Anda di halaman 1dari 9

KAMPUNG ADATA CIPTAGELAR

LETAK GEOGRAFIS

Letak geografis Kampung Ciptagelar berada di atas ketinggian 1050 meter di atas permukaan
taut. Udaranya sejuk cenderung dingin dengan suhu antara 20 C samDai 26 C dan suhu
rata-rata setiaq tahun sekitar 25 C. Kampung Ciptagelar dikelilingi gunung-gunung, yaitu
Gunung Surandil, Gunung Karancang, dan Gunung Kendeng.
PENDUDUK

Berdasarkan catatan terakhir yang ada pads pamakayan (dukun tani) disebutkan bahwa
jumlah warga kasepuhan yang termasuk dalam jiwa jero sebanyak 15.795 jiwa terhimpun
dalam 3.833 KK. Sementara warga kasepuhan yang berada di Kampung Gede Kasepuhan
Ciptagelar sebanyak 338 jiwa terhimpun dalam 76 KK
KESENIAN

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar mengenal berbagai macam kesenian dan beberapa di


antaranya berhubungan erat dengan uparaca adat karena sering dipentaskan pada upacara-
upacara adat yang biasa dilaksanakan, seperti pada upacara ngaseuk, mipit, nganyaran, dan
upacara sepanjang lingkaran hidup (khitanan dan pernikahan). Jenis jenis kesenian tersebut
antara lain genjring, pencak silat, pantun, calung, wayang golek, dogdog lojor, topeng,
jipeng, dan angklung.

Istilah genjring diambil dari nama alatnya (waditra), yaitu semacam alat dengan membran
terbuat dari kulit, sedangkan memainkannya dengan cara dipukul menggunakan telapak
tangan (ditepak). Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar mengenal kesenian ini sebagai kesenian
tradisional yang bernafaskan ke-Islaman. Genjring ini biasanya dimainkan oleh dua belas
prang pemain.

Pantun adalah cerita dalam bentuk puisi Sunda lama yang diceritakan atau dinyanyikan dalam
bentuk prolog atau dialog. Seni pantun dimainkan seorang diri oleh Ki Juru Pantun. Dia
membawakan atau menembangkan lakon sambil memetik kecapi. Lakon yang dibawakan
adalah Munding Jalingan dan Perenggong Jaya.

Pada jenis kesenian dog-dog lojor, pemainnya berjumlah 6 orang; 2 orang sebagai penabuh
dog-dog dan 4 orang penabuh angklung. Jika dimainkan oleh 12 orang; 4 orang penabuh dog-
dog dan 8 orang penabuh angklung. Para pemain dog-dog lojor ini akan berkeliling kampung
sambil melantunkan musiknya.
SEJARAH

Ada dua buah cerita lisan yang mengetengahkan asal-usul Kampung Ciptagelar. Yang
pertama Kampung Ciptagelar berasal dari keturunan Pakuan Pajajaran, yaitu Prabu Siliwangi.
Sementara cerita lisan yang kedua berasal dari keturunan Ki Demang Haur Tangtu, yang
merupakan salah satu pengawal Prabu Siliwangi. Secara singkat kedua cerita yang dimaksud
dapat dikemukakan sebagai berikut.

Di daerah Jawa Barat telah berdiri beberapa kerajaan, di antaranya Kerajaan Sunda. Pada saat
kerajaan Sunda diperintah oleh Prabu Siliwangi (warga Kasepuhan Ciptagelar menyebutnya
Kanda Hyang atau Galuh Wening Bramasakti), kerajaan ini memiliki sebuah pasukan khusus
yang disebut Bareusan Pangawinan. Bareusan Pangawinan adalah pasukan khusus kerajaan
Sunda yang bersenjata tombak. Anggota pasukan ini dipilih dan dilatih secara langsung oleh
para bupati, patih, atau puun. Pelatih secara langsung ini disebut guru alas. Para guru alas ini
dianggap memiliki pengalaman, taat, setia, dan memiliki pengetahuan yang luas tentang
perang dan kesaktian.

Pasukan khusus Bareusan Pangawinan dipimpin oleh tiga orang, yaitu Demang Haur Tangtu,
Guru Alas Lumintang Ken-dungan, dan Puun Buluh Panuh; mereka ditugaskan oleh Prabu
Siliwangi untuk menyelamatkan hanjuang bodas dari serangan pasukan Banten (1579).
Setelah mendapat tugas tersebut, ketiganya bersama sang raja segera mundur dari Pakuan
(ibukota) Padjajaran ke arah selatan, ke sebuah tempat yang disebut Tegal Buleud.

Di daerah Tegal Buleud, Sang Raja membagi-bagi pengikutnya dalam kelompok-kelompok


kecil dan memberi kebebasan kepada para pengikutnya tersebut untuk memilih jalan hidup
masing-masing. Sang Raja sendiri memilih jalan untuk ngahyang (menghilang dari
pandangan mats). Sementara itu, ketiga pimpinan Bareusan Pangawinan bertekad untuk
kembali ke dayeuh (kota) yang telah ditinggalkan.
Dalam perjalanan menuju dayeuh, ketiga pimpinan Bareusan Pangawinan sepakat untuk
berpisah dan menempuh jalan hidup masingmasing, tetapi tetap memelihara hubungan satu
dengan Iainnya. Perjalanan hidup Guru Alas Lumintang Ken-dungan dan Puun Buluh Panuh
selanjutnya tidak diceritakan dengan jelas. Sementara itu, Ki Demang Haur Tangtu akhirnya
menetap di daerah Guradog (Jasinga) hingga akhir hayatnya. Kuburan Ki Demang Haur
Tangtu sekarang ini dikenal dengan sebutan Makam Dalem Tangtu Awileat. Di Kampung
Guradog ini, Ki Demang Haur Tangtu mempunyai keturunan, yaitu warga yang sekarang
bertempat tinggal di daerah Citorek dan dikenal dengan sebutan kasepuhan. Dan turunan Ki
Demang inilah asal muasal berkembangnya kelompok sosial Kasepuhan. Dalam cerita rakyat
daerah Cisolok disebutkan bahwa Ki Demang Haur Tangtu memperistri Nini Tundarasa,
seorang gadis dari Kampung Kaduluhur. Nini Tundarasa inilah yang dianggap sebagai leluhur
atau nenek moyang warga Kasepuhan Ciptagelar. Setelah menjadi satu di antara beberapa
istri Ki Demang Haur Tangtu, Nini Tundarasa pindah dari Kampung Kaduluhur ke Kampung
Guradog. Selanjutnya, keturunan mereka berpindahpindah tempat tinggal dari satu tempat
ke tempat lainnya.

Dalam perjalanan sejarahnya, warga kasepuhan telah berpindah beberapa kali tetapi tetap
berada di sekitar daerah Banten, Bogor, dan Sukabumi Selatan. Awal perpindahan dimulai
dari Ieluhur mereka, yaitu Nini Tundarasa yang pindah dari Kampung Kaduluhur ke
Kampung Guradog.

Satu di antara keturunan Nini Tundarasa bemama Ki Buyut Mar yang lahir di Guradog
pindah ke Kampung Lebak Binong (Banten). Anak Ki Buyut Mar yang bernama Aki Buyut
Mas kemudian pindah ke Kampung Cipatat (Bogor) yang kini dikenal dengan nama
Kasepuhan Urug. Selanjutnya keturunan Aki Buyut Mas yang bernama Aki Wami alias Buyut
Gondok memindahkan Kampung Gede ke kampung Lebak Larang (Banten).

Aki Buyut Warni mempunyai dua orang anak laki-laki, yaitu Aki Buyut Kayon dan Aki
Buyut San. Aki Buyut Kayon menggantikan ayahnya menjadi sesepuh girang dan
memindahkan Kampung Gede ke Kampung Lebak Binong. Pengganti Aki Buyut Kayon,
bernama Aki Buyut Arikin memindahkan lagi Kampung Gede ke Kampung Tegallumbu
(Banten).

Aki Buyut Arikin mempunyai enam orang anak, yaitu Aki Buyut Sal, Aki Buyut Mak, Aki
Buyut In, Nini Buyut As, Aki Buyut Jasiun, dan Aki Buyut Si. Aki Buyut Jasiun atau Ki
Ciung ditetapkan sebagai sesepuh girang menggantikan ayahnya Aki Buyut Arikin. Sejak
masa kepemimpinan Aki Buyut Jasiun atau Ama Jasiun, kasepuhan mulai berkembang ke
daerah Sukabumi Selatan. Aki Buyut Jasiun sendiri memindahkan Kampung Gede dari
Tegallumbu ke Bojong Cisono (Sukabumi). Aki Jasiun mempunyai dua orang anak, yaitu
Aku Buyut Las atau Aki Buyut Rusdi dan Nini Buyut Ari. Pengganti Aki Buyut Jasiun adalah
Aki Buyut Rusdi.

Aki Buyut Rusdi memindahkan kedudukan Kampung Gede ke daerah Cicemet (Sukabumi).
Perpindahan ini terjadi pada masa pendudukan Jepang. Di Cicemet, Kampung Gede menetap
cukup lama sampai masa kemerdekaan hingga terjadinya pemberontakan DUTII. Akibat
gangguan dari pemberontak DUTII, pada tahun 1957 Aki Buyut Rusdi memindahkan pusat
kasepuhan (Kampung Gede) ke Cikaret. Selanjutnya, terjadi perubahan nama kampung
Cikaret menjadi Kampung Sirnaresmi. Aki Buyut Rusdi mempunyai empat orang anak, yaitu
Nini Buyut Lasm atau Ma Anom, Ama Sup, Abah Ardjo, dan yang keempat tidak disebutkan
namanya. Abah Ardjo atau Ki Ardjo kemudian menggantikan ayahnya, Aki Buyut Rusdi
menjadi sesepuh girang kasepuhan.

Pada saat menjadi sesepuh girang, Abah Ardjo beberapa kali memindahkan lokasi pusat
kasepuhan yang disebut Kampung Gede. Pertama, Abah Ardjo memindahkan Kampung Gede
dari Kampung Cidamar ke sebuah kampung di sekitar Kecamatan Cisolok. Kedua, Ki Ardjo
lalu memindahkan lagi ke Kampung Ciganas. Kampung Ciganas mengalami perubahan nama
menjadi Sirnarasa. Ketiga, setelah bermukim selama 8 tahun di Kampung Ciganas, Ki Ardjo
memindahkan Kampung Gede ke Kampung Linggarjati. Keempat, Ki Ardjo memindahkan
Kampung Gede ke Kampung Ciptarasa.

Ki Ardjo pernah menikah sebanyak tujuh kali dan mempunyai anak tiga belas orang. Dari
isteri keenam yang bernama Ma Tarsih mempunyai tiga orang anak, yaitu Encup Sucipta, [is,
dan Lia. Dari isteri ketujuh yang bernama Ma Isah mempunyai enam anak.

Setelah Ki Arjo meninggal, anak pertama dari Ma Tarsih yaitu Encup Sucipta, menggantikan
kedudukannya sebagai sesepuh girang. Kini, keluarga Abah Ardjo tinggal di rumah yang
berada di sekitar rumah sesepuh girang. Sesepuh girang pada saat dilakukan pendataan ini
(2002) adalah Abah Encup Sucipta. Dia Iebih dikenal dengan nama Abah Anom (Bapak
Muda) karena saat dia menerima jabatan sesepuh girang masih berusia muda yaitu 17 tahun.
Jabatan sesepuh girang bersifat turun temurun dan selalu diwariskan kepada anak laki-Iaki
(tidak harus yang sulung).

Selain Kasepuhan Ciptagelar, di daerah Banten dan sekitamya terdapat beberapa masyarakat
yang menamakan dirinya sebagai kasepuhan, antara lain Kasepuhan Urug (Bogor Selatan),
Kasepuhan Citorek, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Ciherang, Kasepuhan Cicarucub,
dan Kasepuhan Cisitu (semua berada di Banten Selatan) serta Kasepuhan Sirnaresmi
(Sukabumi). Semua kasepuhan tersebut diikat oleh sebuah lembaga persatuan yang disebut
Kesatuan Adat Banten Kidul (Adimihardja, 1989). Pusat kepemimpinan Kesatuan Adat
Banten Kidul berada di Kasepuhan Ciptagelar dengan ketuanya Abah Anom Encup Sucipta.
MATA PENCAHARIAN

Bertani dan berladang merupakan dua bidang pokok masyarakat adat Ciptagelar dalam
memenuhi kehidupan mereka. Bidang lainnya adalah beternak dan berkebun.

Bila sawah dalam masa Boyor (cukup banyak airnya), biasanya sembari dipakai untuk
memelihara ikan, dan apabila musim kerik lahan pertanian akan ditanami jenis tanaman yang
memiliki waktu panen pendek.

Pekerjaan lain yang dianggap sebagai selingan, adalah membuat aneka kerajinan anyaman,
membuat gula, dll.

Selesai masa panen, setiap keluarga biasanya akan menyisihkan dua ikat padi untuk
diserahkan ke pada sesepuh girang sebagai tatali panen, padi itu biasanya akan disimpan di
lumbung komunal yang juga dapat berfungsi sebagai cadangan jika datang musim paceklik.

Selain itu, Padi di lumbung komunal juga dalam dipinjam oleh masyarakatnya. Salah satu
Lumbung padi atau Leuit komunal di Ciptagelar adalah leuit Si Jimat, leuit ini tempat
penyimpanan indung pare (Bibit Padi)

Terdapat istilah maro yaitu sistem bagi dua antara pemilik dan penggarap yang berlaku dalam
pertanian dan juga peternakan. Selain itu juga ada istilah bawon saat panen tiba bagi mereka
yang membantu panen. Misalnya jika seseorang membantu memanen padi sebanyak lima
ikat, maka akan mendapat satu ikat. Hal yang sama juga berlaku ketika menumbuk padi
menjadi beras.
Peraturan adat Ciptagelar melarang untuk menjual padi dan atau beras beserta hasil
olahannya. Hal ini merupakan bentuk penghormatan mereka terhadap padi yang merupakan
kebiasaan dari masyarakat Sunda Lama.

Kekinian, masyarakat telah diizinkan untuk menjual padi apabila mengalami cadangan
berlebih. Menjual padi dan beras juga dilakukan terutama untuk membiayai pembangunan
berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan, contohnya pembangunan saluran air, jalan,
jembatan, dan lain sebagainya,

Masyarakat ada Ciptagelar juga mempunyai aturan yang mereka tetapkan terhadap wilayah-
wilayah hutan yang berada di wilayah mereka; Hutan Tua atau Leuweung Kolot yang
merupakan hutan dengan kerapatan tinggi dan banyaknya satwa, adalah hutan yang tidak
boleh dieksploitasi.

Leuweung Titipan, Hutan Titipan atau Kramat merupakan wilayah hutan yang harus dijaga
dan tidak boleh digunakan tanpa mendapat izin sesepuh girang, pun memungkinkan dijelajahi
untuk mencari hasil hutan.

Leuweung Sampalan atau hutan bukaan adalah wilayah hutan yang boleh dimanfaatkan untuk
keperluan menggarap ladang, perkebunan, menggembalakan ternak, mencari kayu bakar, dll.
TUGAS KLIPING BAHASA SUNDA

Disusun Oleh:

KELOMPOK III

Anggota:

Ayu Y.
Nurul A.
Sofi S.
Hamdan
Ridwan
Atep
Iip

MTs NEGERI 15 CIAMIS

Anda mungkin juga menyukai