajaan Cirebon juga terdiri dari beberapa

golongan. Diantara golongan yang ada antara lain, golongan raja beserta

keluargana, golongan elite, golongan non elite, dan golongan budak (Sartono

Kartodirdjo. (4). Bidang Budaya , Kondisi Budaya Kerajaan Cirebon Agama

Islam mengajarkan agar para pemeluknya agar melakukan kegiatan-kegiatan

ritualistik. Yang dimaksud kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai bentuk

ibadah seagaimana yang tersimpun dari rukun Islam. Bagi orang Jawa, hidup ini

penuh dengan riyual/upacara. Secara luwes Islam memberikan warna baru dalam

upacara yang biasanya disebut kenduren atau selamatan (Darori, 1987:130-131).

Raja-raja yang pernah berkuasa:


1. Pangeran Cakrabuana (1430- 1479)
2. Sunan Gunung Jati (1479-1568)
3. Fatahillah (1568-1570)
4. Panembahan Ratu I (1570-1649)
5. Panembahan Ratu II(1549-1677)

Kerajaan Cirebon berada pada puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Syarif

Hidayatullah. Syarif Hidayatullah putra wanita asal Galuh-Caruban yaitu Nhay

Lara Santang adik dari Pangeran Cakrabuwana pemimpin Caruban yang menikah

dengan Mauana Sultan Muhammad. Ketika Syarif Hidayat berusia duapuluh

tahun, ia pergi ke Makkah berguru kepada Syeh Tajamudin Al ubri, di sini ia

tinggal selama dua tahun, setelah tamat dari Syeh Tajamudin kemudian Syarif

Hidayat, meneruskan pelajaran kepada Syeh Ataillah Syazalli, masih di Mekkah

50
juga selama dua tahun (Sunardjo, 1983:51). Ketika Cirebon mengalami kejayaan

pada masa Syarif Hidayatullah sudah tidak diragukan lagi, karena pengalaman

ilmu yang didapat sangat luar biasa. Itu dapat kita lihat dari beliau mempunyai

dua guru besar yang ada di Mekkah. Syarif hidayatullah juga pernah belajar

Tasawuf di Bagdad. Beliau di Bagdad beliau belajar tasawuf selam dua tahun.

Kemudian beliau kembali ke negerinya yaitu Oqnah Yutra. Kemudain beliau

memutuskan untuk pergi ke Jawa karena beliau ingin menjadi mubaligh di Jawa.

Dalam perjalanannya ke pulau Jawa Syarif Hidayatullah sempat singgah di

Gujarat. Setelah dari Gujarat, Srarif Hidayat singgal dan tinngal pula di Samudera

Pasai, sebuah tempat di Aceh yang pada masa itu sudah merupakan Kerajaan

Islam yang cukup besar karena sudah berdiri sejak 1296 (Sunardjo, 1983:52).

Mungkin saja ketika di Samudra Pasai Syarif Hidayatullah sedikit banyak belajar

tentang pemerintahan Islam. Karena beliau juga tinggal beberapa waktu di

Samudera Pasai. Jadi tidak heran lagi ketika beliau menjadi pemimpin di Cirebon

dapat membawa pada kejayaan.

Pada saat tahun 1649 Panembahan Ratu Pangeran Emas telah meninggal pada

usia 102 tahun. Dengan wafatnya Dipati Cerbon ke II, maka panembahan ratu

menunjuk cucunya yaitu Pangeran Karim untuk membantunya menjalankan roda

pemerintahan Cerbon Menggantikan ayahnya yaitu Dipati Cerbon ke II. Pangeran

Karim waktu itu berusia 48 tahun menggantikannya sebagai Kepala Pemerintahan

Cerbon yang ke III dengan gelar Panembahan Ratu II.

Karena beliau wafat di Mataram sekitar tahun 1667 dan dimakamkan di

pemakamn di bukit Girilaya, maka disebutlah beliau oleh anak cucunya dengan

51
sebutan Panembahan Girilaya. Akhirnya nama Panembahan Girilaya itulah yang

disebut terus menerus dalam berbagai sumber sejarah, baik dalam Babad Cirebon,

Sejarah Cirebon, Kitab Negara Kertabumi, maupun Kitab Purwaka Caruban

Nagari. Oleh Karena itu nama Panembahan Girilaya lebih terkenal dari pada gelar

resmi pada waktu penobatannya yaitu Panembahan Ratu ke II.

Pada saat Panembahan Ratu masih hidup beliau mengawinkan Panembahan

Girilaya dengan Putri Sunan Amangkurat ke 1 tapi, untuk masalah kapan

diselenggarakannya pernikahan ini sendiri tidak jelas, karena saat itu Sunan

Amangkurat ke 1 baru naik tahta. Dan jika melihat pada literatur lain itu adalah

perkawinan kedua Panembahan Girilaya. Pada perkawinannya yang pertama

beliau dikaruniai 2 orang anak yang bernama Panembahan Katimang dan

Pangeran Gianti sedang pada perkawinan ke II mendapat 3 orang anak yaitu

Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.

Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu hubungan antara Cirebon dan

Mataram sangat Harmonis dan itu terjadi hampir selama 6 tahun. Tetapi setelah

Cirebon dipimpin Panembahan Girilaya hubungan yang tadinya harmonis berubah

menjadi agak merenggang karena perubahan sikap dari Amangkurat 1 yang

beranggapan bahwa Cirebon tak lebih baik atau tidak sederajat dengan Mataram.

VOC yang mengetahui kerenggangan hubungan antara Mataram- Cirebon

memanfaatkan benar peluang ini untuk mengadu domba mereka. Dalam waktu

yang singkat strategi politik Adu Domba VOC bisa membuat kesemrawutan

dalam tubuh Kerajaan Mataram.

52
DAFTAR PUSTAKA

Wiryono,Herry.1998.KOTA DAGANG CIREBON SEBAGAI JALUR

SUTERA.Depdikbud:CV Eka Dharma

http://ipinpale.blogspot.co.id/2014/08/makalah-kerajaan-cirebon.html

http://kerajaan-cirebon.blogspot.co.id/2013/03/kondisi-sosial-dan-budaya-

kerajaan_31.html

53

Anda mungkin juga menyukai