Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH TENTANG SUNAN GUNUNG DJATI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama islam masuk pertama kali ke indonesia melalaui pulau sumatra, selanjutnya
penyebaran agama islam mulai masuk ke pulau-pulau lainnya di indonesia. Ketika kekuatan
islam semakin melembaga, berdirilah kerajaan islam, dari siniislam sampai ke pulau jawa,
walisongo sebagai jantung penyebaran agama islam di pulau jawa. Sunan gunung jati atau syarif
hidatullah merupakan salah satu walisongo yang selalu memberikan kontribusidalam penyebaran
agama islam di daerah pulau jawa, khususnya jawa barat. Syarif hidayatullah dikenal sebagai
pendiri kesultanan cirebon dan banten. Beliau memiliki peran yang sangat besar dalam
penyebaran agama islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi sunan gunung jati?


2. Bagaimanakah pemikiran sunan gunung jati?
3. Apa peran sunan gunung jati dalam agama islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI SUNAN GUNUNG JATI
Sunan gunung jati (syarif hidayatullah) lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang
mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M. Anak dari Syarif Abdullah bin Nur Alam
bin Jamaluddin Akbar seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat
dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Ibunda Sunan Gunung Jati
adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan Kerajaan Sunda, anak dari Sri Baduga
Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang
Larang. Silsilah Sunan Gunung Jati Atau Syarif Hidayatullah binAbdullah bin Ali Nurul
'AlamSyaikh Jumadil Qubro bin Jamaluddin Akbar Khan binAhmad Jalaludin Khan bin
Abdullah Khan bin Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin Alawi Ammil Faqih
(Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) Ali Kholi' Qosam bin Alawi Ats-
Tsani bin Muhammad Sohibus Saumi'ah bin Alawi Awwal bin Ubaidullah bin Ahmad al-
Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Uradhi bin Ja'afar As-Sodiq bin
Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal 'Abidin bin Imam Hussain Al-Husain putera Ali bin Abu
Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad Rasulullah.
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati
Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang
putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Pada tahun 1487 sunan gunung jati di angkat menjadi anggota dari Dewan Muballigh yang
sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun
kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I. Sunan
gunung jati banyak berperan dalam penyeberan agama islam. Beliau meninggal di cirebon pada
tahun 1570 dan usianya diperkirakan sekitar 80 tahun. Makamnya terdapat di gunung wukir
sapta pangga di Gunung Jati, Desa Astana Cirebon, Jawa Barat.
B. PEMIKIRAN SUNAN GUNUNG JATI
Pengalaman adalah guru yang terbaik, begitulah pola pikir sunan gunung jati, dari
pengalamannya bertempur di Malaka sehingga dari sini dia tahu kelemahan portugis. Tentang
personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik,
dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar
pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil
itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya. Syarif
Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan
Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari
wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri
Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat
merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai
(belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di
Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis
bertempur di P. Jawa.
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan
Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam
usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir
dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan
martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton
masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar
dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman
Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar
para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan
Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan
memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus
menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal
istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta
Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap
memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di
dalam wilayah Istana Pakuan.
Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya
penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari
wilayah Istana Pakuan.
C. PERANAN SUNAN GUNUNG JATI DALAM ISLAM
Sunan gunung jadi banyak berperan dalam penyebaran agama islam, disebutkan, pada tahun
pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi
kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tetapi tidak mau.
Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan
agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya ke
Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari
Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut
baik oleh Adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan puteri Adipati Banten
yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinannya inilah kemudian Syarif Hidayatullah
dikaruniai dua orang putera yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam
menyebarkan agama Islam di tanah jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati tidak
bekerja sendirian, beliau sering bermusyawarah dengan anggota para wali lainnya di mesjid
Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya mesjid Demak.
Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah
mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memploklamirkan diri sebagai raja yang pertama
dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti
kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Dengan bergabungnya
prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan
Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti: Surakanta, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain
menyatakan diri menjadi wilayah Keslutanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya
Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar
dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok.
Kurang lebih sekitar tahun 1479, Sunan Gunung Jati pergi ke daratan Cina dan tinggal didaerah
Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil. Daratan Cina sejak lama
dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka disanalah Sunan Gunung Jati juga berdakwah
dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional.
Disamping itu , pada setiap gerakan fisik dari ibadah Sholat sebenarnya merupakan gerakan
ringan dari terapi pijat atau akupuntur, terutama bila seseorang mau mendirikan Sholat dengan
baik, benar lengkap dengan amalan sunah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat
Cina agar tidak makan daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan sholat
lima waktu, maka orang yang berobat kepada Sunan Gunung Jati banyak yang sembuh sehingga
nama Gunung Jati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina.
Di negeri naga itu Sunan Gunung Jati berkenalan dengan Jenderal Ceng Ho dan sekretaris
kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah masuk Islam. Pada suatu
ketika Sunan Gunung Jati berkunjung ke hadapan kaisar Hong Gie, pengganti kaisar Yung Lo
dengan puteri kaisar yang bernama Ong Tien. Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda,
sebenarnya kedatangan Sunan Gunung Jati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada
suatu malam, beliau hendak melaksanakan sholat tahajjud. Beliau hendak sholat di rumah tetapi
tidak khusu’ lalu beliau sholat di mesjid, di mesjid juga belum khusu’. Beliau heran padahal bagi
para wali, sholat tahajjud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Kemudian Sunan Gunung Jati sholat diatas perahu dengan khusu’. Bahkan dapat tidur dengan
nyenyak setelah sholat dan berdo’a.
Ketika beliau terbangun beliau merasa kaget. Daratan pulau jawa tidak nampak lagi. Tanpa
sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga sampai ke negeri Cina. Di negeri Cina
beliau membuka praktek pengobatan. Pendudu Cina yang berobat disuruhnya melaksanakan
sholat. Setelah mengerjakan sholat mereka sembuh. Makin hari namanya makin terkenal, beliau
dianggap sebagai sinshe yang berkepandaian tinggi terdengar oleh kaisar. Sunan Gunung Jati
dipanggil keistana, kaisar hendak menguji kepandaian Sunan Gunung Jati sebagai tabib dia pasti
dapat mengetahui mana seorang yang hamil muda atau belum hamil. Dua orang puteri kaisar
disuruh maju. Seorang diantara mereka sudah bersuami dan sedang hamil muda atau baru dua
bulan. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun perutnya diganjal dengan bantal
sehingga nampak seperti orang hamil. Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih
kelihatan kecil sehingga nampak seperti orang yang belum hamil. Hai tabib asing, mana diantara
puteriku yang hamil? Tanya kaisar.
Sunan Gunung Jati diam sejenak. Ia berdoa kepada Tuhan.
Hai orang asing mengapa kau diam? Cepat kau jawab! Teriak kaisar Cina.
Dia! Jawab Sunan Gunung Jati sembari menunjuk puteri Ong Tien yang masih Perawan. Kaisar
tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikiann pula seluruh balairung istana kaisar.
Namun kemudian tawa mereka terhenti, karena puteri Ong Tien menjerit keras sembari
memegangi perutya.
Ayah! Saya benar-benar hamil.
Maka gemparlah seisi istana. Ternyata bantal diperut Ong Tien telah lenyap entah kemana.
Sementara perut puteri cantik itu benar-benar membesar seperti orang hamil.
Kaisar menjadi murka. Sunan Gunung Jati diusir dari daratan Cina. Sunan Gunung Jati menurut,
hari itu juga ia pamit pulau ke pulau jawa. Namun puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta
kepada Sunan Gunung Jati maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan
Gunung Jati ke pulau Jawa.
Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunung Jati ke pulau Jawa.
Puteri Ong Tien dibekali harta benda dan barang-barang berharga lainnya seperti bokor, guci
emas dan permata. Puteri cantik itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li bang
seorang menteri negara. Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah seorang
murid Sunan Gunung Jati tatkala beliau berdakwah di Cina. Kaisar Cina pada saat itu dari dinasti
Ming juga beragama Islam. Sesudah kawin dengan Sunan Gunung Jati, puteri Ong Tien diganti
namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah puteri Ong Tien ini membekali
puterinya dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar barang-barang peninggalan
puteri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di
tempat yang aman. Istana dan Mesjid Cirebon kemudian dihiasi lagi dengan motif-motif hiasan
dinding dari negeri Cina. Mesjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1980 atas prakarsa
Nyi Ratu Pakungwati atau isteri Sunan Gunung Jati. Dari pembangunan mesjid itu melibatkan
banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah.
Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal
sebagai lambang persatuan umat. Selesai membangun mesjid, diteruskan dengan membangun
jalan raya yang menhubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk
memperluas pengembangan Islam diseluruh tanah pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa
menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah
Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.

Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka
yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama gelar
atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi
dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang
sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sampai
abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan
musafir dari negeri-negeri jauh.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya Syeikh Hamzah
Fansuri lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula jasadnya dibaringkan dan di tanam,
tak dijumpai sampai sekarang.[1] Tetapi dari syair dan dari namanya sendiri menunjukkan
bahwa sudah sekian lama beliau berdominasi di Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan
turunan mereka pantas digelari Fansur.
Pada ahli cenderung memahami dari syair-syairnya bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah
Syahmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahmawi itu,
ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang
menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.[2]
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa Syeikh
Hamzah Fansuri hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil
Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar
Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M).
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai
ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke
pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahwa
beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan
Arab. Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf,
falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau
menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu,
berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.

C. Karya-karya Hamzah Fansuri

Syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam
kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain :
a. Syair burung pingai
b. Syair dagang
c. Syair pungguk
d. Syair sidang faqir
e. Syair ikan tongkol
f. Syair perahu
Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :
a. Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid
b. Syarbul ‘asyiqiin
c. Al-Muhtadi
d. Ruba’i Hamzah al-Fansuri
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa
banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana
tanah air. Yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed
Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh sufi ini, tidak ketinggalan
seumpama Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri
mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J.
Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri
secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan
Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya
:
- The Misticim of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
- Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
- New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
- The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968[3]

Menurut beberapa pengamat sastra sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuri tergolong
dalam Syi'r al- Kasyaf wa al-Ilham, yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan
(kasyafi yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi) [4].

D. Pemikiran dan Pengaruh Hamzah Fansuri

Banyak ualama Indonesia di kenal lantaran karya-karya mereka yang tersebar di berbagai
wilayah dunia Islam. Di antara ulama Indonesia yang dikenal sebagai pengarang adalah
Nuruddin Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel, dan Syaikh Muhammad Arsyad al
Banjari.[5]
Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelajari penulisan risalah tasawuf
atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Syeikh
muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra
melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau Persia. Di bidang sastra Syeikh
mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman
kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lan yang sezaman ataupun sesudahnya.
Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan berada di bawah bayang-bayang
kegeniusan dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri. Di bidang kesusastraan pula Syeikh
Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan
skema sajak akhir a-a-a-a syair sebagai suatu bentuk pengucapan sastra seperti halnya pantung
sangat populer dan digemari oleh para penulis sampai pada abad ke-20.
Di bidang kebahasaan pula sumbangan Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk dapat di
ingkari. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu, Syeikh
Hamzah Fansuri telah berhasil mengangkat martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua franca
menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Dengan
demikian keduudkan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat
penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang lain, termasuk bahasa Jawa yang
sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua, jika kita membaca syair-syair dan risalah-
risalah tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Syeikh Hamzah
Fansuri dalam proses Islamisasi bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah sama dengan
Islamisasi pemikiran dan kebudayaan.
Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Syeikh Hamzah Fansuri telah pula
mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian, kepiawaian Syeikh
Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di dalam Asrar al-‘arifin (rahasia ahli makrifat),
sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf
nusantara, disitu Syeikh Hamzah Fansuri memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan
analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi,
logika, epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah satu risalah tasawuf paling
orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan
klasik yang paling jernih dan cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-
syairnya sendiri Syeikh Hamzah Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam
isinya dan luas cakrawala permasalahannya.[6]
Simaklah syair Hamzah Fansuri yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada
bagian I di bait 1:

“Sidang Faqir empunya kata,


Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata”.
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena
itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir, adalah orang yang telah meninggalkan keterikatannya
pada segala sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan “melihat” atau
mengenali dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa untuk mengenal Jati Diri,
seorang sufi harus memulai dengan suatu metode tafakur tertentu, suatu latihan tertentu. Suatu
metode atau latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik
keagamaan atau spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah meditasi.
Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan hanya sebagai latihan
pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau
meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9:

“Hapuskan akal dan rasamu,


lenyapkan badan dan nyawamu.
Pejamkan hendak kedua matamu,
di sana kaulihat permai rupamu”.

Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau
metode latihan sufi apa pun harus dimulai dengan “hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti
suatu cara untuk menuju kepada kondisi “No-Mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni
atau Kesadaran Ilahi. Untuk mencapai kondisi “No-Mind” tersebut, maka seorang sufi harus
“lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan
berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa). Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua mata
inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya yang
senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti
dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.[7]
Pada hakikatnya, menurut Hamzah, pemahaman akan Tuhan itu mudah, hanya
memerlukan kepasrahan dan keberanian karena “Kekasih zahir terlalu terang/Pada kedua alam
nyata terbentang.” Jadi, ciri khas pemahaman tasawuf Hamzah adalah hakikat Allah itu dekat
dan menyatu, hanya saja manusia tidak menyadarinya.[8]
Dalam jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
Azumardi Azra menyebutkan bahwa faham Hamzah Fansuri berpaham Wujudiyah, berbeda
dengan Ar-Raniri yang memementingkan Syariah dan dianggap sebagai perintis gerakan
pembarahu Islam atau neo-sufisme.[9]
Fahamnya tersebut mendapat pertentangan dari syekh Nuruddin ar-Raniri. Dan untuk
membasi faham wujudiyah ini, kitab-kitab berfaham wujudiyah, seperti kitab-kitab hamzah
fansuri bahkan dibakar di depan masjid baiturrahman Aceh.[10]

E. Kesimpulan

Syekh Hamzah Fansuri telah begitu banyak memberikan sumbangan terhadap peradaban
Islam Nusantara. Karya-karyanya, baik puisi maupun yang lainnya telah banyak memberikan
inspirasi bagi generasi-generasi sesudahnya. Melalui puisi-puisinya itu pula Syekh Hamzah
Fansuri menyebarkan dakwah islamiyah.
Meskipun paham sufinya mendapatkan pertentangan dari beberapa kalangan sehinga
menyebabkan buku-bukunya dibakar, tetapi namanya tidak lekang oleh zaman. Sejarah
pembakaran buku sebagaimana terjadi pada awal masuknya Islam tidak boleh terulang. Buku,
bagaimana pun kontroversialnya, tetap merupakan sebuah produk intelektual dan hasil
perenungan dari penulisnya. Pembakaran buku, pengekangan kebebasan berpikir, justru akan
membuat peradaban berjalan mundur.

Anda mungkin juga menyukai