Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal Alang-Alang yang
kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Raden Walangsungsang diubah
namanya menjadi Caruban. Nama Caruban sendiri terbentuk karena diwilayah Cirebon dihuni
oleh beragam masyarakat dan sebutan lain Cirebon adalah Caruban Larang. Pada
perkembangannya Caruban berubah menjadi Cirebon karena kebiasaan masyarakatnya sebagai
nelayan yang membuat terasi udang dan petis, masakan berbahan dasar air rebusan udang/cai-
rebon. Tahun 1389 M, Cirebon disebut “Caruban Larang”, terdiri atas Caruban pantai/ pesisir
dan Caruban Girang. Letak Cirebon yang berada dipesisir Pantai Utara Jawa yang merupakan
jalur strategis perdagangan lokal maupun internasional membuat Cirebon cepat berkembang
menjadi tempat persinggahan para pedagang dari luar negeri. Para pedagang yang singgah di
pelabuhan Cirebon umunya adalah pedagang Islam yang berasal dari China, Arab, dan Gujarat
yang kemudian banyak diantara mereka yang menetap di Cirebon.

Sejak abad ke 15 M Cirebon sudah banyak didatangi pedagang Islam yang kemudian
menetap. Oleh karena itu menurut Tome Pires, seorang pedagang Portugis yang pernah
mengadakan pelayaran disepanjang pantai Utara Jawa pada tahun 1531, kerajaanPajajaran
melarang orang-orang muslim terlalu banyak masuk ke dalam. Kerajaan Pajajaran adalah
kerajaan yang bercorak Hindu-Budha yang menguasai wilayah Sunda termasuk hingga
kewilayah Cirebon.

1
B. Rumusan Masalah

1. Sejarah Kerajaan Cirebon


2. Perkembangan awal Kerajaan Cirebon
3. Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
4. Terpecahnya Kesultanan Cirebon
5. Penyebaran Islam di Kerajaan Cirebon
6. Runtunya kerajaan Cirebon
7. Peninggalan Kerajaan Cirebon

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang
kerajaan Cirebon !

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Kerajaan Cirebon

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja
pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon mulanya adalah sebuah dukuh kecil yang
awalnya didirkan oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah
perkampungan ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran).

Dinamakan Caruban karena di sana ada percampuran para pendatang dari berbagai
macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, latar belakang dan mata pencaharian yang
berbeda. Mereka datang dengan tujuan ingin menetap atau hanya berdagang.

Karena awalnya hampir sebagian besar pekerjaan masyarakat adalah sebagai nelayan,
maka berkembanglah pekerjaan lainnya, seperti menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di
sepanjang pantai yang bisa digunakan untuk pembuatan terasi. Lalu ada juga pembuatan petis
dan garam.

Air bekas pembuatan terasi inilah akhirnya tercipta nama “Cirebon” yang berasal dari
Cai(air) dan Rebon (udang rebon) yang berkembang menjadi Cirebon yang kita kenal sekarang
ini. Karena memiliki pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
akhirnya menjadi sebuah kota besar yang memiliki salah satu pelabuhan penting di pesisir utara
Jawa.

3
Pelabuhan sangat berguna dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan seluruh
Nusantara maupun dengan negara lainnya. Selain itu, Cirebon juga tumbuh menjadi salah satu
pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

B. Perkembangan awal Kerajaan Cirebon

1. Ki Gedeng Tapa

Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang
saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan
membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun
Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai
menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

2. Ki Gedeng Alang-Alang

Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu
adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden
Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang,
yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat,
Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu
yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

C. Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)

1. Pangeran Cakrabuana (…. –1479)

Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja
Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa).
Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian
Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan
Raden Sangara.

Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota
Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh
Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah

4
Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh
adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai
Cantring Manikmayang.

Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal,
Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana
Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai
pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana.
Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman,
tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif
menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

2. Sunan Gunung Jati (1479-1568)

Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai


Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif
Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan
gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan
bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai
pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam
di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.

3. Fatahillah (1568-1570)

Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat


keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh
Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara
resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya
berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan

5
Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di
Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

4. Panembahan Ratu I (1570-1649)

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta
kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati
Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan
memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

5. Panembahan Ratu II (1649-1677)

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan
Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena
ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah
meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya
almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan
Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan


kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab
Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan
Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh
mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah
sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan
Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di
Mataram.

Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan


Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di
Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi
makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

6
D. Terpecahnya Kesultanan Cirebon

Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran


Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak
berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk
meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam
Perang Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk
memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo
yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan.
Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada
kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai
Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan
Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih
hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak
beraliansi lagi dengan Mataram.

1. Perpecahan I (1677)

Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa
penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan
Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana
kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan
berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:

 Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil
Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
 Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi
Muhammad Badrudin (1677-1723)
 Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul
Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya
ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan

7
keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya
Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri
sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi
kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi
keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari
permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang
dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

2. Perpecahan II (1807)

Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa
pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang
putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri
dengan nama Kesultanan Kacirebonan.

Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan
keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang
mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan
pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan
gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu
KesultananKacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V
jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-
1811).

E. Penyebaran Islam di Kerajaan Cirebon

Kerajaan Cirebon merupakan bagian dari administratif Jawa Barat. Cirebon sendiri
mempunyai arti seperti di daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari bahasa sunda “ci” yang
berarti air, sedangkan “rebon” berarti udang. Cirebon mempunyai ati sungai udang atau kota
udang. Cirebon didirikan pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479 M
Pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati Cirebon
menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah seorang
menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu Ratu Mas Rara sasantang. Sejak inilah Cirebon menjadi
negara merdeka dan bercorak Islam.

8
Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam di bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati wilayah
Cirebon dibagi menjadi dua daerah, pesisir dan pedalaman. Daerah pesisir dipimpin oleh Ki
Gendeng Jumajan Jati, sedangkan wilayah pedalaman dipimpin oleh Ki Gendeng Kasmaya.
Keduanya adalah saudara Prabu Anggalarung dari Galuh. Sunan Gunung Jati kemudian menikah
dengan Ratu Mas Pakungwati dari Cirebon pada tahun 1479 dan pada tahun itu juga di bangun
Istana Pakungwati atau keraton Kasepuhan.

Putra Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Pasarean pada tahun 1528 diangkut sebagai
pemangku kekuasaan di Cirebon. Sebelum sempat menggantikan ayahnya, Pangeran Pasarean
wafat pada tahun 1552. Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat Aria Kemuning menjadi
sultan Cirebon. Aria Kemuning adalah anak angkat dari Sunan Gunung Jati. Aria Kemuning atau
julukannya Dipati Carbon 1 menjabat sebagai sultan Cirebon kurang lebih 12 tahun, yaitu sejak
1553-1565.

1. Berkembangnya Ajaran Islam di Kerajaan Cirebon

a. Perkembangan Islam pada Masa Syekh Idlofi Mahdi

Menurut Tome Pires, seorang musyafir dari negeri Portugis pendapat Islam masuk pada
Kerajaan Cirebon pada tahun 1470-1475. pada tahun 1420 M, datang serombongan pedagang
dari Baghdad yang dipimpin oleh Syekh Idlofi Mahdi, ia tinggal di dalam perkampunganMuara
Jati dengan alasan untuk memperlancar barang dagangannya. Syekh Idlofi Mahdi memulai
kegiatannya selain berdagang dia juga berdakwah dengan mengajak penduduk serta teman-
temannya untuk mengenal serta memahami ajaran Islam. Pusat penyebarannya brada di Gunung
Jati. Syekh Idlofi Mahdi menyebarkan agama Islam dengan cara bijaksana dan penuh hikmah.

Sebelum masuknya Islam ke pulau jawa pada umumnya dan kerajaan Cirebon khususnya,
situasi masyarakat di pengaruhi sistem kasta pada ajaran agama Hindu kehidupan masyarakatnya
jadi bertingkat-tingkat. Mereka yang mempunyai kasta lebih tinggi tidak dapat bergaul dengan
dengan kasta yang lebih rendah atau pergaulan diantara mereka dibatasi. Setelah ajaran Islam
disebarkan oleh Syekh Idlofi Mahdi, susunan masyarakat berdasarkan kasta ini mulai terkikis
dan dimulailah kehidupan masyarakat tanpa adanya perbedaan kasta

9
b. Perkembangan Islam pada masa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.

Menurut semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk cerita Purwaka Caruban Nagari,
masuknya Islam di Cirebon pada abad 15 yaitu pada tahun 1470. disebarkan oleh Sunan Gunung
Jati atau Syarif Hidayatullah. Penyebaran agama Islam itu dimulai ketika Syarif Hidayatullah
berusia 27 tahun yaitu dengan menjadi mubaliqh Cirebon. Di tahun 1479 Syarif Hidayatullah
menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putre dari pangeran Cakrabuana. Pengganti pangeran
Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon di berikan pada Syarif Hidayatullah. Pada tahun
pengangkatannya Syarif Hidayatullah mengembangkan daerah penyebarannya di wilayah
Pajajaran.

Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah Serang yang


sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam dari pedagang-pedagang dari Arab dan
Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah mendapat sambutan hangat dari
adipati Banten. Daerah-daerah yang telah diislamkan antara lain : Kuningan, Sindangkasih,
Telaga, Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya, Batulayang, dan
Timbangaten. Di wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di negeri Caruban yang
dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin persahabatan dengan Syarif
Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah Raden Patah bersama-sama para mubaliqh
yang sudah bergelar sunan menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Panata Gama Rasul di tanah
Pasundan. Panata Gama Rasul artinya orang yang ditetapkan sebagai pemimpin penyiaran Agam
Nabi Muhamad di tanah Jawa. Kemudian atas kesepakatan para sunan Syarif Hidayatullah di
beri gelar Sunan Gunung Jati dan menjadi Sunan paling terakhir yaitu sunan ke-9 dari sunan 9
sunan lainnya. Kerajaan-kerajaan yang berhasil ditakhlukkan Sunan Gunung Jati diantaranya:

 Talaga, sebuah kerajaan yang beragam Hindu yang terletak di sebelah barat daya Cirebon
di bawah kekuasaan Prabu Kacukumun.
 Rajagaluh, bekas pusat kerajaan Pajajaran yang beragam Hindu yang diperintah Prabu
Cakraningrat. Prabu Cakraningrat tidak senang dengan kemajuan Cirebon dan persebaran
agama Islam di Cirebon di tangan Sunan Gunung Jati. Akibatnya timbulah perang antara
Cirebon dengan Rajagaluh, kemenangan berada di tangan Cirebon. Berakhirnya
kekuasaan Rajagaluh sekaligus merupakan berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di
daerah Jawa Barat sebelah Timur.

10
 Pada tahun 1498 para Walisongo yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati membangun
Masjid Agung Cirebon. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga denganseorang
arsitek Raden Sepat ( dari Majapahit bersama 200 orang pembantunya dari Demak ).
Masjid ini juga disebut Sang Cipta Rasa karena terlahir dari rasa dan kepercayaan
penduduk. Pada masa itu juga disebut dengan Masjid Pekungwati karena dulu masjid itu
terletak dalam komplek keraton Pekungwati dan sekarang dalam komplek kasepuhan.
Menurut cerita masjid itu dibangun dalam waktu semalam dan besok pada waktu subuh
digunakan untuk Sholat Subuh. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal pada usia
yang sangat lanjut yaitu 120 tahun, dia dimakamkan di pertamanan Gunung Jati

F. Runtunya kerajaan cirebon

Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan dipegang oleh
Sultan Sepuh, Keraton Kanoman dipegang oleh Sultan Anom, Keraton Karicebonan dipegang
oleh Panembahan Karicebonan. Mereka hanya mengurusi kerajaan masing-masing.
Mengakibatkan kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai hancur.

Setelah Sultan Panembahan Gerilya wafat pada tahun 1702, terjadi perebutan kekuasaan
diantara kedua putranya, yaitu antara Pangeran Marta Wijaya dan Pangeran Wangsakerta. Di
samping itu adanya campur tangan VOC yang mengadu domba mereka membuat persaudaraan
mereka menjadi permusuhan.

Islam masuk ke Cirebon pada abad 15, ajaran Islam ini dibawa Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati) dan Syekh Idlofi Mahdi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan
berdakwah dan mendirikan pondok pesantren. Sunan Gunung Jati, mempunyai daerah
penyebaran paling luas. Pada tahun 1498 Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung Cirebon
dan dibantu oleh kedelapan para wali. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat dan beliau
dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.

Cirebon menjadi pusat perdagangan karena letaknya di daerah pesisir utara pulau Jawa.
Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Pedagang dari luar negara yang
mendukung perekonomian di Cirebon adalah Cina dengan barang dagangannya yaitu sutra dan
keramik. Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan status sosialnya yang dibedakan menjadi 4

11
golongan, yaitu golongan Raja, golongan Elite, golongan Nonelite, dan golongan Budak. Mereka
mempunyai kedudukan didalam lingkungan kerajaan.

Cirebon mulai mengalami kehancuran ketika Cirebon dibagi menjadi 3 Kesultanan, Yaitu
Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kerato Kacirebonan. Sehingga kerajaan Cirebon
menjadi terpecah-pecah. Disamping itu adanya perebutan kekuasaan sepeninggal Panembahan
Gerilya pada tahun 1702. Adanya campur tangan VOC dalam kerajaan yang mengadu domba
mereka juga menjadi penyebab hancurnya kerejaan Cirebon.

G. Peninggalan Kerajaan Cirebon

Berikut ini merupakan peninggalan bersejarah Kerajaan Cirebon di Indonesia.

1. Keraton Kasepuhan Cirebon

Keraton Kasepuhan Cirebon atau Keraton Pakungwati, dibangun oleh Pangeran


Cakrabuana atau sering dikenal dengan sebutan Mbah Kuwu Cerbon pada tahun 1430,berselang
waktu kemudian Pangeran Cakrabuana mengganti nama menjadi Keraton Pakungwati yang
sebelumnya nama pertamanya yaitu Dalem Agung Pakungwati, dikarenakan Pangeran
Cakrabuana mempunyai kasih sayang terhadap putrinya yang bernama Ratu Ayu
Pakungwati.Keraton Kasepuhan Cirebon juga termasuk kerajaan islam tertua di Cirebon.

Nyimas Pakungwati menikah dengan sepupunya yang bernama Syarif Hidayatulllah ,


Syarif Hidayatullah merupakan tokoh agama terkemuka di Indonesia dan orang sering
menyebutnya dengan sebutan Sunan Gunung Jati.

Keraton Kasepuhan merupakan bangunan bersejarah Kesultanan Cirebon yang masih


terawat dengan baik, dan bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon tersebut menghadap ke posisi

12
utara , dikarenakan itu termasuk ciri khas bangunan keratin yang selalu menghadap utara dan
didekatnya ada masjid

2. Keraton Kanoman

Keraton Kanoman didirikan oleh Pangeran Mohammad Badridin atau Pangeran


Kertawijaya , Keraton Kanoman mempunyai luas sekitar 6 Hektar dan berlokasi di belakang
pasar di Kraton ini merupakan tempat tinggal kesultanan ke-12 yaitu Sultan Muhammad
Emiruddin beserta keluarganya. Keraton Kanoman mempunyai komplek yang luas dan terdiri
dari banyak bangunan kuno.

Di keraton ini terdapat dua kereta yang disimpan dan merupakan peninggalan kuno dari
Kesultanan Cirebon yaitu kereta Paksi Naga Liman dan Kereta Jempana,Kesultanan Kanoman
merupakan pembagian dari Kesultanan Cirebon , yang dibagi kepada putera Pangeran Girilaya
yaitu Pangeran Raja Kartawijaya.

3. Keraton Kacirebon

Keraton Kacirebon dibangun pada tahun 1800 Masehi, bangunan ini digunakan untuk
menyimpan barang-barang peninggalan pada jaman terdahulu yaitu seperti Keris,Wayang,alat
musik Gamelan , dan alat-alat perang lainnya.

13
Keraton Kacirebon berada di wilayah kelurahan Pulasaren Kecamatan Pekalipan di Kota
Cirebon,dan terletak di sebelah barat daya dari Keraton Kasepuhan dan selatan dari Keraton
Kanoman.Bangunan ini mempunyai panjang yang sangat besar dan memanjang ke arah selatan
dengan luas tanah 46.500 m persegi.

4. Keraton Keprabon

Peninggalan Kerajaan Cirebon selanjutnya adalah keraton Keprabon. Keraton Keprabon


adalah sebuah tempat pembelajaran yang didirikan putera mahkota Kesultanan Kanoman yang
merupakan pembagian dari Kesultanan Cirebon , Pangeran Raja Adipati Keprabon memilih
untuk mendalami ilmu keagamaanya di agama islam.

Akan tetapi Keprabon bukanlah Keraton atau Kesultanan melainkan sebuah tempat yang
dibangun oleh Pangeran Raja Adipati untuk mendalami agami islam seperti Thareqat.Keprabon
tidak mempunyai keraton melainkan hanya rumah-rumah biasa.Akan tetapi Keprabon tetap
mempunyai bau peninggalan sejarah dari Kesultanan Cirebon meskipun sedikit

5. Kereta Singa Barong Kasepuhan

Kereta Singa Barong Kasepuhan merupakan karya Panembahan Losari yaitu merupakan
cucu Sunan Gunung Jati, yang dibuat pada tahun 1549. Depan kereta Singa Barong berbentuk

14
belalai gajah yang melambangkan persahabatan Kesultanan Cirebon dengan negara India , dan
yang berkepala naga melambangkan persahabatan dengan negara Tiongkok , serta yang bersaya
dan berbadan Buroq melambangkan persahabatan dengan negara Mesir. Senjata Trisula pada
belalai gajah mempunyai lambang mengenai ketajaman cipta,rasa , dan karsa manusia.

6. Masjid Sang Cipta Rasa

Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan masjid tertua di Cirebon , yaitu dibangun pada tahun
1840 M . Nama masjid ini diambil dari kata “sang” yang berarti keagungan, “cipta” yang berarti
dibangun,dan “rasa” yang berarti digunakan.

Konon , masjid ini dibangun dengan melibatkan 500 orang yang didatangkan dari
Majapahit,Demak,dan Cirebon. Sunan Gunung Jati yang merencanakan pembangungan masjid
ini menunjuk Sunan Kalijaga untuk menjadi arsiteknya, daripada itu Sunan Gunung Jati juga
meminta bantuan dari Raden Sepat seorang arsitek Majapahit yang merupakan tahanan perang
Demak-Majapahit.

7. Bangunan Mande Pengiring

Bangunan Mande Pengiri yaitu bangunan yang terdapat di dalam keraton Kasepuhan yang
dulunya juga dibangun oleh Sunan Gunung Jati dan bangunan tersebut digunakan untuk tempat
15
bersantai atau duduk bagi pengiring sultan , maka dari itu kenapa bangunan tersebut dipanggil
dengan nama Mande Pengiring sesuai dengan fungsi bangunan tersebut.

Bangunan ini merupakan salah satu bangunan dari 5 bangunan mande lainnya seperti Mande
Malang Semirang , Mande Pandawa Lima , Mande Semar Tinandu , Mande Karesmen , Mande
Pengiring itu sendiri. Mande – mande tersebut digunakan kesultanan sesuai dengan kegunaannya
masing – masing untuk melambangkan bagaimana kasultanan itu berkuasa .

8. Bangunan Mande Karesmen

Peninggalan Kerajaan Cirebon selanjutnya adalah Bangunan Mande Karesmen yang merupakan
bangunan yang terletak disebelah Mande Pengiring, tempat ini merupakan tempat pengiring
tetabuhan atau gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih digunakan untuk
membunyikan gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini biasanya hanya dibunyikan sebanyak
2 kali dalam setahun yaitu pada hari – hari tertentu seperti saat Idul Fitri dan Idul Adha.

Disamping merupakan para pemain gamelan yang berada di kompleks keraton Kasepuhan
terlihat para Wiyaga (penabuh gamelan) sedang berdiskusi disela-sela kegiatan penabuhan gong
Sekati pada Idul Fitri 2014, dari jajaran Wiyaga terlihat Ki Waryo (anak dari Ki Empek) duduk
paling kanan, Ki Adnani dan kemudian Ki Encu.

16
9. Regol Pengada

Regol Pengada yaitu pintu gerbang yang berbentuk paduraksa, dan menggunakan batu dan daun
pintunya dari kayu. Gapura Lonceng terdapat disebelah timur Gerbang Pengada, dan gerbang ini
berbentuk kori agung atau gapura beratap yang menggunakan bahan dasar batu bata.

Bangunan Pengada yang berada tepat di depan gerbang Regol Pengada dengan ukuran 17 x 9,5
m yang berfungsi sebagai tempat membagikan berkat dan juga tempat pemeriksaan sebelum
menghadap ke raja dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi Laras
untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.

10. Mangkok kayu berukir

Peninggalan Kerajaan Cirebon yang terakhir adalah mangkok kayu berukir yang merupakan
barang peninggalan yang digunakan kesultanan sebagai nampan , dan sebelumnya warna dari
mangkok tersebut dengan beberapa warna dan sekarang yang terdapat di museum tropen belanda
yaitu tinggal yang bercorak coklat dan mempunyai ukiran pohon kehidupan .

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal Alang-Alang yang
kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Raden Walangsungsang diubah
namanya menjadi Caruban. Nama Caruban sendiri terbentuk karena diwilayah Cirebon dihuni
oleh beragam masyarakat dan sebutan lain Cirebon adalah Caruban Larang. Kerajaan Cirebon
merupakan bagian dari administratif Jawa Barat. Cirebon sendiri mempunyai arti seperti di
daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari bahasa sunda “ci” yang berarti air, sedangkan
“rebon” berarti udang. Cirebon mempunyai ati sungai udang atau kota udang. Cirebon didirikan
pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479 M Pangeran Cakrabuana
sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati Cirebon menyerahkan
kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati adalah seorang menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu Ratu Mas
Rara sasantang. Sejak inilah Cirebon menjadi negara merdeka dan bercorak Islam. Kerajaan
Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan dipegang oleh Sultan Sepuh,
Keraton Kanoman dipegang oleh Sultan Anom, Keraton Karicebonan dipegang oleh
Panembahan Karicebonan. Mereka hanya mengurusi kerajaan masing-masing. Mengakibatkan
kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai hancur.

B. Saram

Saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Bagi
para pembaca dan teman-teman lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui
lebih jauh maka kami mengharapkan dengan rendah hati agar membaca buku-buku ilmiah.

18
DAFTAR PUSTAKA

M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan TradisionalCirebon.(Jakarta: Suko


Rejo Bersinar, 2001),hlm. 6.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah.(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995),hlm. 64.

7Main Umar, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997),hlm. 173.

19

Anda mungkin juga menyukai