Anda di halaman 1dari 27

Kesultanan Cirebon

Label: artikel sejarah Diposting oleh Halimi,SE,MM. di 02.06


Kalangan kesultanan di Cirebon meyakini, pendiri Cirebon adalah Pangeran
Walangsungsang. Ia kemudian digantikan oleh Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal
sebagai Sunan Gunung Jati yang lahir pada 1448. Dialah yang membangun kesultanan
tersebut. Ayahnya ulama dari Timur Tengah, sedang ibunya dipercaya sebagai putri Raja
Pajajaran.

Sunan Gunung Jati mempunyai ikatan erat dengan Demak. Jika di Demak posisi “raja” dan
“ulama” terpisah, Sunan Gunung Jati adalah “raja” sekaligus “ulama”. Ia mengenalkan Islam
pada masyarakat di wilayah Kuningan, Majalengka hingga Priangan Timur. Bersama
kerajaan Mataram, Kesultanan Cirebon mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan
Sunda Kelapa (kini Jakarta) di bawah Panglima Fadhillah Khan atau Faletehan, pada 1527.

Sekitar tahun 1520, Sunan Gunung Jati dan anaknya, Maulana Hasanuddin melakukan
ekspedisi damai ke Banten. Saat itu kekuasaan berpusat di Banten Girang di bawah
kepemimpinan Pucuk Umum -tokoh yang berada di bawah kekuasaan Raja Pakuan, Bogor.
Pucuk Umum menyerahkan wilayah itu secara sukarela, sebelum ia mengasingkan diri dari
umum. Para pengikutnya menjadi masyarakat Badui di Banten, sekarang. Maulana
Hasanuddin lalu membangun kesultanan di Surosowan, dan Sunan Gunung Jati kembali ke
Cirebon.

Setelah Raden Patah meninggal, begitu pula Dipati Unus yang menyerbu Portugis di Malaka,
kepemimpinan dilanjutkan oleh Sultan Trenggono. Sunan Gunung Jati-lah yang menobatkan
Sultan Trenggono. Anaknya, Maulana Hasanuddin dinikahkan dengan Ratu Nyawa, putri
Sultan Demak itu. Mereka dikaruniai dua anak, Maulana Yusuf dan Pangeran Aria Jepara -
nama yang diperolehnya karena ia dititipkan pada Ratu Kalinyamat di Jepara.

Di Cirebon, dalam usia lanjut Sunan Gunung Jati menyerahkan keraton pada cicitnya,
Panembahan Ratu. Setelah itu, kesultanan dipegang oleh putranya, Pangeran Girilaya. Setelah
itu Cirebon terbelah. Yakni Kesultanan Kasepuhan dengan Pangeran Martawijaya Samsuddin
sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Kanoman yang dipimpin Pangeran Kartawijaya
Badruddin. Pada 1681, kedua kesultanan minta perlindungan VOC. Posisi Cirebon tinggal
sebagai simbol, sementara kekuasaan sepenuhnya berada di tangan VOC.

Sementara itu, Banten justru berkembang menjadi pusat dagang. Maulana Hasanuddin
meluaskan pengembangan Islam ke Lampung yang saat itu telah menjadi produsen lada. Di
Banten tumbuh tiga pasar yang sangat sibuk. Ia wafat pada 1570. Sedangkan putranya,
Maulana Yusuf menyebarkan Islam ke pedalaman Banten setelah ia mengalahkan kerajaan
Pakuan pada 1579. Maulana Muhammad -putra Maulana Yusuf-tewas saat mengadakan
ekspedisi di Sumatera Selatan (1596), kesultanan lalu dipegang Sultan Abdul Mufakir
Mahmud Abdul Kadir (1596-1651).

Pada masa itulah, kapal-kapal Belanda dan Portugis berdatangan ke Banten. Demikian pula
para pedagang Cina. Ketegangan dengan Kesultanan Banten baru terjadi setelah Sultan Abdul
Mufakir wafat, dan digantikan cucunya Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu, Sultan Ageng
didampingi ulama asal Makassar Syekh Yusuf. Tokoh ini berperan besar dalam perlawanan
Kerajaan Gowa (Makassar) di bawah Sultan Hasanuddin terhadap VOC. Sultan Ageng
Tirtayasa yang menganggap kompeni menyulitkan perdagangan Banten, memboikot para
pedagang Belanda.

Persoalan muncul setelah Sultan Ageng Tirtayasa menyerahkan kekuasaan pada anaknya
yang baru pulang berhaji, Abdul Kohar Nasar atau Sultan Haji (1676). Sultan Haji lebih suka
berhubungan dengan kompeni. Ia memberi keleluasaan pada Belanda untuk berdagang di
Banten. Sultan Ageng Tirtayasa tak senang dengan kebijakan itu. Para pengikutnya kemudian
menyerang Istana Surosowan pada 27 Februari 1682. Sultan Haji pun minta bantuan dari
Belanda. Armada Belanda -yang baru mengalahkan Trunojoyo di jawa Timur-dikerahkan
untuk menggempur Sultan Ageng Tirtayasa.

Para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa pun menyebar ke berbagai daerah untuk berdakwah.
Syekh Yusuf lalu dibuang ke Srilanka -tempat ia memimpin gerakan perlawanan lagi,
sebelum dibuang ke Afrika Selatan. Di tempat inilah Syekh Yusuf menyebarkan Islam.
Sedangkan Banten jatuh menjadi boneka Belanda. Daendels yang membangun jalan raya
Anyer-Panarukan kemudian memindahkan pusat kekuasaan Banten ke Serang. Istana
Surosowan dibakar habis pada 1812.

Pada tahun 1887, setelah meledak wabah penyakit anthrax tahun 1880 yang menewaskan
40.000 orang dan letusan Gunung Krakatau 23 Agustus 1883 yang menewaskan 21 ribu jiwa,
Kiai Wasid dan para ulama memimpin pemberontakan heroik di Cilegon.
http://ariesgoblog.wordpress.com/2010/10/23/kesultanan-cirebon/

Sejarah Silsilah Kesultanan di Cirebon

Label: artikel sejarah Diposting oleh Halimi,SE,MM. di 01.29

Oleh : Elang Bagoes CHandra KusumaNingrat

Syarif Hidayatullah atau yang sering disebut dengan Sunan Gunung Jati merupakan salah
satu anggota Wali Songo; penyebar agama Islam di Jawa di era Majapahit akhir. Dia adalah
seorang raja (pemimpin rakyat), sekaligus wali (pemimpin spiritual, muballigh, da’i) dan sufi.

Dia adalah Putra dari Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa kota Isma’iliyah Arab Saudi –
bukan dari Aceh. Dia juga bukan Fatahillah atau Faletehan seperti yang disebut-sebut dalam
sebagian catatan sejarah. Faktanya adalah terdapat makam Fatahillah (Ki Bagus Pasai) di sisi
makamSunan Gunung Jati. Lagipula, Sunan Gunung Jati hidup di era Raden Patah, Sultan
Demak pertama. Sedangkan Fatahillah datang dari Aceh pada masa pemerintahan Sultan
Trenggana, sultan Demak ke-3 setelah Dipati Unus.

“Gunung Jati sebagai pengguron Islam cirebon”, “Pertamanan Gunung Sembung”, “Sunan
Gunung Jati bukan Fatahillah”, “Komplek pemakaman Gunung Sembung”,

Permulaan abad XV agama Islam sudah berkembang di Jawa, terutama di Gresik, Jawa
Timur dengan Maulana Malik Ibrahim -anggota sekaligus sesepuh Wali Songo- yang
membuka pesantren bagi siapa saja yang berminat belajar Islam. Para santri datang dari
berbagai penjuru, dan hanya sedikit yang datang dari Jawa Barat. Saat itu, Jawa Barat di
bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang Hindu, termasuk Gunung Jati yang masuk wilayah
administratif Singapura (Celancang), bawahan Pajajaran
Gunung Jati yang terletak di tepi pelabuhan Muara Jati sangat ramai dikunjungi oleh para
pedagang dari manca negara. Penguasa negerinya sangat bijaksana, adalah Ki Gede
Surawijaya dengan syahbandar bernama Ki Gede Tapa atau Ki Jumajan Jati yang juga santri
di Pengguron Islam Syekh Quro’ Krawang. Pedagang banyak yang datang dari Cina, Gujarat
(barat India), dan Arab yang berdagang sambil berdakwah Islam. Lambat-laun, terjadi evolusi
perubahan agama dari Budha ke Islam.

Sekitar tahun 1420M datanglah serombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin Syekh
Idlofi Mahdi. Oleh Ki Surawijaya, Syekh Idlofi diijinkan menetap dan tinggal di kampung
Pasambangan yang terletak di Gunung Jati. Dia berdakwah, dan ajaran Islam berkembang
begitu cepat. Itulah awal mula Gunung Jati sebagai Pangguron Islam. Muridnya diantaranya
adalah Raden Walangsungsang dan adiknya, Ratu Rarasantang, serta istrinya Nyi Endang
Geulis. Keduanya adalah putra Raja Pajajaran, Raden Pamanarasa (Prabu Siliwangi) dengan
Nyi Mas Subanglarang putri Ki Jumajan Jati, Syahbandar Pelabuhan Muara Jati. Karena
pengaruhnya yang sangat besar bagi masyarakat sekitar, Syekh Idlofi juga disebut Syekh
Dzatul Kahfi (“sesepuh yang mendiami gua”) atau Syekh Nur Jati (“sesepuh yang menyinari
atau menyiarkan Gunung Jati”).

Setelah dianggap mumpuni, Walangsungsang bersama adik dan istrinya diperintahkan oleh
Syekh Idlofi agar membuka hutan untuk dijadikan pedukuhan yang lokasinya di selatan
Gunung Jati Setelah selesai babat alas, pedukuhan itu disebut Tegal Alang-Alang dan
Walangsungsang diangkat sebagai Kepala Dukuh dengan gelar Ki Kuwu dan dijuluki
Pangeran Cakrabuana.

Pedukuhan itu berkembang pesat. Banyak pedagang membuka pasar dan kemudian menetap
di pedukuhan itu. Karena multi ras, maka nama Tegal Alang-Alang lambat-laun luntur
menjadi Caruban (pertautan). Di samping itu, nama ini disebabkan karena sebagian besar
warganya bekerja sebagai pencari ikan dan mmebuat petis dari air udang yang dalam bahasa
Sunda disebut “Cai Rebon”, maka lama-lama menjadi Cirebon.

Atas perintah Syekh Nurjati, Cakrabuana dan Rarasantang pergi ibadah haji, sementara
istrinya yang lagi mengandung tetap di Caruban. Pedukuhan kemudian diserahkan ke Ki
Pengalang-Alang (Ki danusela). Di Mekkah, keduanya bermukim beberapa bulan di rumah
Syekh Bayanillah. Rarasantang kemudian disunting oleh seorang pembesar Kota Isma’iliyah
bernama Syarif Abdillah bin Nurul Alim dari suku Bani Hasyim. Rarasantang kemudian
berganti nama Syarifah Muda’im. Dari perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif
Nurullah

Sekitar tahun 1456 M, Cakrabuana pulang kampung. Pedukuhan Caruban yang berkembang
pesat kemudian diganti namanya menjadi Nagari Caruban Larang. Negeri ini diresmikan oleh
Prabu Siliwap>

Untuk kunjungan tetapnya ke Syekh Nurjatii, Cakrabuana membangun tempat peristirahatan


yang disebut pertamanan Gunung Sembung. Lokasinya berada di sebelah barat Gunung Jati,
jaraknya sekitar 200m. Pada akhirnya pertamanan ini menjadi pemakaman pendirinya berikut
keturunannya.

Syarifah Muda’im dan Syarif Hidayatullah -yang saat itu berusia 20 tahun- mudik ke
Cirebon, sementara Syarif Nurullah sang adik, menggantikan posisi ayahnya sebagai
pembesar Kota Isma’iliyah . Sekitar tahun 1475 M mereka tiba di Caruban. Oleh Cakrabuana,
keduanya diperkenankan menetap di pertamanan Gunung Sembung, sekaligus sebagai
penerus Pangguron Gunung Jati yang saat itu Syekh Idlofi sudah wafat.Pangeran Cakrabuana
kemudian menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Tahun
1479M, Cakrabuana yang sudah berusia lanjut digantikan oleh keponakan sekaligus
menantunya, Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan atau Sunan.

Di awal pemerintahannya, Syarif Hidayatullah sowan ke kakeknya, Prabu Siliwangi sekaligus


mengajak untuk memeluk agama Islam. Namun, Sang Prabu menolak, tapi tetap mengijinkan
cucunya untuk menyebarkan Islam di wilayah Pajajaran. Dia kemudian mengembara ke
Banten. Di sana, dia disambut dengan baik, bahkan dinikahkan dengan putri Adipati Banten,
Nyi Ratu Kawungaten. Dari pernikahan ini lahirlah Nyi Ratu Winaon dan Pangerang
Sabakingking.

Peran dakwah Syarif Hidayatullah didengar sampai di Kerajaan Demak yang baru berdiri
1478M. Dia kemudian diundang ke Demak dan ditetapkan sebagai “Penetap Panata Gama
Rasul” di tanah Pasundan dengan gelar Sunan Gunung Jati, sekaligus berdirilah Kesultanan
Pakungwati dengan gelar Sultan. Karena merasa mendapatkan dukungan dari Demak,
Cirebon tidak lagi mau membayar upeti -sebagai bukti ketundukan- pada Pajajaran. Marahlah
Prabu Siliwangi. Dikirimlah 60 pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Jagabaya untuk
menangkap cucunya. Tapi usaha ini sia-sia. Pasukan Pajajaran itu berhasil dilumpuhkan oleh
Cirebon. Mereka menyerah bahkan bergabung dengan Cirebon. Wilayah Cirebon semakin
luas. Negeri-negeri yang sebelumnya di bawah Pajajaran seperti Surantaka, Japura, Wanagiri,
Galuh, Talaga dan Singapura melebur bergabung dalam kedaulatan Cirebon.

Pembauran multi ras terjadi di Cirebon. Kakak Ki Gede Tapa (Ki Jumajan Jati) -kakek Sunan
Gunung Jati, Nyi Rara Rudra menikah dengan saudagar Tiongkok/Cina, Ma Huang yang
kemudian bergelar Ki Dampu Awang. Oleh Kaisar Tiongkok, Sunan Gunung Jati dijadikan
menantu dinikahkan dengan Ong Tien (1481M), yang kemudian ganti menjadi Nyi Ratu Rara
Sumanding. Pernikahan ini dilakukan setahun setelah Mesjid Agung Sang Ciptarasa
dibangun (1480M).

Malaka diduduki Portugis pada tahun 1511M. Kerajaan Demak mengirim pasukan yang
dipimpin Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan dibantu oleh negeri-negeri sahabat.
Cirebon bertugas mempertahankan Sunda Kelapa (Jayakarta). Pasukan Demak bisa dipukul
mundur. Mereka balik ke Jawa. Di antara rombongan tersebut, terseliplah Kyai Fathullah atau
Fatahillah atau Feletehan, ulama dari Aceh. Pasca Dipati Unus gugur 1521M, Demak
dipegang oleh Sultan Trenggono. Fatahillah diangkat sebagai panglima pasukan Demak
untuk mempertahankan Sunda Kelapa.

Dengan dibantu pasukan Cirebon, Fatahillah mampu memukul mundur Pajajaran yang
berkolaborasi dengan Portugis. Mereka bisa diusir dari Sunda Kelapa di tahun 1522M.
Banten di bawah kendali Pangeran Sabakingking, putra Sunan Gunung Jati juga memberikan
dukungan yang hebat. Karena keberhasilan Fatahillah dalam memimpin Sunda Kelapa, maka
ia juga disebut Kyai Bagus Pasai. Hanya beberapa bulan saja, Fatahillah kemudian kembali
ke Cirebon -alasan utamanya adalah ditunjuk oleh Sunan Gunung Jati dalam rangka
memperluas wilayah Isllam ke negeri-negeri sekitar Cirebon (seperti: talaga, Rajagaluh).
Padat saat yang bersamaan, Sunan Gunung Jati menikah lagi dengan Nyi Ageng Tepasari
putri Ki Ageng Tepasan, seorang mantan pembesar Majapahit. Hal ini karena Nyi
Pakungwati meninggal -tidak punya anak- dan Nyi Ong Tien juga tidak dikaruniai anak. Dari
perkawinan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran
Pasarean) yang kelak akan menggantikannya.

Selesai penaklukan negeri sekitar, Fatahillah menikah dengan putri Sunan Gunung Jati, Ratu
Wulung Ayu. Bupati Jayakarta diserahkan ke Ki Bagus Angke. Pangeran Pasarean naik
menggantikan Sunan Gunung Jati menjadi Sultan ke-2 Cirebon dengan penasehat politiknya,
Fatahillah. Pangeran Sabakingking dinobatkan sebagai Sultan Banten pertama dengan gelar
Sultan Maulana Hasanuddin. Tahun 1552M, Pasarean meninggal mendahului ayahnya.
Karena anak-anaknya masih kecil, Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat anak
angkatnya, Aria Kamuning sebagai Sultan ke-3 Cirebon dengan gelar Dipati Cirebon I.
Menikah dengan Nyi Ratu Wanawati putri Fatahillah, Aria Kamuning dikaruniai empat putra,
yaitu: Nyi Ratu Ayu, Pangeran Mas, Pangeran Manis dan Pangeran Wirasaba.

Tahun 1568M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun. Dua tahun kemudian
Fatahillah menyusul. Keduanya dimakamkam secara berdampingan dan tidak diperantarai
apapun. Ini menjadi bukti bahwa kedua tokoh tersebut memanglah beda.

Pada masa pemerintahan Sultan ke-VI Pangeran Karim (Panembahan Girilaya), Mataram
yang sudah pro-VOC (Sunan Amangkurat I) mengundang menantunya itu untuk datang ke
Mataram. Bersama istri dan kedua anaknya -kecuali Pangeran Wangsakerta- hadir ke
Mataram. Karena kecurigaan Mataram, keempatnya ditahan untuk tidak kembali ke Cirebon.
Panembahan Girilaya meninggal dan dimakamkan di Bukit Wonogiri (1667M), sedang kedua
putranya pulang ke Cirebon. Atas kebijakan Sultan Banten, An-Nasr Abdul Kohar, agar tidak
terjadi pertumpahan darah, maka dipecahlah Cirebon menjadi tiga bagian; Kasepuhan
dipegang Pangeran Martawijaya yang kemudian bergelar Sultan Raja Syamsudin, Kanoman
dipegang Pangeran Kertawijaya bergelar Sultan Moh. Badridin, dan Pangeran Wangsakerta
diberi bagian Kacirebonan dengan gelar Panembahan Tohpati. Peristiwa ini terjadi di tahun
1667M. Sesuai kesepakatan, hanya Kasepuhan dan Kanoman yang memakai gelar Sultan.

Berikut adalah silsilah raja-raja Cirebon:


SILSILAH SULTAN KERATON KASEPUHAN
# Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah
# Pangeran Pasarean
# Pangeran Dipati Carbon
# Panembahan Ratu
# Pangeran Mande gayam Dipati Carbon
# Panembahan Girilaya

Para Sultan :

1. Sultan Raja Syamsudin


2. Sultan Raja Tajularipin Jamaludin
3. Sultan Sepuh Raja Jaenudin
4. Sultan Sepuh Raja Suna Moh Jaenudin
5. Sultan Sepuh Safidin Matangaji
6. Sultan Sepuh Hasanudin
7. Sultan Sepuh I
8. Sultan Sepuh Raja Samsudin I
9. Sultan Sepuh Raja Samsudin II
10. Sultan Sepuh Raja Ningrat
11. Sultan Sepuh Jamaludin Aluda
12. Sultan Sepuh Raja Rajaningrat
13. Sultan Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, SH
14. Sultan Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat

SILSILAH SULTAN KERATON KANOMAN

# Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah


# Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin
# Panembahan Sedang Kemuning
# Panembahan Ratu Cirebon
# Panembahan Mande Gayem Di pati carbon
# Panembahan Girilaya

Para Sultan :

1. Sultan Kanoman I (Sultan Badridin)


2. Sultan Kanoman II ( Sultan Muhamamad Chadirudin)
3. Sultan Kanoman III (Sultan Muhamamad Alimudin)
4. Sultan Kanoman IV (Sultan Muhamamad Chadirudin)
5. Sultan Kanoman V (Sultan Muhamamad Imammudin)
6. Sultan Kanoman VI (Sultan Muhamamad Kamaroedin I)
7. Sultan Kanoman VII (Sultan Muhamamad Kamaroedin )
8. Sultan Kanoman VIII (Sultan Muhamamad Dulkarnaen)
9. Sultan Kanoman IX (Sultan Muhamamad Nurbuat)
10. Sultan Kanoman X (Sultan Muhamamad Nurus)
11. Sultan Kanoman XI (Sultan H Muhamamad Jalalludin)
12. Sultan Kanoman XII ( Sultan H Muhammad Saladin )

SILSILAH SULTAN KERATON KACIREBONAN

# Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah


# Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin
# Panembahan Sedang Kemuning
# Panembahan Ratu Cirebon
# Panembahan Mande Gayem Di pati carbon
# Panembahan Girilaya

Para Sultan :

* Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman


* Sultan Anom Alimudin
* Sultan Anom Moh Kaerudin
* Sultan Carbon Kaeribonan
* Pangeran Raja Madenda
* Pangeran Raja Denda Wijaya
* Pangeran Raharja Madenda
* Pangeran Raja Madenda
* Pangeran Sidek Arjaningrat
* Pangeran Harkat Nata Diningrat
* Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
* Pangeran Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga

RAMA GURU-GURU PENGGURON THAREKAT CIREBON

* SYEKH NURJATI
* K. H. ABDUL IMAM P.CAKRABUANA
* Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah
* Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin
* Panembahan Sedang Kemuning
* Panembahan Ratu Cirebon
* Panembahan Mande Gayem Di pati carbon
* Panembahan Girilaya
* Sultan Kanoman I (Sultan Badridin)

Hal-hal unik tentang pemakaman Gunung Sembung ini adalah:

Pertama, pemakaman tersebut dibagi dalam 9 pintu untuk menuju makam Sunan Gunung
Jati di bagian tertinggi. Masyarakat awam dengan alasan keamanan hanya diperbolehkan
ziarah sampai di depan pintu ke-3.

Kedua, untuk penziarah Tionghoa, disediakan ruangan khusus bagian barat serambi muka.

Ketiga, tiga kali seminggu makam-makam tersebut dibersihkan dan diperbarui bung-
bunganya oleh para juru kuncen. Secara rutin pintu Selamatangkep (pintu ke-2) yang
membuka pemandangan ke cungkup makam Sunan Gunung Jati dibuka setiap Jum’at. Dan
juga dibuka setiap pergantian petugas pada sore hari setiap setengah bulan. Pada saat
terbukanya pintu inilah yang biasanya dimanfaatkan oleh pengunjung umum untuk bisa
melihat makam Sunan Gunung Jati.

Keempat, juru kuncen makam berjumlah 108 orang yang berprofesi secara turun-temurun.
Mereka berasal dari Keling (Kalingga) -kira-kira Kediri, Jawa Timur saat ini.

Berikut denah komplek pemakaman Gunung Sembung:


Keterangan denah
makam:

1. Sunan Gunung Jati, 2. Fatahillah, 3. Syarifah Muda’im, 4.Nyi Gedeng Sembung (Nyi Qurausyin),
5. Nyi Mas Tepasari, 6. Pangeran Cakrabuana, 7. Nyi Ong Tien, 8. Dipati Cirebon I, 9. Pangeran
Jakalelana, 10. Pangeran Pasarean, 11. Ratu MAs Nyawa, 12. Pangeran Sedang Lemper, 13.
Komplek Sultan Panembahan Ratu, 14. Adipati Keling, 15. Komplek Pangeran Sindang Garuda, 16.
Sultan Raja Syamsudin (Sultan Sepuh I), 17. Ki Gede Bungko, 18. Komplek Adipati Anom Carbon
(Pangeran Mas), 19. Komplek Sultan Moh. Badridin, 20. Komplek Sultan Jamaludin, 21. Komplek
Nyi Mas Rarakerta, 22. Komplek Sultan Moh. Komarudin, 23. Komplek Panembahan Anom Ratu
Sesangkan, 24. Adipati Awangga (Aria Kamuning), 25. Komplek Sultan Mandurareja, 26. Komplek
Sultan Moh. Tajul Arifin, 27. Komplek Sultan Nurbuwat, 28. Komplek Sultan Sena Moh. Jamiudin,
29. Komplek Sultan Saifudin Matangaji
PINTU SEMBILAN:I. Pintu Gapura, II. Pintu Krapyak, III. Pintu Pasujudan, IV. Pintu Pasujudan,
IV. Pintu Ratnakomala, V. Pintu Jinem, VI. Pintu Raraoga, VII. Pintu Kaca, VIII. Pintu Bacem, IX.
Pintu Teratai

Sumber : http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=163864573639416

Sintren Kesenian Cirebon

Label: artikel Diposting oleh Halimi,SE,MM. di 20.32


Cirebon bayak sejarah yang kita belum tau walau kita sendiri orang
cirebon :roll: dari jaman kejaman kesenian cirebon hampir punah dengan masuknya budaya
barat, disini mari kita menengok sejarah Kesenian sintren .

Kehidupan rakyat pesisiran selalu memiliki tradisi yang kuat dan mengakar. Pada hakikatnya
tradisi tersebut bermula dari keyakinan rakyat setempat terhadap nilai-nilai luhur nenek
moyang, atau bahkan bisa jadi bermula dari kebiasaan atau permainan rakyat biasa yang
kemudian menjadi tradisi yang luhur.

Mungkin orang-orang yang dulu hidup di wilayah pesisiran tidak akan mengira kalau tradisi
tersebut hingga kini menjadi mahluk langka bernama kebudayaan, yang banyak dicari orang
untuk sekedar dijadikan obyek penelitian dan maksud maksud tertentu lainnya yang tentu saja
akan beraneka ragam.

Salah satu tradisi lama rakyat pesisiran Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, tepatnya di
Cirebon, adalah Sintren. Kesenian ini kini menjadi sebuah pertunjukan langka bahkan di
daerah kelahiran Sintren sendiri. Sintren dalam perkembangannya kini, paling-paling hanya
dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara kelautan selain nadran, atau pada
hajatan-hajatan orang gedean.

Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber kalangan seniman tradisi cirebon, Sintren
mulai dikenal pada awal tahun 1940-an, nama sintren sendiri tidak jelas berasal dari mana,
namun katanya sintren adalah nama penari yang masih gadis yang menjadi staring dalam
pertunjukan ini.

Menurut Ny. Juju, seorang pimpinan Grup Sintren Sinar Harapan Cirebon, asal mula lahinrya
sintren adalah kebiasaan kaum ibu dan putra-putrinya yang tengah menunggu suami/ayah
mereka pulang dari mencari ikan di laut. ”Ketimbang sore-sore tidur, kaum nelayan yang
ndak pergi nangkap ikan, ya mendingan bikin permainan yang menarik,” ujar Juju.

Permainan sintren itu terus dilakukan hampir tiap sore dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan mereka, maka lama-kelamaan Sintren berubah menjadi sebuah
permainan sakral menunggu para nelayan pulang. Hingga kini malah Sintren menjadi sebuah
warisan budaya yang luhur yang perlu dilestarikan.

Pada perkembangan selanjutnya, sintren dimainkan oleh para nelayan keliling kampung
untuk manggung dimana saja, dan ternyata dari hasil keliling tersebut mereka mendapatkan
uang saweran yang cukup lumayan. Dari semula hanya untuk menambah uang dapur, Sintren
menjadi obyek mencari nafkah hidup.

HARUS GADIS
Kesenian Sintren (akhirnya bukan lagi permainan), terdiri dari para juru kawih/sinden yang
diiringi dengan beberapa gamelan seperti buyung, sebuah alat musik pukul yang menyerupai
gentong terbuat dari tanah liat, rebana, dan waditra lainya seperti , kendang, gong, dan
kecrek.

Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk
mengundang penonton. Syairnya begini :

Tambak tambak pawon


Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul.

Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul


untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah banyak, juru kawih mulai
melantunkan syair berikutnya,

Kembang trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana

Di tengah-tengah kawih diatas, muncullah Sintren yang masih muda belia. Konon menurut
Ny. Juju. Seorang sintren haruslah seorang gadis, kalau Sintren dimainkan oleh wanita yang
sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas, dalam hal ini Ny. Juju enggan lebih
jauh menjelaskan kurang pas yang dimaksud semacam apa. ”Pokoknya harus yang masih
perawan,” katanya menegaskan.

Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki, sehingga secara
syariat, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut dalam waktu cepat. Lalu
Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup kain, setelah
sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang
disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca do?dengan asap kemenyan mengepul.
Juru kawih terus berulang-ulang nembang :

Gulung gulung kasa


Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru

Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam keadaan
tidur. Namun begitu kurungan dibuka, sang Sintren sudah berganti dengan pakaian yang
serba bagus layaknya pakaian yang biasa digunakan untuk menari topeng, ditambah lagi sang
Sintren memakai kaca mata hitam.

Sintren kemudian menari secara monoton, para penonton yang berdesak-desakan mulai
melempari Sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam mengenai tubuhnya, maka
Sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar kenbali dan menari setelah diberi jampi-jampi
oleh pawang.
Secara monoton sintren terus menari dan penonton pun beruhasa melempar dengan uang
logam dengan harapan Sintren akan pingsan. Disinilah salah satu inti seni Sintren ”Ndak tahu
ya, pokoknya kalau ada yang ngelempar dengan uang logam dan kena tubuh Sintren pasti
pingsan, sudah dari sononya sih pak, mengkonon yang mengkonon,” ujar seorang pawang,
Mamang Rana pada penulis.

Ketika hal ini ditanyakan pada Sintrennya, Kartini (20), usai pertunjukan, mengaku tidak
sadarkan diri apa yang ia perbuat diatas panggung, meskipun sesekali terasa juga tubuhnya
ada yang melempar dengan benda kecil.

Misteri ini hingga kini belum terungkap, apakah betul seorang Sintren berada dibawah alam
sadarnya atau hanya sekedar untuk lebih optimal dalam pertunjukan yang jarang tersebut.
Seorang mantan Sintren yang enggan disebut namanya mengatakan, ia pernah jadi Sintren
dan benar-benar sadar apa yang dia lakukan di atas panggung, namun lantaran tuntutan
pertunjukan maka adegan pingsan harus ia lakukan.

Pada Festival Budaya Pantura Jabar yang berlangsung di Cirebon belum lama ini, kesenian
Sintren sempat dipentaskan di lapangan terbuka Kejaksan, Pertunjukan benar-benar menjadi
perhatian masyarakat setempat, publik seni dan para pengamat seni. Konon Sintren akan
dipentaskan sepanjang Festival berlangsung hingga bulan September 2002 mendatang, di
Subang, Indramayu, Sumedang, Bekasi dan Karawang.

Kesenian Sintren merupakan warisan tradisi rakyat pesisiran yang harus dipelihara,
mengingat nilai-nilai budaya yang kuat di dalamnya, terlepas dari apakah pengaruh majis ada
di dalamnya atau tidak. Sintren menambah daftar panjang kekayaan khasanah budaya sebagai
warisan tradisi nenek moyang kita.

Sayang sekali, di Cirebon hanya ada dua grup Sintren yang masih eksis dan produktif, masing
masing pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju, yang beralamat di Jl. Yos Sudarso, Desa Cangkol
Tengah (aslinya ditulis cingkul padahal sebenarnya Cangkol, hehehe maklum putra daerah) ,
Gang Deli Raya, Cirebon, Jawa Barat. Kedua kelompok ini sering diundang pentas di
berbagai kota di indonesia, bahkan menurut Ny. Juju sampai ke luar negeri.

Di sisi lain tentu hal ini merupakan perkembangan yang bagus, namun di sisi lain juga hal ini
tantangan berat bagi pewaris Sintren untuk tetap menjaga orsinilitasnya.

http://www.bloggercirebon.com/sintren-kesenian-cirebon.html

Makam Keramat Cirebon

Label: artikel sejarah Diposting oleh Halimi,SE,MM. di 20.18


Makam Sunan Gunung Jati
dihiasi dengan keramik buatan Cina Jaman Dinasti Ming. Di Komplek Makam ini disamping
tempat dimakamkannya Sunan Gunung Jati. Lokasi ini merupakan komplek bagi keluarga
Keraton Cirebon, terletak + 6 Km ke arah Utara dari Kota Cirebon. Makam Sunan Gunung
Jati terletak di Astana, Kec. Gunung Jati Kab. Cirebon. hanya sekitar kurang lebih 3 Km
sebelah utara Kota Cirebon.
Kawasan Makam Sunan Gunung Jati memiliki lahan seluas 5 hektare. selain tempat utama
untuk peziarah, kawasan ini juga dilengkapi tempat pedagang kaki lima , alun - alun,
lapangan parkir dan fasilitas umum lain. kawasan makam Sunan Gunung Jati terdiri dari dua
komplek Makam. Yang utama ialah komplek Makam sunan Gunung Jati, di Gunung
Sembung terdiri dari 500 Makam, letaknya disebelah Barat Jalan Raya Cirebon -
Karangampel - Indramayu. yang satu lagi yakni komplek Makam Syekh Dathul Kahfi di
Gunung Jati, berada di timur Jalan Raya.
Terletak 9 Km dari Ibukota Cirebon ke arah utara (di Desa Trusmi, Kec. Weru). Makam Ki
Buyut Trusmi yaitu salah seorang Tokoh penyebar Agama Islam di Wilayah Cirebon.

Makam Nyi Mas Gandasari

Salah seorang murid Syekh Syarif


Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati) dalam penyebaran Agama Islam, terkenal dengan
kemampuanh ilmunya yang tiada tanding. Terletak di Desa Pangurangan Kecamatan
Pangurangan atau 27 Km dariIbukota Sumber.

Makam Syekh Magelung Sakti

Merupakan salah satu seorang Pendekar yang dapat


mengalahkan Nyi Mas Gandasari dan disegani karena disamping seorang Pendekar juga,
beliau juga dikenal sebagai seorang yang berjasa dalam penyebaran Agama Islam ditanah
Cirebon. Makam beliau terletak di Desa Karang Kendal Kecamatan Kapetakan, 21 Km dari
Ibukota Sumber.

Makam Talun

Disini tempat dimakamkannya Mbah Kuwu


Cirebon yaitu salah seorang pimpinan tertinggi di wilayah Cirebon. Disamping sebagai
Tokoh Masyarakat, beliau jg sangat disegani dalam ilmu pengetahuannya. sehingga sampai
saat ini masih banyak diziarahi oleh Masyarakat Cirebon. Terletak di Desa Cirebon Girang
Kecamatan Cirebon Selatan 5 Km dari Pusat Ibukota Sumber.

GUA SUNYARAGI

Pentilasan arsitektur purba terdapat di Gua


Sunyaragi sekitar 4 Km dari pusat Kota dan dapat ditempuh dengan segala jenis kendaraan
dalam waktu 15 Menit. Tempat ini dahulu merupakan tempat melakukan meditasi para Sultan
Cirebon. Oleh Pemerintah Daerah, tempat ini telah dilengkapi dengan suatu panggung
terbuka untuk pertunjukan pagelaran seni atau sendratari.
http://contemplationkelapadua.blogspot.com/2010/07/makam-keramat-cirebon.html

Tradisi Sedekah Bumi Cirebon

Label: artikel sejarah Diposting oleh Halimi,SE,MM. di 20.12


Masyarakat pantai utara Cirebon, yang terkenal dengan udang dan petisnya, bermata
pencaharian utama bertani dan melaut sejak zaman dulu sudah berkembang. Dalam usaha
bertani dan melaut pada zaman sebelum Islam, mereka terikat keparcayaan agama nenek
moyang. Pada masa itu masyarakat percaya kepada dewa penguasa bumi, dewa penguasa
laut, dan sebagainya. Mereka menganggap para dewa itu sebagai sesembahan. Keyakinan
atas adanya dewa tersebut ditunjukkan dengan penyiapan sesaji di tempat-tempat yang
mereka percaya. Dengan begitu mereka berharap terhindar dari malapetaka alam yang murka
dan mendapatkan kemudahan mencapai hasil-hasil usahanya.

Ketika Islam masuk, tradisi itu sangat mendapatkan perhatian. Kepercayaan akan dewa-dewa
digantikan dengan iman kepada Tuhan. Menurut Islam, hanya Allah yang patut disembah.
Sesembahan kepada dewa pada masa pra-Islam tidak dibuang sama sekali caranya, tetapi
diubah substansinya. Dalam usaha-usaha mengalihkan keparcayaan itulah terbentuk upacara
baru, sedekah bumi. Upacara baru ini pertama kali dilaksanakan pada pemerintahan Kanjeng
Susuhan Syekh Syarif Hidayatullah (1482–1568 M), tempatnya di Puser Bumi.

Puser Bumi adalah sebutan untuk pusat kegiatan atau pusat pemerintahan Wali Sanga.
Mengenai kedudukan Puser Bumi, ada penjelasan bahwa setelah Sunan Ampel wafat pada
1478 M, dipindahkan dari Ampel (Jawa Timur) ke Cirebon yang letaknya di Gunung
Sembung—sekarang disebut Astana Gunung Jati.

De nika susuhan jati, hana ta sira maka purohitaning sakwehnya Dang Accaryagameslam rat
jawa kulwam, mwang para wali ing jawa dwipa, muwah ta sira susuhan jati rajarsi. Susuhan
jati adalah pimpinan para guru agama islam di Jawa Barat dan pimpinan para wali di Pulau
Jawa, beliau adalah raja resi (PNK oleh P. Wangsakerta 1677 M sarga IV halaman 2).
Upacara adat sedekah bumi dilaksanakan pada cawu ke 4 (bulan oktober) setiap tahunnya.

Tradisi ini dilaksanakan hampir di seluruh desa-desa di Cirebon, misalnya yang masih kuat
melaksanakan tradisi ini adalah Desa Astana Gunung Jati yang termasuk kedalam kecamatan
Gunung Jati sekarang. Sebagai pelaksananya adalah Ki Penghulu serta Ki Jeneng Astana
Gunung Jati berikut para kraman. Pelaksana adat juga didukung oleh para pemuka
masyarakat dan tokoh agama di desa-desa yang berkaitan dengan Keraton Cirebon, mereka
disebut Prenata. Pelaksanaannya dimulai dengan Buka Balong dalem yaitu mengambil ikan
dari balong milik keraton di beberapa daerah (masih ada di desa Pegagan) oleh Ki Penghulu
bersama Ki Jeneng atas restu Sinuhun. Selanjutnya Ki Penghulu bersama Ki Jeneng Ngaturi
Pasamon (mengadakan pertemuan) para Prenata dan para pemuka adat lainnya, dalam
Pasamon ditetapkan hari pelaksanaan sedekah bumi.
Maka sejak ditetapkannya hari pelaksanaan itu, disebarkanlah secara getok tular kepada
seluruh penduduk bahwa akan diadakan Sedekah Bumi, melalui para pemuka adat penduduk
mengirimkan “Gelondong Pengareng-areng”. Gelondong Pengareng-areng adalah
penyerahan secara sukarela, sebagai rasa syukur atas keberhasilan yang telah diusahakannya.
Biasanya berupa hasil bumi seperti Sura Kapendem (hasil tanaman yang terpendam di tanah
seperti ubi kayu, kembili, kentang, dsb). Sura gumantung, yaitu hasil tanaman di atas tanah
seperti buah-buahan, sayur mayur, dsb. Hasil ternak seperti Ayam, Itik, Kambing, Kerbau,
Sapi, dsb. Juga bagi mereka yang yang berusaha sebagai nelayan, mengirimkan hasil
tangkapannya dari laut sebagai rasa syukur dan berbakti kepada kanjeng sinuhun.
Penyerahan-penyerahan itu terjadi bukan karena paksaan atau peraturan tertentu, tetapi
karena kesadaran penduduk itu sendiri dan kemudian dijadikan hukum adat yang aturan-
aturan tidak tertulis.

Kaitannya dengan upacara Sedekah Bumi

Pelaksanaan yang merupakan tradisi masyarakat Cirebon ini sebenarnya merupakan


Larungan dan Nadran yang kemudian disebut sedekah Bumi sangatlah begitu sakral dan
memiliki nilai-nilai spiritualitas yang tersembunyi disela-sela acara ritual pelaksanaan pesta
rakyat, sekaligus pembuktian adanya ajaran islam yang mengilhami pelaksanaanya.
Termasuk dalam pakaian yang digunakannya, kuwu (kepala desa) menggunakan Iket
(blangkon), baju takwa lurik dasar kuning, kain panjang, sumping kembang melati,
memegang Teken (Tongkat paling tinggi ± 60 cm). Ibu Kuwu berbaju kurung, kain panjang,
sumping melati, gulung kiyong, selendang jawana.

Upacara adat Sedekah Bumi ditandai dengan Srakalan, pembacaan kidung, pencungkilan
tanah, kemudian diadakan arak-arakan yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat dengan
segala bentuk pertunjukan yang berlangsung di Alun-alun Gunung Sembung, misalnya
kesenian rentena, reog, genjring, terbang, brahi, berokan, barongan, angklung bungko,
wayang, bahkan sekarang ini ado pertunjukan tarling modern organ tunggal. Dalam
pertunjukan wayang kulit lakon yang dibawakan dalam acara sedekah Bumi ini adalah Bhumi
Loka, kemudian pada dipagi harinya diadakan ruwatan. Dalam lakon Bhumi Loka diceritakan
tentang dendam Arjuna atas kematian ayahnya yaitu prabhu Nirwata Kwaca. Terjadilah
peperangan dengan putra Pandawa yang dipimpin Gatotkaca. Prabu Kresna dan Semar
mengetahui putra Gatotkaca mendapat kesulitan untuk dapat mengalahkan mereka, bahwa
para putra manik Iman-imantaka tidak dapat mati selama menyentuh bumi. Maka semar
menasehatkan agar dibuatkan Anjang-anjang di angkasa, dan menyimpan mereka yang telah
mati agar tidak dapat menenyentuh bumi. Prabu Kresna memerintahkan Gatotkaca untuk
membuat Anjang-anjang tersebut di angkasa dan menyerang mereka dengan ajian Bramusti.
Mereka semua akhirnya terbunuh oleh Gatotkaca , diatas Anjang-anjang yang telah
dipersiapkannya. Bhumi Loka mati terbunuh kemudian menjadi Gludug lor dan Gludug
kidul. Lokawati terbunuh menjadi Udan Grantang. Loka Kusuma terbunuh menjadi Kilap,
loka sengara mati terbunuh menjadi Gledeg dan Lokaditya mati terbunuh menjadi Gelura.
Habislah para putra Manik Imantaka terbunuh oleh Gatotkaca dan kematian mereka menjadi
penyebab datangnya musim penghujan.

Dari mitos cerita di ataslah maka Sedekah Bumi dijadikan oleh kepercayaan masyarakat
untuk menyambut datangnya musim penghujan.

Namun dasawarsa terakhir ini nampaknya makna dari Sedekah Bumi sudah bergeser dari
makna awal. Selain menjadi upacara Ceremony rutinitas biasa sekarang Sedekah Bumi
menjadi daya tarik pariwisata oleh pemerintah. Terbukti dari banyaknya pengunjung yang
datang setiap diadakaanya Sedekah Bumi, yang maksud dan tujuannya pun berbeda pula.
Namun, paling tidak tradisi ini masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Menurut Plato
tata masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang tidak mengalami perubahan terhadap
pengaruh luar yang bisa merubahnya. Plato lebih mendambahkan konservasi dari pada
perubahan.

Tradisi membentuk kehidupan yang ideal

Tradisi dan budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam membangun kehidupan
yang ideal. Seperti halnya dengan ilmu dan agama. Ilmu dan Budaya juga berproses dari
belahan otak manusia. Ilmu berkembang dari otak kiri yang berfungsi membangun
kemampuan berpikir ilmiah, kritis, dan teknologi. Seperti halnya dengan tradisi, termasuk
kedalam salah satu kebudayaan daerah yang harus kita lestarikan. Oleh karena, salah satu
upaya yang bisa dikembangkan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini adalah dengan
menjadikan sejarah dan budaya sebagai muatan lokal dalam kurikulum, mulai dari tingkat
SD, SMP, bahkan sampai ketingkat SMA. Harapannya adalah agar tidak membiarkan
dinamika kebudayaan itu berlangsung tanpa arah, bisa jadi akan ditandai munculnya budaya-
sandingan (Sub Culture) atau bahkan budaya tandingan (Counter-Culture) yang tidak sesuai
dengan apa yang dicita-citakan, sebab dengan terbengakalainya pengembanagan kebudayaan
bisa berakibat terjadinya kegersangan dalam proses pengalihannya dari satu generasi
kegenarasi bangsa selanjutnya. Selain itu juga tujuan lain dari pelestarian ini paling tidak
akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas dan unggul tapi juga berjiwa humanis serta
merasa memiliki bahwa Cirebon sebagai pusat peradaban sejarah dan budaya Islam ditanah
jawa.

Pengenalan terhadap beberapa situs dan benda cagar budaya dikalangan pemuda juga sangat
memperihatinkan, padahal Cirebon sangat kaya sekali akan situs dan kebudayaannya seperti,
situs keraton, situs makam Sunan Gunung Jati dan beberapa situs yang menjadi petunjuk
akan perkembangan Islam di tatar Jawa. Apalagi Cirebon sebagai kota budaya dan pariwisata
diharapkan mampu mengaktualisasikan nilai-nilai tradisi dan budaya khas Cirebon baik yang
melekat pada masyarakat Cirebon, untuk dikemas menjadi komoditi pariwisata dalam skala
regional, nasional maupun internasional. Selain itu juga Cirebon sebagai kota industri, yang
berlatar belakang sejarah budaya dan tradisi diharapkan akan berkembang menjadi industri
kecil padat kaya (kerajinan, tradisional) yang berorientasi ekspor, sehingga berkembang
industri pariwisata sebagai pendukung kota budaya dan pariwisata.

Pelestarian tradisi ini akan menjadikan kehidupan masyarakat yang masih menghormati
tradisi leluhur dan tetap akan melestarikannya seperti kata ini Ketahuilah, bahwa yang
terpenting bukan hanya “bagaimana belajar sejarah”, melainkan “bagaimana belajar dari
sejarah”. Soekarno menegaskannya dengan istilah: “Jasmerah” (Jangan Sekali-kali
Melupakan Sejarah). Bahkan, seorang Cicero begitu menghargai sejarah dengan
menyebutnya sebagai “Historia Vitae Magistra” (Sejarah adalah Guru Kehidupan),
sedangkan Castro berteriak dengan lantang di pengadilan: “Historia Me Absolvera !!!”
(Sejarah yang akan Membebaskanku!!!). Haruskah kita menyingkirkan sejarah?, bored with
history?, hated social scientific history?….

Penulis adalah Pegiat Lingkar Studi Sastra (LSS) Cirebon

dijukut sing http://lingkarsastra.blogspot.com kesuwun Kang…


http://blesak.wordpress.com/2010/09/25/tradisi-sedekah-bumi-cirebon/

0 komentar:

Sejarah Tari Topeng

Label: artikel sejarah Diposting oleh Halimi,SE,MM. di 20.04

Menulis tentang keberadaan seni Tari Topeng Cirebon dengan kaitannya di dalam Keraton
Cirebon, maka tidak bisa lepas dari perjalanan sejarah berdirinya Penguasa Islam di daerah
pesisir ini.

Pada saat berkuasanya Sunan Gunung Jati sebagai Pimpinan Islam di Cirebon, maka
datanglah percobaan untuk meruntuhkan kekuasaan Cirebon di Jawa Barat. Tokoh pelakunya
adalah Pangeran Welang dari daerah Karawang. Tokoh ini ternyata sangat sakti dan memiliki
pusaka sebuah pedang bernama Curug Sewu. Penguasa Cirebon beserta para pendukungnya
tidak ada yang bisa menandingi kesaktian Pangeran Welang. dalam keadaan kritis maka
diputuskan bahwa utnuk menghadapi musuh yang demikian saktinya harus dihadapi dengan
diplomasi kesenian. Setelah disepakati bersama antara Sunan Gunung Jati, Pangeran
Cakrabuana dan Sunan Kalijaga maka terbentuklah team kesenian dengan penari yang sangat
cantik yaitu Nyi Mas Gandasari dengan syarat penarinya memakai kedok/topeng.Mulailah
team kesenian ini mengadakan pertunjukan ke setiap tempat seperti lazimnya sekarang
disebut ngamen. dalam waktu singkat team kesenian ini menjadi terkenal sehinga Pangeran
Walang pun penasaran dan tertarik untuk menontonnya. Setelah pangeran Walang
menyaksikan sendiri kebolehan sang penari, seketika itu pula dia jatuh cinta, Nyi Mas
Gandasari pun berpura - pura menyambut cintanya dan pada Saat Pangeran Walang melamar
maka Nyi Mas Gandasari minta dilamar dengan Pedang Curug Sewu. Pangeran Walang tanpa
pikir panjang menyerahkan pedang pusaka tersebut bersamaan dengan itu maka hilang semua
kesaktian Pangeran Walang.Dalam keadaan lemah lunglai tidak berdaya Pangeran Walang
menyerah total kepada sang penari Nyi Mas gandasari dan memohon ampun kepada Sunan
Gunung Jati agar tidak dibunuh. Sunan Gunung Jati memberi ampun dengan syarat harus
memeluk agama Islam. Setelah memeluk agama Islam Pangeran Walang dijadikan petugas
pemungut cukai dan dia berganti nama menjadi Pangeran Graksan. Sedangkan para pengikut
Pangeran Walang yang tidak mau memeluk agama Islam tetapi ingin tinggal di Cirebon, oleh
Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk menjaga keraton - keraton Cirebon dan sekitarnya.

( Cerita ini diambil dari buku Babad Cirebon Carang Satus dan pernah dipentaskan melalui
pagelaran Wayang Golek Cepak oleh Dalang Aliwijaya di Keraton Kacirebonan Cirebon ).

Melihat keberhasilan misi kesenian topeng bisa dijadikan penangkal serangan dari kekuatan -
kekuatan jahat maka pihak penguasa Cirebon menerapkan kesenian topeng ini untuk meruat
suati daerah yang dianggap angker. Dan kelanjutannya kesenian topeng ini masih digunakan
di desa - desa untuk upacara ngunjung, nadran, sedekah bumi dan lain - lainnya.

Setelah masyarakat menerima tradisi meruat itu, di samping harus ada pagelaran wayang
kulit juga harus menampilkan tari topeng, maka tumbuh suburlah penari - penari topeng di
Cirebon. Namun yang mula - mula menarikan tari topeng ini kebanyakan para dalang wayang
kulit yang sebelum pentas wayang, pada siang hari sang dalang harus menari topeng terlebih
dahulu. Oleh karenanya para dalang wayang kulit yang lahir sebelum tahun 1930 diwajubkan
untuk mendalami tari topeng terlebih dahulu sebelum menjadi dalang wayang kulit. Dalam
hubungannya pihak keraton selalu melibatkan kesenian untuk media dakwah dalam
penyebaran agama Islam, dan pihak keraton memberikan nama Ki Ngabei untuk seniman
yang juga berdakwah.

Kesenian tari topeng Cirebon menjalankan sisi dakwah keagamaan dengan berpijak kepada
tata cara mendalami Islam di Cirebon yang mempunyai 4 (empat) tingkatan yang biasa
disebut : Sareat, Tarekat, Hakekat dan Ma'ripat.

Sumber : http://carubannagari.blogspot.com

SEJARAH MOTIF BATIK MEGA MENDUNG CIREBON

Label: artikel sejarah Diposting oleh Halimi,SE,MM. di 19.37

Motif Mega Mendung

Motof Mega Mendung dalam Fashion Show


SALAH satu motif batik Megamendung yang menjadi khas Cirebon Khususnya Daerah
Trusmi. Motif yang merupakan akulturasi dengan budaya Cina itu, kemudian dikembangkan
seniman batik Cirebon sesuai cita rasa masyarakat Cirebon yang beragama Islam.

SEBAGAI suatu karya seni, megamendung identik dan bahkan menjadi ikon batik pesisiran
Cirebon. Batik ini memiliki kekhasan yang tidak dijumpai di daerah-daerah pesisir penghasil
batik lain di utara Jawa seperti Indramayu, Pekalongan, maupun Lasem.

Kekhasan megamendung atau “awan-awanan” tidak saja pada motifnya yang berupa gambar
menyerupai awan dengan warna-warna tegas seperti biru dan merah, tetapi juga pada nilai-
nilai filosofi yang terkandung pada motifnya. Hal ini sangat erat berkaitan dengan sejarah
lahirnya batik secara keseluruhan di Cirebon.

Belum jelas, kapan batik menjadi tradisi di daerah pesisir pantura. Dari beberapa penuturan,
sejarah batik di Cirebon terkait erat dengan proses asimilasi budaya serta tradisi ritual
religius. Prosesnya berlangsung sejak Sunan Gunung Djati menyebarkan Islam di Cirebon
sekitar abad ke-16.

Budayawan dan pemerhati batik, Made Casta menuturkan, sejarah batik dimulai ketika
Pelabuhan Muara Jati (Cirebon) menjadi tempat persinggahan pedagang Tiongkok, Arab,
Persia, dan India. Saat itu terjadi asimilasi dan akulturasi beragam budaya yang menghasilkan
banyak tradisi baru bagi masyarakat Cirebon.

Pernikahan Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Djati merupakan ’pintu gerbang’ masuknya
budaya dan tradisi Tiongkok (Cina) ke keraton. Ketika itu, keraton menjadi pusat kosmik
sehingga ide atau gagasan, pernik-pernik tradisi dan budaya Cina yang masuk bersama Putri
Ong Tien menjadi pusat perhatian para seniman Cirebon. “Pernik-pernik Cina yang dibawa
Putri Ong Tien sebagai persembahan kepada Sunan Gunung Djati, menjadi inspirasi seniman
termasuk pebatik,” tutur perupa Made Casta. Keramik Cina, porselen, atau kain sutra dari
zaman Dinasti Ming dan Ching yang memiliki banyak motif, menginspirasi seniman Cirebon.
Gambar simbol kebudayaan Cina, seperti burung hong (phoenix), liong (naga), kupu-kupu,
kilin, banji (swastika atau simbol kehidupan abadi) menjadi akrab dengan masyarakat
Cirebon. Para pebatik keraton menuangkannya dalam karya batik. Salah satunya motif
megamendung.

“Tentu dengan sentuhan khas Cirebon, sehingga tidak sama persis. Pada megamendung,
garis-garis awan motif Cina berupa bulatan atau lingkaran, sedangkan megamandung Cirebon
cenderung lonjong, lancip, dan berbentuk segitiga. Ini yang membedakan motif awan Cina
dan Cirebon,” tutur Made Casta.

H. Komarudin Kudiya, S.I.P., M.Ds., Ketua Harian Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB)
mengemukakan, persentuhan budaya Cina dengan seniman batik Cirebon melahirkan motif
batik baru khas Cirebon.

Motif Cina hanya sebagai inspirasi. Seniman batik cirebon kemudian mengolahnya dengan
cita rasa masyarakat setempat yang beragama Islam. Dari situ, lahirlah motif batik dengan
ragam hias dan keunikan khas, seperti Paksi Naga Liman, Wadasan, Banji, Patran Keris,
Singa Payung, Singa Barong, Banjar Balong, Ayam Alas, dan yang paling dikenal ialah
megamendung.
“Meski megamendung terpengaruhi Cina, dalam penuangannya secara fundamental berbeda.
Megamendung Cirebon sarat makna religius dan filosofi. Garis-garis gambarnya simbol
perjalanan hidup manusia dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, berumah tangga sampai
mati. Antara lahir dan mati tersambung garis penghubung yang kesemuanya menyimbolkan
kebesaran Illahi,” tutur pemilik showroom “Batik Komar” di Jln. Sumbawa, Kota Bandung
itu.

**

SEJARAH batik di Cirebon juga terkait perkembangan gerakan tarekat yang konon
berpusat di Banjarmasin, Kalimantan. Oleh karena itu, kendati terpengaruh motif Cina,
penuangan gambarnya berbeda, dan nuansa Islam mewarnai. Disitulah terletak kekhasannya.

Pengaruh tarekat terlihat pada Paksi Naga Lima. Motif itu merupakan simbol berisi pesan
keagamaan yang diyakini tarekat itu. Paksi menggambarkan rajawali, naga adalah ular naga,
dan liman itu gajah. Motif tersebut menggambarkan peperangan kebaikan melawan
keburukan dalam mencapai kesempurnaan.

“Motif itu juga menggambarkan percampuran Islam, Cina, dan India. Para pengikut tarekat
menyimpan pesan-pesan agamis melalui simbol yang menjadi motif karya seni termasuk
pada motif-motif batik,” tutur Made Casta.

Pada megamendung, selain perjalanan manusia, juga ada pesan terkait kepemimpinan yang
mengayomi, dan juga perlambang keluasan dan kesuburan. Komarudin mengemukakan,
bentuk awan merupakan simbol dunia luas, bebas, dan transenden. Ada nuansa sufisme di
balik motif itu.

Membatik pada awalnya dikerjakan anggota tarekat yang mengabdi kepada keraton sebagai
sumber ekonomi untuk membiayai kelompok tersebut. Di Cirebon, para pengikut tarekat
tinggal di Desa Trusmi dan sekitarnya seperti Gamel, Kaliwulu, Wotgali, Kalitengah, dan
Panembahan, di Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon.

Oleh karena itu, sampai sekarang batik cirebon, identik dengan batik trusmi. Masyarakat
Trusmi sudah ratusan tahun mengenal batik. “Eyang dari eyang saya sudah mengenal batik.
Sampai sekarang turun-temurun. Awalnya memang Trusmi, sekarang dengan perkembangan
yang pesat, masyarakat desa lain juga mengikuti tradisi Trusmi,” tutur alumnus ITB yang
juga pengurus Yayasan Batik Indonesia (YBI).

Keberadaan tarekat menjadikan batik cirebon berbeda dengan batik pesisir lain. Karena yang
aktif di tarekat adalah laki-laki, mereka pula yang awalnya merintis tradisi batik. Ini berbeda
dengan daerah lain, membatik melulu pekerjaan wanita.

Warna-warna cerah merah dan biru yang menggambarkan maskulinitas dan suasana dinamis,
karena ada campur tangan laki-laki dalam proses pembuatan batik. Di Trusmi pekerjaan
membatik merupakan pekerjaan semesta. Artinya, seluruh anggota keluarga berperan, si
bapak membuat rancangan gambar, ibu yang mewarnai, dan anak yang menjemurnya.

Oleh karena itu, warna-warna biru dan merah tua yang digunakan pada Motif Batik
Megamendung Trusmi Cirebon, mengambarkan psikologi masyarakat pesisir yang lugas,
terbuka, dan egaliter.
http://talak-pindo.blogspot.com/2010/08/sejarah-motif-batik-mega-mendung.html

Kereta Singa Barong di CIrebon, Peninggalan Sejarah Berteknologi Modern

Label: artikel sejarah Diposting oleh Halimi,SE,MM. di 19.30

Sesosok mahluk terbang melintasi angkasa dengan sepasang sayap yang indah.
Mahluk tersebut berbadan singa namun berkepala naga dengan belalai menyerupai
gajah yang menggenggam sebilah trisula. Itulah sosok mahluk prabangsa (purba,
imajiner – Red) yang dilihat pada suatu malam oleh Pangeran Losari, adik dari
Panembahan Ratu I (raja Cirebon ke-2).

Ketika hal tersebut disampaikan kepada sang kakak, gambaran mahluk tersebut
menjadi ide design untuk membuat kereta kerajaan baru, sebagai ganti dari pedati
gede pekalangan. Melalui arsiteknya, Ki Natagana atau yang lebih dikenal dengan
julukan Ki Gede Kaliwulu. Di bangunlah sebuah kereta Kerajaan yang bentuknya
persis menyerupai sosok mahluk yang dilihat oleh Pangeran Losari tersebut. Kereta
tersebut di beri nama Kereta Singa Barong yang selesai di buat pada tahun Jawa 1571
Saka (1649 M), dengan sengkalan (kode) tahun Saka: Iku Pandhita Buta Rupane (Itu
Pendeta Raksasa Wujudnya).

Walaupun dibuat pada masa lampau, para ahli berpendapat, Kereta Singa Barong
telah memiliki tehnologi yang canggih, yang telah banyak digunakan oleh
kendaraan-kendaraan masa kini. Kereta tersebut memiliki suspensi sempurna, yang
dapat meredam guncangan kereta saat melalui jalanan berbatu atau rusak, sehingga
akan nyaman saat digunakan. Hal tersebut juga didukung dengan design roda yang
diciptakan sesuai dengan suspensi yang dimiliki kereta, sehingga dapat berputar
secara stabil. Roda kereta ini juga didesign untuk kondisi jalan becek, dimana posisi
roda dibuat menonjol dari jari-jarinya, agar terhindar dari cipratan air saat melaju di
jalanan yang becek. Kereta ini juga memiliki kemudi yang menggunakan sistem
hidrolik, sehingga mudah dikemudikan oleh sais/kusirnya. Bahkan kedua sayap yang
dimiliki oleh kereta ini dapat bergerak, seperti kepakan saat kereta berjalan.

Dengan segala kenyamanan yang dimilikinya, pada masa kesultanan dulu Kereta
Singa Barong dijadikan sebagai kendaraan dinas sultan untuk berkunjung ke wilayah
kekuasaannya hingga ke pelosok daerah. Kereta ini ditarik oleh empat ekor kerbau
bule, yang diyakini memiliki kekuatan lebih disbanding jenis kerbau biasanya.

Saat ini kereta Singa Barong sudah tidak lagi dipergunakan dan disimpan di dalam
museum Keraton Kasepuhan sejak tahun 1942, beserta benda-benda pusaka milik
keraton lainnya. Hanya replika/tiruan dari kereta ini yang dapat kita lihat
menyelusuri jalanan pada momen-monen tertentu. Seperti pada Festival keraton
nusantara misalnya, replika Kereta Singa Barong kerap disertakan dalam parade.
Sejak tahun 1942 kereta ini hanya dikeluarkan pada tanggal 1 Syawal untuk
dimandikan. Kembarannya berada di Keraton Kanoman bernama Kereta Paksi Naga
Liman. Kereta ini sangat menarik karena memperlihatkan hasil karya teknologi yang
tinggi. Sistim suspensi hidrolik yang dibangun dengan kayu dan baja itu
memungkinkan kenyamanan pemakaian si pengguna. Belum lagi desain roda yang
menghindarkan pengendara dari lumpur yang terlontar dari roda. Bahwa enam abad
yang lalu sudah ada teknologi yang begitu maju, rasanya sangat menakjubkan.
Apalagi menurut pengantar wisata, teknologi ini diakui secara internasional sebagai
teknologi yang maju di zamannya. Rupanya keraton bukan hanya tempat belajar
kebudayaan dan sejarah, tetapi bisa juga menjadi tempat belajar sejarah kemajuan
iptek di masa lalu.
http://zonapencarian.blogspot.com/2010/09/kereta-singa-barong-di-cirebon.html

Sejarah Cirebon menurut bahasa


Label: artikel sejarah Diposting oleh Halimi,SE,MM. di 19.22

Berdasarkan kitab Purwaka Caruban Nagari nama ‘Cirebon’ berasal dari kata
sarumban yang lalu diucapkan menjadi caruban. Kemudian caruban menjadi carbon, cerbon
dan akhirnya Cirebon. Sarumban sendiri berarti ‘campuran’.

‘Campuran’ dapat dikaitkan dengan keadaan Cirebon yang dihuni oleh berbagai suku dan
budaya. Purwaka Caruban Nagari juga menyebutkan bahwa penduduk setempat menyebut
Cirebon sebagai ‘Negeri Gede’. Sampai kini orang-orang di Cirebon masih ada yang
menyebut Cirebon dengan ‘Garage’. Ucapan ini berasal dari negeri gede.

Kata Cirebon sendiri dapat ditelusuri lewat bahasanya yaitu Ci dan Rebon. Ci dalam bahasa
Sunda berarti air, sedangkan rebon dalam bahasa Jawa berarti udang kecil bahan pembuat
terasi.

Hikayat mengatakan, konon beberapa orang Rajagaluh datang ke rumah pangeran


Cakrabuana (penguasa Cirebon). Mereka diberi jamuan makan dengan lauk terasi, maka
setelah kembali para tamu itu bercerita kepada keluarga dan saudara serta orang didaerahnya
tentang kenikmatan makan dengan rebon. Maka rebon menjadi terkenal di Rajagaluh.

Rajagaluh pula yang kemudian memerintahkan pemerintahannya untuk membeli produksi


rebon. Maka, atas dasar ini daerah penghasil terasi rebon dinamakan Cirebon. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 1445 dan menjadi tahun berdirinya kota Cirebon sekarang.

Dari kisah diatas dapat diketahui bahwa nama ‘Cirebon’ diberikan oleh orang-orang
Sunda, dalam hal ini ialah Rajagaluh. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata Ci yang
dalam bahasa Sunda berarti air atau sungai yang umum dipakai sebagai awalan nama-nama
tempat di Pasundan. Akan tetapi kata Rebon adalah dari bahasa Jawa. Tampak lagi adanya
campuran dari penggunaan kata ‘sarumban’ antara bahasa Sunda dan bahasa Jawa.

Nama Cirebon sejak awal abad ke-16 mulai dikenal di dunia internasional. Tome Pires,
musafir Portugis yang datang ke Nusantara pada awal abad ke-16 mencatat bahwa Cerbon
pada saat ia singgahi merupakan kota pelabuhan yang ramai (Cortesao 1944:179). Nama
Curban juga telah ada pada peta dunia yang ditulis oleh Diego Ribeiro pada tahun 1529
(Tiele 1883:2).
Data Toponimi Cirebon

Berdasarkan toponimi (http://en.wikipedia.org/wiki/Toponymy), ilmu asal-usul tempat


berdasarkan kebahasaan, di Cirebon nampak adanya suatu penamaan tempat-tempat geografis
dengan peninggalan sejarah masa lalu. Hal ini karena sepanjang waktu di daerah kota selalu
terjadi perkembangan dan perubahan, baik perubahan sosial maupun perubahan fisik.

Dari nama-nama tempat yang ada kita dapat mengetahui adanya beberapa kelompok
pemukiman di Cirebon, yaitu kelompok-kelompok berdasarkan profesi seperti; Panjunan
(tempat pembuat enjun), Pesuketan (tempat penjual rumput), Pagongan (tempat penjual
gong), parujakan (tempat penjual rujak uuntuk tujuh bulanaan hamil wanita),Pengampon
(tempat pembuat kapur dari kulit kerang), Pandesan (tempat membuat padesan untuk
mengambil air wudhu), dan lain-lain.

Selain itu ada tempat yang dinamakan berdasarkan suku atau ras seperti; Pecinan (tempat
orang-orang Cina, Kejawanan (dulu tempat berhentinya pasukan Mataram yang akan
menyerang Cirebon).

Masih banyak lagi nama-nama tempat di Cirebon tidak termasuk dalam kelompok yang tidak
disebutkan diatas. Hal ini karena tempat-tempat tersebut tidak mengacu pada suatu kelompok
masyarakat khusus, tetapi mengacu pada hal lain seperti peristiwa, fungsi, flora, fauna dan
lain-lain.

Contoh uraian ini menunjukkan pola penamaan suatu tempat yang diambil dari berbagai hal,
yaitu;
A. Nama Flora
Mandu,dulunya banyak pohon mundu.
Gambira, kebonpring, dulunya banyak pohon bambu.

B. Nama peristwa
Pronggol, banyak pohon yang ditebangi oleh pasukan Mataram untuk markas.

Pagajahan, banyak terdapat gajah-gajah pemberian luar negeri ke Cirebon.


Peklutukan, terdapat mata air yang mendidih keluar dari tanah.

C. Fungsi tempat
Pabean, pelabuhan.
Pelandratan, tempat pengadilan di Cirebon.
Jagabayan, tempat penjaga keamanan.
Pekawatan, tempat persediaan kawat telpon.

D. Nama Jabatan
Kasepuhan, tempat Sultan Sepuh.
Kanoman, tempat Sultan Anom.

Dari data toponimi yang ada, Cirebon merupakan suatu kota yang sudah lama berkembang.
Nama-nama diatas menunjukkan suatu masyarakat kota yang kompleks, dengan berbagai
macam profesi, suku, status dan aktifitasnya.

Jumlah penduduk kota Cirebon merupakan tergolong cukup banyak. Berbeda dengan Banten
Lama yang perkembangan kotanya beralih ke daerah sekarang yang sekitar 14 km dari
Banten Lama. Di Cirebon perkembangan kota terjadi di lokasi semula dan meluas ke daerah
sekitarnya. Hal ini pula yang menyebabkan suatu tempat tidak identik lagi dengan namanya.
Kini data toponimi Cirebon umumnya berupa nama desa, nama jalan, juga nama pasar.
Daerah Cirebon merupakan puasat penyebaran agama Islam di Jawa. Selain Sunan Gunung
Jati, banyak pula ulama dan pengajar-pengajar penyebar agama Islam. Data toponimi yang
memperkuat bukti ini, dengan diketahui adanya tempat dengan nama Pekalipan yang berasal
dari kata Khalifah.

Pengaruh bahasa menentukan sebagai indikator dalam data toponimi, dengan banyaknya
daerah Cirebon yang memakai bahasa pada awalan pe- atau ke- pada kata dasar. Awalan
tersebut adalah pengaruh dari bahasa Jawa. Jika pengaruh bahasa Sunda adalah pada
pengunaan awalan pa- atau ka-. Masyarakat kota Cirebon umumnya memang memakai
bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Sedangkan bahasa lebih banyak dipakai oleh
masyarakat yang tinggal di sebelah selatan kota.

Pengaruh bahasa pula yang menentukan ciri khas Cirebon. Sebuah kota dengan budaya
multikultur. Dimana perbedaan, di kota ini, adalah perwujudan nyata dari rahmat illahi.

Sumber : Arief Kurniawan-buntet pesantren.com

Anda mungkin juga menyukai