Anda di halaman 1dari 16

Modul Pembelajaran PJJ PAI FITK

IAIN Syekh Nurjati Cirebon

CIREBON STUDIES

Pertemuan ke-2

Kegiatan Belajar 2

A. Deskripsi Singkat
Cirebon Studies merupakan mata kuliah yang di dalamnya membahas tentang sejarah
kebudayaan Cirebon sebagai kebudayaan Islam Nusantara yang berelasi dengan anasir-
anasir kebudayaan lainnya sehingga membentuk wujud kebudayaan Cirebon yang
unik.
B. Relevansi
Mata kuliah Cirebon Studies yang membahas perwujudan kebudayaan Islam
Nusantara berhubungan dengan model-model reseptif Al-Qur’an dan Hadis dalam
berbagai dimensi kebudayaan. Mahasiswa dihadapkan dengan fenomena kebudayaan
Islam Nusantara dan dituntut untuk menggunakan disiplin-disiplin Ilmu Keagamaan
substantif untuk dapat memahami (verstehen) fenomena kebudayaan yang dibahas
dalam mata kuliah ini.
C. Capaian Pembelajaran MK
1. Mahasiswa mampu memahami peran tokoh-tokoh perintis dakwah Islam di
Cirebon;
2. Mahasiswa mampu memahami asal-usul lahirnyanya Cirebon;
3. Mahasiswa memahami proses perintisan Kerajaan Islam di Cirebon.

1. Uraian Materi

BAGIAN KEDUA
a. Syekh Nurjati & Pesantren Amparan Jati
Pelabuhan Muara Jati semakin hari semakin ramai dikunjungi oleh berbagai
saudagar mancanegara. Inilah kemudian Pelabuhan Muara Jati menjadi satu titik penting
jalur perdagangan dunia yang disebut sebagai Bandar Jalur Sutera (Silk Road), bandar
perdagangan dunia. Pelabuhan ini berada dalam kekuasaan Keratuan Singapura yang
dipimpin oleh Ki Gedeng Tapa (Ki Jumajanjati).
Pada tahun 1420 M Syekh Datul Kahfi singgah di Muara Jati bertolak dari
Bagdad untuk tujuan mengembangkan syiar Islam dan diterima oleh penguasa Muara
Jati, Ki Gedeng Tapa, dan diizinkan untuk bermukim di sebuah bukit kecil yang
bernama Amparan Jati di daerah Pasambangan. Dalam Kitab Carita Purwaka Caruban
Nagari (CPKN) tulisan Pangeran Arya Carbon 1720 M, disebutkan bahwa Syekh Datul
Kahfi adalah berasal dari Parsi, datang ke Amaparan Jati bersama 22 orang pengikutnya
untuk menyebarkan agama Islam(Atja, 1986: 31). Beberapa pengikut Syekh Datul Kahfi
adalah: Syekh Arifin (Ki Serpin) di Mertapada; Syekh Mudarim (Ki Lobama) di Mundu;
Pangeran Karangkendal di Karangkendal; Syekh Nuryaman di Gumulung; Syekh
Akhmad Badami di Buntet; Syekh Abdullah di Buntet; Syekh Abdul Yamin di Gunung
Kromong; Syekh Juned; Syekh Bayanullah; Nyai Sembung dan Nyai Kalisapu (A.
Suriamihardja, 2005).

Gambar : Situs Lawang Gede Keratuan Singapura

Rombongan lain yang juga menyebarkan agama Islam adalah rombongan


empat bersaudara dari Bagdad, yaitu: Syekh Abdurrahman, Syekh Abdurrahim, Syarifah
Bagdad, dan Maulana Khafid. Syekh Abdurrohman kemudian dikenal dengan Pangeran
Panjunan dan Syekh Abdurrahim dikenal dengan Pangeran Kejaksan. Penyebar Islam
lainnya adalah seorang ilama dari Campa, Syekh Hasanuddin putera Syekh Yusuf Shidik
yang kemudian mendirikan Pondok Pesantren Quro di Karawang—oleh karena itu
dikenal dengan sebutan Syekh Quro (A. Suriamihardja, 2005).

Gambar : Peziarah ke Makam Syekh Dahtul Kahfi


https://images.search.yahoo.com/search/images

Syekh Datul Kahfi merintis syiar Islam dengan mendirikan sebuah pengguron
Islam (cikal bakal Pesantren di Cirebon) dan dikenal dengan nama Maulana Idhofi
Mahdi dan kemudian dikenal dengan sebutan Syekh Nurjati (belakangan kemudian
dimuliakan Namanya menjadi nama perguruan tinggi Islam di Cirebon—IAIN Syekh
Nurjati). Dengan demikian Syekh Datul Kahfi adalah perintis pertama syiar Islam di
Pasambangan Keratuan Singapura. Ulama ini sebenarnya lahir di Semenanjung
Malaka, putera seorang ulama besar bernama Syekh Datuk Ahmad yang dalam
pengembaraannya berguru agama Islam di Mekkah, lalu menikah dengan Syarifah
Halimah (puteri dari Ali Nurul Alim bin Jamaludin al Husain dari Kamboja) dari
Bagdad. Syekh Datuk Khafi (Syekh Dzat al-Khafi) adalah dari Bagdad imigran Arab
bersama rombongan yang dipimpin oleh Maulana Abdul Rahman yang kemudian
dikenal dengan Pangeran Panjunan, sementara Syekh Datuk Khafi menetap di
Amparan Jati dengan sebutan Syekh Nurjati (Ali, 2015). Ulama ini berhasil
mengislamkan Raden Walangsungsang dan Rarasantang putera puteri Pajajaran, bahkan
dalam pandangan Agus Sunyoto, ia juga merupakan guru dari Abdul Jalal (Syekh Siti
Jenar), termasuk juga guru bagi Sunan Gunungjati (Ali, 2015).
Dalam tradisi lisan dan babad Cirebon, setelah bermukim dan menyebarkan
Islam, Syekh Datuk Kahfi kemudian menikah dengan Hadijah, cucu dari Haji Purwa
Galuh (Raden Bratalegawa, haji pertama dari Kerajaan Galuh). Ia kemudian
mendirikan Pondok Pesantren Pesambangan Jati (Farihin et al., 2019), pesantren tertua
kedua di Jawa Barat setelah Pondok Pesantren Quro yang didirikan oleh Syekh Quro
atau Syekh Hasanudin, saudara sepupu dari Syarifah Halimah. Syekh Quro
sebenarnya datang pertama kali ke Pasambangan bersama rombongan Cheng Ho pada
tahun 1416 M, dan akhirnya memilih menetap di Karawang dengan mendirikan pondok
pesantren Quro (Fatimah, 2009). Pasambangan Jati atau Amaparan Jati dengan demikian
bukan hanya sebagai pusat perdagangan yang dipicu oleh Bandar Muara Jati yang
dikelola oleh Ki Gedeng Tapa sebagai Juru Labuhan, akan tetapi juga dengan dakwah
oleh Syekh Nurjati, maka Amparan Jati juga sebagai pusat Pendidikan Islam. Dalam
Carita Purwaka Caruban Nagari diberitakan bahwa: Kala Samana Sinuka Sembung
lawan ngamparan jati huwus mangadeg lawas. Pasambangan Dukuh wastanya
//pratidina janmapadha ikang doh-tinuku samya atekeng engke / i sedheng parireran
kang prahwa muhara jati dumudi akrak / mapan ri nanawidha kang palwa nintyasa
mandeg enkene // pantura ning yata sakeng cina nagari / nyarab / parsi / indiya/ Malaka
/ tumasik / pase(h) / jawa wetan Madura lawan Palembang /(Subarman, 2014).
Sembung dan Amparan Jati telah lama berdiri. Wilayah itu Bernama Pasambangan yang
ramai didatangi para pedagang dari Cina, Arab, Parsi, India, Malaka, Tumasik, paseh,
Jawa Timur, Madura dan Palembang.

b. Pangeran Walangsungsang dan Lahirnya Cirebon

“Penamaan “Cirebon” sendiri adalah sebagai salah satu penanda dan pembeda dari
keyakinan para leluhurnya yang masih belum masuk Islam pada abad ke-14/15. Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati hanyalah pewaris dan penerus dari para tokoh
sebelumnya, seperti Walangsungsang, yang dikenal dengan Pangeran Cakrabuana
atau Samadullah atau Haji Abdullah Iman, atau Mbah Kuwu Cirebon. Sebelumnya
juga sudah ada Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati, Syekh Qura, dan Syekh
Magribi. Karenanya dari sisi penamaannya saja telah ada titik temu, bahwa asal usul
Cirebon tidak lepas dari kontribusi keilmuan Syekh Nurjati, yang saat ini menjadi
nama Institut Agama Islam Negeri di Cirebon” (Mahrus, 2016).

Tersebutlah Pangeran Walangsungsang, putera Prabu Siliwangi, dari Sang


Ibunda Nyi Mas Ratu Subangkrancang –puteri Ki Gedeng Tapa Sang penguasa
Keratuan Singapura, memperoleh hidayah cahaya Islam dari mimpi-mimpinya bertemu
dengan Rasulullah Muhammad SAW. Dalam Kitab Carita Purwaka Caruban Nagari
(CPCN) motivasi ekstrinsik Walangsungsang meninggalkan Keraton Pajajaran untuk
menekuni Islam adalah karena setelah sepeninggal ibunda Nyai Subang Larang pada
tahun 1441, ia kurang mendapatkan perlakuan yang layak dari saudara-saudara lain ibu
(Atja, 1986:32).
Putera Prabu Pajajaran itu, Pangeran Walangsungsang (Kakak dari Nyi Mas
Ratu Rara Santang dan Raden Kian Santang) yang dalam pengembaraannya mencari
guru agama Islam, keluar dari Keraton Pajajaran. Dalam perjalanannya sampailah ia di
pertapaan Gunung Kumbang (Bumiayu) milik Ki Gedeng Danuwarsih, seorang
pendeta Budhaprawa (Siwa-Buddha), putera dari Ki Gedeng Danusetra (Pendeta
agung di Gunung Dieng). Adik Ki Gedeng Danuwarsih adalah Ki Danusela, menikah
dengan Nyai Arumsari puteri Ki Gedeng Kasmaya, penguasa Caruban Girang.
Pertemuannya dengan Ki Gedeng Danuwarsih ternyata Pangeran Walangsungsang
tidak bertemu dengan agama Islam karena memang Ki Gedeng Danuwarsih adalah
pendeta Buddha prawa, akan tetapi ia dinikahkan dengan Nyai Indang Geulis (Atja,
1986; Prawiraredja, 2005). Setelah pernikahan itu kemudian Raden Walangsungsang
dipertemukan dengan adiknya, Nyai Larasantang, yang juga keluar dari Keraton
Pajajaran menyusul Sang kakak yang sedang mencari agama Islam.
Dari mertuanya, Ki Gedeng Danuwarsi, dalam babad Cirebon yang ditulis H.
Mahmud Rais, Buntet, Raden Walangsungsang dianugerahi beberapa pusaka, yaitu: 1)
Batu cicin Ampal yang khasiatnya dapat mengetahui hal yang ghaib dan merawat
barang apapun dengan selamat; 2) Baju Kamimajan yang Ketika dikenakan makai a
tidak akan terlihat oleh siapapun dan dapat menggagalkan niat jahat orang lain; 3) Baju
Pangabaran yang khasiatnya untuk menundukkan musuh baik bangsa jin maupun
syetan; dan 4) Baju Pangasihan. Selanjutnya ia diperintahkan untuk menemui Sang
Hyang Nago di Gunung Ciangkup guna mencari informasi tentang keberadaan ajaran
Islam. Namun Sang Hyang Nago pun tidak mampu memberikan keterangan dan hanya
memberikan bekal berupa pusaka: Ilmu Kadewan (ilmu keteguhan beragama), Ilmu
Kapilisan (agar disegani dan dikasihi lawan), Ilmu Pangirutan (untuk mempengaruhi
makhluk lain), dan Golok Cabang yang sangat bertuah. Walangsungsang pun kemudian
diberi petunjuk untuk menemui Sang Hyang Naga di Gunung Kumbang. Akan tetapi
Sang Hyang Naga pun tidak mampu memberikan penjelasan apapun tentang Islam. Ia
hanya memberi bekal Walangsungsang Bersama istrinya Nyai Indang Geulis dan
adiknya, Nyai Rarasantang beberapa pusaka seperti: Ilmu kesaktian, Ilmu Aji Titimurti,
Ilmu Limunan, dan Aji Dwipa. Di samping itu Sang Hyang Naga juga memberikan
Baju Waring, Topong (peci) Waring dan Batok Bolu. Setelah itu ia disarankan untuk
menemui Ratu Bangau di Gunung Cangak (Mundu), agar dikalahkan, karena dialah
yang mampu memberikan petunjuk di mana ajaran Islam itu diperoleh Walangsungsang.
Setelah tiba di Gunung Cangak Raden Walangsungsang berusaha menemui Ratu
Bangau dan menangkapnya. Darinya ia memperoleh informasi tentang keberadaan
agama Islam di Amparanjati, bahkan ia pun memperoleh bekal dari Ratu Bangau berupa
azimat Panjang (tabsyi), Pendil Sewu, dan Bareng. Mereka bertiga kemudian menemui
Syekh Datuk Kahfi di Amparanjati sesuai petunjuk Ratu Bangau dari Gunung Cangak
(H. Mahmud Rais, 1957: 19-24).
Dikisahkan bahwa Pangeran Walangsungsang beserta istrinya Nyai Indang
Geulis dan adiknya, Nyai Lara Santang telah bertemu dan diterima Syekh Datuk Kahfi
untuk berguru agama Islam (Suteja, 2022). Setelah menyerap Ilmu-ilmu keislaman dari
Syekh Nurjati selama kurang lebih tiga tahun lamanya dan dipandang cukup,
Walangsungsang kemudian diperintahkan untuk membuka wilayah Kebon Pesisir yang
saat itu masih berupa tegalan ilalang, sebuah tempat yang sekarang bertepatan dengan
daerah Lemah Wungkuk (Atja, 1986; Prawiraredja, 2005). Sebenarnya di Kebon Pesisir
saat itu sudah dihuni beberapa orang, yaitu: Ki Danusela, Ki Gedeng Alang-Alang
beserta istrinya, Nyai Arumsari, Ki Sarnawi beserta istrinya (T.D. Sudjana (alih aksara),
1987). Perintah itu dilaksanakan dan momentum peristiwa itu terjadi pada tanggal satu
Syura atau satu Muharam 1375 Saka (1445 Masehi) (Hermana Hermana, 2011;
Irianto, 2012; Sundari, 2011; A. Suriamihardja, 2005). Versi lain menyebut pada hari
Jumat Kliwon tanggal 14 Kresna Paksa Cetra Masa 1367 Saka (1445 M)(H. S. A.
Suriamihardja, 2005: 15). Peristiwa ini kemudian sekarang ditetapkan dan diperingati
oleh Pemerintah Kota Cirebon sebagai Hari Jadi Kota Cirebon. Bangunan pertama
semacam cungkub yang dibangun Pangeran Walangsungsang di Kebon Pesisir
kemudian disebut bangunan Witana (wiwit ana=awal keberadaan) yang sekarang
terletak di sebelah Timur Keraton Kanoman Cirebon (Sulendraningrat, 1975:17). Ki
Somadullah adalah nama yang dianugerahkan Syekh Dahtul Kahfi kepada Pangeran
Walangsungsang Ketika membuka Kebon Pesisir. Ia pun kemudian mendirikan tajug
Jalagrahan (Atja, 1986:33). Jalagrahan atau Pejalagrahan merupakan masjid pertama
yang dibangun di Cirebon pada tahun 1450 M(Zulfah, 2018).
Wilayah Kebon Pesisir yang telah dibuka Pangeran Walangsungsang kemudian
ramai didatangi oleh beberapa pendatang (suku bangsa, etnis, dan negara lain) dari
berbagai wilayah. Oleh karena itu wilayah tersebut kemudian dikenal sebagai
sarumban yang artinya campuran (dari berbagai suku bangsa dan berbagai etnis).
Daerah yang semula bernama Tegal Alang-alang itu kemudian oleh Raden
Walangsungsang diubah namanya menjadi Caruban. Penyebutan Caruban untuk
Cirebon sebagaimana pada kitab Purwaka Caruban Nagari ( 1720) karya Pangeran
Arya Carbon pada mulanya berasal dari kata sarumban yang artinya campuran bahwa
, “ ……ri witan ingkang ngaran Caruban yeka sarumban, I wekasan ika mangko
Caruban tumuli, ana pwa ike nagari dening sang Kamastwing kang sangan…” (Pada
mulanya yang bernama Caruban yaitu Sarumban, akhirnya nanti menjadi Caruban,
adalah suatu negeri dengan wali yang sembilan). Dalam teks tersebut di atas jelas
termaktub, bahwa nama Caruban pada dasarnya adalah sarumban atau campuran—
campuran beberapa etnis dan budaya. Wilayah Caruban adalah wilayah yang dibentuk
oleh beberapa etnis yang terus berinteraksi, bersulam, berakulturasi. Seperti hanya
menurut Sunardjo (1996) dan Sutadji (2003), pada mulanya Cirebon merupakan sebuah
wilayah kecil saja di tepi pantai, yakni sebagai tempat persinggahan para nelayan yang
ramai dikunjungi para pedagang dari luar negeri, seperti pedagang Cina, India, Arab,
Inggris, Portugus, dan lain-lain. Laut Cirebon pada saat itu dikenal sebagai penghasil
udang kecil yang disebut rebon yang diolah menjadi petis dan terasi sebagai komoditi
unggulan dari wilayah muara Cirebon. Dari kata air rebon itulah kemudian
memunculkan istilah Cirebon. Secara etimologis “Ci” berarti air dan “rebon” adalah
udang kecil, dengan demikian Cirebon berarti air rebon, artinya sebuah wilayah yang
merupakan penghasil air rebon (petis dan terasi).
Istilah Cai-rebon dari kata Cai (Sunda=air) dan rebon (nama anak udang),
dengan demikian sebutan Cairebon secara leksikal berarti air yang berasal dari olahan
udang dalam proses pembuatan komoditi makanan berupa petis dan terasi sebagai
komoditi unggul yang sangat diminati. Dari keunggulan lokal itulah kemudian daerah
baru yang dibuka oleh Pangeran Walangsungsang itu akhirnya dikenal dengan sebutan
Cirebon. Penamaan suatu wilayah dengan sebutan awal “Ci” ini tampaknya adalah
sebuah kelaziman yang terjadi di tatar Sunda, sebagaimana Cirebon yang juga
memperoleh akulturasi dari budaya Sunda. Nama Sarumban sebagai pengakuan atas
multikultural yang membentuk wilayah baru itu kemudian dikenal dengan sebutan
Cirebon.
Historiografi dan sumber-sumber Barat, seperti halnya yang sangat
monumental yakni catatan-catatan perjalanan Tome Pires (Portugis) dalam Suma
Oriental menyebut Cirebon dengan Chorobon. Dalam catatannya, Pires menyebut
bahwa Chorobon adalah sebuah pelabuhan yang indah dan ramai dikujungi kapal-kapal
saudagar besar. Tome Pires pun menyebutkan bahwa pada masa itu Chorobon adalah
sebuah sentra perdagangan yang merupakan bagian dari wilayah kerajaan Sunda
(Sundari, 2011:19). Dalam catatan Tome Pires, Cirebon adalah salah satu kota
pelabuhan dengan perdagangan, sebuah kosmopolitisme yang di dalamnya ramai
dengan pedagang asing tanpa kendala perbedaan agama, seperti dari Gujarat, Bengali,
Tamil, Pegu, Siam, Habsyi, Armenia bergabung dengan orang Melayu, Jawa, Bugis, dan
para pedagang lainnya (Denys Lombard, 1996:7). Sumber manuskrip Cina, Shun-Feng
Hsiang-Sung, yang sekarang tersimpan di Bodleian Library, menyebutkan Cirebon
(Che-Li-Wen) sebagai salah satu titik persinggahan dari instruksi jalur pelayaran dari
Wan-Tan (Banten), melewati Chia-Liu-Pa (Sunda Kelapa) dan Chiao-Chiang-Wan
(Tanjung Indramayu) (Irianto, 2012: 2) Sementara sumber-sumber dari Historiografi
Belanda menyebut beberapa nama untuk Cirebon, di antaranya dengan sebutan
Charabaon (Rouffaer), Cheribon atau Tjerbon (Kern, 1957). Dari Historiografi dan
sumber-sumber lokal kita dapat menemukan penyebutan Cirebon dengan Sarumban,
Carbon, Caruban, Cerbon bahkan Grage.
Pada era pedukuhan sistem sosial di wilayah yang kemudian bernama Cirebon
itu dipimpin oleh seorang Kuwu, sebagai pemimpin wilayah yang memimpin
pedukuhan (setingkat desa) dengan penugasan dari Raja Pajajaran dengan tugas
mengendalikan dan mengawasi dinamika perdagangan di Pelabuhan Muarajati yang
dikuasai oleh Keratuan Singapura, kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaan
Pajajaran. Kuwu pertama yang diangkat oleh Pajajaran di wilayah yang sekarang dikenal
dengan sebutan Cirebon adalah Ki Danu Sela yang dalam tradisi lisan daerah setempat
dikenal juga dengan sebutan Ki Gede Alang-Alang (Jaelani, 2016).

c. Haji Abdullah Iman Dan Syarifah Muda’im


Setelah membuka Kebon Pesisir dan berhasil menjadi sebuah wilayah yang
ramai didatangi berbagai etnis dan suku bangsa untuk menetap di wilayah yang
kemudian dikenal dengan sebutan Cirebon, Pangeran Walangsungsang kemudian
diperintahkan oleh gurunya, Syekh Nurjati, untuk menyempurnakan syariat Islam dan
menunaikan ibadah haji bersama dengan adiknya tercinta, Nyi Mas Ratu Rarasantang,
sedangkan istrinya yang bernama Nyi Indang Geulis tidak turut karena sedang hamil
tua. Di tanah suci Nyai Rara Santang kemudian mendapat jodoh dengan Maulana
Sultan Makhmud yang bernama Syarif Abdullah, keturunan Bani Hasyim dan oleh
karena itu kemudian Nyai Rara Santang pun bergelar Hajjah Syarifah Mudaim dan
bermukim di Mesir. Dalam naskah Sajarah Wali naskah Mertasinga alih aksara Amman
N. Wahyu disebutkan bahwa sultan keturunan Bani Israil itu bernama Sultan Hud yang
menikahi Dewi Rara Santang dengan perjanjian kelak ketika buah perkawinan itu lahir
seorang putera, maka akan diizinkan untuk kembali ke Pajajaran guna menyebarkan
agama Islam (Wahju, 2005: 9). Dari perkawinan itu kemudian pada tahun 1370 Saka
(1448 M) lahirlah Syarif Hidayatullah dan disusul adiknya yang bernama Syarif
Nurullah (Irianto, 2012: 2). Dari Babad Cerbon seperti dikutip dalam Muhaimin (2001)
yang berjodoh dengan Nyai Mas Rara Santang adalah Maulana Mashuda penguasa bani
Israil (Mesir). Sementara itu Ki Somadullah atau Cakrabumi bergelar Ki Haji Abdullah
Iman. Selama berhaji ia juga berguru agama Islam kepada Syekh Abudulyazid (Atja,
1986:34).
Setelah selesai menunaikan ibadah haji selama tiga bulan lamanya, adiknya,
Syarifah Mudaim lebih memilih untuk tinggal di Mesir, Ki Haji Abdullah Iman memilih
kembali ke Caruban untuk mengembangkan syiar Islam di tanah leluhurnya. Dalam
perjalanan pulangnya ke Tanah Jawa, Haji Abdullah Iman sempat singgah di Campa dan
berguru Islam kepada Maula Ibrahim Akbar atau Maula Jatiswara dan dinikahkan
dengan puteri Sang Guru, Nyai Retna Rasajati, yang kelak akan melahirkan Nyai Lara
Sejati, Nyai Jatimerta, Nyai Jamaras, Nyai Mertasinga, Nyai Cempa, Nyai Lara
Malasih dan Nyai Laras Konda (Atja, 1986).
Nyai Indang Geulis, istri pertama Haji Abdullah Iman tak berapa lama
kemudian melahirkan puteri pertamanya dan dianugerahi sebuah nama indah, Nyai
Pakungwati. Nama Pakungwati karena kecintaannya kepada puterinya itu kelak akan
diabadikan untuk nama keratuan yang dibangun Haji Abdullah Iman. Dalam perjalanan
dakwah Islamnya, Haji Abdullah Iman juga dinikahkan dengan puteri Ki Kuwu Caruban
pertama, Ki Gedeng Alang-Alang, yang Bernama Nyai Retna Riris atau Nyai
Kencana Larang. Dari perkawinan ini lahirlah Pangeran Caruban yang memilih
menetap di Caruban Girang dan akhirnya menikah dengan Nyai Cupluk, puteri dari Ki
Gedeng Trusmi hingga berputera Bung Cikal atau kemudian dikenal dengan sebutan
Pangeran Mangganajati (Atja, 1986).
Tidak berapa lama setelah ia sampai di Cirebon kemudian Ki Gede Alang-
Alang (Ki Danusela) sebagai Ki Kuwu Caruban I itu wafat. Haji Abdullah Iman
kemudian diangkat menjadi Kuwu Caruban II dengan gelar Pangeran Cakrabuana
(Hardjasaputra, 2011) . Perannya sebagai Kuwu Caruban II yang terus mengembangkan
syiar Islam ke seluruh peloksok kemudian membuatnya lebih dikenal dengan sebutan
Mbah Kuwu Cerbon/Ki Kuwu Sangkan.
d. Berdirinya Keratuan Pakungwati

Setelah di Keratuan Singapura terjadi peristiwa wafatnya Ki Gedeng Jumajan


Jati (Ki Ageng Tapa, ayah dari Nyai Subang Larang), penguasa Keratuan Singapura,
yang tidak lain adalah kakek dari Pangeran Cakrabuwana sendiri, tidak berapa lama ia
dinobatkan sebagai Ki Kuwu Caruban II. Praktis setelah peristiwa itu penguasaan
Pelabuhan Muarajati dan Keratuan Singapura ada di tampuk kekuasaan Haji Abdullah
Iman/Pangeran Walangsungsang yang diberi gelar Pangeran Cakrabuana. Pangeran
Cakrabuana menjabat sebagai Kuwu Caruban selama lebih kurang 32 tahun (1447-1479
M). Tiga tahun setelah ia diangkat sebagai Kuwu ke dua, tahun 1450 M, Pangeran
Cakrabuana mendirikan tajug (masjid kecil) Jalagrahan atau Pejalagrahan sebagai
sarana untuk mengajarkan Islam kepada penduduk. Tak berapa lama, sekitar tahun
1453, Pangeran Panjunan (Syekh Abdurrohman) mendirikan masjid yang bahannya
dari konstruksi bata merah sehingga dikenal dengan Masjid Merah Panjunan.

Gambar : Reruntuhan Keraton Pakungwati


Gambar ….Masjid Merah Panjunan Cirebon
https://images.search.yahoo.com/search/images

Yang menarik dicatat adalah pilihan strategi Pangeran Cakrabuana yang tidak
melanjutkan pusat kekuasaan di Keratuan Singapura, ia lebih memilih mewarisi seluruh
kekayaan Kakeknya untuk merintis pembangunan kota dan mendirikan Keraton
Pakungwati. Oleh karena itu Pakuwuan Caruban kemudian berubah menjadi Nagari
Caruban Larang, sebuah daerah yang di bawah kekuasaan Pajajaran. Bahkan
tampaknya Pajajaran pun merestui peristiwa itu terbukti dengan dikirimkannya Ki
Jagabaya dengan enam puluh prajurit untuk mengawal pemimpin baru itu agar tetap
tunduk kepada Pajajaran. Raden Walangsungsang kemudian diangkat sebagai Adipati
Cerbon (dalam babad lain mendapat jabatan Tumenggung) oleh Raja Galuh dengan
gelar Pangeran Cakrabumi. Sebagai konsekuensinya, Adipati Cerbon itu harus
mengirimkan upeti petis dan terasi dan hasil bumi Cerbon kepada Galuh (Ambary,
1996). Meskipun demikian Nagari Caruban Larang telah menjadi pemerintahan Islam,
walaupun masih di bawah proktetorat Pajajaran yang masih menganut agama
Kesangyangan, Hindu, Budha (Subarman, 2014).
Ki Somadullah atau Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana
mendirikan Keraton Pakungwati pada tahun 1525 M (Zulfah, 2018). Sebuah nama
yang diabdikan sebagai bentuk kecintaan yang sangat besar kepada puterinya Nyi Mas
Pakungwati. Nama Pakung adalah sejenis udang, sehingga dengan sebutan Pakungwati
berarti Udang perempuan. Sesuatu yang sangat konteksktual berdasarkan makna
filosofis dan potensi unggulan local. Binatang Udang digunakan sebagai perumpamaan
yang mengambil dari karakter fisik udang yang tubuhnya terang benderang (bening)
hingga kotoran dalam tubuhnya, di punggung melengkung tubuhnya itu akan terlihat
seperti garis menghitam. Itulah kotoran udang, kotoran atau keburukan—kekurangan
dirinya, yang tidak pernah disembunyikan. Kotoran itu terlihat terang benderang yang
dalam bahasa local diselaraskan dengan seloka “Ngumpeta sira ning pepadangan”
artinya bersembunyilah di tempat yang terang benderang. Lalu adakah yang dapat
menyembunyikan kekurangan—dosa-dosa—di keterangbenderangan,
kemahamengtahui-Nya Allah? Udang memperlihatkan ajaran semacam itu yang kalau
lihat manusia acapkali justru menyembunyikan kekurangannya dengan segala polesan.
Begitu luar biasa Ki Somadullah memberikan nama kepada puteri kesayangannya yang
juga sekarang menjadi nama keraton yang didirikannya, Keraton Pakungwati.
Pangeran Cakrabuana yang mendirikan kerajaan kecil yang disebut Nagara
Gheng Pakungwati adalah tokoh perintis berdirinya Kerajaan Islam Cirebon, yang
waktu itu masih dalam kekuasaan Kerajaan Sunda di bawah pemerintahan Prabu Niskala
Wastukancana (1371-1475) (Hardjasaputra, 2011). Pangeran Cakrabuana memimpin
dengan landasan agama Islam, meskipun masih harus tunduk pada Pajajaran yang
berorientasi Hindu-Buddha, dengan tetap mengirimkan upeti. Ia pada tahun 1479 baru
menyerahkan tahta keratuan Pakungwati kepada Syarif Hidayatullah.

2. Latihan
Jawablah Latihan soal di bawah ini dengan singkat dan jelas!
a. Sebutkan siapa sajakah tokoh ulama yang merintis penyebaran Islam di Cirebon!
b. Apa jasa Syekh Datul Kahfi dalam syiar Islam di Cirebon?
c. Buatlah uraian singkat perjalanan Pangeran Walangsungsang sebelum bertemu
Syekh Nurjati!
d. Buatlah uraian singkat lahirnya penamaan Cirebon!
e. Buatlah uraian singkat bagaiman kisah setelah Pangeran Walangsungsang dan
Nyai Mas Lara Santang diperintahkan menunaikan ibadah haji!
f. Buatlah uraian singkat bagaimana setelah Haji Abdullah Iman setelah wafatnya Ki
Danusela.

3. Rangkuman
a. Pada tahun 1420 M Syekh Datul Kahfi atau Syekh Idofi Mahdi atau kemudian
dikenal dengan Syekh Nurjati datang ke Muara Jati dan diterima Ki Gedeng Tapa
sebagai penguasa Muara Jati dan ditempatkan di Pasambangan Jati Bersama 22
pengikutnya untuk menyebarkan Islam di Cirebon. Syekh Datuk Kahfi menikah
dengan Hadijah, cucu dari Haji Purwa Galuh (Raden Bratalegawa, haji pertama
dari Kerajaan Galuh). Ia kemudian mendirikan Pondok Pesantren Pesambangan
Jati, Sesungguhnya pesantren tertua kedua di Jawa Barat setelah Pondok Pesantren
Quro yang didirikan oleh Syekh Quro atau Syekh Hasanudin, saudara sepupu
dari Syarifah Halimah. Syekh Quro sebenarnya datang pertama kali ke
Pasambangan bersama rombongan Cheng Ho pada tahun 1416 M, dan akhirnya
memilih menetap di Karawang dengan mendirikan pondok pesantren Quro.
b. Putera Prabu Pajajaran itu, Pangeran Walangsungsang (Kakak dari Nyi Mas Ratu
Rara Santang dan Raden Kian Santang) yang dalam pengembaraannya mencari
guru agama Islam, keluar dari Keraton Pajajaran. Dalam perjalanannya sampailah
ia di pertapaan Gunung Kumbang (Bumiayu) milik Ki Gedeng Danuwarsih dan
dinikahkan dengan Nyai Indang Geulis, menemui Sang Hyang Nago di Gunung
Ciangkup, menemui Sang Hyang Naga di Gunung Kumbang, menemui Ratu
Bangau di Gunung Cangak, dan akhirnya Pangeran Walangsungsang beserta
istrinya Nyai Indang Geulis dan adiknya, Nyai Lara Santang bertemu dan diterima
Syekh Datuk Kahfi untuk berguru agama Islam. Walangsungsang kemudian
diperintahkan untuk membuka wilayah Kebon Pesisir terjadi pada tanggal satu
Syura atau satu Muharam 1375 Saka (1445 Masehi) yang ditetapkan dan
diperingati oleh Pemerintah Kota Cirebon sebagai Hari Jadi Kota Cirebon. ). Daerah
yang semula bernama Tegal Alang-alang itu kemudian oleh Raden
Walangsungsang diubah namanya menjadi Caruban – Cirebon yang secara
etimologis “Ci” berarti air dan “rebon” adalah udang kecil, dengan demikian
Cirebon berarti air rebon, artinya sebuah wilayah yang merupakan penghasil air
rebon (petis dan terasi).. Ia kemudian mendirikan tajug Jalagrahan (Atja,
1986:33). Jalagrahan atau Pejalagrahan merupakan masjid pertama yang dibangun
di Cirebon pada tahun 1450 M.
c. Pangeran Walangsungsang kemudian diperintahkan oleh gurunya, Syekh Nurjati,
untuk menyempurnakan syariat Islam dan menunaikan ibadah haji bersama dengan
adiknya tercinta, Nyi Mas Ratu Rarasantang. Di tanah suci Nyai Rara Santang
kemudian mendapat jodoh dengan Maulana Sultan Makhmud yang bernama
Syarif Abdullah, keturunan Bani Hasyim dan oleh karena itu kemudian Nyai Rara
Santang pun bergelar Hajjah Syarifah Mudaim dan bermukim di Mesir. Dari
perkawinan itu kemudian pada tahun 1370 Saka (1448 M) lahirlah Syarif
Hidayatullah dan disusul adiknya yang bernama Syarif Nurullah. Ki Somadullah
atau Cakrabumi bergelar Ki Haji Abdullah Iman. Selama berhaji ia juga berguru
agama Islam kepada Syekh Abudulyazid. Ki Haji Abdullah Iman memilih kembali
ke Caruban untuk mengembangkan syiar Islam di tanah leluhurnya. Dalam
perjalanan pulangnya ke Tanah Jawa. Haji Abdullah Iman sempat singgah di Campa
dan berguru Islam kepada Maula Ibrahim Akbar atau Maula Jatiswara dan
dinikahkan dengan puteri Sang Guru, Nyai Retna Rasajati, yang kelak akan
melahirkan Nyai Lara Sejati, Nyai Jatimerta, Nyai Jamaras, Nyai Mertasinga,
Nyai Cempa, Nyai Lara Malasih dan Nyai Laras Konda. Sepulang ke Cirebon
Haji Abdullah Iman dinikahkan dengan puteri Ki Kuwu Caruban pertama, Ki
Gedeng Alang-Alang, yang Bernama Nyai Retna Riris atau Nyai Kencana
Larang. Dari perkawinan ini lahirlah Pangeran Caruban yang memilih menetap
di Caruban Girang dan akhirnya menikah dengan Nyai Cupluk, puteri dari Ki
Gedeng Trusmi hingga berputera Bung Cikal atau kemudian dikenal dengan
sebutan Pangeran Mangganajati.
d. Ki Gedeng Jumajan Jati (Ki Ageng Tapa, ayah dari Nyai Subang Larang), penguasa
Keratuan Singapura wafat dan Pangeran Cakrabuwana dinobatkan sebagai Ki
Kuwu Caruban II. Pangeran Cakrabuana tidak melanjutkan pusat kekuasaan di
Keratuan Singapura, ia lebih memilih mewarisi seluruh kekayaan Kakeknya untuk
merintis pembangunan kota dan mendirikan Keraton Pakungwati. Oleh karena itu
Pakuwuan Caruban kemudian berubah menjadi Nagari Caruban Larang.

4. Pustaka
Ali, M. (2015). Sejarah Cirebon: Ekperimen Pribumisasi Islam-Su?stik Syekh Nurjati.
Manuskripta Jurnal Manassa, 5(2), 349–378.
Atja. (1986). Purwaka Caruban Nagari Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan
Sejarah (1st ed.). Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Denys Lombard. (1996). Nusa Jawa Silang Budaya Jariangan Asia (2) (Revisi).
Gramedia Pustaka Utama.
Farihin, F., Syafaah, A., & Rosidin, D. N. (2019). Jaringan Ulama Cirebon Abad ke-
19 Sebuah Kajian Berdasarkan Silsilah Nasab dan Sanad. Jurnal Tamaddun :
Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 7(1), 1–32.
https://doi.org/10.24235/tamaddun.v7i1.4675
Fatimah, H. R. B. I. & S. (2009). Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) Perintis Dakwah
dan Pendidikan (1st ed.). Zulfana Cirebon.
H. Mahmud Rais. (1957). Sedjarah Tjirebon (1st ed.).
Hardjasaputra, A. S. (2011). Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 hingga
Pertengahan Abad ke-20) (A. S. Hardjasaputra (ed.); 1st ed.). Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
Hermana Hermana. (2011). Toponimi di Kabupaten Cirebon. Patanjala : Jurnal
Penelitian Sejarah Dan Budaya, 3(3), 424.
https://doi.org/10.30959/patanjala.v3i3.255
Irianto, B. (2012). Bendera Cirebon (Umbul-umbul Ajaran Kesempurnaan Hidup) (I.
Riawan (ed.); 1st ed.). Museum Tekstil Jakarta.
Jaelani, A. (2016). Cirebon as the Silk Road: A New Approach of Heritage Tourisme
and Creative Economy. Journal of Economics and POlitical Economy, 3(June
2016), 415–428. https://doi.org/10.1007/978-1-349-12761-0_27
Mahrus, O. (2016). Cirebonologi dalam Perspektif Studi Kawasan dan Islam. 1–3.
Prawiraredja, Mo. S. (2005). Cirebon Falsafah, Tradisi, dan Adat Budaya (I). Perum
Percetakan Negara Repubik Indonesia.
Subarman, M. (2014). Pergumulan Islam Budaya Lokal Cirebon (Perubahan Sosial
Masyarakat Dalam Upacara Nadran di Desa Astana, Sinarbaya, Mertasinga,
Kecamatan Cirebon UtaraSubarman, Munir. “Pergumulan Islam Budaya Lokal
Cirebon (Perubahan Sosial Masyarakat Dalam Upacara Nadran. Holistik, 15.
Sulendraningrat, P. S. (1975). Sejarah Cirebon (1st ed.). Lembaga Kebudayaan
Wilayah III Cirebon.
Sundari, W. (2011). Cirebon dalam Lima Zaman (A. S. H. & T. Haris (ed.); 1st ed.).
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
Suriamihardja, A. (2005). Risalah Hari Jadi Kabupaten Cirebon (2nd ed.). Badan
Komunikasi, Kebudayaan dan Pariwisata.
Suriamihardja, H. S. A. (2005). Risalah Hari Jadi Kabupaten Cirebon (2nd ed.).
Badan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon.
Suteja. (2022). Cirebon Studies Pendidikan Karakter Religius-Plural-Toleran
(Farihin (ed.); 1st ed.). CV. Akasara Satu.
T.D. Sudjana (alih aksara). (1987). Naskah Negara Kretabhumi tritya sarga (1st ed.).
Wahju, A. N. (2005). Sajarah Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah
Mertasinga) (I). Penerbit Pustaka.
Zulfah, S. (2018). Islamisasi di Cirebon: Peran dan Pengaruh Walangsungsang
Perspektif Naskah Carios Walangsungsang. Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah
Dan Kebudayaan Islam, 6(1). https://doi.org/10.24235/tamaddun.v6i1.3270

5. Tugas/Lembar Kerja
Bacalah materi modul pembelajaran 02 di atas dengan seksama. Sebagai bentuk
penguasaan terhadap materi Anda diminta membuat “Silsilah Raden
Walangsungsang” Yang dimulai dari Prabu Siliwangi X Nyai Mas Subang
Rancang.

6. Tes Formatif/Kunci Jawaban Latihan


a. Soal
1. Jelaskan mengapa Syekh Nurjati disebut sebagai ulama perintis syiar
Islam di Cirebon.
2. Jelaskan mengapa Tegal Alang-Alang berubah menjadi Caruban dan
dalam penjelasan lain dari Cai-rebon.
3. Jelaskan mengapa Pangeran Cakrabuana disebut sebagai perintis
berdirinya Kerajaan Islam Cirebon.
b. Kunci Jawaban
7. Umpan Balik/Tindak Lanjut

--------

Anda mungkin juga menyukai