Anda di halaman 1dari 6

Biografi Sunan Gunung Jati.

Nama aslinya adalah Syech Syarief Hidayatulloh yang dilahirkan Tahun


1448 Masehi. Ayahanda Syech Syarief Hidayatulloh adalah Syarief Abdullah, seorang dari Mesir keturunan ke
17 Rosulullah SAW, bergelar Sultan Maulana Muhamad, Ibunda Syech Syarief Hidayatullah adalah Nyai Rara
Santang dan setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Muda’im adalah Putri Prabu Siliwangi dari
kerajaan Padjajaran. Syech Syarief Hidayatullah berkelana untuk belajar Agama Islam dan sampai di Cirebon
pada tahun 1470 Masehi. Syech Syarief Hidayatullah dengan didukung uwanya, Tumenggung Cerbon Sri
Manggana Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang dan didukung Kerajaan Demak, dinobatkan menjadi
Raja Cerbon dengan gelar Maulana Jati pada tahun 1479.

Sejak itu pembangunan insfrastruktur Kerajaan Cirebon kemudian dibangun dengan dibantu oleh Sunan
Kalijaga, Arsitek Demak Raden Sepat, yaitu Pembangunan Keraton Pakungwati, Masjid Agung Sang Cipta
Rasa, jalan pinggir laut antara Keraajaan Pakungwati dan Amparan Jati serta Pelabuhan Muara Jati.

Menyebarkan Islam
Syech Maulana

Jati pada Tahun 1526 Masehi, menyebarkan Islam sampai Banten dan menjadikannya Daerah Kerajaan
Cirebon. Dan pada Tahun 1526 Masehi juga tentara Kerajaan Cirebon dibantu oleh Kerajaan Demak dipimpin
oleh Panglima Perang bernama Fatahillah merebut Sunda Kelapa dan Portugis, dan diberi nama baru yaitu
Jayakarta.

Pada tahun 1533 Masehi, Banten menjadi Kasultanan Banten dengan Sultannya adalah Putra dari Syech
Maulana Jati yaitu Sultan Hasanuddin. Syech Maulana Jati salah seorang Wali Sanga yang mempekenalkan visi
baru bagi masyarakat tentang apa arti menjadi Pemimpin, apa makna Masyarakatm, apa Tujuan, Masyarakat,
bagaimana seharusnya berkiprah di dalam dunia ini lewat Proses Pemberdyaan.

Syech Maulan Jati melakukan tugas dakwah menyebarkan Agama Islam ke berbagai lapisan Masyarakat
dengan dukungan personel dan dukungan aspek organisasi kelompok Forum Walisanga, dimana forum
Walisanga secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat kepentingan dakwah, merupakan siasat yang
tepat untuk mempercepat teresebarnya Agama Islam.

Syech Maulana Jati berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan
dengan tahun 1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka.
Meninggal dalam usia 120 tahun, sehingga Putra dan Cucunya tidak sempat memimpin Cirebon karena
meninggal terlebih dahulu. Sehingga cicitnya yang memimpin setelah Syech Maulana Jati. Syech Syarief
Hidayatullah kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati karena dimakamkan di Bukit Gunung Jati
Nama asli Kanjeng Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah. Ia adalah anak seorang puteri raja Pajajaran
bernama Rara Santang atau Syarifah Mada’in, yang menikah dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif
Abdullah, yang konon putera raja Mesir keturunan Bani Ismailiah. Syarif Hidayatullah memiliki seorang
saudara bernama Syarif Nurullah (Suhadi, 1995/1996: 84).

Semasa muda, Syarif Hidayatullah pergi ke Makkah dan Baghdad untuk menuntut ilmu. Di Makkah ia belajar
selama empat tahun, dan berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri serta Syekh Ataullahi Sadzili. Sementara di
Baghdad ia belajar tasawuf (Djayadiningrat, 1913). Ketika Syarif Hidayatullah berusia 27 tahun, sekitar tahun
1475 TU, ia kembali ke tanah Jawa dan bermukim di Caruban dekat Cirebon. Di Cirebon, Syarif Hidayatullah
kemudian menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati puteri dari Pangeran Cakrabuana, penguasa Cirebon. Setelah
Pangeran Cakrabuana berusia lanjut, kekuasaan atas negeri Cirebon diserahkan kepada menantunya, yaitu
Syarif Hidayatullah dan diberi gelar Susuhunan atau Sunan (Suhadi, 1995/1996: 84).

Ketika Kerajaan Islam Demak mendengar adanya seorang penyiar agama Islam di Cirebon, maka atas
persetujuan para wali, Raden Fatah selaku Sultan Demak menetapkan Syarif Hidayatullah sebagaiPenetap
Penata Gama Rasul di tanah Pasundan bergelar Sunan Gunung Jati dan termasuk salah seorang Wali Sanga.
Tidak hanya itu, Sunan Gunung Jati ditetapkan pula sebagai pengusa negeri Cirebon (Suhadi, 1995/1996: 84).
Dalam Babad Cirebon, Sunan Gunung Jati disebut Ratu Pandita. Artinya Syarif Hidayatullah mempunyai fungsi
rangkap yaitu sebagai wali, penyebar agama Islam di Jawa Barat atau tanah Pasundan, dan sebagai raja yang
memerintah dan berkedudukan di Cirebon (Tjandrasasmita, 1999: 284-285). Dari Cirebon agama Islam dengan
mudah disebarkan ke seluruh wilayah Pasundan, sehingga hampir semua rakyat Sunda memeluk agama Islam
(Suhadi, 1995/1996: 84).

Setelah Sunan Gunung Jati diangkat menjadi salah seorang wali, hubungan Cirebon dengan Demak semakin
erat. Hubungan tersebut kemudian dikuatkan dengan pernikahan puteri Sunan Gunung Jati bernama Ratu Ayu
dengan Pati Unus, putera Raden Fatah (Suhadi, 1995/1996: 84). Berita lain menyebutkan Ratu Ayu menikah
dengan Sultan Trenggana, dan setelah Sultan Trenggana wafat, Ratu Ayu menikah dengan Fatahillah
(Abdurachman, ed., 1982: 37).

Purwaka Caruban Nagari menyebutkan Sunan Gunung Jati menikah dengan Nhay Kawunganten, puteri dari
Pajajaran dan mempunyai dua orang anak. Anak yang tertua bernama Sabakingking yang kemudian bernama
Hasanuddin menjadi Sultan Banten. Anak yang kedua bernama Siti Winahon, lebih dikenal dengan nama Ratu
Ayu yang kemudian menikah dengan salah seorang sultan Demak (Abdurachman, ed., 1982: 37).

Selain dengan Nhay Kawunganten Sunan Gunung Jati juga menikah dengan Nyi Mas Siti Babadan, dari
Babadan, Cirebon. Perkawinannya yang lain adalah dengan Rara Jati dari kalangan ningrat Cirebon. Dari
perkawinan ini lahir dua orang putera, yaitu Jaya Kelana dan Brata Kelana. Brata Kelana kemudian dikenal
dengan nama Pangeran Seda Lautan (pangeran yang meninggal di laut). Isteri Sunan Gunung Jati yang lain
bernama Nyi Mas Tepasari dari daerah Bumiayu, Brebes, memiliki putera bernama Pangeran Pasarean yang
kemudian menurunkan para Sultan Cirebon (Abdurachman, ed., 1982: 37).

Sunan Gunung Jati juga disebutkan menikahi seorang puteri dari negeri Cina bernama Ong Tien. Diceritakan
bahwa pertemuan Sunan Gunung Jati dengan Ong Tien terjadi ketika Sunan Gunung Jati mengadakan
kunjungan ke negeri Cina. Dari pernikahan tersebut mereka tidak dikaruniai anak (Abdurachman, ed., 1982:
37).

Adanya perkawinan antara Sunan Gunung Jati dengan Ong Tien dari Cina secara langsung maupun tidak
langsung berdampak pula terhadap hubungan dagang kedua negeri. Data arkeologi menunjukkan di sekitar
Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan di kompleks pemakaman Gunung Sembung banyak ditemukan
keramik yang berasal dari negeri Cina.

Pada tahun 1568 TU Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan di Pasir Jati, yaitu puncak Bukit Sembung, di
tepi kota Cirebon. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, pemerintahan di Cirebon dilanjutkan oleh Pangeran Mas
yang bergelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu (1570-1640 TU) (Graaf, 1986: 254). Purwaka Caruban
Nagarimenyebut Panembahan Ratu memerintah sampai tahun 1649 TU, tetapi sumber lain menunjuk tahun
1650 TU.

Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, tahun 1628 TU, terjadi serangan Mataram terhadap VOC di
Batavia, dan pada tahun itu pula terjadi ikatan kekeluargaan melalui perkawinan antara kakak perempuan
Panembahan Ratu, yakni Ayu Sukluh dengan Mas Rangsang yang kemudian menjadi Sultan Agung Mataram.
Ikatan perkawinan ini memperkuat hubungan antara Panembahan Ratu dengan Sultan Agung Mataram, dan
merupakan kelanjutan hubungan yang sudah dibina sejak dari masa Senapati Ing Alaga (setelah menjadi raja
bergelar Panembahan Senapati). Diberitakan bahwa pada tahun 1590 TU Raja Mataram, Panembahan Senopati,
membantu Cirebon mendirikan atau memperkuat tembok yang mengelilingi kotanya. Perkuatan kota Cirebon
tersebut dilakukan oleh Raja Mataram, karena ia menganggap Cirebon sebagai pertahanan keprajuritan di
bagian barat kerajaannya.

Setelah Panembahan Ratu wafat pada tahun 1649/1650 TU, ia digantikan oleh cucunya yaitu Panembahan
Adiningkusuma, yang kemudian bergelar Panembahan Ratu II. Tidak lama setelah diangkat menjadi raja, ia
diundang ke Mataram bersama isteri dan kedua anaknya, yaitu Martawijaya dan Kartawijaya. Panembahan Ratu
II sejak berada di Mataram tidak pernah kembali lagi ke Cirebon sampai meninggal pada tahun 1662.
Makamnya di Girilaya, sehingga ia dikenal juga sebagai Panembahann Girilaya.

Setelah Panembahan Girilaya wafat, kekuasaan Cirebon terpecah menjadi dua akibat perebutan kekuasaan oleh
kedua anaknya. Kekuasan Cirebon kemudian dibagi menjadi dua, yaitu Panembahan Martawijaya menjadi
Sultan Sepuh I dengan gelar Abil Makarim Syamsudin, dan Pangeran Kartawijaya menjadi Sultan Anom I
dengan gelar Abil Makarim Badrudin.

Di masa pemerintahan Sunan Gunung Jati sampai terpecahnya Cirebon menjadi dua kekuasaan yaitu sekitar
abad XVII TU sampai XVIII TU, di Cirebon berkembang kegiatan sastra seperti kegiatan mengarang tembang
keagamaan Islam, yang disebut suluk, yang bercorak mistik. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh ruhani
Sunan Gunung Jati itu masih berlangsung hingga abad XVIII TU.

Sunan Gunung Jati dikenal sebagai peletak dasar Islam di Banten.Babad Banten menceritakan bahwa Sunan
Gunung Jati dan puteranya Hasanuddin datang dari Pakungwati (Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat
Banten. Awalnya mereka mereka datang ke Banten Girang, kemudian ke selatan ke Gunung Pulosari, tempat 80
orangajar (pendeta Hindu) tinggal. Mereka kemudian menjadi pengikut Hasanuddin. Selanjutnya diceritakan, di
lereng Gunung Pulosari, Sunan Gunung Jati mengajarkan ilmu pengetahuan keislaman kepada anaknya. Setelah
selesai mengajarkan ilmu keislaman, Sunan Gunung Jati kemudian memerintahkan anaknya supaya
menyebarkan agama Islam kepada penduduk Banten.

Permintaan Sunan Gunung Jati tersebut kemudian dilaksanakan oleh Hasanuddin dengan berkeliling sambil
berdakwah dari satu daerah ke daerah lain. Dalam menyampaikan agama Islam kepada penduduk lokal,
Hasanuddin terkadang menggunakan cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti menyabung
ayam ataupun mengadu kesaktian. Cara-cara ini berhasil, terbukti dengan banyaknya pembesar negeri yang
memeluk agama Islam dan bersedia menjadi pengikut Hasanuddin.

Pada tahun 1525 TU, seluruh daerah Banten dikuasai oleh tentara Islam dari Demak dan Cirebon yang dibantu
oleh pasukan Hasanuddin. Atas petunjuk Sunan Gunung Jati, pusat pemerintahan yang berada di Banten Girang
di daerah pedalaman kemudian dipindahkan ke dekat pelabuhan Banten. Pada pemindahan pusat pemerintahan
Banten ke pesisir tersebut, Sunan Gunung Jati pulalah yang menentukan lokasi dalem (istana), benteng, pasar
dan alun-alun yang harus dibangun. Ada beberapa alasan pemindahan pusat pemerintahan tersebut dari Banten
Girang ke daerah dekat pesisir, yaitu:

Ekonomi, berdasarkan potensi maritimnya, Banten berpotensi sebagai pelabuhan besar yang dapat
menggantikan Sunda Kelapa.

Mistis religius, kota dan keraton yang ditaklukkan harus ditinggalkan, karena dianggap sudah tidak memiliki
kekuatan magis lagi.

Politik, memudahkan hubungan antara pesisir utara Jawa dan pesisir Sumatera melalui Selat Sunda.
Di samping peran dalam proses pengislaman di daerah Banten, Sunan Gunung Jati bersama anaknya
Hasanuddin selanjutnya memperkuat dasar Islam di Banten. Hal ini dibuktikan dengan dengan dibangunnya
masjid dan tempat kegiatan keagamaan berupa pesantren.

Ada dua masjid yang dibangun di kota Banten pada masa pemerintahan Hasanuddin di daerah ini. Pertama,
yaitu Masjid Agung Banten yang terletak di pusat pemerintahan berdekatan dengan Keraton Surosowan.
Sementara masjid yang lainnya dibangun di daerah Pecinan letaknya agak ke barat dari bagian kota. Masjid
yang berada di Pecinan tersebut telah runtuh, dan kini hanya tinggal menaranya saja. Adapun Masjid Agung
Banten masih berdiri kokoh hingga saat ini. Masjid ini beratap tumpang lima susun, dan merupakan model atap
tumpang masjid-masjid kuna sebagaimana masjid-masjid lainnya di Jawa.

Dalam masyarakat Islam, masjid merupakan tempat paling utama dalam mengembangkan syiar Islam. Hal ini
diperkuat oleh beberapababad yang menyebutkan tentang peranan masjid sebagai tempat bermusyawarah dan
pertemuan untuk membahas masalah keagamaan.
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah
mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan
menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati
atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari
raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda,
pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana
ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia
mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan
Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir
Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat
dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa
setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi
cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu
diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun,
di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer
sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Anda mungkin juga menyukai