Anda di halaman 1dari 9

BAB I

ISI

1.1.BIOGRAFI SUNAN GUNUNG JATI

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah satu-satunya wali yang menyebarkan
agama Islam di Jawa barat. Sunan Gunung Jati dilahirkan tahun 1448 Masehi. Ayahnya adalah
Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang mubaligh dan musafir besar dari
Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air.
Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik
putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang
silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain. Sedangkan Ibu Sunan
Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja
Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran
Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana atau Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang
yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi
Mahdi bin Ahmad.1

Pada masa remajanya Sunan Gunung jati berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan
Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf. Pada usia 20
tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu. Setelah selesai menuntut ilmu
pada tahun 1470 dia berangkat ketanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Disana beliau
bersama ibunya disambut gembira oleh pangeran Cakra Buana. Syarif Hidayatullah dan ibunya
Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah
mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut
gembira oleh Pangeran Cakra Buana dan keluarganya. Syarifah Mada’in minta agar diizinkan
tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan
usahanya Syeh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah
dipanggil Sunan Gunung Jati.1

Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat
menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran
dakwah islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain. Selanjutnya yaitu pada
tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri
Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung
tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke
Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam
kembali tapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi
cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian
melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan
banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ketempat itu. Kedatangan Syarif
Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan
putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif
Hidayatullah di karuniai anak yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. 1

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni
dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan
Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah
Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat. 1

1 Jumanah,” Makalah Sunan Gunung Jati ”, diakses dari http://dhenockifah.blogspot.com/2018/01/makalah-sunan-


gunung-jati.html, pada tanggal 09 Nopember 2019 pukul 20.10.

1
1.2.PROSES DAN CARA PENYEBARAN ISLAM SUNAN GUNUNG JATI

Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Sunan Gunung Jati tidak bekerja
sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak.
Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan
Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan
Pakungwati di Cirebon dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar
Sultan.1

Pada era Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati dapat
dikatakan sebagai era keemasan (Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon. Sebelum Syarif
Hidayatullah, Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) merupakan rintisan
pemerintahan berdasarkan asas Islam, dan setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa
Cirebon masih berlindung di balik kebesaran nama Syarif Hidayatullah.1

Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada
Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai
pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik
Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki
Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Sunan Gunung Jati yang dianggap lancang
mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan
anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut
Sunan Gunung Jati. 1

Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah
besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti Surantaka, Japura, Wana
Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kesultanan Pakungwati atau Cirebon.
Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh
Kasultanan Cirebon. 1

Sebagai anggota Wali Songo dalam berdakwahnya Sunan Gunung Jati menerapkan
berbagai metode dalam proses islamisasi di tanah Jawa. Adapun ragam metode dakwahnya
menurut Dadan Wildan (2003) adalah sebagai berikut :

1. Metode “Maw’izhatul Hasanah Wa Mujahadalah Bilati Hiya Ahsan”

Dasar metode ini merujuk pada Al-qur’an surat An-Nahl ayat 125, artinya “Seluruh manusia
kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. 1

2. Metode “Al-Hikmah”

Sebagai sistem dan cara berdakwah para wali yang merupakan jalan kebijaksanaan yang
diselanggarakan secara populer, atraktif, dan sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam
menghadapi masyarakat awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat awam itu
mereka hadapi secara masal, kadang-kadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik
sehingga menarik perhatian umum.2
1 Jumanah,” Makalah Sunan Gunung Jati ”, diakses dari http://dhenockifah.blogspot.com/2018/01/makalah-sunan-
gunung-jati.html, pada tanggal 09 Nopember 2019 pukul 20.10.
2 Jumanah,” Makalah Sunan Gunung Jati ”, diakses dari http://dhenockifah.blogspot.com/2018/01/makalah-sunan-
gunung-jati.html, pada tanggal 09 Nopember 2019 pukul 20.10.

2
3. Metode “Tadarruj” atau “Tarbiyatul Ummah”

Dipergunakan sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat,
agar ajaran islam dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat
secara merata. Metode ini diperhatikan setiap jenjang, tingkat, dan bakat. Materi dan
kurikulumnya, tradisi ini masih tetap dipraktekan dilingkungan pesantren.

4. Metode Pembentukan dan Penanaman Kader

Metode ini disertakan juga dengan penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah. Tempat
yang dituju ialah daerah yang sama sekali kosong dari pengaruh Islam.

5. Metode Kerjasama

Dalam hal ini diadakan pembagian tugas masing-masing para wali dalam mengislamkan
masyarakat tanah Jawa. Misalnya Sunan Gunung Jati bertugas menciptakan doa mantra untuk
pengobatan lahir batin, menciptakan hal-hal yang berkenaan dengan pembukaan hutan,
transmigrasi atau pembangunan masyarakat desa.

6. Metode Musyawarah

Para Wali sering berjumpa dan bermusyawarah membicarakan berbagai hal yang berkaitan
dengan tugas dan perjuangan mereka. Semetara dalam pemilihan wilayah dakwahnya tidaklah
sembarangan dengan mempertimbangkan faktor geogstrategi yang sesuai dengan kondisi
zamannya.

Sunan Gunung Jati sendiri dilingkungan masyarakatnya selain sebagai pendakwah, juga
berperan sebagai politikus, pemimpin dan juga berperan sebagai budayawan. Pemilihan Cirebon
sebagai pusat aktivitas dakwahnya Sunan Gunung Jati, tidak dapat dilepaskan hubungannya
dengan jalur perdagangan, demikian juga telah dipertimbangkan dari aspek sosial, politik,
ekonomi, nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan
penyebaran Islam selanjutnya.

1.3.PENGARUH SUNAN GUNUNG JATI DI TANAH JAWA

Menurut Serat Walisana, tokoh Syarif Hidayatullah dikisahkan memiliki kaitan dengan
ajaran sufisme melalui kitab-kitab Syaikh Ibrahim Arki, Syaikh Sbti, Syaikh Muhyiddin Ibn
‘Arabi, Syaikh Abu Yazid Bustomi, Syaikh Rudadi, dan Syaikh Samangun Asarani.
Perkembangan Tarekat Syattariyah dan Akmaliyah, sering pula dinisbatkan pada ajaran-ajaran
WaliSongo, khususnya Syarif Hidayatullah, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan Syekh Siti Jenar.

Dalam Serat Kanda, seperti dikutip Muljana, terdapat berita bahwa Sunan Cirebon ikut
serta membangun masjid Demak sebagai salah satu di antara Sembilan wali. Keterlibatan Syarif
Hidayatullah dengan kerajaan Islam di Demak, disebutkan pula dalam Naskah Mertasinga.
Sekurangnya terdapat beberapa peristiwa besar di Demak, antara lain rapat Walisongo pernah
dipindah dari Demak ke Cirebon untuk membicarakan banyak hal di Jawa. Bukti kedekatan
pengaruh juga ditunjukkan dengan pola pernikahan putra putrinya. Begitu pula dengan
keterlibatannya dengan kerajaan Islam di Banten. Menurut sumber lain, Syarif Hidayatullah juga
ikut dalam perjuangan Islam di Jayakarta melalui utusannya Fatahillah.

1.4. PENINGGALAN SUNAN GUNUNG JATI

3
A. KRATON PAKUNGWATI ( KASEPUHAN )

Gambar 2. Simbol Kraton Kasepuhan


Keraton Kasepuhan adalah keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Makna di
setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini
dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo di dalamnya. Keraton Kasepuhan adalah
kerajaan islam tempat para pendiri cirebon bertahta, disinilah pusat pemerintahan Kasultanan
Cirebon berdiri. Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan
lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yaitu kereta Singa Barong yang merupakan kereta
kencana Sunan Gunung Jati. Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang
berwarna putih. Di dalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.1
Keraton Kasepuhan berisi dua kompleks bangunan bersejarah yaitu Dalem Agung
Pakungwati yang didirikan pada tahun 1430 oleh Pangeran Cakrabuana dan kompleks keraton
Pakungwati (sekarang disebut keraton Kasepuhan) yang didirikan oleh Pangeran Mas Zainul
Arifin pada tahun 1529 M. Pangeran Cakrabuana bersemayam di Dalem Agung Pakungwati,
Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama 'Keraton Pakungwati. Sebutan Pakungwati
berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan
Sunan Gunung Jati.

B. SANGKALA BUANA (ALUN-ALUN)

Gambar 3. Alun-Alun Utara Keraton Kasepuhan


Nama Alun-alun Utara Keraton Kasepuhan dulunya adalah Alun-alun Utara Sangkala
Buana Keraton Kasepuhan, yang lazim digunakan sebagai tempat latihan keprajuritan tiap hari
Sabtu sehingga disebut Saptonan, serta sebagai tempat pelaksanaan hukuman terhadap rakyat
yang bersalah, seperti hukum cambuk. Kini, Alun-alun Utara Keraton Kasepuhan baru terlihat
hidup jika sedang berlangsung kegiatan tradisi tahunan Cirebon pada hari-hari tertentu, serta
acara-acara festival seni budaya, seperti misalnya Grebeg Maulud dan Festival Seni Pesisir
Utara.

C. MASJID AGUNG SANG CIPTA RASA

1 Jumanah,” Makalah Sunan Gunung Jati ”, diakses dari http://dhenockifah.blogspot.com/2018/01/makalah-sunan-


gunung-jati.html, pada tanggal 09 Nopember 2019 pukul 20.10.

4
Gambar 4.Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Sunan Gunung Jati juga meninggalkan tempat ibadah, yaitu Masjid. Masjid peninggalan
ini di beri nama Masjid Agung Cirebon atau Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Pada mulanya,
masjid tersebut disebut Masjid Pakungwati. Disebut demikian karena letaknya berdekatan
dengan Keraton Pakungwati, yaitu di sisi barat Alun-alun Keraton Kasepuhan atau Kerang
Pakungwati. Setelah berganti Kasepuhan, masjid ini kemudian dikenal dengan nama Masjid
Agung Kasepuhan.1
Masjid Agung Kasepuhan tergolong masjid tertua di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan
dalam sejarah lokal masjid ini dijadikan tempat pertemuan Wali Sanga. Sebetulnya, masjid
tersebut didirikan oleh Wali Sanga, yaitu atas prakarsa Sunan Gunung Jati. Berdasarkan sebuah
litaratur, masjid ini didirikan pada tahun 1422 S atau 1500 M, dengan candrasengkala “Waspada
Panembehe Yuganing Ratu”, yang bermakna angka waspada = 2, Panembehe = 2, yuga = 4, dan
ratu = 1. Jadi, jika dibaca dari belakang, makan hasilnya 1422. Ini merupakan tahun saka, yang
sama dengan tahun 1500 M.
Masjid Agung Kasepuhan memiliki beberapa tiang utama yang disebut Sokoguru, yang
salah satunya terbuat dari potongan-potongan sisa kayu yang disebut Sokotatal. Masjid ini juga
mempunyai sembilan pintu masuk. Hal ini sebagai perwujudan dari Wali Sanga, pada bagian
mihrab, terdapat suatu ukiran bunga teratai yang menempel persis di tempat berdiri iman. Ukiran
itu dibuat oleh Sunan Gunung Jati yang melambangkan hayyun bila ruhin (hidup tanpa ruh). Di
depan tempat imam, terdapat tiga buah ubin yang diberi tanda khusus, yang berarti symbol ajaran
Islam, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.
Masjid Agung Kasepuhan dapat dikatakan unik karena atapnya adalah limasan tiga
tumpuk dan berbentuk persegi panjang. Dikisahkan, dahulu masjid ini beratap tajug tumpag tiga,
seperti Masjid Demak. Pada suatu hari, datang Menjangan Wulung, seorang ahli ilmu hitam,
bersembunyi di memolo Masjid, dan menyebarkan racun yang membuat banyak orang di dalam
masjid meninggal. Menjangan Wulung berhasil dikalahkan setelah dikumandangkan adzan oleh
7 orang. Pada saat iti juga, ia hancur, sedangkan memolo masjid terlempar ke Banten. Dan, sejak
saat, atas nasehat Sultan Kalijaga, atap masjid diganti limasan.
Masjid Agung Kasepuhan dikelilingi tembok yang berhias. Pada pagar ini, sudah
terdapat bangunan tambahan. Di pagar tersebut, terdapat enam pintu yaitu tiga pintu di sebelah
timur, satu di utara, dan dua lagi di barat dengan bentuk gapura padukarsa.

D. TAJUG PEJLAGRAHAN
Masjid tertua di Cirebon itu memiliki nama Masjid Pejlagrahan dulu disebutnya tajug,
karena kecil. Lokasinya tak jauh dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa, yakni di Kelurahan
Kasepuhan, Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Jawa Barat. Luas Masjid Pejlagrahan ini memang
tidak lebih luas dari masjid tertua lainnya di Cirebon. Ruang utamanya hanya memiliki luas 8x6
meter. Namun, Masjid Pejlagrahan hingga kini masih digunakan sebagai tempat beribadah.
Pembangunan Masjid Pejlgrahan sekitar 100 tahun sebelum berdirinya Masjid Agung Sang Cipta
Rasa.

E. BIDANG PLANOLOGI (TATA KOTA)


Susunan pusat ibu kota Kerajaan Cirebon merupakan perubahan awal dari karakteristik
kota di Indonesia yang bercorak Islam yang terdiri dari unsur arsitektur masjid, istana, pasar,
tembok pertahan alun-alun, bangunan audiensi dan pelabuhan.2

1 Jumanah,” Makalah Sunan Gunung Jati ”, diakses dari http://dhenockifah.blogspot.com/2018/01/makalah-sunan-


gunung-jati.html, pada tanggal 09 Nopember 2019 pukul 20.10.
2 Jumanah,” Makalah Sunan Gunung Jati ”, diakses dari http://dhenockifah.blogspot.com/2018/01/makalah-sunan-
gunung-jati.html, pada tanggal 09 Nopember 2019 pukul 20.10.

5
F. KERATON SITI INGGIL
Memasuki jalan kompleks Keraton Kasepuhan di sebelah kiri terdapat bangunan yang
cukup tinggi dengan tembok bata kokoh di sekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau
dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan
namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman
Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). 1
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai.
Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil
memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara
bernama Gapura Adi dengan ukuran 3,70 × 1,30 × 5 m sedangkan di sebelah selatan bernama
Gapura Banteng dengan ukuran 4,50 × 9 m, pada sisi sebelah timurnya terdapat bentuk banteng.
Pada bagian bawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata
Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451. Saka yang merupakan tahun pembuatannya
(1451 saka = 1529 M). 1
Tembok bagian utara kompleks Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah
pernah mengalami pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat piring-
piring dan porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan
1745 M. Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama
dan fungsi tersendiri.1

 Mande Malang Semirang, bangunan utama yang terletak di tengah dengan jumlah tiang
utama 6 buah yang melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya
berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini merupakan
tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman. 1

 Mande Pendawa Lima, bangunan di sebelah kiri bangunan utama dengan jumlah tiang
penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan ini tempat para pengawal
pribadi sultan. 1

 Mande Semar Tinandu, bangunan di sebelah kanan bangunan utama dengan 2 buah tiang
yang melambangkan sua kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat
Sultan/Penghulu. 1

 Mande Pengiring, bangunan di belakang bangunan utama yang merupakan tempat para
pengiring Sultan. 1
 Mande Karasemen, bangunan disebelah mande pangiring, tempat ini merupakan tempat
pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih digunakan untuk
membunyikan gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam
setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. 1
Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu batu yang berasal dari
budaya Hindu bernama Lingga Yoni yang merupakan lambang dari kesuburan (Lingga berarti
laki-laki dan Yoni berarti perempuan) dan bangunan Pengada yang berada tepat di depan
gerbang Pengada dengan ukuran 17 × 9,5 m yang berfungsi sebagai tempat membagikan berkat
dan tempat pemeriksaan sebelum menghadap raja dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti
Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.1

1 Jumanah,” Makalah Sunan Gunung Jati ”, diakses dari http://dhenockifah.blogspot.com/2018/01/makalah-sunan-


gunung-jati.html, pada tanggal 09 Nopember 2019 pukul 20.10.

6
G. JEMBATAN KRETEG PENGRAWIT
Jembatan ini di atas saluran air yang bernama Sepadu, yang merupakan batas antara
masyarakat umum dengan penghuni Keraton. Jembatan tersebut memiliki makna, yaitu orang
yang masuk ke Keraton harus mempunyai tujuan yang baik, sebagaimana yang dimaksud
dengan Pengrawit yang dalam bahasa Jawa berarti lembut dan penuh perasaan.1

H. PANCA RATNA
Panca Ratna yang berarti jalan kesenangan. Panca Ratna memiliki fungsi sebagai tempat
seba pejabat desa atau kampung kepada Sultan. 1

I. PANCA NITI
Panca Niti yang terletak di samping kiri dan kanan menuju Jembatan Pengrawit, dan
berada di depan alun-alun. Panca Niti mempunyai arti jalan atau tempat Raja atu pejabat
Keraton. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat beristirahat pejabat Keraton. 1

BAB II

PENUTUP

3.1.KESIMPULAN

7
Sebagai sosok historis, intelektual, dan muballigh yang lebih memilih dakwah syiar Islam
bagi masyarakatnya, daripada sebagai penguasa formal birokratis di kesultanan Cirebon, Syarif
Hidayatullah telah menanamkan suatu peradaban moral dan teologis bagi muslim Indonesia
terutama di Cirebon. Karena itu, bukti kejayaannya dapat ditemukan melalui bangunan tajug atau
masjid dengan keragaman seni dan filosofinya. Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Masjid
Merah Panjunan, barangkali diantara bukti peradaban muslim klasik Indonesia dari Syarif
Hidayatullah selama kurun 1479-1568 di Cirebon.

Pengaruh Syarif Hidayatullah terhadap perkembangan Islam di Jawa sangat besar


sekali. Adanya kerajaan Islam di Demak dan Banten merupakan beberapa contohnya. Tak kalah
pentingnya lagi kontribusi Syarif Hidayatullah pada perkembangan Islam di Jawa Barat dengan
cara dakwah dengan damai, mulai dari Kuningan, Indramayu, Majalengka, Cianjur, Garut,
Ciamis, Sumedang, bahkan Jayakarta (Betawi).

3.2.SARAN

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.

DAFTAR PUSAKA

8
Jumanah. 2017. Makalah Sunan Gunung Jati. di
http://dhenockifah.blogspot.com/2018/01/makalah-sunan-gunung-jati.html (diakses 09
Nopember ).

Anda mungkin juga menyukai