Anda di halaman 1dari 22

BAB I

A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kebudayaan dan suku, seperti
Batak, Minahasa, Ambon, Flores, Bali, Jawa, Sunda, dll. Apalagi dengan adanya pulau-pulau
yang terpisah, membuat keunikan tersendiri bagi bangsa Indoesia, hampir setiap pulau
memiliki bahasa, adat istiadat atau yang biasa disebut kebudayaan yang berbeda meskipun
pada intinya sama. Namun dalam makalah ini tidak akan membahas semua kebudayaan di
Indonesia, namun di Jawa Tengah saja.
Jawa Tengah memiliki kebudayaan yang unik yaitu pada tradisi leluhur, meskipun
pada saat ini tradisi tersebut sudah banyak luntur karena adanya globalisasi yang
membuar masyarakat Jawa menganggap bahwa tradisi tersebut “ribet”. Namun biasanya
tradisi tersebut masih diterapkan pada acara ritual seperti pernikahan, saat melahirkan,
atau pada tanggal-tanggal tertentu, meskupun sudah tidak seketat zaman dahulu. Jawa
Tengah sendiri berada di utara Samudra Hindia dan selatan pantai utara Jawa sehingga
jelas bahwa Jawa Tengah memiliki perairan yang luas, selain itu juga banyak sekali
pegunungan serta gunung-gunung yang berapi maupun tidak berapi sehingga memiliki
tanah yang sangat subur, dan masyarakat sendiri memang sangat dekat dan mencintai
alamnya. Disamping semua kekayaan di atas masyarakat Jawa Tengah atau yang sering
disebut suku Jawa menyimpan segudang kebudayaan yang beraneka ragam dan juga
banyak yang berbau mistis. Namun disini saya akan menekankan bahwa kebudayaan
adalah hasil cipta, rasa, karsa manusia, sehingga sangat jelas sekali bahwa kebudayaan
adalah suatu tindakan, perilaku, adat-istiadat yang baik yang dimiliki suatu daerah dan
menjadi sebuah kebiasaan pada kehidupan sehari-hari.

B.  MAKSUD DAN TUJUAN


Setiap masyarakat memiliki kewajiban menjaga dan melestarikan budayanya, maka
makalah ini memiliki maksud dan tujuan agar masyarakat mengetahui kebudayaan Jawa
Tengah di tengah-tengah tergerusnya kebudayaan dalam negeri oleh fenomena globalisasi,
dan untuk menumbuhkan akan rasa cinta dan bangga terhadap budaya sendiri dan tidak
melupakannya. Karena bagaimanapun juga kebudayaan merupakan ciri khas dari
masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, apabila mereka tidak memiliki kebudayaan
atau telah meninggalkannya “dengan sengaja” maka ia tidak memiliki karakter dan mudah
terombang-ambing oleh kebudayaan lain

BAB II
PEMBAHASAN

            Jawa Tengah merupakan sebuah provinsi yang terletak di tenga pulau Jawa. Provinsi
ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah
Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di
sebelah utara. Luas wilayahnya 32.548 km², atau sekitar 25,04% dari luas pulau Jawa.
Provinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat
dengan perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.
Pengertian Jawa Tengah secara geografis dan budaya kadang juga mencakup wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai "jantung" budaya Jawa.
Meskipun demikian di provinsi ini ada pula suku bangsa lain yang memiliki budaya yang
berbeda dengan suku Jawa seperti suku Sunda di daerah perbatasan dengan Jawa Barat.
Selain ada pula warga Tionghoa-Indonesia, Arab-Indonesia dan India-Indonesia yang
tersebar di seluruh provinsi ini.

Sejarah Jawa Tengah


Jawa Tengah sebagai provinsi dibentuk sejak zaman Hindia Belanda. Hingga tahun
1905, Jawa Tengah terdiri atas 5 wilayah (gewesten) yakni Semarang, Rembang, Kedu,
Banyumas, dan Pekalongan. Surakarta masih merupakan daerah swapraja kerajaan
(vorstenland) yang berdiri sendiri dan terdiri dari dua wilayah, Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran, sebagaimana Yogyakarta. Masing-masing gewest terdiri atas kabupaten-
kabupaten. Waktu itu Rembang Gewest juga meliputi Regentschap Tuban dan Bojonegoro.
Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, gewesten diberi otonomi dan
dibentuk Dewan Daerah. Selain itu juga dibentuk gemeente (kotapraja) yang otonom, yaitu
Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan Magelang.
Sejak tahun 1930, provinsi ditetapkan sebagai daerah otonom yang juga memiliki
Dewan Provinsi (Provinciale Raad). Provinsi terdiri atas beberapa karesidenan
(residentie), yang meliputi beberapa kabupaten (regentschap), dan dibagi lagi dalam
beberapa kawedanan (district). Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 5 karesidenan, yaitu:
Pekalongan, Jepara-Rembang, Semarang, Banyumas, dan Kedu.
Menyusul kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1946 Pemerintah membentuk
daerah swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran; dan dijadikan karesidenan. Pada tahun
1950 melalui Undang-undang ditetapkan pembentukan kabupaten dan kotamadya di Jawa
Tengah yang meliputi 29 kabupaten dan 6 kotamadya. Penetapan Undang-undang tersebut
hingga kini diperingati sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Tengah, yakni tanggal 15 Agustus
1950.
Kebudayaan Jawa merupakan salah satu sosok kebudayaan yang tua. Kebudayaan
Jawa mengakar di Jawa Tengah bermula dari kebudayaan nenek moyang yang bermukim di
tepian Sungai Bengawan Solo pada ribuan tahun sebelum Masehi. Fosil manusia Jawa
purba yang kini menghuni Museum Sangiran di Kabupaten Sragen, merupakan saksi
sejarah, betapa tuanya bumi Jawa Tengah sebagai kawasan pemukiman yang dengan
sendirinya merupakan suatu kawasan budaya. Dari kebudayaan purba itulah kemudian
tumbuh dan berkembang sosok kebudayaan Jawa klasik yang hingga kini terus bergerak
menuju kebudayaan Indonesia.
Kata klasik ini berasal dari kata Clacius, yaitu nama orang yang telah berhasil menciptakan
karya sastra yang mempunyai “nilai tinggi”. Maka karya sastra yang tinggi nilainya hasil
karya Clacius itu dinamakan “Clacici”. Padahal Clacici adalah golongan ningrat/bangsawan,
sedangkan Clacius termasuk golongan ningrat, oleh karena itu hasil karya seni yang
mempunyai nilai tinggi disebut “seni klasik”.
Bengawan Solo bukan hanya terkenal dengan lagu ciptaan Gesang akan tetapi lebih
daripada itu lembahnya terkenal sebagai tempat dimana banyak sekali diketemukan fosil
dan peninggalan awal sejarah kehidupan di atas bumi ini. Pada tahun 1891 Eugene Dubois
menemukan sisa-sisa manusia purba yang diberi nama “Phitecanthropus Erectus” di
daerah Trinil, Ngawi Karesidenan Madiun. Ternyata fosil-fosil itu lebih purba (tua) dan
lebih primitif daripada fosil-fosil Neanderthal yang ditemukan di Eropa sebelumnya.
Penggalian-penggalian diteruskan hingga pada sekitar tahun 19301931 ditemukan lagi
fosil manusia di Ngandong dan di Kedungbrubus daerah Sangiran. Fosil ini lebih tua dari
yang ditemukan di Jerman maupun di Peking. Berbeda dengan penemuan di bagian dunia
lain, penemuan fosil-fosil pulau Jawa didapat pada semua lapisan Pleistoceen dan tidak
hanya pada satu lapisan saja. Hingga nampak jelas perkembangan manusia sejak dari
bentuk ‘keorangan’nya yang mula-mula (homonide), sedang dari bagian lain di dunia
penemuan-penemuan itu tidak memberi gambaran yang sedemikian lengkap. Manusia
purba itu diperkirakan hidup dalam kelompok-kelompok kecil bahkan mungkin dalam
keluarga-keluarga yang terdiri dari enam shingga duabelas individu. Mereka hidup berburu
binatang di sepanjang lembah-lembah sungai. Cara hidup seperti ini agaknya tetap
berlangsung selama satu juta tahun. Kemudian diketemukan sisa-sisa artefak yang terdiri
dari alat-alat kapak batu di sebuah situs di dekat desa Pacitan, dalam lapisan bumi yang
berdasarkan data geologi diperkirakan berumur 800.00 tahun dan diasosiasikan dengan
fosil Pithecanthropus yang telah berevolusi lebih jauh. Dengan demikian diperkirakan
bahwa sejak paling sedikit 800.000 tahun yang lalu para pemburu di pulau Jawa sudah
memiliki suatu kebudayaan. Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang
erat sekali. Kedua-duanya tidak mungkin dipisahkan. Ada manusia ada kebudayaan, tidak
akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya, yaitu manusia. Akan tetapi manusia itu
hidupnya tidak berapa lama, ia lalu mati. Maka untuk melangsungkan kebudayaan,
pendukungnya harus lebih dari satu orang, bahkan harus lebih dari satu turunan. Jadi
harus diteruskan kepada anak cucu keturunan selanjutnya. Kebudayaan Jawa klasik yang
keagungannya diakui oleh dunia internasional dapat dilihat pada sejumlah warisan sejarah
yang berupa candi, stupa, bahasa, sastra, kesenian dan adat istiadat. Candi Borobudur di
dekat Magelang, candi Mendut, candi Pawon, Candi Prambanan di dekat Klaten, candi
Dieng, candi Gedongsongo dan candi Sukuh merupakan warisan kebudayaan masa silam
yang tak ternilai harganya. Teks-teks sastra yang terpahat di batu-batu prasasti, tergores di
daun lontar dan tertulis di kitab-kitab merupakan khasanah sastra Jawa klasik yang hingga
kini tidak habis-habisnya dikaji para ilmuwan. Ada pula warisan kebudayaan yang bermutu
tinggi dalam wujud seni tari, seni musik, seni rupa, seni pedalangan,seni bangunan
(arsitektur), seni busana, adat istiadat, dsbnya. Masyarakat Jawa Tengah sebagai ahli waris
kebudayaan Jawa klasik bukanlah masyarakat yang homogen atau sewarna, melainkan
sebuah masyarakat besar yang mekar dalam keanekaragaman budaya. Hal itu tercermin
pada tumbuhnya wilayah-wilayah budaya yang pada pokoknya terdiri atas wilayah budaya
Negarigung, wilayah budaya Banyumasan dan wilayah budaya Pesisiran. Wilayah budaya
Negarigung yang mencakup daerah Surakarta – Yogyakarta dan sekitarnya merupakan
wilayah budaya yang bergayutan dengan tradisikraton(Surakarta dan Yogyakarta).
Wilayah budaya Banyumasan menjangkau daerah Banyumas, Kedu dan Bagelen.
Sedangkan wilayah budaya pesisiran meliputi daerah Pantai Utara Jawa Tengah yang
memanjang dari Timur ke Barat. Keragaman budaya tersebut merupakan kondisi dasar
yang menguntungkan bagi mekarnya kreatifitas cipta, ras dan karsa yang terwujud pada
sikap budaya. Di daerah Jawa Tengah segala macam bidang seni tumbuh dan berkembang
dengan baik, dan hal ini dapat kita saksikan pada peninggalan-peninggalan yang ada
sekarang. Provinsi Jawa Tengah yang merupakan satu dari sepuluh DTW (Daerah Tujuan
Wisata) di Indonesia dapat dengan mudah dijangkau dari segala penjuru, baik darat, laut
maupun udara. Provinsi ini telah melewati sejarah yang panjang, dari jaman purba hingga
sekarang. Dalam usaha memperkenalkan daerah Jawa Tengah yang kaya budaya dan
potensi alamnya, Provinsi Jawa Tengah sebagaimana provinsi-provinsi lain di Indonesia,
mempunyai anjungan daerah di Taman Mini “Indonesia Indah” yang juga disebut
“Anjungan Jawa Tengah”. Anjungan Jawa Tengah Taman Mini “Indonesia Indah”
merupakan “show window” dari daerah Jawa Tengah. Anjungan Jawa Tengah di Taman
Mini “Indonesia Indah” dibangun untuk membawakan wajah budaya dan pembangunan
Jawa Tengah pada umunya. Bangunan induk beserta bangunan lain di seputarnya secara
keseluruhan merupakan kompleks perumahan yang dinamakan “Padepokan Jawa Tengah”,
yang berarsitektur Jawa asli. Bangunan induknya berupa “Pendopo Agung”, tiruan dari
Pendopo Agung Istana Mangkunegaran di Surakarta, yang diakui sebagai salah satu pusat
kebudayaan Jawa. Propinsi Jawa Tengah juga terkenal dengan sebutan “The Island of
Temples”, karena memang di Jawa Tengah bertebaran candi-candi. Miniatur dari candi
Borobudur, Prambanan dan Mendut ditampilkan pula di Padepokan Jawa Tengah.
Padepokan Jawa Tengah juga merupakan tempat untuk mengenal seni bangunan Jawa yang
tidak hanya berupa bangunan rumah tempat tinggal tetapi juga seni bangunan peninggalan
dari jaman Sanjayawangça dan Syailendrawangça. Pendopo Agung yang berbentuk ”Joglo
Trajumas” itu berkesan anggun karena atapnya yang luas dengan ditopang 4 (empat) Soko
guru (tiang pokok), 12 (dua belas) Soko Goco dan 20 (dua puluh) Soko Rowo. Kesemuanya
membuat penampilan bangunan itu berkesan momot, artinya berkemampuan menampung
segala hal, sesuai dengan fungsinya sebagai tempat menerima tamu. Bangunan Pendopo
Agung ini masih dihubungkan dengan ruang Pringgitan, yang aslinya sebagai tempat
pertunjukan ringgit atau wayang kulit. Pringgitan ini berarsitektur Limas. Bangunan lain
adalah bentuk-bentuk rumah adat “Joglo Tajuk Mangkurat”, “Joglo Pangrawit Apitan” dan
rumah bercorak “Doro Gepak”. Sesuai dengan fungsinya Anjungan Jawa Tengah selalu
mempergelarkan kesenia-kesenian daerah yang secara tetap didatangkan dari Kabupaten-
kabupaten / Kotamadya di Provinsi Jawa Tengah di samping pergelaran kesenian dari
sanggar-sanggar yang ada di Ibukota, dengan tidak meninggalkan keadiluhungan nilai-nilai
budaya Jawa yang hingga kini masih tampak mewarnai berbagai aspek seni budaya itu
sendiri, adat-istiadat dan tata cara kehidupan masyarakat Jawa Tengah. Bangunan Joglo
Pangrawit Apitan di Anjungan Jawa Tengah TMII terletak bersebelahan dengan sebuah
panggung terbuka yang berlatar belakang sebuah bukit dengan bangunan Makara terbuat
dari batu cadas hitam bertuliskan kata-kata “Ojo Dumeh” dalam huruf Jawa berukuran
besar. Perkataan Ojo Dumeh mempunyai makna yang dalam, sebab artinya, “Jangan
Sombong”, sebuah anjuran untuk senantiasa mampu mengendalikan diri, justru di saat
seseorang merasa mempunyai keberhasilan. Di panggung inilah pengunjung dapat
menyaksikan pergelaran acara khusus Anjungan yang biasanya merupakan acara-acara
pilihan.

Kependudukan
            Berdasarkan angka sementara Proyeksi Sensus Penduduk (SP) Jawa Tengah pada
tahun 2011 tercacat sebesar 32,64 juta jiwa atau sekitar 13,54 persen dari jumlah
penduduk Indonesia. Ini menempatkan Jawa Tengah sebagai provinsi ketiga di Indonesia
dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Jumlah penduduk
perempuan lebih besar dibanding dengan jumlah penduduk laki-laki. Ini ditunjukkan oleh
rasio jenis kelamin (rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap jumlah penduduk
perempuan) sebesar 99,42.
            Penduduk Jawa Tengah ternyata belum tersebar secara merata di seluruh Jawa
Tengah. Umumnya penduduk banyak menumpuk di daerah kota dibandingkan daerah
kabupaten. Secara rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar 1.003 jiwa
setiap kilometer persegi, dan wilayah terpadat adalah kota Surakarta dengan tingkat
kepadatan sekitar 11 ribu orang setiap kilometer persegi.
            Jumlah rumah tangga sebesar 8,9 juta pada tahun 2011 sedangkan rata-rata
penduduk per rumah tangga di Jawa Tengah tercatat sebesar 3,7 jiwa.
Seni Budaya
1. Gamelan Jawa
Gamelan Jawa merupakan Budaya Hindu yang digubah oleh Sunan Bonang, guna
mendorong kecintaan pada kehidupan Transedental (Alam Malakut)”Tombo Ati” adalah
salah satu karya Sunan Bonang. Sampai saat ini tembang tersebut masih dinyanyikan
dengan nilai ajaran Islam, juga pada pentas-pentas seperti: Pewayangan, hajat Pernikahan
dan acara ritual budaya Keraton.

2. Keris Jawa

Keris dikalangan masyarakat di jawa dilambangkan sebagai symbol “ Kejantanan “ dan


terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara
temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka. Di
kalender masyarakat jawa mengirabkan pusaka unggulan keraton merupakan kepercayaan
terbesar pada hari satu sura. Keris pusaka atau tombak pusaka merupakan unggulan itu
keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsure besi baja, besi, nikel, bahkan
dicampur dengan unsure batu meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga kokoh kuat,
tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan doa kepada sang maha pencipta alam
( Allah SWT ) dengan duatu apaya spiritual oleh sang empu. Sehingga kekuatan spiritual
sang maha pencipta alam itu pun dipercayai orang sebagai kekuatan magis atau
mengandung tuah sehingga dapat mempengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan kepada
pemakai senjata pusaka itu.

3. Kesenian Tarian Jawa

Tarian merupakan bagian yang menyertai perkembangan pusat baru ini.Ternyata pada
masa kerajaan dulu tari mencapai tingkat estetis yang tinggi. Jika dalam lingkungan rakyat
tarian bersifat spontan dan sederhana, maka dalam lingkungan istana tarian mempunyai
standar, rumit, halus, dan simbolis. Jika ditinjau dari aspek gerak, maka pengaruh tari India
yang terdapat pada tari-tarian istana Jawa terletak pada posisi tangan, dan di Bali ditambah
dengan gerak mata. Tarian yang terkenal ciptaan para raja, khususnya di Jawa, adalah
bentuk teater tari seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini merupakan
pusaka raja Jawa. Bedhaya Ketawang adalah tarian yang dicipta oleh raja Mataram ketiga,
Sultan Agung (1613-1646) dengan berlatarbelakang mitos percintaan antara raja Mataram
pertama (Panembahan Senopati) dengan Kangjeng Ratu Kidul (penguasa laut
selatan/Samudra Indonesia) (Soedarsono, 1990). Tarian ini ditampilkan oleh sembilan
penari wanita.

4. Kesenian Wayang
1) Wayang Kulit Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum
kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu
Jawa. Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara
keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animism dan dynamisme.
Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa
kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan
Mamenang/Kediri. Sektar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan
gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk
gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi
Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena
Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat
dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang
digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata
yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
2) Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan adalah jenis pertunjukan wayang kulit yang
bernafas Banyumas. Lakon-lakon yang disajikan dalam pementasan tidak berbeda
wayang kulit purwo, yaitu bersumber dari kitab Mahabarata dan Ramayana.
Spesifikasi wayang kulit gagrag Banyumasan adalah terletak pada tehnik
pembawaannya yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya masyarakat
setempat yang memilik pola kehidupan tradisional agraris.
3) Wayang Bocah
Berbagai macam pertunjukan kesenian yang anda lihat di Solo belum lengkap
rasanya sebelum melihat bertunjukan wayang bocah biasanya pernain wayang
adalah orang dewasa namun seperti namanya, wayang ini dimainkan anak anak
atau dalam bahasa jawa disebut bocah. Meskipun demikian kepiawaian mereka
bermain tak kalah dengan wayang orang yang dimainkan orang dewasa. Bahkan
selain melihat pertunjukannya. , juga dapat melihat latihannya dengan
mengunjungi sanggar tari Wayang Bocah Suryo Sumirat di Mangkunegaran atau
Meta Budaya di Kampung Baluwarti.
4) Wayang Orang Sriwedari
Wayang Orang berkembang sejak abad XVIII. Diilhami dari drama yang telah
berkembang di Eropa, KGPAA Mangkunegoro I di Surakarta menciptakan Wayang
Orang, namun tidak berkembang lama. pada saat Paku Buwono X membangun
Sriwedari sebagai taman hiburan untuk umum dan diresmikan pada tahun 1899,
diadakan pertunjukan Wayang Orang yang kemudian hidup sampai sekarang.
Wayang Orang Sriwedari telah berjasa besar ikut serta melestarikan kebudayaan
bangsa,yaitu seni wayang orang, seni tari, seni busana, seni suara serta seni
karawitan.
5) Wayang Golek Menak
Dijaman penyiaran agama Islam masuk ke wilayah Pulau Jawa khususnya diwilayah
Pantura Pulau Jawa mengalami hambatan -terutama diwilayah Kota Pemalang
sebagian masyarakat banyak yang menganut agama Hindu. Karena daerah
Pemalang merupakan tanah perdikan dari Kerajaan Majapahit. Untuk dapat
mempengaruhi ajaran-ajaran Islam para sunan wali dan ulama syiar dengan
menggunakan wayang sebagai medianya. Di Kabupaten Pemalang ada beberapa
jenis wayang yang tumbuh dan subur diantaranya : wayang kulit, wayang kemprah,
wayang tutur, wayang golek cepak, wayang golek badong, wayang golek menak.
Diantara wayang yang kami sebutkan di atas wayang kulit dan wayang golek menak yang
mendapat hati di masyarakat. Untuk itu, kami mengangkat wayang golek menak sebagai
kesenian unggulan. Bentuk wayang tak ubahnya dengan wayang golek di daerah kami,
terbuat dari kayu, dengan wajah tiga dimensi yang menggambarkan tokoh - tokoh pada
masa dahulu yang bersumber dari tokoh legenda dan tokoh islam. Cerita mengambil dari
dua sumber, bisa menceritakan ajaran - ajaran Islam dan cerita -cerita daerah setempat ,
tinggal menurut apa keinginan masyarakat atau kehendak yang punya hajat ataupun
panitia. Ke Khasan Wayang Golek MenakCerita daerah setempat dengan cerita yang tidak
dimiliki daerah lain.Gending. Gending iringan adaiah gending cengkok khusus daerah
setempat Pernalangan Yang tidak di ajarkan di pawiyatan seperti iringan wayang kulit
misainya.Sastra dan Sabet. Sastra kadang muncul dengan khas wayang golek menak serta
sabet atau gerak Wayang golek

Produk Khas
1. Batik (Batik of Central Java)
Salah satu jenis produk sandang yang berkembang pesat di Jawa tengah sejak beberapa
dekade, bahkan beberapa abad yang lalu, adalah kerajinan batik. Sebagian besar
masyarakat Indonesia telah mengenal batik baik dalam coraknya yang tradisional maupun
yang modern. Pada umumnya batik digunakan untuk kain jarik, kemeja, sprey, taplak meja,
dan busana wanita. Mengingat bahwa jenis produk ini amat dipengaruhi oleh selera
konsumen dan perubahan waktu maupun model, maka perkembangan industri batik di
Jawa Tengah juga mengalami perkembangan yang cepat baik menyangkut rancangan,
penampilan, corak dan kegunaannya, disesuaikan dengan permintaan dan kebutuhan pasar
baik dalam maupun luar negeri. Tradisonal secara historis berasal dari zaman nenek
moyang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif
batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah
perkembangannya batik di Jawa Tengah mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak
lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai
awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak
lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal
sekarang ini. Corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya
sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah
budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak
dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri. Sentra produksi batik di
Jawa Tengah banyak dijumpai di Kabupaten Pekalongan,Kota Pekalongan, Kota Surakarta,
dan Kabupaten Sragen. Dari sisi permintaan dan keunikan produk, peluang usaha di bidang
industri batik masih terbuka luas dan sangat menguntungkan. Pemasaran batik selain
untuk konsumsi lokal juga telah menembus pasar Eropa dan Amerika.
2. Mebel Ukir
Salah satu produk kayu olahan yang pertumbuhannya amat pesat dalam beberapa dekade
terakhir ini adalah produk mebel dan furniture. Berawal dari pekerjaan rumah tangga,
produk mebel kini telah menjadi industri yang cukup besar dengan tingkat penyerapan
tenaga kerja terdidik yang tidak sedikit. Produk jenis ini secara prinsip dibagi dalam dua
kategori yaitu mebel untuk taman (garden) dan interior dalam rumah (indoor).
Mebel dari Jawa Tengah ( furniture from Central Java )sudah terkenal sejak lama baik
karena kualitas, seni maupun harganya yang kompetitif. Banyak konsumen baik dalam
maupun luar negeri yang memesan furniture antik, yang walaupun dibuat baru, namun
diproses seolah-olah merupakan produk kuno (antik). Ada pula produk furniture yang
dibuat dari bonggol (tonggak) pohon yang dengan sentuhan-sentuhan seni berubah
menjadi produk furniture yang sangat menarik dan memiliki nilai jual tinggi. Sedangkan
corak dan gaya fungsional dan modern juga berkembang pesat bersamaan meningkatnya
permintaan untuk kebutuhan perkantoran dan hotel yang pembangunannya tumbuh pesat
dalam beberapa tahun terakhir ini, baik di dalam maupun luar negeri.

Produk furniture, khususnya ukiran dikembangkan oleh para pengrajin Jawa Tengah
berdasarkan keterampilan mengukir yang diwariskan oleh para leluhurnya. Disamping itu,
di Kota Semarang terdapat sekolah kejuruan yang mengkhususkan diri di bidang design
dan teknik perkayuan (PIKA) yang menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian tinggi.
Para luklusan PIKA tersebut telah ikut menjadi tulang punggung industri permebelan di
Jawa Tengah hingga mampu menghasilkan produk berkualitas dan memiliki daya saing
tinggi yang tidak kalah dengan produk luar negeri.

Produksi mebel Jawa Tengah berkembang dan tumbuh pesat seiring dengan permintaan
yang meningkat dari dalam maupun luar negeri, baik desain, konstruksi, corak maupun
pewarnaannya. Sebagian bahannya terbuat dari kayu, dan saat ini makin bervariasi karena
bahan bakunya tidak lagi semata-mata kayu jati tetapi juga mulai banyak menggunakan
kayu mahoni dan jenis lainnya, serta bahan logam.
Sentra-sentra produksi mebel di Jawa Tengah tersebar di Kota Semarang, Kabupaten
Jepara, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Rembang,
Kabupaten Blora, Batang, Sragen. Investasi di produk ini masih terbuka dengan persaingan
yang cukup ketat.
Tradisi Upacara Adat
1. Upacara adat Tingkepan atau Mintoni sendiri
merupakan sebuah upacara adat yang dilaksanakan untuk memperingati kehamilan
pertama ketika kandungan sang ibu hamil tersebut memasuki bulan ke tiga, lima dan
puncaknya ke tujuh bulan. Adapun maksud dan tujuan dari digelarnya upacara adat ini
adalah untuk mensucikan calon ibu berserta bayi yang di kandungnya, agar selalu sehat
segar bugar dalam menanti kelahirannya yang akan datang.
Kronologi singkat dari upacara tingkepan ini sendiri adalah menggelar selametan pada
bulan ketiga, lima dan kemudian puncaknya adalah pada bulan ke tujuh sang ibu hamil pun
menggelar sebuah prosesi upacara berupa memandikan atau mensucikan calon ibu
berserta bayi yang di kandung, agar kelak segar bugar dan selamat dalam menghadapi
kelahirannya.

a. Pertama-tama sang calon ayah dan calon ibu yang akan melakukan upacara Tingkepan
duduk untuk menemui tamu undangan yang hadir untuk menyaksikan upacara.
Tingkepan ini di ruang tamu atau ruang lain yang cukup luas untuk menampung para
undangan yang hadir. Setelah semua undangan hadir maka barulah kemudian sang
calon ibu dan ayah inipun di bawa keluar untuk melakukan ritual pembuka dari acara
tingkepan itu sendiri yakni sungkeman. Sungkeman adalah sebuah prosesi meminta
maaf dan meminta restu dengan cara mencium tangan sambil berlutut. Kedua calon
ayah dan calon ibu dengan diapit oleh kerabat dekat diantarkan sungkem kepada
eyang, bapak dan ibu dari pihak pria, kepada bapak dan ibu dari pihak puteri untuk
memohon doa restu. Baru kemudian bersalaman dengan para tamu lainnya.
b. Setelah acara sungkeman selesai barulah kemudian digelar upacara inti yakni
memandikan si calon ibu setelah sebelumnya peralatan upacara tersebut telah
dipersiapkan. Alat-alat dan bahan dalam upacara memandikan ini sendiri adalah
antara lain bak mandi yang dihias dengan janur sedemikian rupa hingga kelihatan
semarak, alas duduk yang terdiri dari klosobongko, daun lima macam antara lain, daun
kluwih, daun alang-alang, daun opo-opo, daun dadapserat dan daun nanas. Jajan pasar
yang terdiri dari pisang raja, makanan kecil, polo wijo dan polo kependem, tumpeng
rombyong yang terdiri dari nasi putih dengan lauk pauknya dan sayuran mentah. Baki
berisi busana untuk ganti, antara lain kain sidoluhur; bahan kurasi; kain lurik yuyu
sukandang dan morikputih satu potong; bunga telon yang terdiri dari mawar, melati
dan kenanga; cengkir gading dan parang serta beberapa kain dan handuk.
c. Setelah semua bahan lengkap tersedia maka barulah kemudian si calon ibu pun di
mandikan. Pertama-tama yang mendapat giliran memandikan biasanya adalah nenek
dari pihak pria, nenek dari pihak wanita, dan kemudian barulah secara bergiliran ibu
dari pihak pria, ibu dari pihak wanita, para penisepuh yang seluruhnya berjumlah
tujuh orang dan kesemuanya dilakukan oleh ibu-ibu. Disamping memandikan, para
nenek dan ibu-ibu ini pun diharuskan untuk memberikan doa dan restunya agar kelak
calon bayi yang akan dilahirkan dimudahkan keluarnya, memiliki organ tubuh yang
sempurna (tidak cacat), dan sebagainya.
d. Sementara itu, ketika calon ibu dimandikan maka yang dilakukan oleh calon ayah
berbeda lagi yakni mempersiapkan diri untuk memecah cengkir (kelapa muda) dengan
parang yang telah diberi berbagai hiasan dari janur kelapa. Proses memecah cengkir
ini sendiri hanya sekali ayun dan harus langsung terbelah menjadi dua bagian. Maksud
dari hanya sekali ayun dan harus langsung terbelah ini sendiri adalah agar kelak ketika
istrinya melahirkan sang anak tidak mengalami terlalu banyak kesulitan. Setelah
semua upacara itu terlewati, langkah selanjutnya adalah sang calon ayah dan calon ibu
yang telah melakukan upacara tersebut pun diiring untuk kembali masuk kamar dan
mengganti pakaian untuk kemudian bersiap melakukan upacara selanjutnya yakni
memotong janur. Prosesi memotong janur ini sendiri adalah pertama-tama janur yang
telah diambil lidinya itu dilingkarkan ke pinggang si calon ibu untuk kemudian
dipotong oleh si calon ayah dengan menggunakan keris yang telah dimantrai. Proses
memotong ini sama seperti halnya ketika memecah cengkir, sang calon ayah harus
memotong putus pada kesempatan pertama.
e. Setelah selesainya upacara memotong janur ini pun kemudian dilanjutkan dengan
upacara berikutnya yakni upacara brojolon atau pelepasan. Upacara brojolan ini
sendiri adalah sebuah upacara yang dilakukan oleh calon ibu sebagai semacam
simulasi kelahiran. Dalamupacara ini pada kain yang dipakai oleh calon ibu
dimasukkan cengkir gading yang bergambar tokoh pewayangan yakni Batara
Kamajaya dan Batari Kamaratih. Tugas memasukkan cengkir dilakukan oleh ibu dari
pihak wanita dan ibu dari pihak pria bertugas untuk menangkap cengkir tersebut di
bawah (antara kaki calon ibu). Ketika cengkir itu berhasil ditangkap maka sang ibu itu
pun harus berucap yang jika dibahasa Indonesiakan berbunyi, “Pria ataupun wanita
tak masalah. Kalau pria, hendaknya tampan seperti Batara Kamajaya dan kalau putri
haruslah cantik layaknya Batari Kamaratih.” Kemudian seperti halnya bayi sungguhan,
cengkir yang tadi ditangkap oleh ibu dari pihak pria ini pun di bawa ke kamar untuk
ditidurkan di kasur.
f. Langkah berikutnya yang harus dilakukan oleh calon ibu ini pun harus memakai tujuh
perangkat pakaian yang sebelumnya telah disiapkan. Kain-kain tersebut adalah kain
khusus dengan motif tertentu yaitu kain wahyutumurun, kain sidomulyo, kain sidoasih,
kain sidoluhur, kain satriowibowo, kain sidodrajat, kain tumbarpecah dan kemben
liwatan. Pertama, calon ibu mengenakan kain wahyutumurun, yang maksudnya agar
mendapatkan wahyu atau rido yang diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Kedua,
calon ibu mengenakan kain sidomulyo, yang maksudnya agar kelak hidupnya
mendapatkan kemuliaan. Ketiga, calon ibu mengenakan kain sidoasih, maksudnya agar
kelak mendapatkan kasih sayang orang tua, maupun sanak saudara. Keempat, calon
ibu mengenakan busana kain sidoluhur, maksud yang terkandung di dalamnya agar
kelak dapat menjadi orang yang berbudi luhur. Kelima, calon ibu mengenakan kain
satriowibowo, maksudnya agar kelak dapat menjadi satria yang berwibawa. Keenam,
calon ibu mengenakan busana kain sidodrajat, terkandung maksud agar kelak bayi
yang akan lahir memperoleh pangkat dan derajat yang baik. Ketujuh, calon ibu
mengenakan busana kain tumbarpecah dan kemben liwatan yang dimaksudkan agar
besok kalau melahirkan depat cepat dan mudah seperti pecahnya ketumbar,
sedangkan kemben liwatan diartikan agar kelak dapat menahan rasa sakit pada waktu
melahirkan dan segala kerisauan dapat dilalui dengan selamat. Sambil mengenakan
kain-kain itu, ibu-ibu yang bertugas merakit busana bercekap-cakap dengan tamu-
tamu lainnya tentang pantas dan tidaknya kain yang dikenakan oleh calon ibu. Kain-
kain yang telah dipakai itu tentu saja berserakan dilantai dan karena proses
pergantiannya hanya dipelorotkan saja maka kain-kain tersebutpun bertumpuk
dengan posisi melingkar layaknya sarang ayam ketika bertelur. Dengan tanpa
dirapikan terlebih dahulu kain-kain tersebut kemudian dibawa ke kamar.
g. Prosesi selanjutnya sekaligus sebagai penutup dari rangkaian prosesi upacara tersebut
adalah calon ayah dengan menggunakan busana kain sidomukti, beskap, sabuk bangun
tulap dan belankon warna bangun tulip, dan calon ibu dengan mengenakan kain
sidomukti kebaya hijau dan kemben banguntulap keluar menuju ruang tengahdimana
para tamu berkumpul. Di sini sebagai acara penutup sebelum makan bersama para
tamu, terlebih dahulu dilakukan pembacaan doa dengan dipimpin oleh sesepuh untuk
kemudian ayah dari pihak pria pun memotong tumpeng untuk diberikan kepada calon
bapak dan calon ibu untuk dimakan bersama-sama. Tujuan dari makan timpeng
bersama ini sendiri adalah agar kelak anak yang akan lahir dapat rukun pula seperti
orang tuanya. Pada waktu makan ditambah lauk burung kepodang dan ikan lele yang
sudah digoreng. Maksudnya agar kelak anak yang akan lahir berkulit kuning dan
tampan seperti burung kepodang. Sedangkan ikan lele demaksudkan agar kelak kalau
lahir putri kepala bagian belakang rata, supaya kalau dipasang sanggul dapat
menempel dengan baik. Usai makan bersama, acara dilanjutkan upacara penjualan
rujak untuk para tamu sekaligus merupakan akhir dari seluruh acara tingkepan atau
mitoni. Sambil bepamitan, para tamu pulang degan dibekali oleh-oleh, berupa nasi
kuning yang ditempatkan di dalam takir pontang dan dialasi dengan layah. Layah
adalah piring yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan, takir pontang terbuat dari daun
pisang dan janur kuning yang ditutup kertas dan diselipi jarum berwarna kuning
keemasan.

Upacara Pernikahan Adat Jawa Tengah


Sebelum melaksanakan upacara adat perkawinan, yang pertama kali harus dilakukan
adalah memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa agar acara dapat berlangsung dengan
baik dari awal sampai akhir.
Masyarakat Jawa Tengah dan sekitarnya akrab dengan budaya leluhur, bila akan
melaksanakan sebuah hajatan, biasanya tak akan lupa menyediakan sesajen di berbagai
tempat tertentu, khususnya di sekitar rumah.

Prosesi Upacara Pernikahan Adat Jawa Tengah adalah sebagai berikut:

1. Bersih Lahir Batin

Sebelum kedua mempelai terikat perkawinan, Sebelum pesta perkawinan tradisonal ini


dilangsungkan, keduanya harus dibersihkan terlebih dahulu baik lahir maupun batin.
Tujuannya agar kedua calon mempelai benar-benar bersih dari segala hal dan siap
menyongsong status sebagai suami istri dalam keadaan bersih.

2. Midodareni

Midodareni adalah acara perkenalan dan silaturahmi antar keluarga. Dari pihak pria
dilakukan oleh sesepuh dan keluarga dekat pengantin pria. Selain itu wakil orang tua
pengantin pria juga dibekali dengan bingkisan balasan sebagai tanda kasih sayang dari
keluarga pengantin wanita.Prosesi midodareni ini adalah awal dari rangkaian pesta
pernikahan tradisonal yang biasa dilakukan di Jawa.
3. Upacara Injak Telur
Selanjutnya, Upacara dan Pesta Pernikahan Tradisional ini dilanjutkan dengan Upacara
Injak Telur. Acara ini mengandung harapan bagi pengantin wanita untuk segera
mempunyai keturunan, karena injak telur ini identik dengan pecah wiji dadi. Telur ini juga
mempunyai makna sebagai keturunan yang akan lahir sebagai cinta kasih berdua.
Kemudian dilanjutkan mencuci kaki pengantin pria yang dilakukan oleh pengantin wanita
yang melambangkan kesetiaan istri pada suaminya.
4. Sikepan Sindur
Setelah acara injak telur selesai dilanjutkan dengan sikepan sindur yang dilakukan oleh ibu
pengantin wanita. Sindur ini akan dibentangan pada kedua bahu mempelai. Adapun makna
upacara ini mengandung harapan bahwa dengan sinfur tersebut kelak keduanya akan
semakin erat karena dipersatukan dengan ibunda.
Sedangkan tugas ayah sebagai kepala rumah tangga berjalan di muka sebagai pemandu
anak mengikuti langkah terbaik dalam hidup yang akan dijalani. Sang ayah bertugas
sebagai penunjuk jalan kehidupan di masa depan dan hal ini perlu dijadikan contoh bagi
pasangan baru.

5. Acara Pangkuan
Acara pangkuan disebut juga dengan istilah timbang bobot. Pada acara ini pengantin pria
duduk di paha sebelah kanan dan pengantin wanita duduk di paha sebelah kiri sang ayah
pengantin wanita, yang kemudian ditanya oleh sang ibu mana yang lebih berat dan dijawab
sama berat.

Pada saat ini sang ayah seakan-akan sedang menimbang keduanya yaitu antara anak
kandung dan menantu. Maknanya adalah bila kedua mempelai sudah mempunyai
keturunan akan memiliki kasih sayang kepada putra-putrinya sebagaimana layaknya sang
ayah memiliki kasih sayang yang sama antara anak kandung dan anak menantu.

6. Kacar-Kucur
Tahap upacara panggih adalah kacar-kucur. Acara ini melambangkan kesejahteraan dan
tugas mencari nafkah dalam kehidupan berumah tangga yang dilakukan dalam bentuk biji-
bijian, beras kuning, uang recehan yang semuanya diberikan kepada ibu. Begitu berat tugas
suami dalam mencari nafkah, begitu juga istri dalam mengelolanya. Meski begitu mereka
tetap ingat kepada orang tua mengingat perannya yang sangat besar dalam kehidupan
seseorang.

7. Dahar Klimah | Dulang-dulangan


Acara selanjutnya adalah dahar klimah atau dulang-dulangan. Acara ini cukup menarik dan
seru karena kedua mempelai saling menyuapi yang dilakukan sebanyak tiga kali dan
dilanjutkan dengan minum air putih.

Proses ini sebenarnya mengandung harapan agar kedua mempelai senantiasa rukun, saling
tolong menolong serta sepenanggungan dalam menempuh hidup baru. Selain itu juga
mengandung makna sebagai ungkapan saling mencintai dan saling memperhatikan pada
pasangan.
8. Titik Pitik

Setelah dahar klimah, upacara titik pitik pun dilaksanakan. Yaitu saat besan datang untuk
menyaksikan upacara sakral tersebut. Dengan hadirnya besan berarti keluarga semakin
berambah besar dan menjadi satu kesatuan yang kuat sebagai keluarga.

9. Ngabekten | Sungkeman
Ngabekten biasa disebut dengan istilah sungkeman atau menyembah. Sungkeman pertama
ditujukan kepada orang tua yang diteruskan kepada para sesepuh lainnya seperti nenek,
kakek dan sebagainya.

Sungkeman ini dilakukan dengan penuh takzim dan membuat suasana haru, karena
pasangan muda ini sangat awam dalam menghadapi persoalan kehidupan rumah tangga.
Padahal sejak itu mereka harus melangkah sendiri dan akan menjadi orang tua bagi anak-
anaknya kelak. Oleh sebab itulah bekal berupa doa restu merupakan hal yang sangat
penting dan ditunggu-tunggu oleh pasangan pengantin.

Prosesi prosesi tersebut diatas biasanya ada yang dilakukan secara utuh artinya semua
kegiatan upacara pernikahan adat tersebut dilaksanakan semua, ada pula yang
melaksanakan hanya beberapa bagian dari prosesi tersebut diatas.
Semua prosesi tadi biasanya dilakukan sebelum pesta perkawinan atau bersamaan
dengan pesta pernikahan yang biasanya menggunakan pesta pernikahan tradisional juga.
1. Tedhak Siten (Ritual Turun Tanah)
Tedhak artinya turun atau menapakkan kaki, Siten dari kata siti artinya tanah atau bumi.
Jadi tedhak siten berarti menapakkan kaki kebumi.Ritual tedhak siten      menggambarkan
persiapan seorang anak untuk menjalani kehidupan yang benar dan sukses dimasa
mendatang, dengan berkah Gusti, Tuhan dan bimbingan orang tua dan para guru dari sejak
masa kanak-kanak. Upacara tedhak siten juga punya makna kedekatan anak manusia
kepada IbuPertiwi, tanah airnya.
Dengan menjalani kehidupan yang baik dan benar dibumi ini dan sekaligus tetap merawat
dan menyayangi bumi, maka kehidupan didunia terasa nyaman dan menyenangkan. Ini
untuk mengingatkan bahwa bumi atau tanah telah memberikan banyak hal untuk
menunjang kehidupan manusia. Tanpa ada bumi,  sulit dibayangkan bagaimana eksistensi
kehidupan manusia , sang suksma yang berbadan halus dan kasar.

Manusia wajib bersyukur kepada Gusti, Tuhan , diberikan kehidupan yang memadai dibumi
yang alamnya sangat kondusif, memungkinkan mahluk manusia dan mahluk-mahluk yang
lain bermukim disini. Inilah kesempatan untuk berbuat yang sebaik-baiknya, berkarya
nyata, tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarganya, tetapi untuk peradaban seluruh
umat manusia, yang semuanya adalah titah Gusti dan asal muasalnya dari tempat yang
sama.
Hendaknya diingat bahwa tanah adalah salah satu elemen badan manusia dan yang tak
terpisahkan dengan elemen-elemen yang lain, yaitu air, udara dan api, yang mendukung
kiprah kehidupan suksma didunia ini, atas kehendak Gusti.
Kapan diadakan upacara tedhak siten?
Pada waktu seorang anak kecil berumur tujuh selapan atau 245 hari. .Selapan merupakan
kombinasi hari tujuh menurut kalender internasional dan hari lima sesuai  kalender
Jawa.Oleh karena itu selapanan terjadi setiap 35 hari sekali. Bisa jatuh hari Senin Legi,
Selasa Paing dst.
Biasanya pelaksanaan upacara tedhak siten diadakan pagi hari dihalaman depan
rumah.Selain kedua orang tua bocah, kakek nenek dan para pinisepuh merupakan tamu
terhormat, disamping tentunya diundang juga para saudara dekat.
Seperti pada setiap upacara tradisional, mesti dilengkapi dengan sesaji yang sesuai.
Bermacam sesaji yang ditata rapi, seperti beberapa macam bunga, herbal dan hasil bumi
yang dirangkai cantik, menambah sakral dan marak suasana ritual.

Sesaji itu bukan takhayul, tetapi intinya bila diurai merupakan sebuah doa permohonan
kepada Gusti, Tuhan, supaya upacara berjalan dengan selamat dan lancar. Juga  tujuan dari
ritual tercapai, mendapatkan berkah Gusti.
Jalannya upacara
1. Anak dituntun untuk berjalan maju dan menginjak bubur tujuh warna yang terbuat
dari beras ketan. Warna-warna itu adalah : merah, putih, oranye, kuning, hijau, biru
dan ungu. Ini perlambang , anak mampu melewati berbagai rintangan dalam hidupnya.
Strata kesadarannya juga selalu meningkat lebih tinggi. Dimulai dari kehidupan
duniawi, untuk menunjang dan mengembangkan diri, terpenuhi kebutuhan raganya,
kehidupan materinya cukup, raganya sehat, banyak keinginannya terpenuhi. Seiring
pertumbuhan lahir, keperluan batin  meningkat ke kesadaran spiritual .
2. Anak dituntun menaiki tangga yang terbuat dari batang tebu Arjuna, lalu turun lagi.
Tebu merupakan akronim dari antebing kalbu, mantapnya kalbu, dengan tekad hati
yang mantap. Tebu Arjuna melambangkan supaya si anak bersikap seperti Arjuna,
seorang yang berwatak satria dan bertanggung jawab. Selalu berbuat baik dan benar,
membantu sesama dan kaum lemah, membela kebenaran, berbakti demi bangsa dan
negara.
3. Turun dari tangga tebu, si anak  dituntun untuk berjalan dionggokan pasir. Disitu dia
mengkais pasir dengan kakinya, bahasa Jawanya ceker-ceker, yang arti kiasannya
adalah mencari makan. Maksudnya si anak setelah dewasa akan mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya.
4. Si bocah dimasukkan kedalam sebuah kurungan yang dihias apik, didalamnya terdapat
berbagai benda seperti : buku, perhiasan, telpon genggam dlsb. Dibiarkan bocah itu
akan  memegang barang apa. Misalnya dia memegang buku, mungkin satu hari dia mau
jadi ilmuwan. Pegang telpon genggam, dia bisa jadi tehnisi atau ahli komunikasi.
Kurungan merupakan perlambang dunia nyata, jadi si anak memasuki dunia nyata dan
dalam kehidupannya dia akan dipenuhi kebutuhannya melalui pekerjaan/aktivitas
yang telah dipilihnya secara intuitif sejak kecil.
5. Ayah dan kakek si bocah menyebar udik-udik, yaitu uang logam dicampur berbagai
macam bunga. Maksudnya si anak sewaktu dewasa menjadi orang yang      dermawan,
suka menolong orang lain. Karena suka menberi, baik hati, dia juga akan mudah
mendapatkan rejeki. Ada juga  ibu si anak mengembannya, sambil ikut
menyebarkan udik-udik.
6. Kemudian anak tersebut dibersihkan dengan dibasuh atau dimandikan dengan air
sritaman, yaitu air yang dicampuri bunga-bunga : melati, mawar, kenanga dan kantil.
Ini merupakan pengharapan , dalam kehidupannya, anak ini nantinya harum namanya
dan bisa mengharumkan nama baik keluarganya.
7. Pada akhir upacara, bocah itu didandani dengan pakaian bersih dan bagus. Maksudnya
supaya si anak mempunyai jalan kehidupan yang bagus dan bisa membuat bahagia
keluarganya.
            Demikian, ritual tedhak siten telah selesai. Seluruh keluarga berbahagia dan berharap
semoga Gusti memberikan berkahnya, supaya tujuan ritual  berhasil. Selanjutnya para
hadirin dipersilahkan menyantap hidangan yang telah disediakan.

Sistem Religi dan Kepercayaan 


Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat suku bangsa
Jawa. Hal tersebut tampak nyata pada bangunan-bangunan tempat beribadah bagi umat
Islam.
1. Golongan Islam santri adalah golongan Islam yang menjalankan ibadahnya sesuai
dengan ajaran Islam. Dengan melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan syariat-
syariatnya. 
2. Golongan Islam Kejawen ialah golongan yang percaya pada ajaran Islam. Tetapi tidak
secara patuh menjalankan rukun Islam. 

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Setiap daerah memiliki kebudayaan sendiri-sendiri, dan itu merupakan ciri khas mereka,
meskipun memang pada intinya sama, yaitu mengajarkan atau menuntun kebaikan.
Kebudayaaan sendiri adalah karakter yang nantinya mencirikan tiap-tiap daerah atau
bahkan negara. Memang diakui sendiri peraturannya sulit dan bermacam-macam, namun
masyarakat sendiri dengan sadar diri dan ikhlas melakukannya, karena mereka sadar
mereka adalah bagian dari kebudayaan pada daeah tersebut.Meskipun ada yang berbau
mistis, namun mereka tetap tidak meninggalkan syariat agama masing-masing, artinya
mereka dengan pintar memadukan antara kebudayaan dan ajaran agama. Intinya bahwa
kebudayaan adalah sikap atau kebiasaan yang “baik” yang dihasilkan oleh suatu
masyarakat dan melekat pada masyarakat tersebut, sekalipun itu sulit dilakukan.

B.  Saran
Budaya merupakan karekter bangsa, maka dari itu kita wajib melestarikan agar kita
menjadi bangsa yang bermartabat. Setiap kebudayaan tidak ada yang baik atau buruk
karena pada intinya sama, yaitu menuntun manusia berbuat baik. Meskipun berbeda
namun hati tetap sama, justru dengan adanya keanekaragaman itu kita menjadi manusia
yang bisa lebih menghargai orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Tengah
http://www.blogster.com/anjjateng/seni-budaya-jawa-tengah
http://jateng.bps.go.id/
http://psigoblok.wordpress.com/2011/12/29/makalah-softskill-psikologi-lintas-budaya-
kebudayaan-jawa-tengah/
http://id.scribd.com/doc/35037067/16/MATA-PENCAHARIAN

Anda mungkin juga menyukai