Anda di halaman 1dari 13

Modul Pembelajaran PJJ PAI FITK

IAIN Syekh Nurjati Cirebon


CIREBON STUDIES

Pertemuan ke-1

Kegiatan Belajar 1

A. Deskripsi Singkat
Cirebon Studies merupakan mata kuliah yang di dalamnya membahas tentang sejarah
kebudayaan Cirebon sebagai kebudayaan Islam Nusantara yang berelasi dengan
anasir-anasir kebudayaan lainnya sehingga membentuk wujud kebudayaan Cirebon
yang unik.
B. Relevansi
Mata kuliah Cirebon Studies yang membahas perwujudan kebudayaan Islam
Nusantara berhubungan dengan model-model reseptif Al-Qur’an dan Hadis dalam
berbagai dimensi kebudayaan. Mahasiswa dihadapkan dengan fenomena kebudayaan
Islam Nusantara dan dituntut untuk menggunakan disiplin-disiplin Ilmu Keagamaan
substantif untuk dapat memahami (verstehen) fenomena kebudayaan yang dibahas
dalam mata kuliah ini.
C. Capaian Pembelajaran MK
1. Mahasiswa mampu memahami geokultural Cirebon sebagai kerangka
pemahaman terhadap karakteristik kultural Cirebon;
2. Mahasiswa mampu memahami latar kultural Cirebon sebelum agama Islam
masuk dan membentuk suatu kebudayaan baru;
3. Mahasiswa memahami cikal bakal kebudayaan Cirebon dibentuk.

1. Uraian Materi

Cirebon Pra-Islam

a. Geokultural Cirebon
Nama Cirebon belum menjadi pembicaraan penting sebelum abad ke-15.
Belakangan nama Cirebon dan kebudayaan Cirebon menjadi menarik untuk
diperbincangkan ketika wilayah ini diposisikan sebagai salah satu titik penting dalam
penyebaran Islam di Nusantara oleh Wali Sanga, khususnya di wilayah Jawa bagian

DR. H. CASTA, M.PD.-CIREBON STUDIES-PJJ PAI-IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 1


Barat (Dewiyanti et al., 2017; Jaelani, 2016; Lasmiyati, 2013; Rosidin, 2018;
Rosmalia & Prasetya, 2018).
Cirebon sebenarnya adalah sebuah wilayah kultural yang tidak hanya
berhubungan dengan wilayah administrative Pemerintah Kabupaten dan Kota
Cirebon, akan tetapi jauh menembus wilayah lainnya yang dahulu menjadi wilayah
kekuasaan Tamaddun Cirebon. Posisi geokultural Cirebon berada di himpitan dua
kebudayaan besar, Jawa dan Sunda. Posisi geobudaya seperti ini jelas menarik karena
pada akhirnya penetrasi dua kebudayaan besar itu semakin nyata membentuk
karakteristik kebudayaan Cirebon. Penetrasi dua kebudayaan mainstream itu
kemudian semakin kuat karena sebelum Padukuhan Cirebon itu lahir, wilayah ini
memiliki Pelabuhan Muarajati sebagai wilayah Keratuan Singapura, yang saat itu
merupakan bawahan dari Kerajaan Pajajaran, sehingga terwujud kontak dagang dan
kontak dengan berbagai budaya. Sedyawati mencatat bahwa peran Pelabuahan Muara
Jati sebagai salah satu titik Bandar Jalur Sutera, jalur perdagangan dunia, sangat
memungkinkan terjadinya berbagai kontak budaya-budaya besar dunia dengan
kebudayaan Cirebon, sehingga pada gilirannya akan sangat menentukan karakteristik
kebudayaan Cirebon (Casta, 2018; Jaelani, 2016; Schiffer et al., 2019; Smith, 1973).
Secara geografis wilayah Cirebon, sebagai sebuah wilayah adminsitratif
pemerintahan, berada di wilayah paling Timur Provinsi Jawa Barat, berbatasan
dengan Jawa Tengah, terletak di Pulau Jawa. Sebelah Utara wilayah ini berbatasan
dengan Kabupaten Indramayu, Kota Cirebon dan Laut Jawa; bagian Barat berbatasan
dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Indramayu; bagian Timur
berdampingan dengan Kabupaten Brebes wilayah Provinsi Jawa Tengah. Posisi
astronomis Kabupaten Cirebon berada pada 6o 30’58” – 7o 00’24” Lintang Selatan dan
108o 19’ 30” – 108o 50’ 03” Bujur Timur. Kabupaten Cirebon Cirebon memiliki 40
Kecamatan, 12 Kelurahan, dan 412 Desa. Morfologi Kawasan wilayah ini secara
umum dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: Kawasan bukit/perbukitan, datar, dan
gunung/pengunungan dan bukit. Ditinjau dari ketinggian lahan wilayah Kabupaten
Cirebon memiliki jalur pantura dengan ketinggian 0-10 mdpl (kecamatan: Gunungjati,
Losari, Astanajapura, Suranenggala, Kapetakan, Mundu, Gebang, Pangenan, dan
pabedilan), sedangkan pada bagian selatan ketinggian lahannya berkisar antara 11-
130 mdpl. Kondisi iklim di wilayah Kabupaten Cirebon menurut klasifikasi Schmit
dan Fergusen termasuk tipe C dan tipe D, sebagai daerah beriklim tropis, dengan suhu

DR. H. CASTA, M.PD.-CIREBON STUDIES-PJJ PAI-IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 2


minimum 24oC dan maksimum 33oC dengan rata-rata 24oC. Curah hujan antara 1500-
3500 mm dengan rata-rata 1.265 mm (Cirebon, 2019).
Gambaran demografis Kabupaten Cirebon pada tahun 2019 berjumlah
2.192.903 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebaganyak 1.124.191 jiwa dan
penduduk perempuan berjumlah 1.068.712. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten
Cirebon tergolong cukup fluktuatif dan terhitung pada tahun 2019 sebesar 0,66
persen. Berdasarkan persebaran usia penduduk, maka Sebagian besar berada di usia
remaja (15 – 19 tahun) mencapai 200.922 jiwa dan hal ini mengindikasikan bahwa
tingkat ketergantungan yang cukup tinggi mengingat masih belum produktif. Di sisi
lain hal ini menunjukkan bahwa di masa depan kelompok ini akan menjadi potensi
Sumber Daya Manusia yang dapat membangun daerahnya (Cirebon, 2019).

CIREBON

Gambar 4.1 Peta Posisi Cirebon di Pulau Jawa

Dari perspektif Geokultural, wilayah kebudayaan Cirebon membentang dari


Timur berbatasan dengan Brebes-Jawa Tengah (Kultur Jawa), sebelah Selatan
berbatasan dengan Kuningan (Kultur Sunda) dan Barat berbatasan dengan Majalengka
(Kultur Sunda) serta Utara berbatasan dengan Indramayu (masih dalam kultur
Cirebon). Wilayah ini pada dasarnya memiliki dua karakteristik geografis yang
berbeda dengan potensi sumber daya alam serta sumberdaya budayanya, yaitu wilayah
Cirebon Larang dan wilayah Cirebon Girang (Humaedi, 2013; Widyastuti ; Giosia P.
Widjaja, 2018). Wilayah Cirebon Larang adalah wilayah kultural Cirebon yang secara
geografis ada di daerah dataran rendah dan pantai, sedangkan wilayah Cirebon Girang
merupakan wilayah dengan geografis kaki Gunung Ciremai. Kedua tipologi wilayah
tersebut jelas memiliki karakteristik kebudayaan yang khas, terutama dari penggunaan
DR. H. CASTA, M.PD.-CIREBON STUDIES-PJJ PAI-IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 3
bahasa komunikasi pergaulan. Wilayah yang termasuk Cirebon Larang pada
umumnya menggunakan komunikasi berbahasa Jawa-Cirebon, sebuah entitas bahasa
Ibu yang kemudian dikuatkan oleh Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5
Tahun 2003, bahwa salah satu bahasa daerah yang diakui di Jawa Barat adalah Bahasa
Cirebon, selain Bahasa Sunda dan Bahasa Melayu Betawi. Tipologi masyarakatnya
lebih dinamis dengan karakteristik yang lugas—blostrong—atau blakasuta. Berbeda
dengan tipologi masyarakat yang ada di wilayah Cirebon Girang yang tinggal di
sekitar kaki Gunung Ciremai, mereka lebih dekat dengan kultur Sunda yang umumnya
menggunakan bahasa ibu Bahasa Sunda-Cirebon yang dalam perspektif Ayat Rohaedi
disebut sebagai bahasa Sunda Pesisiran. Perbedaan ini juga berhubungan dengan
perbedaan ekspresi keseniannya. Bentuk kesenian lukisan kaca lebih banyak
ditemukan pada masyarakat Cirebon Larang—pada masyarakat pantai—dan tidak
ditemukan di komunitas masyarakat Cirebon yang tergolong Cirebon Girang.
Wilayah kultural Cirebon bukanlah wilayah Administrative pemerintahan,
akan tetapi wilayah yang diikat dalam satu kesamaan entitas kultural (kebudayaan).
Kesamaan entitas kultural tersebut ditandai dengan wilayah kekuasaan dan kultural
Cirebon pada masa Kasunanan Cirebon dalam pimpinan Sunan Gunungjati yang
mendirikan Daulah Islamiyah melepaskan diri dari kungkungan Kerajaan Pajajaran,
hingga masa Kapanembahan (Panembahan Ratu I dan II), yang kemudian masa
Kasultanan Cirebon (Kasultanan Kasepuhan, Kasultanan Kanoman, dan Kasultanan
Kacirebonan, serta Kaprabonan). Wilayah kekuasaan Kasunanan Cirebon sejak era
Sunan Gunungjati membentang dari ujung Timur adalah wilayah……..dan di ujung
Barat berada di wilayah……….. Wilayah kekuasaan ini juga menjadi wilayah kultural
yang ditandai dengan kesamaan atau paling tidak keidentikkan kultural sebagai bentuk
modal kultural dan modal social.

b. Kerajaan-Kerajaan Pra Islam di Cirebon


Cirebon adalah sebuah subkultur yang secara geobudaya berada di antara dua
kebudayaan besar, Jawa dan Sunda. Dua kebudayaan mainstream tersebut kemudian
membentuk karakteristik hibriditas kebudayaan Cirebon (Agung Zainal M Raden, MS
Andrijanto, 2019), meskipun dengan batas-batas yang tidak jelas, lebur menjadi
karakteristik baru sebuah kebudayaan. Letak geografisnya yang dihimpit oleh dua
budaya besar tersebut dan didukung oleh posisinya yang berada di pantai utara Jawa

DR. H. CASTA, M.PD.-CIREBON STUDIES-PJJ PAI-IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 4


dengan pelabuhan yang ramai sebagai dinamika jalur perdagangan dunia, jalur sutera
(silk road) (Jaelani, 2016; Rizky, 2019; Soewarno, 2020; Sukmayani et al., 2017),
memungkinkan terjadinya silang budaya berbagai budaya dan pada akhirnya turut
memberikan andil dalam pembentukan wujud dan karakteristik kebudayaan Cirebon
(EL-Mawa, 2011; Jaelani, 2016).
Sebelum terlahir entitas kebudayaan Cirebon, di Jawa Barat semenjak abad ke-
4 telah berdiri kerajaan besar, Kerajaan Tarumanagara, yang raja pertamanya Bernama
Jayasingawarman (358-382M) dan mengalami masa puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Purnawarman (395-434 M), raja ketiga yang menyamakan dirinya
dengan Wisnu, menggunakan Sansekerta sebagai bahasa resmi, memerankan para
Brahmana dalam pemerintahan selain keagamaan, dan menjadikan Hindu sebagai
agama negara. Kerajaan ini mengalami masa pudar pada akhir abad ke-7 M, pada masa
raja Tarusbawa, dan membuat Wretikandayun, penguasa Kendan, melepaskan diri dan
mendirikan Kerajaan Galuh hingga abad ke-16. Sementara itu Tarusbawa
memindahkan ibu kota kerajaan dari Sundapura ke Pakuan Pajajaran, oleh karena itu
nama kerajaannya berganti dari Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran
(669M) hingga abad ke-16. Dua kerajaan inilah yang membuat pengaruh Hindu-
Buddha mengakar di wilayah Jawa bagian Barat, yaitu Kerajaan Galuh dan Kerajaan
Pakuan Pajajaran. Beberapa peninggalan pecandian di Batujaya Karawang, Candi
Bojongmenje di Bandung, Astana Gede Kawali, dan beberapa lainnya (Prawiraredja,
2005: 6; Sundari, 2011:12).
Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Pajajaran beberapa kali bersatu dan
berpisah: disatukan pertama kali menjadi Kerajaan Pajajaran (masa pemerintahan
Prabu Sanjaya, 723M); masa Prabu Linggawisesa dengan pemindahan ibu kota ke
Kawali (1333M); masa Sri Jayadewata dengan gelar Prabu Siliwangi dengan ibu kota
dipindahkan kembali ke Pakuan (Prawiraredja, 2005:6-7). Prabu Siliwangilah yang
kemudian melamar Nyi Mas Subang Rancang (Subang Larang) puteri Ki Gede Tapa
dari Singapura (sekarang Desa Sirnabaya-Cirebon), santriwati dari Syekh Quro atau
Syekh Mursahadatillah atau Syekh Hasanuddin bin Yusuf Sidiq dari Campa
(Vietnam), datang ke tanah Jawa mengiringi misi Laksanaman Cheng
Ho(Prawiraredja, 2005). Syekh Quro dan Syekh Nurjati (Syekh Datuk Kahfi) masuk
ke wilayah Jawa Barat pada paruh pertama abad ke-14 menandai masuknya Islam di
wilayah ini (Irianto, 2012:10; Prawiraredja, 2005:9; Sundari, 2011: 23).

DR. H. CASTA, M.PD.-CIREBON STUDIES-PJJ PAI-IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 5


Jejak peninggalan kebudayaan Hindu-Buddha di Cirebon tidak dapat
dipisahkan dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Galuh, sebagai dua
kerajaan besar di Jawa Barat, pelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara. Di luar koteks
di atas, di wilayah yang sekarang tumbuh wilayah yang dikenal dengan Caruban, jauh
sebelumnya terdapat beberapa beberapa Nagari, sebuah kerajaan kecil yang tidak
tercatat dalam prasasti-prasasti. Kitab Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh
Pangeran Arya Carbon pada tahun 1720 mencatat bahwa sebelum berdirinya Cirebon
sebagai sebuah pedukuhan, di wilayah ini telah berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang
orientasi sistem kepercayaannya adalah Hindu-Buddha, seperti Kerajaan Japura,
Kerajaan Surantaka, Kerajaan Wanagirian dan Keratuan Singapura sebagai
pecahan Kerajaan Indraprahasta setelah ditaklukkan oleh Kerajaan Galuh
(Suriamihardja, 2005: 7).
Kerajaan Indraprahasta berdiri pada tahun 363 – 723 M dengan raja pertama
Prabu Santanu. Diperkirakan keratonnya di Situs Cimandung-Sarwadadi. Kerajaan
ini berakhir pada masa Prabu Wiratara (719 – 723 M) karena ditaklukkan oleh Raja
Sanjaya dari Mataram. Keratuan Wanagiri (Cirebon Girang) didirikan oleh Ki
Gedheng Kasmaya dan berakhir pada tahun1447 bersamaan dengan diangkatnya
Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu II dan wilayah Cirebon Girang menyatu
dengan wilayah Cirebon Larang. Karatuan Singapura merupakan wilayah bawahan
Kerajaan Galuh. Ratu yang terkenal dari Singapura adalah Surawijaya Sakti dan Ki
Gedheng Tapa atau Ki Jumajan Jati. Di wilayah Timur Cirebon dahulu ada Kerajaan
Japura yang ibu kotanya di Medang Kamulan (sekarang Desa Astana Japura) dengan
rajanya yang terkenal bernama Amuk Marugul. Di wilayah Palimanan sudah berdiri
Keadipatian Palimanan di bawah Kerajaan Galuh, dipimpin oleh Arya Kiban.
Kerajaan-kerajaan kecil inilah yang menjadi latar kebudayaan Hindu-Buddha
membumi di Bumi Carbon (Cirebon sekarang) (Suriamihardja, 2005: 8-13).
Bukti-bukti peninggalan kebudayaan Hindu-Buddha di wilayah kultural
Cirebon dapat dilacak pada artefak-artefak dan bukti prasasti yang telah dtemukan.
Artefak peninggalan kebudayaan Hindu di Cirebon di antaranya dapat dilihat pada
lingga dan Yoni yang sampai saat ini masih tersimpan di halaman depan sebelah
timur Keraton Kanoman dan di bangunan Siti Hinggil Keraton Kasepuhan Cirebon.
Lingga dan Yoni jelas merupakan peninggalan kebudayaan Hindu, sebagai
representasi dari Dewa Syiwa sebagai salah satu dewa dalam Trimurti ajaran Hindu.

DR. H. CASTA, M.PD.-CIREBON STUDIES-PJJ PAI-IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 6


Dengan demikian jelaslah, sebelum manusia mampu merepresentasikan wujud visual
Dewa Syiwa, maka diwujudkanlah dalam bentuk lingga Yoni.

Gambar 4.2 Lingga Yoni peninggalan kebudayaan Hindu yang masih diabadikan di
Siti Hinggil Keraton Kasepuhan Cirebon (Foto: Casta, 2018)

Bukti sejarah yang mencatatkan jejak peninggalan Hindu-Budha di wilayah


Cirebon selain adanya Lingga -Yoni adalah adanya Prasasti Huludayeuh sebagai
peninggalan Kerajaan Sunda Pajajaran, bertuliskan huruf Jawa kuno yang antara lain
berbunyi, “ Sri Maharaja Ratu Haji di pakwan, Sya Sang Ratu Dewata” (Sri Maharaja
Ratu Utama di Pakwan, dialah Sang Ratu Dewata). Di samping itu terdapat
peninggalan patung Buddha di Talaga, Situs Batu Semar di Pejambon, beberapa
artefak di Gua Sunyaragi (Jaladwara, Figur Garuda dan Naga, dan Figur
Gajah)(Sundari, 2011: 31-32).

DR. H. CASTA, M.PD.-CIREBON STUDIES-PJJ PAI-IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 7


Gambar 4.3 Prasasti Huludayeuh di Desa Dukupuntang Cirebon

c. Pedukuhan Tegal Alang-Alang


Sebelum Cirebon sebagai sebuah entitas budaya yang khas dan kemudian
tumbuh besar menjadi sebuah Tamaddun Islam di wilayah Jawa Barat, pada mulanya
adalah sebuah pedukuhan kecil dari tegal alang-alang yang sekarang wilayah Lemah
Wungkuk (Kota Cirebon) (Irianto, 2012: 6). Wilayah itu didiami Ki Danusela yang
kemudian dikenal dengan sebutan Ki Gede Alang-alang adalah utusan Pajajaran yang
bertugas mengawasi perkembangan yang terjadi di Pelabuhan Muara Jati, yang
merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Pajajaran. Ia bermukim di tegal alang-
alang tidak jauh dari Pelabuhan Muara Jati. Karena keberhasilannya mengelola
wilayah pelabuhan tersebut, maka lama kelamaan semakin banyak penduduk yang
bermukim di sekitar pelabuhan. Melihat kenyataan itu pihak Pajajaran memandang
perlu adanya suatu tatanan masyarakat yang memadai untuk mengondusifkan wilayah
tersebut. Ki Gede Alang-alang kemudian diangkat sebagai kuwu pertama wilayah
Pakuwon tersebut dari penguasa Pajajaran yang daerah kekuasaannya meliputi batas
sungai Cipamali di sebelah timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah selatan, pegunungan
di sebelah barat dan Junti (Indramayu) di sebelah utara (Ambary, 1996; Sudjana, 2004;
Sutadji, 2003).
Naskah Negara Kretabhumi (tritya sarga/jilid ketiga) tulisan Pangeran
Wangsakerta dengan alihaksara dan allihbahasa oleh TD. Sudjana menjelaskan bahwa

DR. H. CASTA, M.PD.-CIREBON STUDIES-PJJ PAI-IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 8


sebelum berdirinya pedukuhan Caruban di Kebon Pesisir pada 1 Syura 1445 M
oleh Pangeran Walangsungsang atas perintah Syekh Datuk Kahfi, di wilayah itu
sebenarnya sudah bermukim Ki Gede Alang-Alang atau Ki Danusela sebagai Kuwu I
bersama istrinya, Nyi Arumsari juga kerabat dari Ki Danusela, yakni Ki Sarnawi dan
istrinya. Tidak berapa lama kemudian wilayah itu menjadi ramai dihuni oleh beberapa
pendatang dan pada tahun 1367 Saka (1447/1448 H), wilayah Caruban sudah dihuni
oleh 346 penduduk, 182 laki-laki dan 164 perempuan. Dari 346 penduduk yang
mendiami Kebon Pesisir yang kemudian bernama Caruban itu terdiri dari Suku Sunda
(196 orang), dari Jawa (106 orang), Swarnabhumi/Sumatra (16 orang), Negeri Hujung
Mendini/Semenanjung Malaya (4 orang), Siam ( 3 orang), Arabia (11 orang), Cina (6
orang), India ( 2 orang) dan dari Iran (2 orang) (Sudjana, 1987).
Deskripsi di atas jelas menggambarkan bahwa sejak awal masyarakat Cirebon
adalah masyarakat yang multikultural dengan dominasi Suku Sunda dan Jawa. Oleh
karena itu berdasarkan sistem komunikasi dan penggunaan bahasa yang digunakan
masyarakat Cirebon bisa dibagi menjadi masyarakat dengan komunikasi yang
menggunakan bahasa Sunda Pesisiran, bahasa Jawa-Cirebon, dan bahasa Jawareh
(Jawa Sawareh—Separuh Jawa) yang berada di antara Sunda Pesisiran dan Jawa-
Cirebon. Interaksi di antara dua budaya besar itu ditopang oleh faktor ramainya
Pelabuhan Muara Jati yang ada di Keratuan Singapura di bawah kepemimpinan Ki
Ageng Tapa dan arus jalur sungai dari pedalaman (pemangku Budaya Sunda).
Sebenarnya, sebelum Keratuan Siangapura dan Pelabuhan Muara Jati dipimpin
oleh Ki Gedeng Tapa, pada mulanya Pelabuhan Muara Jati dikuasai oleh Ki Gedeng
Sindangkasih sebagai Juru Labuhan (Uwa dari Raden Manah Rarasa atau kelak
berjuluk Prabu Siliwangi, sekaligus mertuanya karena ia menikahi Nyai Ambetkasih
puteri Ki Gedeng Sindangkasih). Setelah Ki Gedeng Sindangkasih wafat kemudian
digantikan oleh Ki Gedeng Tapa dengan gelar Ki Gedeng Jumajanjati, anak dari Ki
Gedeng Kasmaya yang berkuasa di Cirebon Girang yang beribukota di Wanagiri.
Pelabuhan Muara Jati dalam kepemimpinan Ki Gedeng Tapa seperti yang
dituliskan dalam kitab Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) karya Pangeran Arya
Carbon semakin ramai dikunjungi oleh sudagar-saudagar dari beberapa wilayah
seperti Cina, India, Parsi, India, Malaka, Tumasik, Pasei, Jawa Timur, Madura dan
Palembang, bahkan Laksamana Cheng-Ho yang disertai Ma-Huan Bersama
pasukannya pernah singgah di Bandar Muara Jati dan membangun mercuar di

DR. H. CASTA, M.PD.-CIREBON STUDIES-PJJ PAI-IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 9


Amaparan Jati. Tokoh Ki Gedeng Tapa juga bersahabat dengan Syekh Quro di
Karawang dan pernah mengirimkan puterinya, Nyi Mas Subang Rancang (Subang
Larang) pernah sebagai santriwati Syekh Quro. Ia pun menerima dengan terbuka
kedatangan Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati untuk bermukim dan berdakwah di
wilayah Pasambangan Amparan Jati Bersama pengikutnya yang berjumlah 20 orang
pria dan 2 wanita sebagai utusan dari Parsi (Atja, 1986:31).

2. Latihan
Jawablah Latihan soal di bawah ini dengan singkat dan jelas!
1. Apa yang menyebabkan Cirebon menjadi perbincangan pasca akab ke-15?>
2. Bagimana posisi geobudaya Cirebon?
3. Kebudayaan apa sajakan yang paling berpengaruh dalam pembentukan
kebudayaan Cirebon?
4. Sebutkan kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha sebelum berdirinya
Cirebon?
5. Siapakah Ki Gedeng Alang-Alang dan apa perannya dalam sejarah Cirebon?

3. Rangkuman
Cirebon menjadi perbincangan ialah Ketika telah menjadi salah satu pusat
penyebaran agama Islam khususnya di Jawa bagian Barat oleh Sunan Gunungjati, salah
seorang anggota Wali Sanga sejak abad ke-15. Sebelum menjadi Tamaddun Cirebon,
wilayah ini hanya sebuah pedukuhan kecil di tepi Bandar Muara Jati salah satu Bandar
Jalur Sutera (Jalur perdagangan dunia), Wilayah Karatuan Singapura, bagian dari
Kerajaan Pajajaran. Secara geokultural Cirebon dihimpit dua budaya besar, Sunda dan
Jawa.
Sebelum berdirinya Kerajaan Islam yang didirikan oleh Sunan Gunungjati, di
Cirebon dan umumnya di Jawa Barat telah berdiri kerajaan-kerajaan besar maupun
kecil yang bercorak Hindu-Buddha. Abad ke-4 berdiri Kerajaan Tarumanagara, Abad
ke-7 Kerajaan Kendan memisahkan diri dari Kerajaan Tarumanagara dan mendirikan
Kerajaan Galuh hingga abad ke-16. Tarumanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan
Sunda Pajajaran. Di sisi lain di wilayah yang sekarang berdiri Cirebon, sebelumnya
telah berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang bercorak Hindu, yakni Kerajaan
Indraprahasta, Japura, Surantaka, Wanagiri, dan Keratuan Singapura. Sisa-sisa
peninggalan Kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha tersebut di antaranya adalah
adanya lingga dan Yoni serta Prasasti Huludayeuh, termasuk juga patung Buddha di
Talaga, Situs Batu Semar di Pejambon, Jaladwara, Garuda dan Naga di Gua Sunyaragi.
Sebelum dikenal adanya wilayah dengan sebutan Cirebon, sebelumnya
hanyalah sebuah pedukuhan tegal alang-alang di dekat Pelabuhan Muarajati dengan
pemimpin Ki Danusela (Kuwu pertama) dan dikenal dengan sebutan Ki Gede Alang-
Alang. Di Tegal alang-alang itu bermukim beberapa etnis, seperti: Jawa, Sunda,
Swarnabumi/Sumatra, Semenanjung Malaya, Siam, Arabia, Cina, India, dan Iran,
hidyup rukun dan damai. Inilah yang menunjukkan bahwa di Cirebon telah terbangun
spirit multicultural yang Bersatu dalam keberagaman.***

DR. H. CASTA, M.PD.-CIREBON STUDIES-PJJ PAI-IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 10


4. Pustaka
Agung Zainal M Raden, MS Andrijanto, W. S. (2019). Kaligrafi Arab pada Jimat dalam
Perspektif Seni, Magi, dan Religi. CaLLs, 5(1), 1–12.
Atja. (1986). Purwaka Caruban Nagari Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah (1st ed.).
Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Casta. (2018). Strategi Adaptasi Simbolik Pembatik yang Termarginalkan terhadap
Hegemoni Pasar. Indonesian Journal of Conservation, 07(1), 99–110.
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ijc/article/view/3085
Cirebon, B. P. P. P. dan P. D. K. (2019). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Kabupaten Cirebon Tahun 2019-2024.
Dewiyanti, D., Rosmalia, D., & Oktaviana, S. (2017). Identifikasi Tujuan Wisata Reliji
Masjid-Masjid Cirebon. Seminar Heritage IPLBI, 33–38.
EL-Mawa, M. (2011). Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon Studi Historis pada Masa
Syarif Hidayatullah (1479-1568). Seminar ISIF, 1–26.
Humaedi, M. A. (2013). Budaya Hibrida Masyarakat Cirebon. HUmaniora, 25(3), 281–295.
Irianto, B. (2012). Bendera Cirebon (Umbul-umbul Ajaran Kesempurnaan Hidup) (I. Riawan (ed.);
1st ed.). Museum Tekstil Jakarta.
Jaelani, A. (2016). Cirebon as the Silk Road: A New Approach of Heritage Tourisme and
Creative Economy. Journal of Economics and POlitical Economy, 3(June 2016), 415–428.
https://doi.org/10.1007/978-1-349-12761-0_27
Lasmiyati, L. (2013). Keraton Kanoman di Cirebon (Sejarah dan Perkembangannya).
Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 5(1).
https://doi.org/10.30959/patanjala.v5i1.184
Prawiraredja, Mo. S. (2005). Cirebon Falsafah, Tradisi, dan Adat Budaya (I). Perum Percetakan
Negara Repubik Indonesia.
Rizky, A. (2019). Re-Aktualisasi Kisah Perjalanan Laksamana Cheng Ho di Cirebon
Melalui Batik (Kajian Batik di Cirebon serta hubungannya dengan Bahasa Rupa
Tradisi). Corak Jurnal Seni Kriya, 8(1), 26–42.
Rosidin, D. N. (2018). Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam Cirebon
Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18. JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo, 1(2), 177.
https://doi.org/10.21580/jsw.2017.1.2.1993
Rosmalia, D., & Prasetya, L. E. (2018). Development of cultural tourism area based on the
spiritual space of Cirebon Keraton. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science,
126(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/126/1/012076
Schiffer, L. R., Suprapti, A., Rukayah, R. S., Nugraha, Y., Studi, P., Arsitektur, T.,
Gunadarma, U., Doktor, P., Arsitektur, I., & Diponegoro, U. (2019). The
Acculturation Influence on The Meaning of Lots Flower Ornaments in Mihrab
Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon. Jurnal Ilmiah Desain Dan Konstruksi, 18(2), 124–139.

DR. H. CASTA, M.PD.-CIREBON STUDIES-PJJ PAI-IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 11


Sdjana, T. D. (1987). Naskah Negara Kretabhumi (p. 55).
Smith, T. (1973). Politics, Economics, and Political Economy. Government and Opposition,
8(3), 263–279. https://doi.org/10.1111/j.1477-7053.1973.tb00516.x
Soewarno, N. (2020). Adaptation of Architectural Style to Preserve Cultural Heritage
Building Case Study: Vihara Dewi Welas Asih-Cirebon. Journal of Architectural Research
and Education, 2(1), 46. https://doi.org/10.17509/jare.v2i1.24160
Sukmayani, N. S., Emzir, E., & Akhadiah, S. (2017). Cirebon Language Revitalization In
Cirebon City through Cirebon Language Learning. JETL (Journal Of Education, Teaching
and Learning), 2(2), 183. https://doi.org/10.26737/jetl.v2i2.283
Sundari, W. (2011). Cirebon dalam Lima Zaman (A. S. H. & T. Haris (ed.); 1st ed.). Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
Suriamihardja, A. (2005). Risalah Hari Jadi Kabupaten Cirebon (2nd ed.). Badan Komunikasi,
Kebudayaan dan Pariwisata.
Widyastuti ; Giosia P. Widjaja, A. T. (2018). The Merah Mosque and the Asy Syafi’i
Mosque Considered as Landmarks Based on the Local Community’s Recognition in
Cirebon’s Arab Panjunan Kampong. Riset Arsitektur (RISA), 2(01).
https://doi.org/10.26593/risa.v2i01.2930.17-34

5. Tugas/Lembar Kerja
Carilah artikel tentang “Cirebon” di Google Scholar. Buatlah resume Saudara
tentang artikel tersebut yang dituangkan ke dalam kertas A4, diketik dengan font
Time New Roman 12, spasi 1,5 dengan Panjang tulisan 500 -1000 kata. Kirimkan hasil
pekerjaan Saudara di madecasta09@gmail.com sebelum perkuliahan berikutrnya.
Selamat mengerjakan Tugas/Lembar Kerja.
6. Tes Formatif/Kunci Jawaban Latihan
a. Soal
1) Beri argumentasi Saudara, apa akibat dari posisi geobudaya
Cirebon yang memiliki Bandar Muara Jati bagi pembentukan
kebudayaan Cirebon?
2) Beri argumentasi Saudara, apa akibat dari keberadaan
kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha bagi karakteristik
kebudayaan Cirebon?
3) Beri argumentasi Saudara, bagaimana karakteristik
kebudayaan Cirebon mengingat sejak awal juga dihuni oleh
etnis Cina, Arab, Sumatra, Semenanjung Malaya, dan tentu saja
Jawa.
b. Kunci Jawaban
7. Umpan Balik/Tindak Lanjut

DR. H. CASTA, M.PD.-CIREBON STUDIES-PJJ PAI-IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 12


DR. H. CASTA, M.PD.-CIREBON STUDIES-PJJ PAI-IAIN SYEKH NURJATI CIREBON 13

Anda mungkin juga menyukai