Bab 2 DESKRIPSI
2. 1. Historis
Dari Purwaka Caruban Nagari dan Babad Cirebon dituliskan bahwa pada awalnya,
Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa atau yang dikenal
dengan Mbah Kuwu Cirebon I. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa
yang ramai yang diberi nama Caruban. Diberi nama demikian karena di sana bercampur
para pendatang dari beraneka bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat.
Mata pecaharian sebagian besar masyarakat Cirebon kala itu adalah nelayan,
pekerjaan mereka diantaranya adalah menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di
sepanjang pantai pesisir utara Laut Jawa, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari
istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon ini berkembang sebutan
cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi Cirebon.
Wilayah Cirebon menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa. Dari
pelabuhan Cirebon, kegiatan pelayaran dan perniagaan berlangsung antar-kepulauan
nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Dengan berkembangnya daerah menjadi
wilayah yang makin meluas, kemudian dikenal sebutan Cirebon larang untuk wilayah pesisir
dan Cirebon girang utuk wilayah pedalaman dengan mayoritas masyarakat yang agraris.
Selain itu, Cirebon juga tumbuh menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.
Ki Gedeng Tapa, mulai membuka hutan, membangun bangunan pertama pada
tanggal 1 Sura 1358 (tahun Saka), bertepatan dengan tahun 1426 M yang kemudian dikenal
dengan sebutan Witana. Sejak saat itu, mulailah para pendatang menetap dan membentuk
masyarakat baru di Desa Caruban. Kuwu atau kepala desa pertama yang diangkat oleh
masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya,
diangkatlah Raden Walangsungsang. Walangsungsang adalah putra Prabu Siliwangi dan
Nyi Mas Subanglarang atau Subangrancang, putri Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng
Alang-alang meninggal Walangsungsang bergelar Ki Cakrabumi diangkat sebagai Kuwu
Caruban II menggantikan Ki Gedeng Alang-alang dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Ketika kakek Ki Gedeng Tapa meninggal, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskannya,
melainkan mendirikan Istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan
demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Pangeran
Cakrabuana (…. – 1479). Seusai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana disebut
Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana
Pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam di Jawa Barat.
Pada Tahun 1470 M, Syekh Syarif Hiyatullah yang merupakan buah perkawinan
antara adik Pangeran Cakrabuana, yakni Nyai Mas Rarasantang, dengan Syarif Abdullah
dari Mesir diutus ibundanya untuk kembali ke Nusa Jawa menemui uwaknya. Setelah
berguru di Mesir, Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, Syekh Syarif Hidayatullah
datang ke Nusa Jawa. Mula-mula beliau tiba di Banten kemudian menuju Jawa Timur dan
mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan
Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkan suatu lembaga yang bergerak dalam
penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga. Sebagai anggota dari
lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui uwaknya, yaitu
Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama
Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang
disebut Pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Sunan Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali
Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikannya memimpin Dewan
Wali Sanga dan disebut sebagai Wali Kutub. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga
dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut juga
sebagai puser bumi, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Keraton Cirebon
berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE.
Pada Tahun 1479 M, Syarif Hidayatullah dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana
dengan putrinya dari Nyai Mas Endang Geulis yang bernama Nyi Mas Pakungwati. Sejak
saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon yang pertama dan
menetap di Keraton Pakungwati. Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh
Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 M
setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sultan Carbon I beliau membuat maklumat
kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena
Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang merdeka. Selain itu Pangeran Syarif
Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga berulangkali memohon Raja Pajajaran
untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Hal tersebutlah yang
mendorong beliau untuk memerdekakan diri dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah
tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala,
atau bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah atau 2 April 1482 M yang sekarang diperingati
sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.
pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Karim,
karena ayahnya yaitu Panembahan Adiningkusumah meninggal dunia terlebih dahulu.
Selanjutnya, Pangeran Karim dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau
Panembahan Girilaya.
Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua
kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan Mataram. Banten curiga, sebab Cirebon
dianggap mendekat ke Mataram. Di lain pihak, Mataram pun menuduh Cirebon tidak lagi
sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng dari
Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran.
Kondisi panas ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya saat
berkunjung ke Kartasura. Beliau kemudian dimakamkan di bukit Girilaya, Jogyakarta,
dengan posisi sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri. Perlu diketahui, Panembahan
Girilaya adalah juga menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan
meninggalnya panembahan Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya,
yakni para putra Panembahan Girilaya di tahan di Mataram.
Dengan kematian Panembahan Girilaya, terjadi kekosongan penguasa. Sultan
Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti
Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa pun
kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunajaya, yang pada
saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunajaya, maka
kedua putra Penembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan dibawa
kembali ke Cirebon. Bersama satu lagi putra Panembahan Girilaya, mereka kemudian
dinobatkan sebagai penguasa kesultanan Cirebon.
Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran
Kartawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun 1677,
kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak
Panembahan Girilaya, yakni :
1. Pangeran Martawijaya atau Sultan Keraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi
Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703)
2. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil
Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
3. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar Pangeran Abdul
Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713)
Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan” bagi dua putra tertua Pangeran
Girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik menjadi Sultan
Cirebon di Ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun Pangeran Wangsakerta tidak diangkat sebagai
sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton
sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan
keraton.
Pergantian kepemimpinan para sultan di Cirebon selanjutnya berjalan lancar, sampai
pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798 – 1803). Saat itu terjadilah pepecahan
karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri
membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Belanda yang mengangkatnya
menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. namun Belanda mengajukan satu syarat, yaitu
agar putra dan para pengganti raja Kanoman tidak berhak atas gelar sultan. Cukup dengan
gelar pangeran saja. Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi,
yaitu kesultanan Kacirebonan. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan
Anom IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803 – 1811).
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial Belanda pun semakin ikut campur
dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayah-
wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926,
ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan
pengesahan berdirinya Kota Cirebon.
Skema : 2.1.
Silsilah Sultan Keraton Kasepuhan
Sumber : Keraton Kasepuhan
Keberadaan Keraton Kesepuhan tidak bisa lepas dari alun-alun yang ada
didepannya yang disebut sebagai Alun-alun Sangkala Buana. Dalam morfologi Kota-kota
tradisional di pulau Jawa keberadaan pusat pemerintahan (keraton/kerajaan) menyatu
dengan keberadaan alun-alun sebagai fasilitas komunal yang menampung berbagai macam
kegiatan masyarakat. Biasanya di sebelah barat alun-alun terdapat masjid atau tempat
ibadah dan pasar sebagai pusat perdagangan. Tatanan Kota tradisional Jawa mengacu
pada sumbu utara-selatan dengan Keraton menghadap ke laut Jawa dan membelakangi
Gunung Ciremai atau dikenal dengan istilah Angadep Jaladri Amungkur Giri (menhadap
lautan dan membelakangi gunung). Hal tersebut mengacu pada tatanan morfologi kota yang
disebut dengan Catur Gatra Tunggal. Alun-alun Sangkala Buana di Keraton Kasepuhan juga
berfungsi sebagai tempat latihan keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya
pada waktu itu adalah Saptonan. Alun-alun juga difungsikan sebagai tempat peradilan dan
pelaksanaan berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan
seperti hukuman cambuk dan tempat dilaksanakannya perayaan dan tradisi/adat istiadat
Keraton. Pada bagian tengahnya dahulu terdapat sepasang pohon beringin, tetapi semenjak
tahun 1930 beringin tersebut sudah tidak ada.
Gambar : 2.1.
Morfologi Tata Ruang Keraton Kasepuhan Cirebon
Disebutkan pula bahwa yang mendiami tempat tinggal tersebut adalah Kuwu
Cirebon II yaitu Pangeran Cakrabuana. Kekuasaannya meliputi wilayah Caruban Nagari
dan mengutamakan pada perkembangan agama Islam. Rakyat dan masyarakat
mendukung pemerintahan Pangeran Cakrabuana, malah Pemerintahan Agung
(Kerajaan Siliwangi Pajajaran) memberikan hadiah berupa umbul-umbul, payung,
pedang dan kandaga, serta gelar Adipati kepada Pangeran Cakrabuana1
Tak berapa lama setelah itu Pangeran Cakrabuana juga mendirikan masjid di
sebelah timur Keraton Pakungwati, diluar tembok kuta keliling dan diberi nama Masjid
Pajlagrahan. Untuk bersuci dibuat sumur sepasang yang disebut Sumur Kilayu dan
Sumur Panglipur. Pembangunan Masjid tersebut dilakukan secara gotong royong
(grubuwan). Oleh karena itu tempat disekitar sumur tersebut kemudian dikenal dengan
nama Grubugan dari kata grubuwan. Sejak itu bendera Islam di Cirebon terdengar
sampai dimana-mana.
1
Babad Cerbon Naskah Mertasinga Bab Adegipun Kraton Pakungwati, halaman 84
Bangunan utuh yang masih tersisa dari peninggalan keraton lama tersebut
adalah komplek Siti Inggil yang terletak dibagian depan Keraton Kasepuhan sekarang
menghadap ke Alun-alun Sangkala Buana. Selain itu terdapat Situs Rara Denok
(sekarang terletak di sebelah barat Dalem Agung Pakungwati di halaman dalam
Museum Pusaka Keraton Kasepuhan). Bangunan tersebut diperkirakan dahulu adalah
tempat Gedong Jimat (tempat penyimpanan benda-benda pusaka). Pada tahun 2013,
diwaktu pelaksanaan revitalisasi Keraton Kasepuhan Cirebon pada saat peggalian
didepan museum kereta Singa Barong ditemukan struktur bata yang melintang tegak
lurus arah Taman Dewandaru. Diperkirakan struktur tersebut adalah bagian dari struktur
kolam yag mengelilingi bangunan Rara Denok.
Dalam Carub Kandha Carang Seket [Sudibyo Z.H. (alih aksara); Sudjana, T.D.
(alih bahasa) (1980) Carub Kandha Carang Seket. [ Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta.], Dalem Agung Pakungwati disebutkan di dua tempat:
XV. SINOM
11. ... /Cakrabuwana ing kana agegarwa
12. Putrane sang Sri Mangana/ kang nami Kencanawati/ wus kinatur in pinutra/ careming
ajatuh krami/ kaduga asesiwi/ kekalih estri winastanan/ Nyi Dalem Pakungwati/
ingkang jalu sinebut nama Pangeran
13. Pangeran Carebon punika/ marmane sami amukim/ ing dalem punika/ Dalem Agung
kuloneki/ Pajalagrahan dadi/ daleme saturun-turun/ mbesuk dumugi arja/ nipun
kangjeng Sunan Jati/ pon ing kono anggonipun padaleman.
14. Kana kocap sasaka jarak payonipun godhong jati/ pribasane panor sabda/ reh aku
nanggonan doip/ tatapi pakir miskin/ wong ngabdi ing kana kumpul/ angadhep
Cakrabuwana/ yen mbesuk manawi nuli/ angratoni sasirnane ramanira
[hal. 109-110]
dengan terjemahan:
o Cakrabuwana, menikah dengan anak Sri Mangana yang bernama Kencanawati, agar
punya keturunan. Sesudah menikah berputera dua, yang perempuan diberi nama
Nyi Dewi Pakungwati, yang lelaki bernama Pangeran Carbon.
o Mereka berdiam bersama di Dalem Agung, di sebelah barat (masjid) Pajalagrahan,
yang akan ditinggali turun-temurun sampai jaman kejayaan Sunan Gunung Jati.
o Dikatakan rumah itu bertiang (kayu) jarak dan beratap daun jati, sebagai kiasan
karena kesederhanaannya. Namun fakir miskin dan para pengikutnya berkumpul
menghadap Cakrabuwana, karena berharap ia menjadi raja sepeninggal
ayahandanya
XXII PUCUNG
33. Komarane pan ngebeki jagat iku, kang sinebut nama, Kanjeng Sinuhun Jatine,
ingkang linggih Pakungwati ingkang mulya
34. Para geden para wadya gih puniku, angamini sedaya, ing jenenge pagustene, nulya
ana ing karsane wangun pura
35. Ya ing Carbon ingkang den linggih iku, pramila katelah dalem magung
Pakungwatine, dalem magung iku ingkang lininggiyan.
36. Patonipun nganggo roning jati iku, sasakane jarak, tan kenang inaprajane,
berkahipun angaubi ya sedaya.
[hal. 316]
dengan terjemahan:
o Cahaya Kanjeng Sinuhun Jati, yang berkedudukan di Pakungwati, memenuhi
seluruh jagat.
o Para pembesar dan sanak saudara yang hadir semua setuju akan nama yang
diberikan (oleh) kepada junjungannya itu. Kemudian dibangun pura di Carbon
tempat kedudukannya yang kemudian dikenal dengan nama Dalem Agung
Pakungwati. Sebuah pura yang sederhana 'beratap daun jati dan bertiang kayu
jarak'. Tetapi berkahnya mengayomi semuanya.
[hal. 68]
Dari dua hal tersebut terdapat perbedaan tentang siapa yang membangun Dalem
Agung Pakungwati. Dalam naskah yang pertama disebutkan adalah Pangeran
Cakrabuwana sedangkan dalam Naskah kedua adalah Sinuhun Gunung Jati. Hal tersebut
bisa saja terjadi dikarenakan Dalem Agung Pakungwati dibangun secara bertahap dan
mengalami perkembangan.
Mengenai bentuk awal dari Dalem Agung Pakungwati tidak ada petunjuk yang dapat
dijadikan sebagai sumberdata, akan tetapi pada peta lama Cirebon yang dibuat oleh VOC
untuk menunjukkan letak benteng De Bescherming dalam koleksi KITLV (Koninklijk Instituut
voor Taal-, Land-, en Volkenkunde). Yang dibuat sekitar abad 17 terlihat blok Keraton
Kasepuhan yang disebut dengan Paseban van Sultan Seppo dengan orientasi kearah utara
selatan dan sungai yang membelah ditengahnya kearah timur barat (Sungai Sipadu)
Gambar : 2.2.
Peta lama Cirebon yang dibuat sekitar abad ke-17.
Keraton Kasepuhan terletak pada blok g dan h
Sumber : Arsip KITLV
Dalam laporan studi teknis yang dilakukan oleh kedutaan Belanda tahun 1991
terlihat bahwa di komplek Dalem Agung Pakungwati hanya tersisa puing-puing dan kolam
dengan tembok keliling dan bangunan paseban didepannya. Tidak disebutkan adanya
bangunan lain yang utuh didalam komplek Dalem Agung Pakungwati terebut, seperti
tercantum dalam uraian berikut :
“ Berbatasan dengan area yang terbuka untuk umum, terdapat sisa-sisa tembok dan
kolam-kolam bekas istana terdahulu Kraton Pakungwati yang sudah kami sebut diatas.
Kraton ini tidak mungkin dibangun lagi menjadi komplek gedung, karena puing-puingnya
kurang banyak dan tidak ada catatan tentang bentuk dan teknik bangunannya yang asli.
Paling-paling hanya dapat dibangun tembok sepanjang beberapa puluh meter kubik. Bahkan
itu pun sudah merupakan masalah teknis, seperti akan dijelaskan nanti”
Gambar : 2.3.
Denah Komplek Keraton Kasepuhan tahun 1991
Warna kuning adalah perkiraan komplek Keraton lama
Sumber Keraton Cirebon, Kedutaan Belanda-1991
Kondisi di Komplek Dalem Agung Pakungwati sekarang dikelilingi oleh tembok kuta
kosod yang merupakan hasil rekonstruksi ulang pada tahun 1997 menjelang
dilaksanakannya Festval Keraton Nusantara (FKN) yang ke-2 di Cirebon. Untuk memasuki
komplek tersebut terdapat sebuah gerbang lawang kori dengan pintu kayu berukir.
Kemudian setelah memasuki halaman terbuka terdapat beberapa halaman lain yang
temboknya telah dsusun kembali dan jalan setapak menggunakan paving. Pada halaman
dalam terdapat beberapa kolam dan sumur diantaranya adalah sumur tujuh, sumur upas,
sumur kejayaan dan sumur bandung.
Gambar : 2.4.
Gerang Lawang Kori memasuki Komplek Dalem Agung Pakungwati
Gambar : 2.5.
Gerang Lawang Kori memasuki Situs Dalem Agung Pakungwati
Situs Dalem Agung terletak di halaman dalam yang tertutup dan tidak diperkenankan
dimasuki oleh wanita. Didepannya terdapat bangunan Paseban dengan bentuk atap
limasan. Bangunan-bangunan hasil rekonstruksi yang dilakukan tahun 1996 didalam situs
Dalem Agung Pakungwati dibuat tanpa dinding seperti pendopo dengan tiang-tiang
bangunan berdiri diatas pedestal atau umpak berbentuk prisma terpancung terbuat dari
batu. Bentuk atapnya ada yang berbentuk limasan dan ada pula yang berbentuk tajug
bersusun dua.
Gambar : 2.6.
Bangunan Paseban didepan situs Dalem Agung Pakungwati
dengan atap berbentuk limasan dan gerbang pagar kayu
Gambar : 2.7.
Bangunan di dalam situs Dalem Agung Pakungwati hasil rekonstruksi tahun 1991
dan terdapat relung-relung didalamnya Disebelahnya terdapat sumur bandung yang juga
dikelilingi oleh tembok bata kuta kosod. Komplek halaman setelah taman ini dahulu
meruakan komplek keputren Dalem Agung Pakungwati. Didalam komplek tersebut masih
tersisa reruntuhan bentuk gerbang atau lawang kori dan tembok aling-aling yang biasa
dibuat sebagai batas penghalang pandangan agar orang yang akan memasuki komplek
tersebut tidak dapat melihat langsung kearah dalam. Dari halaman tersebut terdapat debuah
gerbang kori dengan pintu kayu untuk menuju halaman terbuka diluar komplek Dalem
Agung Pakungwati.
Gambar : 2.8.
Taman Kanya Putri denga kolam dan hiasan karang wadasan pada dindingnya
Gambar : 2.9.
Halaman Keputren dan gerbang keluar dari Dalem Agung Pakungwati
Selain komplek tersebut yang tersisa dari Keraton lama adalah situs Sirara Denok
yang terletak didalam Museum Pusaka yang dibangun pada tahun 2017. Sebelum Mesum
tersebut dibangun, situs ini terletak dihalaman samping selatan Museum Kereta Singa
Barong. Yang tersisa dari situs ini kemungkinan hanya bagian bangunan gerbangnya saja
yang dahulu berupa lawang kori dengan bentuk lengkung busur diatasnya.
Gambar : 2.10.
Sisa reruntuhan Gedong Pusaka Sirara Denok yang sekarang berada di halaman dalam
Museum Pusaka Keraton Kasepuhan
sanggah atau pamerajan sebagai tempat pemujaan dewa serta leluhur serta bale
semanggen untuk menyimpan jenazah sebelum pemulasaraan lebih lanjut.
Sebagai ganti sanggah adalah masjid atau tajug yang meminta persyaratan
berbeda. Jika sanggah sifatnya tertutup untuk umum, hanya untuk keperluan
penghuni, maka masjid justru sebaliknya, terbuka untuk semua orang (jamaah).
Oleh karena itu, rujukan yang utama yang dilakukan mengacu pada istana atau
keraton Majapahit, yang dibuat oleh W.F. Stutterheim [Stutterheim, W.F. (1948)
De Kraton van Madjapahit. ] dan telah dikajiulang serta diperkuat oleh A.
Gomperts, A. Haag dan P. Carey (2008, 2010, 2012). Rujukan tambahan adalah
hasil pengamatan atas puri di Bali serta peninggalan istana Kutagede dan Plered
di Yogyakarta [Adrisijanti, I. (2000) Arkeologi Perkotaan Mataram Islam.
Dari penelusuran tersebut juga didapat bahwa Dalem Agung Pakungwati
dibangun pada 2 tahap yaitu pada masa Pangeran Cakrabuwana dimana
bangunan yang ada masih sangat sederhana dan kemudian dikembangkan pada
masa Sunan Gunungjati dengan mengadakan perluasan bangunan kearah barat
dan selatan serta mengubah orientasi komplek keraton yang tadinya kearah
timur-barat menjadi kearah utara-selatan.
Gambar : 2.11.
Hasil Rekonstruksi Dalem Agung Pakungwati era Pangeram Cakrabuwana
Sumber : Laporan Rekonstruksi Dalem Agung Pakungwati – Balai Arkeologi Jawa Barat
Gambar : 2.12.
Dugaan Bentuk Arsitektur Bangunan di Dalem Agung Pakungwati pada era Pangeran Cakrabuwana
(kiri : Saren Agung di Bali dan kanan: Bangunan di Koplek Kabuyutan Trusmi)
Sumber : Laporan Rekonstruksi Dalem Agung Pakungwati – Balai Arkeologi Jawa Barat
Perubahan besar terjadi ketika Sunan Gunung Jati diangkat menjadi penguasa
yang mandiri. Catatan mengenai pembangunan Dalem Agung Pakungwati dan Masjid
Agung Sang Cipta Rasa terdapat pada “Naskah Kreta Bumi Tritya Sarg” (Buku Ketiga)
yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta pada Tahun 1670 dan diterjemahkan oleh TD
Sudjana (1987).didalamnya disebutkan :
(92) Pada tahun 1421 Saka (1499/1500 Masehi) Sultan Demak Raden Patah dan para
pengikutnya serta para Wali antara lain Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan
Giri, Sunan Kudus,Sunan Drajat, Syekh Bentong dan beberapa pasukan
Bhayangkari kerajaan dan para pengawal pribadi Sultan Demak berdatangan ke
Cirebon tatkala matahari ada di atas Keraton Pakungwati (tengah hari). Sunan
Cirebon dengan para pembesar Negara, para Kyai Gendeng, para Komandan
Panglima Perang menyambut dengan gembira atas kedatangan mereka para
pembesar Negara dan para wali serta Sultan Demak.Dengan mengadakan
jamuan yang lezat-lezat, lalu mereka mengutarakan segala rencana dan
pembangunan negaranya yang cukup luas dan besar.Semua rencana
pembangunan itu didukung oleh masyarakat Demak dan Cirebon.Di Demak
sendiri sudah membangun masjid Negara, kemudian Cirebon setahun kemudian
masjid Negara di Cirebon. (93)
(93) telah berkumpul masyarakat sebanyak 500 orang, 300 orang dari cirebon dan 200
orang dari Demak. Seluruh para tukang (tenaga ahli) diketuai oleh Sunan Kali
Jaga, karena yang dipercayakan kepadanya ialah Raden Sepat (ahli
bangunan/arsitektur) sebagai wakil Sunan Kalijaga ia dari Majapahit yang sudah
menjadi muslimdan sebagai orang pengikut setia kerajaan Demak. Adapun
pekerjaan yang akan digarapnya adalah membangun masjid besar yang
kemudian masjid itu dinamai “ Sang Cipta Rasa”, Kedua membangun tembok
keliling Keraton Pakungwati. Ketiga, membangun jalan di sepanjang pinggir laut
dari Selatan ke Utara yaitu dari Keraton Pakungwati sampai ke Bukit Amparan.
Sedangkan jalan-jalan yang melintasi daerah Panjunan selalu menimbulkan
banjir, serta selalu dalam keadaan berlumpur dan selalu “ambles” apabila teinjak-
injak kuda dan pedai, oleh karena itu semua masyarakatnya menyebutnya dengan
nama(94)
Walaupun tidak ditemukan catatan yang jelas mengenai bentuk bangunan pada
masa itu, tetapi diketahui dimulainya pembuatan Sitihinggil sebagai bagian dari Dalem
Agung Palungwati dipimpin oleh Sunan Kalijaga yang mengutus Raden Sepat sebagai
wakilnya. Pada pembangunan tersebut arah orientasi keraton berubah menjadi arah
utara-selatan dan kemudian disusul dengan dimulainya pembangunan Masjid Negara
yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa setahun setelah Masjid Demak didirikan.. Selain
Gamb
ar : 2.13.
Perluasan Dalem Agung Pakungwati pada era Sinuhun Gunung Jati yang mmengubah arah
orientasi Keraton menjadi kearah utara-selatan
Sumber : Laporan Rekonstruksi Dalem Agung Pakungwati – Balai Arkeologi Jawa Barat
Keterangan Gambar :
Gambar : 2.13.
Perkiraan Susunan Tata Ruang Komplek Dalem Agung Pakungwati pada era Sinuhun Gunung Jati
Sumber : Laporan Rekonstruksi Dalem Agung Pakungwati – Balai Arkeologi Jawa Barat
Gambar : 2.14.
Perkiraan Susunan Tata Ruang Komplek Inti yang disebut Dalem Arum
Pada Komplek Dalem Agung Pakungwati pada era Sinuhun Gunung Jati
Sumber : Laporan Rekonstruksi Dalem Agung Pakungwati – Balai Arkeologi Jawa Barat
Meskipun kondisi Dalem Agung Pakungwati sudah tidak utuh lagi akan tetapi
jejak peninggalan masa lampau tentang keberadaan keraton Cirebon periode awal perlu
untuk dilestarikan sebagai jejak perkembangan sejarah awal mula pendirian Keraton
Cirebon.
B. Keraton Pakungwati
Komplek Keraton Pakungwati ini didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas
Moh.Arifin II di sisi selatan Dalem Agung Pakungwati, cicit dari Sunan Gunung Jati.
Pembangunan Keraton kemudian dilanjutkan oleh Pangeran Kararangen atau Pangeran
Harya Cirebon adik dari Pangeran Jamaludin (Sultan Sepuh II). Beliau dikenal sebagai
Pangeran yang cakap dan pandai. Beliaulah yang membuat motif hiasan kembang
kanigaran yang terdapat di Bangsal Prabayaksa Keraton Ksepuhan. Selain meneruskan
pembangunan Keraton beliau juga yang meneruskan pembangunan Taman Air Gua
Sunyaragi pada tahun 1628 dengan dukungan masyarakat Tionghoa yang mengungsi
dari Rembang karena Kerajaan Demak tengah mengalami kekacauan akibat Perang
Trunajaya.2
Tata letak bangunan di komplek Keraton Pakungwati atau yang sekarang
dikenal dengan Keraton Kasepuhan Cirebon disebut juga sebagai Baluwarti yang
meliputi urutan bangunan dari depan sampai ke belakang dengan orientasi arah
utara.menuju ke selatan Orientasi Keraton mengikuti sumbu imajiner gunung dan laut
dimana Keraton menghadap kearah Laut Jawa dan membelakangi Gunung Ciremai. Di
belakang Keraton Kasepuhan berbatasan dengan Sungai Kriyan terdapat bangunan
Lawang Sanga yang dahulu merupakan pintu gerbang utama menuju Keraton dari arah
perairan. Keseluruhan tatanan Baluwari Keraton Kasepuhan Cirebon terlihat pada
gambar berikut :
Gambar : 2.15
Baluwarti Keraton Kasepuhan Cirebon
Sumber : Masterplan Kawasan Keraton Cirebon (2012)
2
. Irianto, Drh.H.R, Bambang. Ki Tarka Suarahardja, , Rumah Budaya Nusantara Pesambangan Jati Cirebon,
Sejarah Cirebon Naskah Keraton Kacirebonan, halaman 124-126
Susunan Baluwarti Keraton Kasepuhan dari mulai depan sampai belakang dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Pancaniti
Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua
buah pendopo. Pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat
para perwira keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun. Panca
berarti jalan, dan niti dari kata nata atau raja, yang dapat juga berarti atasan.
Bangunan ini berfungsi sebagai:
a. Tempat perwira yang sedang melatih perang-perangan
b. Tempat istirahat setelah berbaris
c. Tempat jaksa yang akan menuntut hukuman mati terdakwa
Pancaniti adalah bangunan tanpa dinding dengan 4 buah tiang saka utama
dan 12 saka panamping terbuat dari kayu jati yang berdiri diatas umpak batu.
Bangunan ini mempunyai atap berbentuk tajug dengan penutup atap dari genteng
dengan momolo diatasnya. Bagian lantai tengah mempunyai dibuat lebih tinggi
daripada lantai sekelilingnya dan dikelilingi oleh pagar pengaman dari besi yang
dipasang belakangan.
Gambar : 2.16
Bangunan Pancaniti Keraton Kasepuhan Cirebon Tahun 1915
Sumber : Arsip KITLV-Leiden
Gambar : 2.17
Perbandingan kondisi Bangunan Pancaniti Keraton Kasepuhan Cirebon
(sebelah kiri tahun 1991, sebelah kanan kondisi sekarang)
2. Panca Ratna
Bangunan ini terletak di sebelah barat jembatan/kreteg pangrawit atau
gerbang keraton. Disebut Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat
berkumpulnya para punggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang
disebut pamong praja. Panca berarti lima, yang berarti Panca Indra yaitu Pangucap,
pangirup (hidung), pangrungu (telinga), pandeleng (mata) dan nafsu; selain itu panca
dapat diartikan juga sebagai jalan. Ratna berarti suka, sehingga panca ratna dapat
diartikan jalannya kesukaan. Bangunan Panca Ratna berfungsi sebagai tempat seba,
atau menghadap para penggede desa yang kemudian diterima oleh para Demang
atau Wedana Keraton. Para penggede desa tersebut setiap hari Sabtu pertama
diwajibkan bermain sodor kuda yang semacam perang-perangan dengan
mengendarai kuda, yang kemudian kegiatan ini disebut Sabton. Sultan biasanya
sangat menyukai permainan ini dan melihatnya dari Siti Hinggil dengan para
pengiringnya.
Bangunan ini mempunyai tiang saka utama dari kayu dengan umpak bata
plester bercat putih yang menopang atap berbentuk limasan. Sebagai saka
panamping terdapat tiang-tiang kolom berbentuk doric dari bata plester dan dicat
warna putih. Sekeliling bangunan juga dikelilingi pagar pengaman seperti halnya di
Pancaniti. Bagian lantai tengah sampai saka panamping pada bangunan Pancaratna
mempunyai ketinggian yang sama, tidak dipertinggi seperti di Pancaniti
Pada saat Revitalisasi Keraton Tahun 2013 bangunan juga mengalami
perbaikan berupa:
Penggantian atap genteng
Penggantian keramik penutup lantai
Pengecatan dan perapihan
Gambar : 2.18
Perbandingan kondisi Bangunan Pancaniti Keraton Kasepuhan Cirebon
(sebelah kiri tahun 1991, sebelah kanan kondisi sekarang)
3. Kreteg Pangrawit
Memasuki Keraton terdapat jembatan yang melintasi Sungai Sipadu yang
merupakan pintu masuk utama menuju Komplek Keraton Kasepuhan. Sipadu .
berarti perbatasan Menurut laporan Kedutaan Belanda tahun 1991 jembatan tersebut
dahulu merupakan jembatan angkat. Tetapi tidak disebutkan sejak kapan kemudian
berubah menjadi jembatan mati seperti sekarang. Jembatan atau Kreteg Pangrawit
saat ini sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan dikarenakan dibuat
gerbang candi bentar dari bata dan pagar besi dengan konstruksi atap berbentuk
limasan beratap genteng sirap yang menutupi bagian atas jembatan. Gerbang dan
penutup atap tersebut dibuat pada tahun 2014.
Gambar : 2.19
Jembatan Pangrawit Keraton Kasepuhan Cirebon sekarang
Gambar : 2.20
Jembatan Pangrawit Keraton Kasepuhan Cirebon tahun 1915
Sumber : Arsip KITLV Leiden
4. Siti Hinggil
Gambar : 2.21
Meja dan tempat duduk batu Kalingga dan Gujarat di halaman depan Siti Hinggil, dengan
hiasan berbentuk jantung dibagian depannya,
Sumber : Colectie Tropenmuseum(1920-19300 Arsip KITLV Leiden (1915)
Semirang, Pendawa Lima, Semar Tinandu, Mande Pangiring, dan bangunan Mande
Karasemen.
Gambar : 2.22
Denah Kompleks Siti Hinggil Keraton Kasepuhan.
Sumbere : DED Masterplan Keraton-Keraton Cirebon, 2012
Gambar : 2.23
Gapura Adi dan Gapura Banteng yang menjadi gerbang masuk kompleks Siti Hinggil
Sumber : Dokumentasi TACB
Gambar : 2.24
Perbandingan Kompleks Siti Hinggil Keraton Kasepuhan. Dari masa ke masa
(atas kiri tahun 1915, atas kanan: tahun 1991, bawah : kondisi :sekarang)
Sumber : Arsip KITLV Leiden, Keraton-keraton Cirebon - Kedutaan Belanda 1991
& Dokumentasi TACB
Gambar : 2.25
Perbandingan Kondisi Bangunan Malang Semirang. Sebelum dan seyelah dilakukan
pemugaran oleh Jawatan Purbakala Pemrintah Hindia Belanda yahun 1936. Tampak
penggantian penutup atap genteng menjadi sirap jati (kiri tahun 1915, kanan: tahun 1936)
Sumber : Arsip KITLV Leiden
Gambar : 2.26
Kondisi Bangunan Malang Semirang sekarang setelah mengalami perbaikan (konservasi kayu &
penggantian penutup atap dari sirap ulin ke sirap jati pada saat Revitalisasi Keraton 2013)
Sumber : Dokumentasi TACB
Bangunan di sebelah barat bangunan utama bernama Pendawa Lima
dengan denah berbentuk bujur sangkar. Bangunan menggunakan konstruksi kayu
dan jumlah tiang penyangga sebanyak 5 buah yang melambangkan rukun Islam.
Bangunan ini mempunyai bentuk atap tajug dengan penutup sirap jati dan momolo
pada bagian puncaknya. Fungsinya sebagai tempat para pengawal pribadi sultan.
Seperti halnya bangunan lainnya dikomplek Siti Hinggil bangunan ini juga mengalami
perlakuan yang sama ketika dilakukan perbaikan dan revitalisasi.
Gambar : 2.27
Kondisi Bangunan Pandawa Lima sekarang
Sumber : Dokumentasi TACB
Gambar : 2.28
Kondisi Bangunan Semar Tinandu sekarang
Sumber : Dokumentasi TACB
Gambar : 2.29
Kondisi Bangunan Mande Pengiring sekarang
Sumber : Dokumentasi TACB
Bangunan yang terakhir dalam kompleks Siti Hinggil ini terletak di sebelah
barat Mande Pangiring yaitu Mande Karasemen. Tempat ini merupakan tempat
pengiring tetabuhan/gamelan. Bangunan juga memnggunakan konstruksi kayu dan
mempunyai tiang saka guru berjumlah 4 yang berdiri diatas umpak batu diatas lantai
teracota yang menutupi bagian dasar yang cukup tinggi. Saka panamping berjumlah
empat dengan bentuk atap limasan bersusun dua
Di bangunan inilah sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan
Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun
yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha.
Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam batu Lingga Yoni
yang merupakan lambang dari kesuburan. Lingga melambangkan laki-laki dan yoni
perempuan. Bangunan ini berasal dari budaya Hindu, hal tersebut tak lepas dari
budaya Majapahit yang dibawa oleh Raden Sepat, arsitek yang ditugaskan oleh
Sunan Kalijaga untuk membangun Keraton Cirebon atas perintah Sunan Gunung
Jati.
Gambar : 2.32
Batu Lingga dan Yoni di Siti Hinggil Keraton Kasepuhan
Gambar : 2.33
Hiasan piring dan keramik pada sisi utara dinding Kompleks Siti Hinggil Keraton Kasepuhan.
Bagian yang bulat merupakan piring dari Cina dan bagian yang berbentuk kotak
adalah keramik dari Delf-Belanda
Sumber : Colectie Tropenmuseum & Dokumentasi TACB
5. Pangada
Di sebelah selatan Siti Hinggil terdapat sebuah bangunan yang bernama
Pangada. Bangunan ini terdiri dari dua bagian, yaitu bangunan depan berupa
pendopo dan bagian belakang dengan pembatas berupa tembok bata setinggi kurang
lebih 1 meter dan pagar railing kayu pada bagian depannya yang membatasiya
dengan bagian pendopo. Pada waktu Revitalisasi Keraton Tahun 2013 bagian
pendopo bagian belakang ditutup dengan dinding dari triplek dan dijadikan sebagai
ruang sekretariat dan pos untuk guide. Akan tetapi setelah bagian dinding tersebut
dibongkar ternyata terdapat railing kayu didalamnya sehingga dikembalikan kebentuk
semula. Didepan Pangada terdapat pohon beringin yang cukup besar. Pohon beringin
dalam filosofi jawa mengandung arti melindungi/mengayomi. Pohon tersebut biasanya
ditempatkan ditempat-tempat penting seperti alun-alun, istana, makam raja/sesepuh,
dan tempat-tempat keramat atau suci.
Orientasi bangunan Pangada mengarah timur-barat dengan bagian serambi
di bagian barat. Bangunan ini dahulu fungsinya sebagai tempat prajurit atau semacam
paseban di Dalem Agung. Bangunan ini sekarang difungsikan hanya jika ada acara-
acara tertentu untuk penyambutan tamu atau penyelenggaraan pameran seni dan
budaya Keraton.
Gambar : 2.34
Denah bangunan Pangada Keraton Kasepuhan
Gambar : 2.35
Bangunan Pangada Keraton Kasepuhan
6. Lapangan Giyanti
Lapangan Giyanti merupakan pekarangan terbuka yang terletak
berseberangan dengan bangunan Pangada atau sebelah barat kompleks Siti Hinggil.
Lapangan Giyanti dibangun oleh Pangeran Arya Carbon Kararangen atau Pangeran
Giyanti, sehingga lapangan ini dinamai dengan lapangan Giyanti sesuai dengan
nama pembuatnya. Lapangan Giyanti berfungsi sebagai tempat berkumpul prajurit
kerajaan, namun sekarang digunakan untuk lapangan parkir bagi tamu Sultan.
Dihalaman tersebut terdapat beberapa pohon manga, pohon tanjung & bidara yang
ditanam sebagai bagian dari elemen lansekapnya.
Gambar : 2.36
Lapangan Giyanti Keraton Kasepuhan
7. Gapura Lonceng
Di sebelah timur Pangada terdapat sebuah gapura paduraksa yang dahulu
dijaga oleh dua orang prajurit yang memakai lonceng, sehingga gerbang ini disebut
sebagai Gapura Lonceng. Hal ini dimaksudkan sebagai tanda apabila akan ada yang
memasuki keraton ketika maka lonceng yag dipakai penjaga akan berbunyi. Namun
sekarang hal tersebut hanya sebagai simbol saja, karena baik penjaga maupun
loncengnya sudah tidak difungsikan sebagaimana mestinya.
Gambar : 2.37
Gapura Lonceng Keraton Kasepuhan
Ukuran panjang dasar gerbang lonceng tersebut adalah 3,10 x 5 m.
Gerbang lonceng berbentuk paduraksa atau gapura beratap menggunakan struktur
dari bahan bata kosod. Di area ini juga dilengkapi dengan sumur kemandungan yang
berada di selatan bangunan, berfungsi untuk mencuci senjata perang atau jamasan
pusaka pada setiap tanggal 1-10 Muharram. .
8. Regol Pangada
Regol Pangada terletak di sebelah sebelah selatan Pangada, sejajar dengan
Gapura Lonceng. Dahulu pintu ini berdaun pintu kayu seroja yang dijaga dua orang
laskar prajurit bertombak. Gerbang ini memiliki ukuran panjang dasar 5 x 6,5 m. Dan
ditutup konstruksi atap dari kayu dengan atap berbentuk limasan dan penutup
genteng diatasnya. Gerbang yang berbentuk paduraksa ini menggunakan bahan dari
bata plesteran dan merupakan gerbang kedua yang menghubungkan antara
Lapangan Giyanti dan Halaman Kemandungan
Gambar : 2.38
Regol Pangada Keraton Kasepuhan
Gambar : 2.39
Museum Pusaka yang menempati sisi timur Halaman Kemandungan Keraton Kasepuhan
Tampak Sumur Kemandungan di sisi kanan halaman depan (dipagari besi)
Gambar : 2.40
Sebagian Koleksi benda-benda pusaka berharga milik Keraton Kasepuhan yang tersimpan
didalam Museum Pusaka
Gambar : 2.41
Langgar Agung dan Bedug Ki Mangir
Selain sebagai tempat ibadah, Langgar Agung sampai saat ini masih
dipergunakan untuk pelaksanaan Selamatan Bubur Slabuk pada tanggal 10
Muharam, Selamatan Apem pada tanggal 15 Safar, Sakralan Panjang Jimat pada
waktu Muludan setiap tanggal 12 Rabiul Awal (ba’da salat isya s/d selesai),
Selamatan Lebaran pada tanggal 1 Syawal dan penyembelihan hewan qurban pada
tanggal 10 Dzulhijjah oleh pihak keraton.
Gambar : 2.42
Pintu Gledegan menuju Halaman Dewandaru Keraton Kasepuhan
Gambar : 2.43
Taman Dewandaru Keraton Kasepuhan
15. Lunjuk
Terletak bersebelahan dengan Museum Benda Kuno, fungsinya sebagai
tempat petugas melayani tamu yang akan menghadap Sultan. Bangunan bagian
depan berbentuk pendopo mempunyai denah berbentuk persegi empat dengan 4
saka guru dengan tumpang sari dan atap genteng berbentuk limasan, sementara
dibagian belakang terdapat ruang dengan dinding bata plester untuk menerima
tamu. Dibelakang ruangan tersebut dibuat ruang tambahan yang dilengkapi WC
pada tahun 2014 yang difungsikan sebagai kantor secretariat BPKK (Badan
Pengelola Keraton Kasepuhan) yang bertugas mengurusi administrasi pengelolaan
Keraton.
Gambar : 2.46
Bangunan Lunjuk dan detail pada tiang saka gurunya
16. Sri Manganti
Di sebelah selatan Museum Kereta terdapat bangunan yang bernama
Srimanganti. Bangunan ini mempunyai denah segi empat dengan sekat dinding bata
plester di sisi timur. Bangunan ini berupa serambi tanpa dinding dengan empat buah
tiang besar berhias mahkota kolom dengan morif untu walang. Di bagian tengah
plafon terdapat hiasan kayu tumpeng sari dengan dominasi ragam hias berwarna
coklat dan putih. Atap bangunan berbentuk joglo dengan penutup atap genteng dan
didukung dengan 4 tiang saka guru yang berdiri diatas umpak batu bulat. Saka
panamping berjumlah 12 tiang dan 12 saka rawa di bagian terluar. Bagian langit-
langit terdapat dua tumpang sari yang dipenuhi ukiran-ukiran berwarna putih dan
coklat. Pada bagian dinding timur terdapat pintu kayu menuju bagian teritisan yang
beratap pendek dibelakangnya
Bangunan ini berfungsi sesuai dengan namanya yaitu. Sri Manganti
berfungsi sebagai tempat menunggu keputusan raja, tetapi saat ini digunakan
sebagai tempat penabuh gamelan dan pagelaran tari pada acara-acara kebudayaan.
\
Gambar : 2.47
Bangunan Sri Manganti
Gambar : 2.48
Buk Bacem
Gambar : 2.49
Gambar : 2.50
Denah Bangsal Utama Keraton Kasepuhan Cirebon
Sumber : Keraton-keraton Cirebon, Kedutaan Belanda 1991
Gambar : 2.50
Tugu Manunggal di depan Bangsal Utama Keraton Kasepuhan Cirebon
b. Kutagara Wadasan
Gambar : 2.51
Kutagara Wadasan Utama Keraton Kasepuhan Cirebon
Gambar : 2.52
Jinem Pangrawit Keraton Kasepuhan Cirebon
Koridor ini disangga oleh enam buah tiang dari bahan batu plester yang
dicat warna putih dan berbentuk bulat. Tiang kolom tersebut terdapat di sisi timur
dan barat masing-masing tiga buah. Plafon tersusun atas papan dari kayu jati
yang disusun rapat dan dicat warna hijau tua. Pada bagian kiri dan kanan Gajah
Nguling terdapat taman kecil dan tembok pagar pembatas dari bata plester
setinggi 1,50 m yang diberi railing besi pada bagian atasnya.
Gambar : 2.53
Bangsal Gajah Nguling
e. Bangsal Pringgadani
Bangsal Pringgandani terletak di sebelah utara ruang Prabayaksa. Ruang
ini semacam serambi sebelum menuju ruang Prabayaksa. Dinding terdapat di
sisi barat dan timur, sementara dinding selatan merupakan batas antara ruang ini
dan ruang Prabayaksa. Pintu masuk terdapat di dinding barat dan timur. Pada
dinding ruang ini juga terdapat hiasan keramik perse gi dari Delf yang menempel
di permukaan dinding. Terdapat empat tiang berhias sebagai tiang utama yang
berdiri diaras umpak yang cukup tinggi di ruangan ini. Tiang dicat dengan warna
hijau tua dengan ornamen mahkota tiang bermotif untu walang dan dicat warna
merah dan emas. Plafon tersusun dari papan kayu yang dirapatkan dengan cat
warna hijau tua. Pada bagian tengah plafon terdapat ornamentasi tumpangsari
dengan kombinasi warna merah dan emas. Lantai sebagian besar terdiri dari
ubin PC berukuran 30 x 30 cm berwarna abu-abu dengan ubin hijau dan kuning
di bagian tengah ruangan. Pintu pada sisi timur dan barat mempunyai bagian
angin-angin diatasnya yang cukup lebar dan dihiasi ukiran berbentuk sulur-
suluran dan bunga berwarna merah dan emas. Pada bagian sisi barat selain
ornament tersebut terdapat hiasan berbentuk gajah dan tongkat cis. Jendela
mempunyai 6 daun yaitu daun jendela terluar berupa jendela krepyak, daun
jendela setengah yang membuka keluar pada bagian tengah, yang dibuat
dengan maksud agar apabila jendela luar dibuka maka pandangan keruang
dalam masih terhalang oleh jendela tersebut. Pada bagian dalam terdapat
jendela dengan kaca bening yang membuka kedalam, sehingga apabila bagian
jendela luas dan tengah dibuka semua orang yang berada didalam ruangan
masih dapat melihat keluar melalui permukaan yang transparant.
Pada sisi utara yang berbatasan dengan Bangsal Prabayaksa tidak
dibatasi oleh pintu tetapi pada bagian perlubangan dindingnya terdapat hiasan
ukiran bermotif sulur-suluran dan bunga berwarna emas yang memberikan kesan
megah dan indah pada ruangan.
Gambar : 2.54
Sisi Luar dan dalam Bangsal Pringgadani
f. Bangsal Prabayaksa
Bangsal Prabayaksa merupakan ruang paling besar dan berfungsi
sebagai tempat sultan menerima tamu kehormatan, sehingga terdapat furniture
berupa perangkat kursi berukir dengan warna putih dan emas. Ruang ini
disangga oleh delapan tiang kayu berhias yang merupakan tiang utama yang
berwarna hijau muda yang berdiri diatas umpak batu. Plafon tersusun dari papan
kayu jati yang dicat warna yang sama dengan tiang yaitu hijau muda. Lantai
ruangan ini tersusun dari ubin PC berwarna abu-abu, kuning dan hijau dengan
ukuran 30 x 30 cm.
Pada sisi barat dan timur masing-masing terdapat sebuah pintu dan dua
buah jendela di kiri dan kanannya terbuat dari kayu dan dicat warna yang sama
dengan tiang dan plafond. Jendela-jendela tersebut mempunyai teralis dari kayu.
Bagian teritisan menggunakan lantai ubin PC dengan tiang penyangga dari besi
cor serta listplank kayu berbentuk gerigi. Dinding bangunan berupa bata plester
yang dicat warna putih berhias keramik berbentuk persegi dari Delf. Bagian
atapnya berupa limasan dengan penutup atap dari genteng dan bagian ujung
yang berbatasan dengan Bangsal pringgadani mempunyai hiasan berbentuk
kuncup bunga teratai. Bagian ujung atapnya dihiasi dengan bentuk lengkung
menyerupai kepala angsa. Pada waktu revitalisasi keraton tahun 2014 bangunan
mengalami perbaikan berupa perbaikan genteng dan talang, melapisi bagian
berwarna emas dengan prada serta pengecatan kembali, tetapi tidak merubah
bentuk aslinya.
Gambar : 2.55
Foto lama Bangsal Pringgadani dengan kursi singgasana Sultan (1920an)
Sumber : KITLV Leiden
Gambar : 2.56
Sisi Luar dan dalam Bangsal Prabayaksa sekarang
Gambar : 2.57
Foto lama awal tahun 1900an.
Pintu di belakang Bangsal Panembahan masih terletak ditengah ruangan
Sumber : Arsip KITLV Leiden
Gambar : 2.58
Kondisi Bangsal Panembahan sekarang
h. Pungkuran
Pungkuran merupakan bagian paling selatan dari bangunan bangsal.
Ruang ini merupakan ruangan terbuka (tanpa dinding). Bagian lantai berupa
lantai keramik warna merah berukuran 30 x 30 cm (lantai baru). Terdapat
delapan buah tiang bulat dengan bahan bata plester bercat putih yang bagian
bawahnya terdapat umpak segi empat dengan bahan yang sama. Selain itu
sebagai penyangga atap terdapat pula tiang-tiang dari bahan besi dan kayu.
Plafon ruangan ini berupa dahulu anyaman bambu bermotif etapi kemudian
diganti dengan papan kayu jati pada waktu revitalisasi keraton tahun 2014.
Gambar : 2.59
Kondisi Pungkuran saat ini
Gambar : 2.60
Bangunan Jinem Arum
Bangunan langgar yang lebih kecil disebut Langgar Alit yang terletak di
sebelah barat bangunan Bangsal Pringgadani. Langgar tersebut berupa bangunan
bertiang, beratap tajug dengan moolo dan penutup dari sirap. Bangunan ini tidak
mempunyai dinding. Pada bagian tempat shalat, lantainya ditinggikan sehingga
berbeda dengan bagian serambinya. Pada dinding lantai yang ditinggikan terdapat
ornamen dan keramik yang menempel pada dinding. Tiang penyangga samping
berjumlah sepuluh buah dengan sebuah tiang utama berukir (saka tunggal) yang
terletak di tengah-tengah bangunan. Selain untuk sholat, bangunan ini digunakan
sebagai tempat tadarus pada malam likuran (diatas tanggal 20 Ramadhan)
Gambar : 2.61
Bangunan Langgar Alit
Gambar : 2.62
Dalem Arum
22. Keputren
Gambar : 2.63
Keputren Keraton Kasepuhan
23. Keputran
Keputran terdapat di sebelah utara Dalem Arum dibelakang Jinem Arum dan
dahulu merupakan tempat tinggal para pangeran atau putra‐putra raja. Bangunan ini
mempunyai gaya yang hampir sama dengan bangunan Keputren tetapi tidak ada
bagian selasar di sampingnya. Bangunan ini sekarang dihuni oleh kerabat Sultan.
Gambar : 2.64
Keputran Keraton Kasepuhan
dan penutup atap diganti dengan kayu dan penutup atap baru dikarenakan atap yang
lamanya sudah rusak parah. Bagian lantai banngunan juga diganti dengan penutup
lantai keramik berwarna merah bata.
Gambar : 2.65
Bangunan Dapur Mulud dan suasana Persiapan jelang Panjang Jimat di Dapur Mulud
25. Pamburatan
Pamburatan berada di selatan bangunan Kaputrenmenghadap ke halaman di
belakang Pungkuan. Pamburatan / Burat berasal dari kata dalam bahasa
Cirebon (membuat mengerik kayu untuk membuat boreh atau bubuk untuk ukup-
ukup), Pamburatan berfungsi sebagai tempat mengerik kayu-kayu wangi untuk
kelengkapan selamatan perataan Maulud Nabi SAW. Bangunan ini mempunyai
serambi berbentuk kuncungan dengan hiasan lengkung dan bunga teratai pada
bagian atasnya. Bagian kiri dan kanannya berupa teritisan lebar dengan atap yang
cukup landai. Pada sisi sebelah selatan terdapat tungku dan bagian dalam tedapat
ruang yang cukup lebar untuk menampung aktivitas mengerik kayu tersebut dengan
perlubangan dinding berbentuk lengkung busur tanpa pintu menghadap kearah
keputren, Bagian dalam bangunan ini merupakan kamar-kamar yang sekarang
dihuni oleh kerabat keraton dan hanya bagian serambinya saja yang digunakan pada
waktu acara Panjang Jimat.
Gambar : 2.66
Bangunan Pamburatan
Gambar : 2.67
Bale Kambang dan Kolam Langensari
langensari. Kolam atau Balong Gede ini akan surut jika musim kemarau tiba, dan
saat ini digunakan juga sebagai kolam resapan untuk mencegah banjir pada musim
penghujan. Sekeliling kolam ditanami dengan tumbuhan Kihujan sehingga membuat
suasana kolam menjadi teduh dan asri
29. LawangSanga
Bangunan Lawang Sanga terletak di sebelah selatan kompleks Keraton
Kasepuhan. Lokasinya sekarang berada di sekitar rumah penduduk dan berada agak
jauh dari bangunan-bangunan yang telah disebutkan sebelumnya di atas. Kondisi
bangunan ini sebelumnya mengalami kerusakan cukup parah, mulai dari lantai
sampai dengan atap bangunan sehingga pada waktu tahun 2014 mengalami
perbaikan total. Bagian kayu balok penyangga atap diganti dengan kayu baru
dengan ukuran dan bahan yang sama.
Bangunan ini mempunyai denah segi empat dengan orientasi bangunan
utara-selatan. bagian serambi merupakan sisi selatan bangunan berbatasan
langsung dengan jalan lingkungan menghadap ke sungai Kriyan. , sementara sisi
utara berbatasan dengan rumah penduduk Pada dinding sisi barat, timur dan utara
merupakan terdapat profil gapura berupa tiang dengan lengkung setengah lingkaran
pada bagian atasnya. Pada sisi barat dan timur masing-masing terdapat satu buah
profil dengan bagian tengah yang berlubang dan satu buah profil gapura semu.
Sedangkan pada dinding sisi utara terdapat profil tiga buah gapura dengan lubang di
bagian tengahnya. Pada Gapura sebelah timur terdapat patung berupa singa putih
Macan Ali yang terletak di kiri dan kanan pintu masuk. Bagian atasnya berupa
paduraksa dengan bentuk lengkung busur pada bagian atasnya dan dihiasi dengan
mahkota terbuat dari bata plester berundak. Lantai bangunan terbuat dari terakota
dengan pintu kayu yang cukup besar. Bangunan ini diperkirakan dibangun oleh
Pangeran Wangsa Kerta pada abad ke-17 pada saat akan diadakan GotraSawala,
yaitu mengumpulkan ahli-ahli naskah seluruh Nusantara untuk menulis sejarah
tentang kerajaan di Nusantara. Pada waktu itu akses utama menuju keraton dari
arah perairan melalui Sungai kriyan dan Lawang Sanga menjadi Gerbang Utama
masuk kehalaman keraton. Pada bagian kiri dan kanan bangunan lawang sanga
dibatasi oleh dinding kuta kosod, tetapi beberapa bagian tembok kuta kosod tersebut
runtuh dan menjadi tempat pemukiman penduduk yang cukup padat.
Gambar : 2.68
Lawang Sanga
.
Kompleks Keraton kasepuhan merupakan sebuah kumpulan bangunan yang
diperuntukkan sultan yang dibatasi oleh pagar keliling yang disebut dengan Kuta Kosod.
Pagar tersebut mengitari sisi barat, timur dan selatan keraton. Kondisi pagar sekarang ini
berbagai macam bentuknya. Ada bagian pagar yang masih utuh, ada bagian pagar yang
menyatu dengan rumah penduduk, ada bagian pagar yang tinggal pondasinya saja dan ada
bagian pagar yang mengalami kerusakan.
Bagian-bagian pagar Kuta Kosod pun berbagai macam bentuknya, mulai dari bagian
dinding, bagian gapura dan bagian tiang pagar (sudut pagar). Melihat fungsinya sebagai
batas wilayah, sebenarnya keberadaan kuta kasad sangat penting karena dapat menjadi
pembeda antara wilayah keraton dan di luar keraton. Selain itu keberadaan pagar dapat
membantu mengurangi resiko penetrasi pembangunan di sekitar lingkungan ke dalam
keraton sehingga Keraton Kasepuhan dapat tetap terjaga kelestariannya.