Anda di halaman 1dari 15

MENGENAL LEBIH DALAM TENTANG SUKU BUGIS MELALUI TETANGGA SEKITAR KITA

CAROLINE CHIKO MEYRISMA YANTI

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

05010220008@student.uinsby.ac.id

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang letaknya sangat geografis dan strategis karena
berada diantara dua samudera,yaitu samudera Indonesia dan samudera Pasifik. Faktor
geografis menyebabkan Indonesia memiliki berbagai masyarakat yang berada di satu pulau
dengan pulau yang lain. Sedangkan faktor strategisnya berpengaruh pada keberagaman
adat istiadat, kebudayaan, serta agama. Indonesia juga disebut sebagai negara kepulauan
yang menyebabkan masyarakat tiap pulau memiliki perbedaan kebudayaan, dan mereka
selalu berupaya untuk mengembangkan kebudayaannya masing-masing. Kemudian karena
memiliki kondisi alam yang berbeda, Indonesia memiliki berbagai banyak suku. Seperti
halnya di suku Jawa kondisi alamnya sudah berbeda dengan kondisi alam yang berada di
suku sunda. Tidak hanya kondisi alam saja yang berbeda, melainkan juga adat istiadat atau
kebiasaaan, kebudayaannya pun juga sudah berbeda. Meskipun ada juga yang sama-sama
suku jawa, terkadang ada juga yang memiliki kesenian daerah berbeda. Contohnya di Jawa
Timur memiliki kesenian reog dan ludurk, sedangkan di Jawa Tengah memiliki kesenian
daerah Srimpi dan Ketoprak. Faktor lain Indonesia memiliki berbagai macam kebudayaan
adalah karena adanya alkulturasi atau gabungan antara dua budaya yang berbeda.
Masyarakat Indonesia juga memiliki perbedan ras. Hal tersebut karena pengaruh dari
kebudayaan asing yang masuk ke dalam Indonesia. Selain suku Jawa, antara lain Indonesia
juga memiliki kebudayaan suku Bugis serta suku Ulun Lampung.

Indonesia memiliki kultur kebudayawan yang berkembang 1 karena proses


pewarisannya. Definisi kultur menurut Bakker ialah hal yang didapatkan melalui proses.
Kultur yaitu pengolahan nilai insani, penertiban, penciptaan, seperti itu definisi kultur
menurut Bakker. Namun penjelasan kultur menurut dunia kesenian ialah, segala karya
manusia yang memiliki nilai estetika, entah dari bentuk karyanya berwujud benda ataupun
yang berwujud nonbenda. Sebuah karya memiliki nilai yang terletak pada keindahannya.
Ilmu prehistori mendefisinikan pengertian kultur sebagai segala karya yang berupa benda
serta alat – alat penting yang dihasilkan manusia dan memberikan manfaat untuk
kehidupannya saat masa manusia masih buta huruf.

Indonesia diantaranya memiliki suku Bugis, suku Jawa, dan, Suku Ulun Lampung.
Suku Jawa merupakan suku terbesar yang berada di Indonesia. Suku Jawa berasal dari
beberapa daerah di berbagai provinsi Indonesia. Antara lain yaitu provinsi Jawa Timur,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat yang bertempat di kabupaten
Indramayu, serta di Banten yang bertempat di daerah Serang – Cilegon. Etnis Jawa yang asli

1
Amri Marzali, ‘Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia’, 26.3 (2014), 256.

1
penduduk Indonesia menurut perkiraan perkiraan struktur penduduk menurut suku
bangsa mencapai 61,88% dari sekian jumlah penduduk Indonesia 2. Kemudian di Indonesia
juga memiliki suku Ulun Lampung yang bertempat di pulau Sumatera. Provinsi lampunglah
yang menjadi bagian dari suku Ulun Lampung, tapi sebagain juga ada yang dari bagian
paling selatan provinsi Sumatera Selatan. Daerah dari provinsi Sumatera Selatan yang
bersuku Ulun Lampung diantara lain dari kabupaten Ogan Komering Ulu yakni daerah
Muaradua dan Martapura, dari kabupaten Ogan Komering Ilir antara lain daerah Kayu
Agung dan juga Tanjung Raja, serta disebelah selatan Bengkulu daerah Merpas Nasal Kaur,
dan di pantai barat Banten daerah Cikenong. Menurut struktur penduduk suku bangsa,
jumlah masyarakat Indonesia yang mengikuti suku Ulum Lampung sebanyak 11,92% 3.
Suku bugis merupakan suku yang meninggali daerah Sulawesi Selatan, dengan julukan To
Ugi yang berarti orang-orang. Saat ini suku bugis sudah tersebar di berbagai provinsi yang
berada di Indonesia, diantaranya provinsi Papua, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur,
Sulawei Tenggara, dan Kalimantan Selatan. Namun ada juga orang Bugis yang merantau di
berbagai mancanegara atau menyebar di seluruh Indonesia, dengan alasan entah itu
mencari nafkah, mengikuti suaminya yang bukan merupakan orang asli suku Bugis.
Menurut hasil sensus penduduk Indonesia tahun 2000, ada sekitar enam juta jiwa populasi
masyarakat Bugis. Karena di Indonesia muncul suku Bugis, peneliti memiliki rasa ingin tau
lebih lanjut mengenai suku Bugis, sehingga peneliti akan memperdalam lagi mengenai
segala hal yang berkaitan dengan suku Bugis.

ASAL – USUL DAN PERKEMBANGAN SUKU BUGIS

Dalam buku sastra I La Galigo menyebutkan bahwa saat masa pemerintahan raja-
raja merupakan pertama kalinya masyarakat Sulawesi Selatan. Alasan mereka melakukan
emigrasi adalah karena ruang gerak mendapatkan nafkah. Suku melayu deutro merupakan
golongan Bugis. Meski masyarakat Indonesia mengenalnya dengan suku Bugis, namun
pemakaian istilah Bugiis sendiri keterangan jelasnya belum memadai 4. Oleh sebab itu
mereka menamainya dengan sebutan To Ugi. To Ugi sendiri merupakan kata asal dari
Bugis. Kata Ugi awal mulanya terinspirasi dari raja pertama dari kerajaan Cina yang
beradaa di Pammana, kabupaaten Wajo. Kemudian oleh rakyat dinamai dengan La
Sattumpugi untuk sebutan diriinya. We Cudai merupakan ayah dari Batara sekaligus suami
dari Sawerigading yang melahirkan anak salah satunya bernama La Galigo. Kemudian hal
lain mengatakan bahwa kata Bugis berasal dari Portugis. Karena kedatangan Portugis yang
mendatangi wilayah Sulawesi Selatan ketika abad yang ke-16 juga jadi alasan lain bahwa
istilah Bugis yang berasal dari bahasa Portugis yakni Bougis5.

Seluruh masyarakat Bugis hanya bertempat tinggal di tahah Makassar dan tanah
Bugis pada awalnya. Dalam memberikan kemajuan berikutnya mereka mulai merantau ke
2
Sulistyowati Irianto and Risma Margaretha, ‘Piil Pesenggiri: Modal Budaya Dan Strategi Identitas Ulun Lampung’,
Makara Human Behavior Studies in Asia, 15.2 (2011), 141 <https://doi.org/10.7454/mssh.v15i2.1420>.
3
Irianto and Margaretha.
4
Ridhwan Ridhwan, ‘Kepercayaan Masyarakat Bugis Pra Islam’, Ekspose: Jurnal Penelitian Hukum Dan Pendidikan,
17.1 (2019), 485 <https://doi.org/10.30863/ekspose.v17i1.107>.
5
Ridhwan.

2
berbagai negara dan wilayah, namun hanya beberapa masyarakat Bugis saja yang
merantau pergi dari rumah tempat tinggalnya. Mereka menciptakan dan mengembangkan
kebudayaannya sebagai kreasi. Berdasarkan geografis, dewasa ini terletak di Provinsi
Sulawesi Selatan, Kawasan Indonesia Bagian Timur, dengan tanah Bugis dan Makassar 6.
Bagi masyaarakat Bugis merantau merupakan bagian dari kebudayaan masyarakatnya.
Namun mereka sebelum merantau sudah mempertiimbangkan berbagai hal. Bugis
memiliki kerajaan klasik, yang diantaranya adalah kerajaan Bone, Waajo, Soppeng, Luwu,
Supa, Sawito, Sidenreng dan juga Rapang. Yang kemudian persebarannya tidak
mengalihkan mereka untuk berpindah suku. Adanyaa pertaliian darah antara Makassar
dengan Mandar disebabkan karena sebuah pernikahan diantaranya. Hal tersebut
menyebabkan persebaran orang Bugis menjadi lebih luas. Bulukumba, Sinjai, Maros,
Kepulauan Pangkajene merupakan daeraah peralihan Bugiis dengan Makassar. Sedangkan
kabupaten Pinrang dan Polmas merupakan daerah peraliihan antara Bugis dan Mandar.

Kerajaan tertua yang membersamai kerajaan Ciina adalah kerajan Luwu. Kerajaan
Bone, Gowa, Sopeng, Wajo, serta kerajaan Sidenreng Rapang dan Mandar merupakan
kerajaan yang asal muasalnya berasal darii kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yakni
Kedatuan Luwu. Pemukim dari lembah Ceenrane yang bertempat tinggal di sekitar batas
pantai tahun 1300, yang berkomunikasi dengan masyarakat Bugis. Masyarakat Bugis
ditemukan nyaris disepanjang pantaii, sehingga terbukti bahwa mereka bermigrasi untuk
berdagang dengan masyarakat adat Luwu. Meski masyarakat Sulawesi Selatan dalam hal
tradisi dan kebudayaan secara umum mereka memiliki persamaan, tapi menurut fakta
secara lambat laut mereka mengalami paradigma yang menyebabkan mereka membangun
tradisi dan juga budaya sendiri. Sehingga berbagai entitas etnis masyarakat Sulawesi
Selatan mulai terbentuk sampai saat ini.

Meski begitu asal-usul orang Bugiis sendiri masih tidak pasti dan belum jelas 7.
Sulawesi Selatan disebutkan oleh para ahli mengalami masa gelap dalam sejarah saat abad
ke-1 sampai ke-10 M. Ahli menyebutkan, pulau Sulawesi, khususnya Sulawesi bagian
selatan, merupakan daerah penyebaran manusia prasejarah.

PERKEMBANGAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT BUGIS

Sebelum kedatangan agama Islam, Sulawesi Selatan sudah mapan dengan siistem
kepercayaannya8. Pada masa itu perspektif tentang kerohanian lebih dikuatkan.
Kepercayaan kuno seperti percaya dengan kehadiran dewa tunggal ini dipercayai dan
dipegang teguh orang Sulawesi Selatan selama berabad – abad bahkan saat ini
pengaruhnya masih terasa. Sistem religi Bugis-Makassar pra Islam sejatinya bersifat
pribumi, meski memiliki beberapa persamaan dengan konsep religi India, baik Hindu
maupun Buddha. Baik dalam konseptual teologis maupun kosmologis, pola kepercayaan
Sulawesi Selatan secara umum seperti itu, bahkan sampai praktik ritual keagamaan saat
ada upacara keagamaan. Namun masyarakat Bugis sebelum datangnya Islam menyakini
6
A. B. Takko, ‘Budaya Bugis Dan Persebarannya Dalam Perspektif Antropologi Budaya’, 15.1 (2020), 28.
7
Ridhwan.
8
Sabara Nuruddin, ‘Islam Dalam Tradisi Masyarakat Lokal Di Sulawesi Selatan’, Mimikri, 4.1 (2018), 57.

3
bahwa roh nenek moyang, dewa, dan makhluk ghaib lainnya memang ada atau disebut
dengan paham dinamisne atau animism, seperti Gaukeng yang dipercaya sesosok halus
yang menjaga sejenis komunitas. Pemujaan sosok suci mulai berkembang karena
keyakinan tersebut. Orang Sulawesi Selatan menyebutnya dengan sebutan Saukang,
berbeda dengan Gaukeng sebutan dari Bugis Makassar. Nenek moyang Sulawesi Selatan
memiliki pandangan bahwa mitos memiliki tigas lapisan banua, diantaranya, kale lino
(dunia tengah), bating langi’ (dunia atas), serta paratiki (dunia bawah). Sama seperti orang
suku Jawa, masyarakat Sulawesi Selatan juga mempercayai akan adanya malapetaka jika
ada suatu mitos yang dilanggar. Dan untuk menghindarinya maka harus diadakan
pemujaan kepada dewa yang dipimpin oleh seorang tokoh, diantaranya yaitu bernama
anregu berasal dari Bugis, annangguru dari Mandar, dan anrongguru dari Makassar. Sama
dengan penduduk Bugis lainnya, penduduk Bugis Sulawesi Selatan sebelum mengenal
Islam pun mempercayai bahwa suatu yang ghaib itu memang ada. Pemujaannya dilakukan
dengan cara memuja kuburan yang dipercaya mempunyai sejarah yang tertentu. Namun
sayangnya masyarakat Sulawesi Selatan tidak tempat ibadah yang khusus untuk mereka
melakukan pemujaan. Selain dengan cara itu dupa atau kemenyan juga bisa dijadikan
sebagai bahan pemujaan dengan alasan barang tersebut disukai oleh roh halus. Masyarakat
Sulawesi selatan pra Islam juga terlihat di komunitas bissu di pangkep, Soppeng, dan Bone.
Yang dinamakan bissu ialah seorang seniman yang juga sebagai pendeta agama Bugiis
kuno. Mereka merupakan laki-laki yang memiliki sifat kewanitaan (callabai), dan mereka
lebih suka tampil sebagai wanita dalam keseharian9.

Bersamaan dengan berjalannya waktu, kuat indikasi bahwa sebelum Islam


menyebar ke wilayah Sulawesi Selatan, agama Hindu dan Budha telah terjadi di wilayah ini.
Bisa dikatakan bahwa Islam masuk dalam suku Bugis memang sedikit terlambat jika
dibandingkan dengan daerah yang berada di sekelilingnya, diantaranya Maluku, Pesisir
Utara Jawa, dan juga Kalimantan Selatan. Keterlambatan tersebut disebabkan karena
pemikiran masyarakat suku Bugis yang bisa dikatakan sulit diajak berkembang dari
pemikiran yang taat serta yakin dengan adat termasuk keyakinan mereka memuja para
dewa menjadi ke pemikiran lebih maju dari sebelumnya. Singkatnya saat masa dahulu
orang Bugis mempercayai adanya makhluk nyata dan juga segala hal yang ghaib.
Kepercayaan seperti Patuntung di Kajang- Bulukumba, Aluk todolo di Toraja, serta Towani-
tolotang di Sidrap merupakan bukti kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan saat masa
pra Islam. Towani-tolotang serta aluk-todolo tidak berafilias pada agama Islam maupun
agama Kristen yang menjadi panutan orang Toraja dan Bugis untuk kepercayaan. Hal
tersebut juga karena faktor waktu yang semakin hari membawa perkembangan zaman,
sehingga membuat mereka mulai mengenal ajaran agama.

Kemudian ada seorang ulama dari Persia melalui Kamboja yang diyakini sebagai
keturunan dari Rasulullah datang ke Indonesia, ulama tersebut adalah Jamaluddin al-
Hussein al-Akbar, hal tersebut sebenarnya sudah menandai akan datangnya Islam ke
Sulawesi Selatan dengan jejak perjalanan Jamaludin yang singgah di Aceh serta Jawa,
kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sulawesi Selatan, yang akhirnya Jamaludin
memilih dan memutuskan untuk menetap di Tosora (Wajo) sampai kemudian hari juga
menghembuskan nafas terakhirnya disana. Pada abad ke-14 pertengahan, diperkirakan
9
Nuruddin.

4
jika Syekh Jamaludin al-Akbar al-Husain masuk daerah Sulawesi Selatan. Sebelum islam
diterima dalam keadaan massif hampir selama 3 abad. Pada 15 Ramadhan 1013 H agama
kerajaan mulai menerima Islam secara formal.

Kemudian setelah hal itu hadir Syekh Abdul Makmur Khatib Tunggal atau dikenal
dengan Dato’ ri Badang saat awal abad 17 bersama kawannya yang berjumlah dua orang,
yakni Khatib Bungsu Abdul Jawad biasa dikenal Datu ri’ Tiro, serta Khatib Sulung Datu
Sulaeman yang biasa dikenal Datu Patimang menandai kejadian masuknya Islam di
Sulawesi Selatan, hal tersebut menurut catatan sejarah mainstream. Kerajaan Gowa
kemudian di Islamkan oleh Syekh Abdul Makmur Khatib Tunggal. Sementara sebelah
selatan yang berada di wilayah Bulukumba pergerakannya dilakukan oleh Dato di Tiro.
Untuk arah utara pesisiran teluk Bone yang melakukan dakwah Islam dalam kerajaan
Luwu adalah Dato Patimang.

Namun untuk masa sekarang ini masyarakat Bugis Sulawesi Selatan mayoritas
sudah beragama atau memiliki keyakinan Islam. Sebagian banyak orang juga sudah banyak
yang meninggalkan kegiatan seperti pemujaan terhadap makhluk yang tak nampak atau
ghaib. Karena saat dulu ada bangsawan yang mengkampanyekan pelaksanaan ajaran Islam
dengan sangat ketat. Tidak hanya itu Bissu bahkan sudah dipecat serta melarang segala
kegiatan yang dilarang oleh syariat ajaran agama Islam. Bangsawan tersebut murk sampai
– sampai ia menghancurkan berbagai berhala yang tidak hanya berada disatu tempat. Para
budak juga dibebaskan olehnya. Meski begitu masih ada sebagian masyarakat Bugis yang
masih melakukan pemujaan, itu terjadi di beberapa wilayah saja, seperti wilayah yang
terpencil.

Mata Pencaharian Suku Bugis

Masyarakat pedalaman bugis umumnya bermata pencaharian sebagai petani,


seperti berkebun serta bercocok tanam, hal tersebut juga didukung tanah bugis yang cocok
dan strategis10. Secara luas mereka berkebun tanaman cengkeh, kacang-kacangan, coklat.
Sejak tahun 1980 mereke sudah melakukan aktivitas berupa bercocok tanaman jagung.
Selain itu mulai tahun1980, mereka mulai menanam tanaman cengkeh dengan
mengandalkan bibit dari Manado. Selain mengandalkan kegiatan bercocok tanam ternyata
masyarakat Bugis pada umumnya juga bermata pencaharian sebagai pedagang.

Tidak hanya itu masyarakat Bugis yang dahulunya dikenal bermata pencaharian
sebagai nelayan, ternyata sampai saat ini masih diletarikan, karena mengingat tempat
tinggal mereka berdekatan dengan daerah pesisir yang dataran rendahnya subur. Nelayan
merupakan mata pencaharian masyarakat Bugis yang memiliki cerita prasejarah, karena
mata pencaharian itu datang saat zaman prasejarah, dan hanya digunakan untuk pekerjaan
sampingan. Karena bercocok tanam merupakan mata pencaharian yang utama. Terkadang
orang bugis juga berlayar sampai kepulauan Tanimbar karena ingin mendapatkan ikan
jenis teripang.

10
Hadarah Rajab dan Ismail Suardi Wekke Muhammad Huzain, Sipakatau: Konsepsi Etika Masyarakat Bugis, 1st
edn (Yogyakarta: Deepublish, 2016).

5
Untuk saat ini masyarakat Bugis dominan bermata pencaharian sebagai petani dan
nelayan. Namun seiring berjalannya waktu ada juga masyarakat Bugis yang mengisi
birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Selain itu masyarakat Bugis juga
dikenal sebagai lingkungan yang multikultur, karena ada juga yang mempunyai usaha
burung wallet, usaha burung wallet keuntungannya sangat menjanjikan. Multikultur diatas
tentunya sangat berpengaruh dengan ekonomi masyarakat. Warga Bugis memiliki tekad
bahwa jika ada suatu pekerjaan yang bisa mereka kerjakan, maka harus secepatnya mereka
selesaikan. Bahkan mereka bisa berprofesi sebagai petani, nelayan, ataupun pengusaha
sarang burung wallet.

Tradisi Adat Suku Bugis yang Masih Melekat

Tradisi ialah suatu kebiasaan yang sudah ada sejak lama dan dilestarikan secara
turun-temurun dalam suatu kehidupan di kelompok masyarakat. Dengan tradisi kita bisa
mengetahui bahwa masa sekarang ada karena masa lalu. Tradisi merupakan suatu
kebiasaan yang sampai saat ini masih ada dan belum dihancurkan, dirusak, ataupun
dilupakan.

Menurut masyarakat Bugis, tradisi adat Bugis yang sampai saat ini masih melekat
diantaranya adalah tradisi mapadendang, mappacci dalam upacara perkawinan,
mappatabe, mabaca doang, dan juga uang panaik dalam perkawinan 11. Mapadendang
adalah pesta panen yang diadakan oleh petani Bugis dalam rangka ungkapan syukur untuk
kelancarannya dalam menanam padi kepada Yang Maha Kuasa. Tradisi mapadendang
disana disebut dengan pembersih gabah, agar gabah tersebut mampu bersatu dengan
manusianya. Acara ini dilakukan dengan cara menumbuk gabah yang diletakkan di dalam
lesung kemudian ditumbuk menggunakan sebuah tongkat yang besar. Pesta adat ini
memiliki bunyi nada yang bisa di bilang unik, karena saat menumbuk gabah ada komponen
utama yang tertentu, yakni ada bilik barung, lesung alu, dan baju tradisional yaitu baju
bodo, dan ada 6 wanita yang berada dibilik baruga atau disebut dengan pakkindona serta 3
laki-laki yang menjadi penari serta menabur pakkimbona atau ujung lesung. Acara ini saat
pelaksanaan dilakukan pada waktu khusus dan hanya boleh dilakukan cukup satu malam.
Yakni saat musim panen serta ketika memasuki musim kemarau pada malam hari saat
akan terjadi bulan purnama. Namun bisa juga dilaksanakan di hari biasa dengan syarat
mendapat keputusan dan berdasarkan keputusan pemerintah12.

Selanjutnya ada tradisi yang dinamakan dengan mappaci 13. Salah satu ritual suci
yang dilakukan masyarakat Bugis khusus kaum bangsawan adalah adat tradisi yang
dikenal dengan sebutan mappaci. Mapacci sudah disahkan serta diwajibkan dalam adat
bugis14. Karena tidak lain tujuan dari mappaci sendiri untuk calon pengantin adalah untuk

11
Minanti M, ‘Tokoh Masyarakat’, Interview (Nganjuk, 26 April 2021).
12
Gustiana Gustiana, Najamuddin Najamuddin, and Jumadi Jumadi, ‘Tradisi Adat Mappadendang Pationgi
Patimpeng 1983- 2016’, Jurnal Pattingalloang, 6.1 (2019), 46–47
<https://doi.org/10.26858/pattingalloang.v6i1.10779>.
13
Minanti M.
14
Sarjana Hukum and Jurusan Hukum, ‘Uin Alauddin Makassar 2017’, 2017, 28-.

6
membersihkan jiwa raga sebelum membentuk kehidupan baru, yakni pernikahan. Kegiatan
ini membutuhkan beberapa alat untuk membantu berlangsungnya tradisi ini. Yakni bantal
dari kapas campur kapuk, pucuk daun pisang, sarung bugis berlapis-lapis sampai 7 lembar,
daun nangka sebanyak 7 buah yang dibentuk menjadi tikar bundar, kembang beras, pesse’
pelleng atau alat penerang di masa lalu, dan air, tidak lupa dengan daun pacci. Adat ini bisa
dikatakan sebagai akulturasi dengan budaya islam. Prosesi ini dilakukan saat malam
sebelum akad.

Lalu ada adat tradisi mabbaca doang15. Tradisi ini juga merupakan hasil dari
akulturasi kebudayaan Bugis dengan agama islam. Menurut masyarakat tradisi ini masih
sangat kental. Mabbaca sendiri berasal dari bahasa Bugis yang memiliki arti yaitu
membaca, sedangkan doang artinya yaitu doa. Untuk membaca doa juga ada orang khusus
yang disebut dengan pabbaca atau orang yang dipercaya masyarakat untuk membacakan
doa, jika di jawa disebut dengan kyai. Tradisi ini disetiap daerah memiliki keunikan serta
cara yang berbeda-beda, meski begitu mereka tetap merupakan kesatuan yang menyatu.
Tradisi ini memiliki tujuan sebagai bentuk ucapan rasa syukur atas rezeki dan juga
keberkaham yang telah diberikan oleh Allah SWT. Selain itu ada yang percaya bahwa
tradisi ini bisa dikataan sebagai penolak bala. Waktu pelaksanaannya dilakukan pada saat-
saat tertentu, seperti saat akan berbuka puasa, menjelang rebahan, membayar nazar, dan
masih banyak lagi suatu hal yang berkaitan dengan rasa syukur 16. Makanan utama yang
harus disajikan dalam tradisi ini yaitu songkolo hitam serta sangkolo putih, sebuah
makanan yang bahan dasarnya beras ketan. Sama dengan tradisi tahlilan yang ada di Jawa,
mabbacadoang dulu dilaksanakan di sebuah rumah besar yang disebut dengan saoraja,
namun seiring berjalanya waktu dan perkembangan dari masa ke masa, yang dahulu
masyarakat mempunyai rumah yang bisa dikatakan sempit, sekarang sudah memiliki
rumah yang lebih besar daripada sebelumnya, sehingga bisa dijadikan tempat untuk
melangsungkan tradisi mabbaca doang, dengan mengundang warga atau tetangga sekitar
untuk menyantap hidangan yang telah disajikan oleh yang melangsungkan hajat 17.

Setelah ketiga tradisi diatas, masih ada lagi tradisi yang ternyata dinilai
masyarakatnya masih melekat dan sampai sekarang dinilai sangat berkembang dikalangan
oang Bugis, yakni tradisi uang panaik dalam perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat
suku Bugis. Alasan Bugis masih melestarikan tradisi uang panaik adalah karena menurut
masyarakat Bugis lapisan sosial menjadi bagian dalam mempertimbangkan memilih
jodoh18. Uang panaik merupakan pemberian dari keluarga pihak laki-laki yang diberikan
kepada pihak mempelai perempuan dengan tujuan penghormatan 19. Uang panaik sendiri
memiliki hukum wajib. Jadi semisal pihak keluarga laki-laki tidak mampu memberikan
uang panaik sesuai kesepakatan, maka tidak akan ada pernikahan. Uang panaik sendiri
memiliki fungsi sebagai uang yang dikatakan sebagai uang balas jasa kepada orangtua
perempuan yang akan dinikahinya. Karena telah merawat dan membesarkan calon istri.

15
Minanti M.
16
Andi Siska, Putri Utami, and Abdul Rahman, ‘Mabbaca Doang Di Pasaka Bone’, 3.2 (2019), 105.
17
Siska, Utami, and Rahman.
18
Suku Bugis and Studi Tematik, ‘Mahar Dan Uang Panaik Masyarakat Suku Bugis: Studi Tematik Al-Quran’, 4.1
(2018), 35.
19
Minanti M.

7
Selain itu uang panaik membuat pihak perempuan merasa lebih dihargai dan memiliki
nilai20. Untuk jumlah uang panaik sendiri ditentukan oleh kedua belah pihak antara laki-
laki dan perempuan yang sebelumnya sudah dilakukan negosiasi 21. Uang panaik sangat
berpengaruh terhadap akan terjadinya suatu pernikahan atau tidak. Uang panaik rata-rata
ditentukan oleh orangtua pihak perempuan. Yang dijadikan patokan awal uang panaik
adalah status sosialnya. Tingkatan status sosialnya antara lain yaitu: bangsawan tinggi,
bangsawan menengah, arung palili, todeceng, to maradeka, serta ata atau hamba 22. Semakin
tinggi kehormatan perempuan dan jika dia anak tunggal serta merupakan dari keluarga
yang berpendidikan maka jumlah uang panaiknya bisa mencapai 100 juta rupiah 23. Jumlah
tersebut belum termasuk mahar serta kepentingan lainnya dalam berumah tangga. Kondisi
fisik juga berpengaruh pada nominal uang panaik, melihat status perempuan yang akan
dinikahi masih gadis atau sudah berstatus janda. Jika ada kemungkinan laki-laki tidak
mampu membayar nominal uang panaik, sedangkan perempuan yang akan dinikahinya
sangat mencintai dan ingin menikah dengan laki-lakinya, maka hal ini bisa menyebabkan
munculnya kawin lari. Oleh sebab itu kenapa uang panaik menjadi hal yang sangat
berpengaruh dalam perkawinan orang Bugis. Uang panaik sendiri mendapatkan banyak
respons negatif dari masyarakat, salah satunya adalah, orangtua dari anak perempuan
dikatakannya bahwa karena adanya uang panaik, masyarakat Bugis dinilai menjual
anaknya24. Pernikahan Bugis pada zaman dahulu sama zaman sekarang pun sudah berbeda.
Jika dahulu orang Bugis diwajibkan untuk menikah dengan orang yang asli Bugis juga,
namun untuk saat ini hal tersebut sudah tidak berlaku karena seiring berjalannya waktu
dan juga sekarang banyak suku lain yang mencari nafkah atau mobilisasi ke lingkungan
suku Bugis membuat semakin mudahnya orang suku Bugis menikah dengan orang luar
Bugis. Faktor dahulu yang memjadi pengaruh bahwa orang Bugis harus menikah dengan
Orang asli Bugis juga adalah karena, masyarakat Bugis tidak ingin jika harta atau kekayaan
masyarakat Bugis jatuh kepada masyarakat yang selain Bugis. Di dalam masyarakat Bugis
uang panaik juga menjadi tolak ukur kegengsian antar tetangga bahkan kerabat. Sistem
kekerabatan di Bugis menganut sistem patrilineal atau garis keturunan berdasarkan dari
laki-laki atau bapak25. Kedudukan anak laki-laki juga akan lebih tinggi jika dibandingkan
dengan anak perempuan.

Kebudayaan Masyarakat Suku Bugis (Sulawesi Selatan)

Sama halnya dengan suku Jawa yang memiliki berbagai jenis kebudayaan. Suku
Bugis sendiri juga memiliki berbagai macam kebudayaan yang antara lain ada pakaian
adat, tari tradisional, rumah tradisional, musik tradisional, dan juga memiliki senjata
tradisional.

a. Pakaian adat26

20
Moh Ikbal, ‘Pemberian Uang Panai Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar Kelurahan Untia Kecaamatan
Biringkanaya Kota Makassar’, Unpublised Thesis, 2012, 48.
21
Minanti M.
22
Moh Ikbal, ‘Mahar Dan Uang Panaik Masyarakat Suku Bugis: Studi Tematik Al-Quran’.
23
Minanti M.
24
Minanti M.
25
Minanti M.

8
 Baju Bodo, merupakan baju adat yang dimiliki suku Bugis 27. Baju ini
merupakan baju khas mereka. Pakaian ini hanya diperuntukkan bagi kaum
perempuan. Berikut ciri khas baju ini antara lain, lengan pendek yang
berbentuk segi empat. Kain baju ini bersifat transparan, yang kemudian
mengikuti paradigma waktu berubah menjadi berkain tebal serta terkesan
kaku. Setiap warna dari baju ini mempunyai arti yang berbeda – beda. Warna
yang berbeda disini juga memberikan petunjuk yang berkaitan dengan status
sosialnya. Untuk bangsawan berwarna Hijau, kalangan dukun atau pembantu
berwarna putih, dan jika berwarna ungu, maka menandakan bahwa yang
memakai pakaian tersebut adalah seorang janda. Baju ini dikenakan hanya
saat ada kegiatan upacara penting.

 Baju Tutu. Jika untuk kaum perempuan suku bugis pakaian adatnya bernama
baju bodo, maka untuk kaum laki – laki dinamakan dengan baju tutu. Baju
tutu sama seperti dengan jas berlengan panjang serta berkerah, kemudian
pernik kancing dari perak atau emas yang di kombinasikan dengan kain
sarung dan juga celana. Jika untuk baju kaum perempuan bugis setiap warna
baju memiliki makna yang berbeda, untuk baju tutu sendiri warna bajunya
menyala seperti hijau dan merah terang. Sama halnya dengan baju Bodo baju
ini juga dikenakan saat ada acara pentiing.

b. Tari tradisional
Suku bugis memiliki tarian tradisional yang dinamakan Pajoge Makkunrai
untuk perempuan yang berkembang di daerah kerajaan Bone yang kemudian
tersebar ke kabupaten sekitar Bone seperti Kabupaten Wajo, Baru, serta Kabupaten
Wajo, sedangkan untuk laki – laki disebut dengan Pajoge Angkong. Pajoge sendiri
berasal dari kata Joge yang merupakan bahasa Bugis. Joge memiliki arti tari.
Sementara makna dari Pajoge ialah pelaku pertunjukan. Pajoge sendiri menurut
orang Bugis mempunyai berbagai makna yang berbeda, yakni pajoge yang artinya
penari, kemudian pajoge yang berarti sebuah pertunjukan, serta pajoge yang
diartikan dalam kata joge atau berarti tari. Meski pajoge sendiri pengartiannya
berbeda – beda, namun tetap menjadi satu kesatuan yang menyatu28.
Pertunjukan Pajoge Makkunrai umumnya dilangsungkan oleh orang Bugis
dengan ketentuan jumlah pelakunya genap, bisa juga berpasangan. Karena tarian
tradisional ini dikoordinir oleh keluarga bangsawan, maka tidak heran jika yang
memilih pelaku pertunjukan ini dilakukan oleh keluarga bangsawan juga sesuai
dengan kriteria pada umunya, yakni memiliki status masih gadis berusia 15 tahun
keatas, serta bisa bernyanyi, memiliki bentuk tubuh yang sedikit berisi, harus
cantik, dan juga memiliki etika serta adab dalam bertingkah laku. Tari ini memiliki
judul syair yang berjumlah 20. Judul syair tersebut diantaranya adalah 29: Alla-Alla,
Canggolong-golong, Elo-elo, Djalantete, Balatiti, Burego, Gondang Jawa, Babaralayya,
26
Abd. Muththalib, ‘HOME SULSEL SULBAR SULTRA SULTENG SULUT LAINNYA KONTAK 6 Pakaian Adat Tradisional
Sulawesi Selatan’, Celebes <https://www.celebes.co/pakaian-adat-sulawesi-selatan>.
27
Minanti M.
28
Jamilah, ‘Pertunjukan Pajoge Makkunrai Pada Mayarakat Bugis Di Sulawesi Selatan’, 2005, 45.
29
Jamilah, 38.

9
Bujang gana, Lambasari, Ganda-ganda, Jaba-jaba, Digadang, Labodeng, Manne-
manne, Kalukunna sambung Jawa, Andi – andi, serta Sare-sare, dan Bengko-bengo.
Sementara untuk Pajoge Angkong yang ditarikan oleh kaum laku-laki namun
memakai kostum perempuan atau Calabai, penarinya harus seorang bissu karena
bissu memiliki kehormatan dan juga termasuk orang yang disegani. Alasan bissu
sangat disegani dan juga orang terhormat karena bissu merupakan seorang
penyambung interaksi raja dengan rakyat – rakyatnya. Selain itu bissu juga diyakini
mampu menjadi perantara antara bumi dan langit. Tari ini muncul saat abad ke VII
masa kerajaan Bone. Yang kemudian saat masa pemerintahan raja Bone ke XXX
mulai berkembang pesat. Saat masa itu yang menjadi raja adalah Fatimah Banri.
Komponen pendukung pementasan tari ini diantaranya adalah 30: Saat
mementaskan tari tradisional ini pakaian yang digunakan ialah baju bodo saat
pementasan di istana raja, dan untuk pementasan luar istana memakai baju
pakambang. Untuk aksesoris yang digunakan saat pementasan dinamakan dengan
jangge atau sesuatu yang berbentuk segitiga menyerupai mahkota. Bagian leher
menggunakan kalung berbentuk daun, yang panjangnya menutupi bagian dada.
Ditelinga dipakaian anting yang bentuknya segitiga. Lengannya diberi sebuah
pengikat yang isinya berupa jimat. Memakai gelang yang menyerupai bulatan
panjang pada bagian pergelangan tangan. Saat pementasan pelaku menggunakan
properti berupa kipas zaman dahulu yang terbuat dari daun lontar, namun saat
masa sekarang berubah menjadi bahan yang terbuat dari kain. Saat zaman dahulu
yang digunakan penerangan untuk pementasan adalah lampu yang berjenis
petromaxs yaitu obor, namun seiring berjalannya waktu dan juga didukung
perkembangan listrik yang mulai membaik, maka penerangannya mulai
menggunakan lampu yang bervariasi.

c. Rumah tradisional dan Museum Suku Bugis


Rumah adat suku bugis yang biasa dikenal dengan sebutan dengan Rumah
panggung31, umumnya memiliki atap yang berbentuk prisma, dan rumah yang
berbentuk persegi panjang. Setiap komponen rumah bugis memiliki memiliki
manka serta nilai yang menjelaskan tentang kearifannya 32. Orang bugis menyebut
rumah tradisonal bugis dengan sebutan bola ugi, khusus untuk rumah bangsawan
dinamakan dengan sebutan saoraja. Bola ugi memiliki nilai kenusantaraan
khususnya dalam menampilkan wujud Bhineka. Suku Bugis kosmologi mengenal
adanya tiga macam pengklasifikasian yaitu pengelompokkan berdasarkan pelapisan
Dunia, yaknidunia bawah, dunia atas, serta dunia tengah. Sedangkan untuk struktur
rumah tradisional memiliki susunan kepala, badan, serta kaki rumah. Menurut
rancangan mitologi Bugis, bagian-bagiannya adalah:
a. Bagian atas rumah (Rakeang)33

30
Jamilah, 45.
31
Minanti M.
32
Aryun Muhammad Alfaruq and Zulkarnain, ‘Kearifan Lokal Rumah Tradisional Bugis Baranti Di Kabupaten Sidrap’,
Jurnal Timpalaja, 1.2 (2020), 71.
33
Alfaruq and Zulkarnain.

10
Dewata seuwae dipercaya oleh suku Bugis Sulawesi Selatan sebagai dewa
tertinggi yang menciptakan alam raya ini. percaya terhadap dewa-dewa yang
diberikan amanah untuk memelihara serta menjaga  ciptaan Dewata Seuwae
dan mengawasi tata tertib alam raya.
b. Bagian badan rumah (Ale bola)34
Rumah bugis padaa umumnya mempunyai tiga ruangan, yang disetiap
ruangan memiliki fungsi berbeda-beda, antara lain yakni ruang tengah, ruang
depan, dan ruang belakang. Bagian-bagian tersebut merupakan tempat yang
sering dipakai untuk berbagai kegiatan kekeluargaan. Mulai dari acara
upacara perkawinan, kematian, dan upacara – upacara sacral lainnya.
c. Bagian bawah rumah (Awa bola)
Bagian bawah ini bisa dikatakan bagian tempatnya hal ghaib, karena
disinilah dewa uwae tinggal. Masyarakat juga memberikan persembahan
berupa nasi ketan empat warna yang mewakili simbol alam.

Untuk saat ini keberadaan rumah panggung masih dilestarikan oleh


masyarakat Bugis, bahkan harga rumah panggung lebih mahal dibandingkan
dengan rumah mewah yang ada dikota besar. Selain itu rumah panggung
bahan di desain dengan perpaduan desain rumah masa kini35.
Selain rumah tradisional atau rumah adat panggung, ada juga
museum yang orang Bugis menyebutnya dengan sebutan Rotterdam 36.
Rotterdam sendiri merupakan museum bangun Belanda dan penamaannya
pun berdasarkan perjanjian Bongaya saat 18 November 1667 37. Letak
bangunan ini ada di sebelah barat pinggir pantai, kota Makassar, Sulawesi
Selatan. Sebelumnya nama Rotterdam adalah benteng ujung pandang, namun
karena nama baru merupakan tanda kenangan yang berikan oleh seorang
yang bernama Cornelis Spellmen untuk negara kelahirannya, yakni negara
Belanda. Fort Rotterdam sendiri berkaitan dengan kerajaan Gowa yang
tengah memperlihatkan kemajuan dan juga keberhasilan raja gowa yang ke
IX yaitu Tumaparisi Kallona. Hingga akhirnya raja ke IX tersebut tewas dan
setelah itu sering terjadi yang namanya pergantian raja sampai raja ke XVI
yakni Sultan Hasanuddin. Beliaulah yang mempertahankan kerajaan gowa,
mulai dari kehormatan dan juga kedaulatan. Sultan Hassanudin sendiri
merupakan orang yang memiliki tekad pantang mundur. Dahulunya yang
sekarang disebut museum, ternyaata saat zaman dahulu pernah dijadikan
benteng oleh Belanda, dan dijadikan sebagai pusat pemerintahan serta
menjadi tempat penampungan rempah-rempah Belanda yang berada di
Indonesia. Setelah dijalankan sebagai benteng oleh Belanda, kemudian
beralih ke tangan Jepang, dan oleh Jepang dijadikan sebagai pusat studi
pertanian serta bahasa. Benteng ini kembali ke komando Indonesia seelah
Indonesia merdeka, dan kemudian dijadikan pusat kebudayaan yang
34
Alfaruq and Zulkarnain, 72.
35
Minanti M.
36
Minanti M.
37
Lutfi Fadlullah, ‘PERANCANGAN INFORMASI OBJEK WISATA BUDAYA FORT ROTTERDAM MELALUI MEDIA VIDEO
PROFIL’, 2019.

11
menyimpan berbagai macam barang-barang prasejarah, numismatic,
keramik asing, serta naskah bahkan etnografi. Namun benda-benda yang
disimpan serta dilestarikan disini adalah benda asli suku Bugis, Mandar,
serta Toraja38. Museum Rotterdam ini sampai saat ini masih sangat populer
bahkan dijadikan sebagai temat destinasi wisata, bangunan dari museum ini
juga masih kokoh39. Bangunan ini memiliki berbagai gedung yang jumlahnya
sampai 16 gedung, kemudian ditambah dengan adanya taman yang saat ini
menjadi proyek pemerintah untuk dijadikan seperti bentuk awal dari
benteng Fort Rotterdam40. Pemerintah terus berupaya melakukan
pembenahan terhadap museum ini.
Masyarakat berpendapat bahwa museum ini bentuknya menyerupai
penyu. Banyak masyarakat yang berkunjung ke destinasi wisata budaya ini
memunculkan sebuah persepsi bahwa museum ini benar-benar masih
dilestarikan. Namun museum ini masih belum banyak dikenal oleh penduduk
dari manca negara sebab karena kurangnya fasilitas dari media untuk
memberitakan pemberitaan mengenai wisata budaya Fort Rotterdam ini.
Pihak pengelola juga memasang sebuah peraturan bahwa pengunjung
diwajibkan untuk menjaga kelestarian serta kebersihan saat berada di
lingkungan museum Fort Rotterdam ini.

d. Musik Tradisional
Musik tradisional orang Bugis Sulawesi Selatan dikenal dengan sebutan
Kecapi, bentuk kecapi hampir mirip dengan perahu pinisi, karena kecapi merupakan
cetusan dari seorang pelaut yang menggambarkan kerinduan dengan kampong
halamannya. Kecapi memiliki fungsi yang berhubungan erat dengan upacara-
upacara adat seperti upacara perkawinan. Yang memainkan Kecapi ialah seorang
laki-laki yang hanya berjumlah satu orang. Saat ada acara khitanan Kecapi juga
biasa dimainkan41.

Berdasarkan pernyataan dari informan, daerah Sulawesi Selatan yang masih


kental dengan kebudayaan Bugisnya adalah daerah Sidrap, Soppeng, Wajo, Pinrang,
serta Bone.

Alkulturasi Budaya dan Agama Masyarakat Bugis


Seiring dengan perkembangan zaman, maka sudah pasti jika ada suatu
budaya yang akan mengikuti perkembangan zaman, terlebih saat ini sudah memasuki era
globalisasi yang bisa mempermudah urusan manusia. Kearifan lokal yang beranjak mulai
berkembang sudah pasti juga karena pengaruh dari arus globalisasi, hal tersebut tentunya
sudah memberi banyak perubahan serta memperngaruhi kehidupan masyarakat. Di
dukung dengan teknologi canggih yang tentunya mempermudah masyarakat untuk
38
Nurul Ilmi and others, ‘Perubahan Fungsi Pada Bangunan Bersejarah Benteng Rotterdam Terhadap’, 2 (2020), 18
<http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/timpalaja/article/view/13693/8967>.
39
Ilmi and others, 18.
40
Ilmi and others, 23.
41
Andi Ihsan, ‘Diversifikasi Kecapi Tradisional Bugis’, 2015, 23.

12
menggali pengetahuan tentang dunia luar lingkungannya. Di Sulawesi Selatan sendiri
menyimpan berbagai macam budaya yang tersimpan di dalam berbagai media, anatara lain
media seperti: lisan maupun tulisan. Hal tersebut nantinya bisa menimbulkan sebuah
akulturasi. Akulturasi merupakan dua kebudayaan yang bertemu kemudian bersatu
menjadi satu kebudayaan, tanpa menghilangkan budaya awalnya.
Contohnya seperti masuknya Islam yang bertemu dengan budaya Bugis, kemudian
Islam mempengaruhi tradisi Bugis yang telah ada. Tetapi dalam proses akulturasi antara
agama islam dengan budaya bugis tentu aka nada sebuah penyesuaian 42. jadi, Bugis hadir
dalam bentuk nilai dan standar yang baru pula sesuai keputusan pertemuan kedua
budaya.  Keserasian dan sinkronisasi yang nyata oleh agama Islam dan budaya Bugis akan
digabungkan dengan terbukanya pertimbangan para pelakunya 43. Islam di dalam budaya
Bugis melembaga sebagai kekuatan sosial. Salah satu budaya Bugis yang di dalamnya
terdapat unsur islamnya adalah model baju adat. Sebelum Bugis mengenal Islam baju adat
yang digunakan oleh masyarakat Bugis bisa dikatakan tidak sesuai dengan ketentuan
syariah agama. Kemudian ada Barzanji, dalam islam barzanji adalah kegiatan pengajian
membaca satu kitab yaitu kitab Al-Barzanji, kemudian masyarakat Bugis menggabungkan
ajaran agama Islam tersebut dengan acara kehidupan, baik acara setelah lahir(yakni
aqiqah), saat ada acara pernikahan mappanre temme atau khataman al-Quran. Barzanji
dipandu oleh seorang imam(disana sinamakan pampawa saraq) 44 yang ada di lingkungan
masyarakat tersebut. seperti juga tradisi mabbaca doang merupakan akulturasi agama
islam dengan budaya Bugis. Namun jika melangsungkan mabbaca doang, pembacaan al-
Barzanji tidak dilakukan. Barzanji sendiri merupakan bagian sejarah Islam pada masa
Rasulullah SAW. Zina disana juga tidak diperbolehkan, apabila ada yang diketahui berbuat
zina maka akan diusir dari tanah Bugis. Selain itu juga ada sanksi sosialnya, yakni akan
dikucilkan atau tidak diberi ruang untuk berinteraksi dengan masyarakat. Tetapi dalam
masyarakat Bugis ada suatu ritual yang masih berjalan, namun tidak perlu khawatir,
karena kegiatan ritual ini sudah disesuaikan serta dimodifikasi dengan ajaran agama Islam.
Hal ini seolah-olah ditandai sebagai ritual yang berkesinambungan antara syariat dengan
tradisi yang dihasilkan dari dua budaya yang saling bertemu. Muatan konsep nilai yang
mengandung unsur adat, serta mengutamakan perasaan dan juga tindakan merupakan
keberagaman masyarakat Bugis yang sengaja ditunjukkan 45. Gagasan utama tetap berada
pada nilai serta konsep Islam. Saat ada kegiatan sehari-hari maka agama dikerangka atau
dimasukkan kedalam bentuk adat, sehingga menempatkan berbagai tradisi yang beragam.
Faktor pendorong yang mengarah pada kesatuan serta menempatkan Islam sebagai agama
yang suci adalah ketika pemeluk agama mampu diajak berjalan serta menempatkan tradisi
bersama-sama.

Kesimpulan
Asal-usul suku Bugis berawal dari emigrasi yang dilakukan oleh pemerintah raja La
Galigo. Kemudian ada juga yang mengatakan bahwa suku Bugis ada karena kedatangan
bangsa Portugis, hal itu di dukung oleh pernyataan bahwa istilah Bugis berasal dari bahasa
Portugis, yakni Bougis. Setelah itu kemudian ada beberapa masyarakat Bugis yang
42
Minanti M.
43
Ismail Suardi Wekke, ‘Islam Dan Adat : Tinjauan Akulturasi Budaya Dan Agama Bugis’, Analisis, 13.1 (2013), 48.
44
Wekke, 43.
45
Wekke, 48.

13
merantau ke berbagai wilayah. Saat merantau orang Bugis juga mengembangkan
kebudayaannya. Kemudian ada di suatu pemukiman yang bertempat di sekitar batas Pantai
melakukan komunikasi dengan orang Bugis, hal tersebut tentuna menjadi faktor
pendorong yang menyebabkan suku Bugis semakin menyebar. Namun meskipun dengan
begitu asal-usul Bugis masih belum jelas dan tidak pasti. Saat awal sejarah Bugis,
masyarakat belum mengenal adanya suatu agama sehingga mereka melakukan pemujaan
terhadap dewa yang dipercayai mampu menghindarkan dari suatu malapetaka oleh
masyarakat. Kemudian indikasi mulai adanya ajaran agama adalah saat munculnya agama
Hindu dan Budha, kemudian kedatangan agama Islam menyusul ditandai dengan
kedatangan Syekh Jamaludin al-Akbar al-Husaini atau dikenal dengan Syekh Jamaludin.
Kemudian kehadiran Syekh Abdul Makmur Khatib Tunggal juga menandai bahwa agama
Islam sudah mulai dikenal oleh orang Bugis. Namun meskipun sudah mengenal ajaran
agama, ternyata masih ada sebagian masyarakat terpencil yang masih melakukan
pemujaan terhadap dewa-dewa. Orang Bugis sendiri untuk melanjutkan hidup bekerja
sebagai nelayan atau pelaut yang sejak dari dulu sudah ada. Kemudian selain itu
masyarakat juga bekerja sebagai petani, hal tersebut didukung oleh tanah Bugis yang cocok
digunakan untuk bercocok tanam. Selain mata pencaharian, masyarakat Bugis juga masih
kental dengan tradisi-tradisinya, antara lain tradisi mapadendang, mappacci dalam upacara
perkawinan, mappatabe, mabaca doang, dan juga uang panaik dalam perkawinan. Dari
macam-macam tradisi tersebut, yang sampai saat ini masih sangat dilestarikan serta
semakin berkembang adalah tradisi uang panaik dalam perkawinan. Masyarakat Bugis
pada umumnya juga memiliki kebudayaan yang tak kalah jauh dengan suku lainnya yang
ada di Indonesia. Pakaian adat yang masih berkembang serta tari tradisional, rumah
panggung yang masih dilestarikan, bahkan disesuaikan dengan perkembangan zaman, dan
juga music tradisional yang memiliki cerita sejarah. Akulturasi merupakan dua kebudayaan
yang bertemu kemudian bersatu menjadi satu kebudayaan, tanpa menghilangkan budaya
awalnya. Barzanji dipandu oleh seorang imam(disana sinamakan pampawa saraq) yang
ada di lingkungan masyarakat tersebut. Hal ini seolah-olah ditandai sebagai ritual yang
berkesinambungan antara syariat dengan tradisi yang dihasilkan dari dua budaya yang
saling bertemu.

Daftar Pustaka

A. B. Takko, ‘Budaya Bugis Dan Persebarannya Dalam Perspektif Antropologi Budaya’, 15.1
(2020), 28

Abd. Muththalib, ‘HOME SULSEL SULBAR SULTRA SULTENG SULUT LAINNYA KONTAK 6
Pakaian Adat Tradisional Sulawesi Selatan’, Celebes
<https://www.celebes.co/pakaian-adat-sulawesi-selatan>

Alfaruq, Aryun Muhammad, and Zulkarnain, ‘Kearifan Lokal Rumah Tradisional Bugis
Baranti Di Kabupaten Sidrap’, Jurnal Timpalaja, 1.2 (2020), 71

Andi Ihsan, ‘Diversifikasi Kecapi Tradisional Bugis’, 2015, 23

14
Gustiana, Gustiana, Najamuddin Najamuddin, and Jumadi Jumadi, ‘Tradisi Adat
Mappadendang Pationgi Patimpeng 1983- 2016’, Jurnal Pattingalloang, 6.1 (2019),
46–47 <https://doi.org/10.26858/pattingalloang.v6i1.10779>

Hukum, Sarjana, and Jurusan Hukum, ‘Uin Alauddin Makassar 2017’, 2017, 28-

Ilmi, Nurul, Dian Muhrizat, Nur Faiqah Azizah, Irma Rahayu, Jurusan Arsitektur, and U I N
Alauddin, ‘Perubahan Fungsi Pada Bangunan Bersejarah Benteng Rotterdam
Terhadap’, 2 (2020), 18
<http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/timpalaja/article/view/13693/8967>

Irianto, Sulistyowati, and Risma Margaretha, ‘Piil Pesenggiri: Modal Budaya Dan Strategi
Identitas Ulun Lampung’, Makara Human Behavior Studies in Asia, 15.2 (2011), 141
<https://doi.org/10.7454/mssh.v15i2.1420>

Jamilah, ‘Pertunjukan Pajoge Makkunrai Pada Mayarakat Bugis Di Sulawesi Selatan’, 2005,
45

Lutfi Fadlullah, ‘PERANCANGAN INFORMASI OBJEK WISATA BUDAYA FORT ROTTERDAM


MELALUI MEDIA VIDEO PROFIL’, 2019

Marzali, Amri, ‘Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia’, 26.3 (2014), 256

Minanti M, ‘Tokoh Masyarakat’, Interview (Nganjuk, 26 April 2021)

Moh Ikbal, ‘Mahar Dan Uang Panaik Masyarakat Suku Bugis: Studi Tematik Al-Quran’, 4.1
(2018), 35

———, ‘Pemberian Uang Panai Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar Kelurahan
Untia Kecaamatan Biringkanaya Kota Makassar’, Unpublised Thesis, 2012, 48

Muhammad Huzain, Hadarah Rajab dan Ismail Suardi Wekke, Sipakatau: Konsepsi Etika
Masyarakat Bugis, 1st edn (Yogyakarta: Deepublish, 2016)

Nuruddin, Sabara, ‘Islam Dalam Tradisi Masyarakat Lokal Di Sulawesi Selatan’, Mimikri, 4.1
(2018), 57

Ridhwan, Ridhwan, ‘Kepercayaan Masyarakat Bugis Pra Islam’, Ekspose: Jurnal Penelitian
Hukum Dan Pendidikan, 17.1 (2019), 485
<https://doi.org/10.30863/ekspose.v17i1.107>

Siska, Andi, Putri Utami, and Abdul Rahman, ‘Mabbaca Doang Di Pasaka Bone’, 3.2 (2019),
105

Wekke, Ismail Suardi, ‘Islam Dan Adat : Tinjauan Akulturasi Budaya Dan Agama Bugis’,
Analisis, 13.1 (2013), 48

15

Anda mungkin juga menyukai