Anda di halaman 1dari 3

PERMAINAN TRADISIONAL YANG PADA ZAMANNYA MENJADI

LEGENDA kini hanya dapat dilihat dalam lembaran buku pelajaran dan sedikit ilustrasi
gambar, dan mungkin sempat didokumentasikan dengan bantuan teknologi yang semakin
berkembang. Ironi ini tentunya membuat semakin terpuruknya budaya bangsa yang sudah
diakui oleh masyarakat dunia sebagai hak paten milik Indonesia.
Setahun lalu pada September 2003, United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) yang dimiliki oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) baru saja
mengangkat wayang sebagai budaya dunia. Pengakuan tersebut semakin menekan usaha
para Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) secara gencar mengenalkan kembali dan
mempertontonkan kesenian wayang yang dimiliki. PEPADI Kota Yogyakarta yang selama
empat hari secara bergantian pada 7, 8, 11 dan 12 Oktober 2004 sejak pk 10.30 WIB di
pendopo rumah dinas Walikota Yogyakarta dalam Pekan Wayang memperlihatkan
permainan Wayang Kancil dan Wayang Purwo.

Penggagas munculnya wayang kancil tersebut, Lejar


Subroto kepada GudegNet Selasa (12/10) pagi mengatakan bahwa ia beserta dalang yang lain
merasa prihatin adanya penurunan minat dan pengetahuan terhadap wayang. "Budaya
wayang yang begitu tinggi nilainya, anak-anak ini sekarang sudak tak begitu mengenalnya
dengan wayang dan tidak pernah tahu tentang pewayangan seperti apa, lalu isi di dalamnya
hingga cerita dan maksud yang terkandung," tukasnya.

Mbah Lejar --sapaan akrabnya-- yang juga koordinator Pekan Wayang


mengemukakan, kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mengenalkan kembali wayang untuk
generasi muda. PEPADI memilih sasaran Sekolah Dasar (SD) yang ada di Kota Yogyakarta
sebanyak 138 sekolah secara bergiliran dalam waktu empat hari tersebut.

Jauhnya pengetahuan wayang yang dimiliki oleh anak-anak sekarang didukung oleh
kurangnya penguasaan terhadap bahasa Jawa sebagai pengantarnya. "Kaitannya dengan
wayang, bahasa Jawa itu jadi bahasa untuk menceritakan wayang. Kalau tidak bisa
bagaimana bisa menikmati cerita wayang? Nah, ketidakmudahan itu memicu untuk
meninggalkan ketertarikan terhadap wayang itu sendiri," terangnya.

Wayang Kancil sendiri sebenarnya sudah mengalami metamorfosis dari pengurangan


dalam memakai tokoh wayang menjadi binatang atau mengangkat tokoh yang dimiliki oleh
cerita Kancil. Binatang digunakan sebagai media yang lebih mudah dimengerti oleh anak
apalagi sifat yang melekat sehingga mempermudah dalang untuk menyampaikan inti cerita
dari awal hingga akhir. Wayang jenis ini menjadi alternatif pertunjukan wayang secara
dewasa untuk menggalang penonton dari anak-anak yang sama sekali buta mengenai wayang
dan pewayangan.

Perkembangan zaman tak terelakkan. Di era digitalisasi, pertunjukan wayang kulit


pun masuk ke dalam ruang pertunjukan yang non konvensional, misalnya Youtube. Agus
Suseno, salah seorang dalang wayang kulit di Desa Bader, Kecamatan Jatirogo mengatakan,
pertunjukan wayang kulit sebisa mungkin agar mengikuti arus tersebut. ‘’Kalau tidak, maka
berbahaya bagi eksistensi kesenian wayang itu sendiri,’’ ungkapnya saat ditemui Jawa Pos
Radar Tuban di rumahnya Minggu (19/12) kemarin. Agus, sapaan akrabnya
menyampaikan, mengikuti arus digitalisasi tidak kemudian merubah hal-hal pokok dalam
kesenian wayang kulit. Dia menandaskan, dalam era digital kesenian wayang kulit
hanya berubah media pertunjukannya. Soal cerita dan tata laku pokok kesenian wayang
kulit tidak berganti. ‘’Hal-hal inti tidak bisa turut dihilangkan,’’ tandasnya.

Dalang lulusan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surakarta


ini melanjutkan, pertimbangan kuat mendasari wayang kulit masuk ruang digital
ada beberapa faktor. Pertama, soal ketersediaan lahan di perkotaan. Dia menuturkan,
di perkotaan seperti Tuban atau di kota besar, orang akan kesulitan menyelenggarakan atau
nanggap pertunjukan kesenian wayang kulit. Alasannya, halaman rumah atau pemukiman di
perkotaan semakin sempit dari waktu ke waktu. ‘’Sedangkan pertunjukan wayang
kulit cenderung membutuhkan lahan cukup luas,’’ jelasnya. Faktor kedua, masyarakat
sekarang hampir rata menggunakan perangkat digital yakni smartphone. Agus menuturkan,
pelaku kesenian wayang kulit harus menyadari perkembangan tersebut. Semata-mata, supaya
kesenian wayang kulit bisa berseliweran atau mudah ditemui di layar smartphone masyarakat.
Pendeknya, bisa diakses lebih mudah atau jangkauannya semakin dekat. Pria yang pernah
kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta selama lima tahun ini mengemukakan,
tantangan atau konsekuensi dihadapi pelaku kesenian wayang kulit yang menceburkan diri
dalam digitalisasi ini pun ada. Misalnya, pada aspek cerita yang dilakonkan atau gerak yang
dilakukan seorang dalang. Dia menjelaskan, jika suatu pertunjukan wayang pernah
dipertontonkan di media digital maka cenderung tidak terhapus. ‘’Praktis, segala yang ada
dalam pertunjukkan pun menjadi sebuah jejak. Bisa di lihat lagi kapanpun,’’ ujarnya

Dalang yang juga beristri seorang sinden ini menjelaskan, jejak pertunjukan
tersebut cukup riskan bagi pelaku kesenian. Jelasnya, jejak di media digital tersebut bisa
membayang- bayangi kreativitas dan inovasi dalam berkesenian. Dia menuturkan, akan
cukup disayangkan jika dalang mempertontonkan hal yang sama dengan pertunjukan
sebelum- sebelumnya. Apalagi, ada jejaknya di media digital. ‘’Jika penonton menyadari
kesamaan tersebut, mereka (penonton, Red) bisa kecewa karena sudah pernah
melihatnya,’’ kata dia. Selain itu, pria asal Desa Jamprong, Kecamatan Kenduruan ini juga
menyampaikan, jejak di media digital sangat riskan jika dikaitkan dengan gencarnya
klaimisasi atau hak cipta. Dia menerangkan, jejak di gital yang muncul bisa jadi
membatasi pelaku kesenian yang lain untuk bergerak. Pasalnya, pelaku kesenian cenderung
tidak ingin sama dengan pelaku kesenian lainnya. Lebih lanjut Agus menyampaikan,
terlepas dari penganutsertaan kesenian wayang kulit secara digital, pertunjukan wayang kulit
di wilayah Jatirogo masih sangat eksis secara konvensional. Menurutnya, lahan paling subur
dalam perkembangan kesenian wayang kulit adalah momen sedekah bumi di desa-desa. Dia
menjelaskan, hal tersebut masih rutin dilakukan. ‘’Berkat sedekah bumi, minimal di
Kecamatan Jatirogo ada satu pertunjukan setiap tahunnya di satu desa,’’ terangnya.

Sedangkan dalam momen lain, pertunjukan wayang biasanya digelar dalam acara
hajatan masyarakat. Agus menyatakan, apresiasi masyarakat Kecamatan Jatirogo
perihal kesenian wayang kulit sangat bagus. Bahkan, penonton mampu menilai
pertunjukan wayang kulit ini bagus ataukah tidak. Artinya, masyarakat bisa melihat seperti
apa dan di bagian mana kelebihan dan kekurangan pertunjukannya. ‘’Selain
penonton, masyarakat sini (Kecamatan Jatirogo, Red) juga pengamat,’’ tandasnya. Soal
keberlanjutan kesenian wayang kulit di Jatirogo, Agus mengaku tidak khawatir. Pasalnya,
generasi muda sudah banyak yang andil dalam kesenian tersebut. Di lingkup paling dekat,
salah satu anaknya sedang disiapkan menjadi dalang wayang kulit. Uniknya, salah satu anak
yang disiapkan olehnya tersebut seorang perempuan yang saat ini masih duduk di bangku
Taman Kanak-kanak (TK). ‘’Masih TK kecil. Kira-kira, lima sampai tujuh tahun lagi sudah
siap pentas,’’ kata dia.

Dengan semakin majunya jaman kebudayaan ditanggalkan oleh banyak orang.


Adapunyang tertarik dengan kebudayaan itu sendiri dapa dihitung jari. Seyogyanya kita
sebagai warga negara Indonesia menjaga dan melestarikan budaya kita supaya tidak punah
apalagi kalau sampai diakui oleh negara lain.

Anda mungkin juga menyukai