Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang berbentuk kesatuan, itu berarti masyarakat

Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai bahasa daerah, suku,

dan agama. Indonesia pada saat ini memiliki 1.340 jenus suku, 546 jenis bahasa daerah dan

5 jenis agama yang diakui oleh Indonesia. Dari begitu banyak perbedaan Indonesia mampu

menyatukannya dalam satu ruang lingkup, yaitu ruang lingkup Indonesia dengan semboyan

Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Begitu banyak

keistimewaan yang dimiliki oleh Indonesia, bukan cuman dari segi perbedaan

masyarakatnya, akan tetapi dari segi alamnya pun Indonesia tidak bisa diragukan lagi.

Salah satu pulau yang memiliki daya tarik bagi wisatanya adalah pulau Sulawesi.

Sedangkan mayoritas suku yang lebih dominan di pulai Sulawesi adalah suku Bugis-

Makassar. Dari namanya, suku Bugis-Makassar ini bukan berarti suku yang mendiami

daerah Makassar saja yang merupakan ibu kota provinsi Sulawesi Selatan. Dalam

perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan.

Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan

mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng,

Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis,

tetapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan

Mandar. Suku Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Sulatan,

penciri utama dari kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat istiadatnya yang masih

1
dipegang dengan teguh oleh masyarakat adatnya. Berdasarkan sensus penduduk tahun

2000, populasi Suku Bugis sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini suku Bugis menyebar

pula di berbagai Provinsi di Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi tengah, Papua,

DKI Jakarta, Kalimatan Timur, Kalimatan Selatan, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau.

Disamping itu suku-suku Bugis juga banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura yang

telah beranak pinak dan keturunannya telah menjadi bagian dari negera tersebut. Karena

Jiwa perantauan dari masyarakat Bugis, maka suku-suku Bugis sangat banyak yang

merantau ke mancanegara. Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik

sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya

daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya suku Bugis bermigrasi terutama

di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan

kemerdekaan.

Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan, itulah

faktor mengapa suku Bugis tersebar di beberapa daerah Indonesia dan mancanegara karena

masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari

masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati

orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga

mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.Telah disebutkan di atas

bahwa suku bugis banyak tersebar di Sulawesi Tenggara. Populasinya pun cukup banyak,

hal inilah yang menjadi yang menjadi objek penelitian dari makalah ini. selain itu suku

Bugis sangat menjunjung nilai adat istiadat, seperti adat perkawinan dalam suku Bugis

yang bisa dikatakan sangat menarik perhatian masyarakat Indonesia khususnya yang berada

di Pulau Sulawesi, hal ini juga yang akan menjadi objek dari makalah ini.

2
1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimna proses masuknya suku Bugis ke daerah Sulawesi Tenggara ?

b. Bagaimna tata cara pernikahan dalam adat Bugis di Sulawesi Tenggara?

c. Bagaimana eksistensi adat perkawinan bugis di Sulawesi Tenggara?

1.3 Tujuan

a. Mengetahui proses masuknya suku Bugis ke Sulawesi Tenggara.

b. Mengetahui tata cara pernikahan dalam adat suku Bugis yang berkembang di

Sulawesi Tenggara, lalu sesuaikah tata cara pernikahan adat bugis zaman kolonial

Belanda sampe sekarang.

c. Mengetahui eksistensi adat perkawinan bugis di Sulawesi Tenggara?

1.4 Manfaat

a. Menambah wawasan untuk pembaca mengenai suku bugis.

b. Makalah ini juga bisa digunakan untuk pembaca sebagai referensi bahan ajar dalam

materi hukum adat.

c. Makalah ini juga bisa digunakan untuk masyakat suku Bugis untuk meluruskan

masalah-masalah yang diluar dari ajaran nenek moyang mengenai adat pernikahan.

3
BAB II

PROSES MASUKNYA SUKU BUGIS DI SULAWESI TENGGARA

Suku Bugis adalah sekelompok etnis yang pada awalnya mendiami beberapa

daerah di Sulawesi Selatan dengan ciri utama dari bahasa adat Istiadat yang khas dan

berbeda dari dialeg di Nusantara bahkan di Seluruh Dunia. Banyak cerita mengenai asal-

muasal mengenai suku Bugis mulai dari karya sastra I La Galigo hingga legenda “To

manurungnge” memberikan pengertian tersendiri dari suku tersebut. Bugis secara umum

terdiri dari rumpun suku-suku yang lebih kecil yang mendiami wilayah Pare-Pare, Barru,

Sidrap, Pangkep, Pinrang, Bone, Sinjai, Soppeng dan Wajo. Secara keseluruhan seluruh

wilayah tersebut memiliki rumpun adat istiadat yang serupa namun secara khusus dapat

dibedakan melalui dialeg, aksen dan juga pusaka.

Pada abad ke 15, ketika kesultanan Gowa berada pada puncak kekuasaan ada

banyak juru tulis, tenaga administrasi kerajaan dan juga pedagang dari Melayu dan

Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sehingga proses akulturasi budaya terjadi secara

alami. Proses membuat para pendatang yang sudah lama mendiami daerah-daerah Bugis

dimasukkan ke dalam kategori suku Bugis terlebih bahasa yang mereka gunakan sudah

jauh berbeda dari bahasa orang tua mereka ketika pertama kali datang di Sulawesi

Selatan.

Saat ini, suku Bugis sudah dapat ditemui di seluruh penjuru Indonesia, bahkan

beberapa wilayah di Asia didiami oleh orang-orang dari Bugis, meskipun sudah lahir dan

besar di luar Indonesia bahkan sebagian diantara mereka tidak pernah ke Indonesia dan

lahir dengan kewarganegaraan asing seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan juga

4
Philipina. suku Bugis telah menjadi bagian dari negara Malaysia dan Singapura dan

menjadi pembesar negara tersebut seperti Tun Abdul Razak yang menjadi tokoh Nasional

di Malaysia. Hal ini disebabkan oleh nenek moyang suku Bugis yang terkenal dengan

jiwa perantau yang luar biasa, membuat mereka berhasil bertahan hidup dan tumbuh di

negeri orang.

Suku Bugis masuk dalam kategori suku-suku Melayu Deutero yang masuk melalui

jalur darat ke Nusantara. Yunan sebagai pusat utama masuknya nenek moyang dari suku

Bugis. Penamaan Suku Bugis berasal kata “to Ugi” yang berarti orang-orang Ugi,

sedangkan “Ugi” sendiri adalah nama raja pertama dari kerajaan Cina yang terdapat di

Pamanna (Saat ini Kabupaten Wajo) yakni La Sattumpugi. Pada masa tersebut, pengikut

La Sattumpugi menjuluki diri mereka pengikuti Ugi atau to Ugi.La Sattumpugi sendiri

adalah saudara dari Batara Lattu yang tidak lain ayah dari Sawerigading. La Sattumpugi

kemudian memiliki seorang putri bernama We Cedai yang kelak dinikahkan dengan

Sawerigading dan melahirkan beberapa anak dimana salah satu anaknya yang paling

terkenal di Sulawesi Selatan bernama I La Galigo. Kisah I La Galigo tertuang dalam

sebuah karya sastra otentik yang tidak merujuk pada salah satu kitab manapun di

Nusantara, kisah ini diabadikan pada halaman dengan tebal 9000 Folio. Sawerigading

yang dikenal julukan Opunna Ware atau orang yang dipertuankan di Ware telah menjadi

kisah yang terabadikan dalam karya sastra I La Galigo. Kisah sawerigading kemudian

menyebar dan terkenal sampai pada suku Kaili, Buton, Luwuk dan Gorontalo.

Pada perkembangannya, Suku Bugis terbentuk dalam komunitas-komunitas kecil

berdasarkan lokasi tertentu yang memungkinan memberikan kehidupan seperti daerah

pinggir sungai ataupun daerah pinggir laut. Komunitas-komunitas kecil ini kemudian

5
mengembangkan kebudayan, bahasa dan aksara. Sejalan dengan tumbuhnya komunitas,

sistem pemerintahan pun tumbuh untuk mengatur keperluan hidup di dalam komunitas

serta melindungi diri dari serangan komunitas lain. Kerajaan-kerajaan Suku Bugis Klasik

terdiri dari Bone, Luwu, Soppeng, Sidenreng, Sawitto dan Rappang. Meskipun sudah

berkembang, namun proses pertumbuhan pada satu rumpun kehidupan di Sulawesi

Selatan menyebabkan pertalian antar suku menjadi sukar terhindari, hal ini disebabkan

oleh dua hal yakni pertalian melalui perkawinan dan juga sistem kerajaan yang menjajah

dan yang dijajah membuat sebagian warga ikut mengalami proses akulutrasi budaya antar

Suku Bugis, Makassar dan juga Mandar.

Pada zaman modern seperti saat ini, komunitas-komunitas Bugis semakin besar dan

berdasarkan sensus terakhir mencapai 6 juta penduduk yang terkonsentrasi di Kabupaten

Luwu, Wajo, Soppeng, Bone, Sidrap, Pinrang, Barru dan juga Sinjai, dimana kerajaan

Luwu dianggap sebagai kerajaan paling tertua kemudian disusul Cina (Pamanna), Mario

(Soppeng) dan kerajaan Siang (Pangkajene dan Kepulauan). Sedangkan daerah peralihan

dimana suku Bugis dan Makassar maupun Mandar saling membaur berada di Kabupaten

Enrekang, Maros, Polewali, Pinrang, dan Bulukumba.

Sistem komunitas dalam kerajaan memang tidak dapat dihindarkan dari perang

saudara baik satu suku (Bugis-Bugis) dan juga antara suku (Makassar-Bugis). Perang

yang paling besar yang terjadi adalah perang antara Kerajaan Gowa dan Bone yang

dimulai sejak abad ke 15. Konflik yang dilatar belakangi kekuasan, politik dan ekonomi

ini kemudian merebak ke seluruh suku dan membentuk aliansi antar kerajaan. Kerajaan

Bone yang melakukan Ekspansi sampai ke Bulukumba kemudian bertemu dengan

kerajaan Gowa yang sama-sama melakukan ekspansi kekuasaan. Pada bagian Utara,

6
Kerajaan Bone juga harus berhadapan dengan Kerajaan Luwu di daerah Sungai

Walennae. Kerajaan Bugis lainnya yakni Wajo yang baru terbentuk setelah terjadi

dualisme kepemimpinan kemudian melakukan ekspansi kekuasaan. Di daerah lain

Kerajaan Bugis Soppeng melakukan ekpansi ke barat sampai ke daerah Barru. Perang

antara Luwu dan Bone yang sama-sama kuatnya kemudian pecah dengan hasil akhir

kemenangan berada di tangan Bone dengan direbutnya Payunga ri Luwu. Sebagai bentuk

pertahanan, Kerajaan Luwu yang terdesak kemudian beraliansi dengan kerajaan Wajo dan

kembali menyerang kerajaan Bone yang juga beraliansi dengan Sidenreng. Hasil akhirnya

kemudian membuat daerah Wajo dan Luwuk semakin menyempit dan bergeser ke arah

utara.

Terbuai dengan perang di bagian Utara, Kerajaan Gowa kemudian melakukan

ekpansi sampai ke Bone dan berhasil menaklukkan kerajaan Bone. Gowa yang berada di

atas angin dengan persatuan dua kerajaan kembar antara Gowa-Tallo kemudian sangat

sulit ditaklukkan paling tidak hingga akhir abad ke-16. Apalagi kekuatan ekonomi

kerajaan Gowa yang sangat maju dan berkembang memaksa kerajaan Bone, Wajo dan

Soppeng membentuk aliansi yang dikenal dengan Aliansi “Tellumpoccoe”. Hari ini bunyi

dari perjanjian masih dapat dilihat di seluruh daerah yang Bone, Soppen dan Wajo yang

dikenal dengan istilah yang lebih Modern yakni Bosowa.

Suku Bugis terkenal sebagai salah satu pelaut ulung yang akrab dengan kerasnya

lautan. Kemahiran dalam sistem Navigasi kapal membuat suku-suku Bugis kemudian

menjangkau hampir seluruh semenanjung Asia Tenggara dan juga Australia bahkan

sampai semenanjung Afrika Selatan dan Madagaskar. Si Cape Town, Afrika Selatan

7
terdapat sebuah Subburn yang diberi nama Maccassar sebagai tanda nenek moyang

mereka berasal dari Makassar.

Penyebab utama Migrasi suku-suku Bugis dalam jumlah besar tidak lain merupakan

konflik internal di dalam kerajaan-kerajaan suku Bugis dan juga konflik eksternal dengan

suku Makassar pada abad ke 16, 17, 18 dan 19. Kekacauan di daerah Sulawesi Selatan

membuat sebagian orang kemudian berpindah untuk mencari suasana yang lebih tenang

dan juga untuk memenuhi kebutuhan akan kemerdekaan karena baik kemenangan di

pihak Bugis ataupun di pihak Makassar, kelompok yang tidak memiliki keturunan Raja,

Bangsawan ataupun Ulama akan tetap menjadi budak.

Sebagian suku Bugis merupakan suku yang suka melakukan pelayaran dan

perdagangan. Sampai pada akhirnya masyarakat suku Bugis datang ke Sulawesi Tenggara

dengan maksud tujuan tersebut, sampai pada akhirnya tercatatlah sebuah histori yang

mengatakan bahwa adanya hubungan kekerabatan antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi

Tenggara dengan kerajaan di Sulawesi Selatan. Kerajaan-kerajaan tradisional di Sulawesi

Tenggara mengakui adanya hubungan historis dengan Sawerigading dari Luwu yang

dihubungkan dengan kedatangan To Manurung (orang asing). Persepsi yang sama juga

ditemukan pada tradisi di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, seperti: Gowa dan Bone.

Pada sisi lain suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar dan suku Massenrempuluk

mengakui pula bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk, diperkuat

dengan tradisi raja-raja Bugis, Makassar, dan Mandar menghormati Raja Luwu

sebagai primus interparis. Dalam lontarak Bajo juga mengakui asal-usul nenek moyang

mereka berasal dari Ussuk.

8
Di Mekongga ditandai dengan kedatangan La Rumbalangi yang berhasil membunuh

Burung Kongga, kelak menjadi raja pertama di Kerajaan Mekongga.Di Konawe

Tomanurung ditandai dengan kedatangan Wekoila yang merupakan raja pertama di

Kerajaan Konawe sekitar abad X. To Manurung di Wuna disebutBeteno ne

Tombula orang yang keluar dari ruas bambu yang kelak menjadi Raja Wuna Pertama juga

kawin dengan perempuan To Manurung. Wakaaka merupakan To Manurung di Wolio

kelak juga menjadi Raja Wolio Pertama.

Di masyarakat Moronene khususnya yang bermukim di Pulau Kabaena percaya

bahwa ketika terjadi kemelut politik maka muncullah Tebeto Tulanggadi lelaki tampan

yang muncul dari bambu gading. Pada saat yang sama muncul pula seorang perempuan

asing bernama Wulele Waru, seorang putri yang terpencar dari sekuntum bunga kayu

waru.Peristiwa tersebut terjadi pada abad XIV, istilah bambu tersebut semakin

menguatkan adanya kesamaan dalam arti terdapat hubungan kekerabatan antara raja-raja

pertama yang berhasil menata administrasi dan struktur pemerintahan tradisional yang ada

di Sulawesi Tenggara. Mereka secara tidak langsung mengakui bahwa para pendatang

yang sering disebut to manurung(orang asing yang memiliki kelebihan) itu adalah

Sawerigading atau keluarga/keturunan raja dari Luwu.

Kedatangan to manurung tersebut sering dihubungkan dengan perjalanan

Sawerigading ke dunia timur yang menyebabkan persebaran Suku Bugis dan Suku Bajo di

daerah-daerah perantauannya. Tetapi secara faktual bahwa orang Bugis yang umumnya

memiliki gaya hidup yang lebih dinamis, lebih mudah bersosialisasi dan beradaptasi.

Melalui filosofi hidup di rantau yang harus meraih sukses, maka konsep “tiga ujung”

(ujung lidah/diplomasi, ujung laki-laki/kawin politik, dan ujung keris/keberanian),

9
memegang peranan penting dalam mempertahankan eksistensi orang Bugis di negeri

rantau.

Sawerigading juga ditafsirkan sebagai manusia yang berkembang biak di bambu

atau di gading. Pendapat tersebut dapat dihubungkan dengan mitos sebagai orang yang

keluar dari ruas bambu atau dari selah-selah bambu. Penafsiran lain sesuai dengan tradisi

lisan yang menyatakan bahwa leluhur Sawerigading adalah manusia yang berkembang

biak di atas rakit bambu (gading) dalam pelayaran. Pendapat ini didukung oleh gerak

perpindahan dan pelayaran penduduk yang berbahasa Melayu-Polinesia atau Mongoloid

dari daratan Asia Tenggara ke Nusantara pada masa bercocok tanam. Secara faktual

bahwa pada awal pemukiman penduduk di pantai mereka membuat rumah dengan tiang

dari bambu, tangga dari bambu, lantai dari bambu, dinding dari bambu, bagian dari atap

dan peralatan bagian atas rumah juga dari bambu.

Seiring perkembangan pelayaran dagang semakin menambah media pertalian

kekerabatan antar etnik baik yang dilakukan oleh etnis yang ada di Sultra, maupun dari

luar seperti orang Bugis/Makassar. Di kawasan Barat Nusantara para pelayar/pedagang

Bugis sejak dahulu kala diakui sebagai pelayar ulung dan juga menanamkan pengaruhnya

di kawan itu (Riau dan Kalimantan Barat). Demikian pula di Negeri Timur atau Tanah

Lau, seperti Sulawesi Tenggara. Kerajaan Laiwoi (di Kendari) didirikan oleh La Mangu,

anak Arung Bakung seorang yang disebut sebagai pelarian politik dari Bone yang kawin

dengan bangsawan Tiworo, kemudian Anaknya La Sambawa mengawini Maho putri

mahkota Ranomeeto, dialah yang melahirkan La Mangu yang kelak mendirikan Kerajaan

Laiwoi. Arung Bakung dikenal sebagai pemimpin orang Bugis yang berhasil mengusir

bajak-bajak laut Tobelo di pesisir pantai Timur Sulawesi Tenggara. Kerajaan Laiwoi

10
merupakan dinasti Bugis-Muna-Tolaki, suatu gambaran nyata bentuk hebungan

kekerabatan melalui perkawinan, inilah yang kelak mengembangkan Kota Kendari sampai

pada taraf sekarang ini. Di Kota Kendari sekarang ini sulit memisahkan antara ketiga etnis

tersebut bahkan dengan etnis lainnya karena mereka lentur atau menyatu dalam suatu

tatanan baru yang mereka kembangkan sendiri,disebutnya proses pembugisan yang

melahirkan etnis baru “Bugis Kendari”, dengan ciri budaya dalam wujud bahasa Bugis

dengan dialek yang khas.

Setelah Indonesia merdeka gelombang migrasi dan dinamika masyarakat semakin

meningkat, baik dalam dimensi perdagangan maupun dalam dimensi pemerintahan yang

menjadi daya dorong migrasi penduduk dari luar yang masuk ke Sulawesi Tenggara.

Perdagangan bukan hanya dilakukan melalui perahu layar, tetapi dapat dilakukan melalui

Kapal Motor, angkutan darat, dan angkutan udara. Demikian pula penempatan dan mutasi

pegawai negeri dan anggota TNI/Polri, yang berdampak terhadap berkembangnya

kekerabatan melalui perkawinan. Hampir tidak ditemukan lagi rintangan berarti dalam

proses perkawinan antar etnik. Sehingga mempermudah para pemuda perantau untuk

melangsungkan perkawinan antar etnik di daerah ini.

11
BAB III

ADAT PERKAWINAN SUKU BUGIS

3.1 Tahap Sebelum Perkawinan

a) Mammanu-manu/Mappese-pese (Penjajakan)

Mammanu-manu, mappese-pese, mappau ri boko tange mabbalo cici. Artinya;

menjajaki, pendekatan, membuka jalan, merintis, mabbaja leleng. Tahap pendahuluan

dalam adat perkawinan Etnis Bugis yaitu mammanu-manu yang diibaratkan sebagai

burung-burung yang terbang kesana-kemari untuk mencari apakah ada gadis yang

berkenan dihati. Langkah ini dimulai dengan mengutus seorang paruh baya untuk

melakukan kunjungan biasa kepada keluarga peremuan untuk mencari tahu seluk-

beluk calon wanita yang akan dilamar.

Pada jaman dahulu setelah ada kata sepakat antara kedua belah pihak maka

calon mempelai wanita dipingit, proses pengitan untuk mempelai wanita dilakukan

selama satu minggu dan selama satu minggu itu di bekali ilmu agama dan ilmu rumah

tangga.

Setelah tahap mammanu-manu (pencarian jodoh) sudah dilakukan tahapan

selanjutnya ialah mappese-pese (penjajakan). Dalam hal ini memastikan apakah gadis

tersebut masih dalam keadaan belum ada yang mengikat atau menyimpannya.

mappese-pese yaitu melakukan kunjungan resmi pertama untuk mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang secara tidak langsung dan sangat halus. Sesudah ada kata

sepakat maka utusan dari pihak pria mohon diri untuk kembali lagi dalam pertemuan

berikut yang disebut mapettu ada (pengambilan keputusan).

12
b) Madutta/massuro

Lettu, massuro, madduta. Artinya: melamar/menyampaikan lamaran atau

meminang yang dilakukan oleh salah seorang atau masing-masing duta dari kedua

belah pihak untuk berdialog. Waktu melamar belum melibatkan banyak orang,

umumnya antara 3 sampai 5 orang dari masing-masing dua belah pihak.

Pandangan hidup yang dipedomani, bertolak pada niat yang sama, tujuan yang

sama, pandangan hidup dan prinsip yang sama, serta berprilaku luwes jika kedua

belah pihak menemukan faktor kendala atau penghambat dalam rangka

merealisasikan tujuan Mappasiarekeng dan Mappetu Ada ini, maka pedoman yang

ditempuh untuk memecahkan yaitu:

a) Segalanya dipecahkan dengan mufakat dengan pengendalian diri dan tidak

menghindahkan issue atau informasi yang berkembang diluar jalur, tapi

yang diutamakan adalah melestarikan nilai kepribadian demi harga diri

demi pemurnian martabat kemanusiaan.

b) Andai kata ada issue atau informasi yang berkembang segala sesuatunya

tidak dapat diterima secara resmi kecuali informasi yang diantar oleh

delegasi yang wajar dipercaya menurut hukum.

c) Mappasiarekeng (saling menguatkan)

Kegiatan ini mengukuhkan kembali apa yang telah disepakati oleh kedua duta

yang dihadiri oleh pini-sepuh dari kedua belah pihak, dalam pelaksanaanya belum

melibatkan banyak orang, suku kedua duta pini-sepuh dari kedua belah pihak. Waktu

ini ditentukan pelaksanaan Mappetu Ada yaitu mengambil keputusan kapan

13
pelaksanaan acara Mappetu Ada, setelah ada penentuan waktunya, barulah

dilaksanakan Mapettu Ada.

d) Mappetu Ada (mengambil keputusan)

Mappetu ada (pengambilan keputusan bersama) atau mappatudang ade yaitu

pihak laki-laki mengirim utusan (keluarga atau orang kpercayaan) untuk

menyampaikan lamaran. Pada proses pelamaran biasanya orang tua lakilaki tidak

terlibat.

Jika lamaran telah diterima, proses selanjutnya disebut mappetu ada adalah

mengambil keputusan bersama segala sesuatunya yang akan dilaksanakan. Dalam

tahap ini keluarga dari pihak laki-laki dan pihak perempuan bersama-sama membahas

tentang beberapa hal yang harus disepakati yaitu Sompa (mahar/mas kawin), doi

menre (uang naik), waktu pengantaran leko’ (seserahan), tanra esso (penentuan hari).

Setelah lamaran pihak laki-laki diterima keluarga perempuan, kedua belah

pihak membicarakan tentang sompa, doi menre, waktu penghantaran leko’ yang

terdiri ulu leko berisi daun sirih, gambir, kapur sirih, tembakau hitam, leko caddi

berisi makanan khas Suku Bugis diantaranya sokko dan palopo kue bolu peca’,

barongko, cucuru, serta onde-onde. Leko lompo berisi seperangkat pakaian wanita

mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, Al-Qur’an, perlengkapan shalat, dan

buah-buah yang disimpan dalam walasoji, kemudian membahas pakeang botting,

nenniya tanra esso.

Leko caddi diantarkan pada saat mappenre doi terdiri dari satu lembar baju

bodo, satu lembar sarung sutera, satu piring nasi ketan, satu mangkok palopo (saus

gula merah) dua sisir pisang raja. Nasi ketan saling melengket pada saat dimasak,

14
gula merah artinya manis, santan rasanya gurih, psang artinya harapan atau

keinginan. Semua ini apabila dirangkaikan dalam kata semoga kedua calon mempelai

dapat bersatu kelak dan tidak akan terpisahkan dalam suatu kehidupan yang manis

dikemudian hari.

Dalam rangkaian kegiatan mappetu ada, yang artinya mengambil keputusan

bersama segala sesuatunya yang akan dilaksanakan, termaksud kesepakatan duta

terdahulu dan selanjutnya kesepakatan mengenai:

1) Sompa atau Surang/mahar/maskawin, sebagai hukum syariah

2) Doi balanca/doi menre, yaitu uang belanja atau uang naik dari keluarga

calon mempelai laki-laki yang akan diberikan kepada keluarga caln

mempelai perempuan dan barang-barang lainnya sebagai syarat hukum

adat.

3) Leko, alu-kalu atau erang-erang/tiwi-tiwi, passururo mita, yaitu: bawaan

atau seserahan yang dibawa oleh keluarga laki-laki pada saat hari

pelaksanaan akad-nikah.

4) Accatakeng, pencataan kepadalu.

5) Pakeang Botting, busana pengantin yang disepakati untuk dipakai dan cara

pembayarannya.

6) Tonangeng botting, yaitu kendaraan yang dibutuhkan dari kedua belah

pihak pada saat akad nikah.

Penentuan sompa di daerah asal Etnis Bugis adala penggolongan masyarakat

berdasar status social yang terdiri dari bangsawan tinggi 88 real, bangsawan

15
menengah sebesar 44 real, golongan orang kebanyakan (to maradeka) sebesar 22 real,

dan golongan budak (ata) sebesar 10 real.

e) Persiapan Pernikahan

Secara historis dalam tradisi masyarakat Bugis di Tanah Bone dan Wajo yang

hidup dalam matapencarian sebagai petani, dalam rangkaian persiapan ini dilakukan

kegiatan mappannampu (menumbuk padi) yang dilakukan secara sipulung/situlung-

tulung (gotong-royong), kegiatan ini berlangsung sekitar 7 hari, dirangkaikan dengan

acara segenap khalayak bahwa ada suatu pesta pernikahan dikampung itu. Menjelang

7 hari sebelum akad nikah juga diadakan acara mappallabu (membuat tepung dari

beras) pada malam hari sekaligus dilanjutkan dengan pembuatan kue-kue kering

(beppa leyya, cucuru tenne, beppa pute) untuk rangkaian acara pernikahan. Secara

formal beberapa tahapan persiapan pernikahan, yaitu:

1) Mapparape dan Mappalettu Selleng/Mattampa Mappaisseng (Mengundang)

Mapparape yaitu menyampaikan izin kepada pemerintah setempat Kepala

Desa/Imam Desa temaksud kepada sesepuh kampong. Mappalettu Selleng/Mattampa,

artinya mengundang secara lisan segenap keluarga dan undangan secara tertulis

kepada keluarga dan undangan secara tertulis kepada keluarga yang jauh dan para

kenalan/sahabat. Pada tahap mappaisseng ini dilakukan setelah sudah ada

kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita mengenai waktu pelaksanaan

perkawinan. Apabila sudah ada kepastian kapan akan dilaksanakan perkawinan maka

tahapan yang dilakukan adalah mappaisseng (member kabar) keluarga dekat. Pada

zaman dulu orang yang diutus untuk mattampa ini terdiri dari 8 orang 4 laki-laki dan

4 perempuan.

16
2) Mabbaruga/Saorapo/Sarapo/Mappatettong Sarapo (Pembuatan Tempat Pelaksaan

Pesta)

Mabbaruga/Saorapo/Sarapo, yaitu membangun tempat pelaksaanaan resepsi

penikahan disebut baruga atau saorapo karena rumah ini dengan mudah akan

dibongkar kembali segera setelah resepsi perniakhan, namun dalam perkembangan

selanjutnya disebut sarapo.

Tahapan selanjutnya yaitu massarapo atau mabbaruga artinya mempersiap

tempat pelaksanaan pesta. Kata Saorapo berarti rumah yang tidak permanen.

Sao=rumah dan rapo=tidak kuat atau rapuh artinya rumah yang yang sesudah acara

perkawinan akan dibongkar.

Saorapo adalah bangunan yang dibuat untuk ruangan tambahan yanga da didepan

atau disamping ruamh dengan cara menyambung dua buah rumah panggung dengan

tiang, diberikan lantai, dinding dan atap. Biasanya dinding terbuat dari kain panjang

yang dilengkapi dengan kain lamming yaitu kain yang diberi hiasan manic-manik.

Bentuk wala Suji hampir tidak berbeda bagi Suku Bugis-Makassar. Wal Suji atau

baruga motif segi empat belah ketupat ini sudah tidak asing lagi dalam khasanah

peradaban masyarakat Bugis-Makassar. Hal ini terlihat pada setiap pembuatan

baruga, serta pallawa atau pagar pada acara perkawinan atau pesta adat.

Pada zaman dahulu Saorapo ini dibuat sebulan sebelum acara pernikah

dilaksanakan. Pada tahap mabbaruga atau massarapo dibuat 30 hari sebelum

pelaksaan hari H, tujuannya itu untuk mendapatkan ruang yang lebih luas guna

pelaksanaan pesta perkawinan.

17
Pernikahan pada zaman dulu dijadikan ajang silaturahmi dan kumpul-kumpul

keluarga dulu dijadikan ajang silaturahmi dan kumpul-kumpul keluarga bukan

mengharapkan amplop dari keluarga yang diundang, dan biasanya Saorapo ini dibuat

jauh hari sebelum pernikahan biasanya sebulan sudah dibuat saorapo agar

mendapatkan ruangan yang lebih lus untuk menampung orang banyak dan selama

sebulan itu kelurga yang diundang makan di rumah keluarga yang hendak

melaksanakan penikahan. Dimana pihak yang hendak melaksanakan pernikahan

saling membantu misalnya apabila persediaan persediaan makanan masih banyak

bisanya ditandai dengam digantung paha daging kerbau itu menandakan bahwa

persediaan makanan masih banyak tapi apabila sudah tidak ada maka dari keluarga

yang diundang tadi biasanya menyumbangkan kerbau, sayur-sayuran, beras, dan lain-

lain. Ini menandakan bahwa pernikahan pada zaman dulu dijadikan ajang kumpulan

keluarga, bukn mengharapkan amplop. “Sebelum mendirikan baruga atau sarapo ini

indo botting menanamkan ditengah-tengah sarapo daun keladi yang berisi, golla,

kaluku, ampiri tujuannya agar semua keluarga atau kerabat beramai-ramai

menghadiri acara pernikahan tersebut.

3) Wettu Rapo-Raponna

Wettu rapo-rappona yaitu masa sebulan sebelum acara akad nikah dilakukan

pembatasan ruang lingkup pergaulan kedua calon mempelai, karna kekhawatiran

akan adanya gangguan yang bisa menyebabkan terhambatnya pelaksaanan

pernikahan.

18
4) Ripallekke/Ripassobbu

Bagi calon mempelai wanita dipingit, ditempatkan pada suatu kamar khusus

selama satu minggu, yang berakhir selama tiga hari menjelang akad nikah. Sesaat

sebelum mallekke disiapkan sokkolotong (nasi ketan hitam) telur ayam setengah

matang disimpan dalam klambu dan calon pengantin ditemani oleh teman-teman

gadis sebayanya untuk makan bersama. Beberapa aktivitas selama ripallekke yang

memiliki makna edukatif-religius yang dalam bahasa arab disebut tafaul dan dalam

bahasa bugis disebut sunnu-sennuanga.

5) Mabbedda lotong ( bedak hitam)

Mabbedda bolong/mabbedda lotong yaitu memakai bedak hitam yang terbuat

dari beras yang disangrai sampai hangus, kemudian ditembuk sampai halus bersama.

Untuk pemakaiannya dicampur dengan air jeruk nipis, dan paninii. Bedak ini

dioleskan kebagian anggota tubuh calon mempelai wanita, terutama wajah, lengan,

kaki, yang dibiarkan sampai kering dan melengket pada kulit berlangsung beberapa

jam yang akhirnya mandi sebagai lulur.

6) Ripasau/mandi uap

Setelah dilakukan maceko kemudian tahap selanjutnya dipisau/mandi uap.

Proses dipisau (mandi uap) ini tidak dilakukan lagi oleh masyarakat bugis yang ada di

Polleang prosesi mandi uap diganti dengan cemme majang (mandi kembang) yang

didalamnya ditambahkan bunga pandan agar bau keringat mempelai hilang. Calon

mempelai di mandikan oleh indu’ botting (perias mempelai) selanjutnya sesudah

mandi calon mempelai mengambil air wudhu dan kemudian melaksanakan solat

19
ashar. Kemudian calon melakukan upacara mappendre temma/katam Al-Quran

sambil menunggu upacara adat mappacci.

7) Cemme Passili (Mandi Tolak Bala)

Cemme passili artinya : mandi menolak bencana, ingin mengandung makna pula

sebagai penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari segala

marabahaya yang dapat menimpa calon mempelai yang sebentar lagi akan

mengarungi kehidupan baru. Acara passili ini dilakukan secara terpisah antara calon

mempelai wanita dengan calon mempelai pria yang masing-masing dilakukan di

rumahnya pada saat naik matahari atau sekitar pukul 10.00 yang dilakukan di depan

pintu rumah.

8) Macceko

Macceko artinya mencukur bulu-bulu halus pada bagian tertentu untuk

memuluskan kulit utamanya wajah, sebelum acara tudang penni atau mappaccing dan

selanjutnya tudang botting pada keesokan harinya. Kegiatan ini bertujuan untuk

membersihkan jiwa dan raga.

3.2 Upacara Mappacci

a) Konsep Mappacci/Tudangpenni

Mappacci merupakan upacara adat untuk mensucikan diricalon mempelai dari hal-

hal yang bersifat kotor, baik secara fisik maupun secara batin.

Upacara adat mappacci dilaksanakan oleh kedua belah pihak keluarga calon

mempelai. Tradisi upacara mappacci merupakan tradisi turun-temurun yang masih sukar

untuk dihilangkan. Biasanya pada malam mappacci ini calon mempelai perempuan tidak

20
memakai kostum lengkap, artinya baik hiasan maupun perhiasan emasnya tidak dipakai

semua. Mappaci juga berlaku untuk calon mempelai laki-laki. Calon mempelai laki-laki

yang akan mappacci hanya memakai jas biasa dengan sarung sutra atau “lippagarrusu”

bersama songko pamiring ulaweng (songko yang dianyam dengan hiasan pinggi benang

emas)

b) Tata Cara Pelaksanaan Upacara Mappacci

Dalam proses upacara mappacci, terlebih dahulu pihak keluarga melengkapi segala

peralatan yang harus dipenuhi seperti daung pacci (daun pacar), daun panasa (daun

nangka), colli daung utti (pucuk daun pisang), angkalulung (bantal), lipa sebbe 7/9

lampaa (sarung sutra 7/9 lembar), patti (lilin), wennu (beras yang telah disangrai hingga

mengembang), minynya’ boka (minyak kelapa), uwwae (air)

1) Tahap persiapan

Tahap ini merupakan tahap yang harus diperhatikan sebelum proses

pelaksanaan mappacci dimulai. Pada tahap persiapan ini, terlebih dahulu para

keluarga menghubungi kerabat-kerabat dan menyampaikan bahwa akan diadakan

upacara mappacci

 Penenntuan Waktu dan Hari Pelaksanaan

Suku Bugis, jika hendak melakukan sesuatau masih ada yang percaya

adanya hari/waktu baik dan ada hari/waktu yang tidak baik, diantaranya

proses pernikahan. Selain petunjuk hari/waktu menurut orangtua suku Bugis

adapula perhitungan bulan dilangit yang dinamakan Ompoona

Ketengnge’/Ulengnge

21
 Persiapan Bahan dan Alat Perlengkapan

Setelah ditetapkan waktu dan hari pelaksaan upacara mappacci, maka

tahap selanjutnya yaitu menyiapakan bahan/alat yang diperlukan pada saat

mappacci.

1) Bantal

Bantal diletakankan didepan calon mempelai. Mempelai

diletakkan sebuah bantal yang dipercaya oleh suku Bugis mempunyai

suatu makna albbireng (kehormatan atau martabat harga diri) karna

bantal digunakan sebagai pengalas kepala, dimana kepala adalah bagian

paling mulia bagi manusia.

2) Lipa Sebbe

Biasanya diletakkan sarung sutra 7/9 lembar diatas bantal. 7

lembar atau dalam bahasa bugis disebut pitullampa, dalam bahasa bugis

kata tujuh sangat erat kaitannya dengan kata patuju/tujui yang artinya

benar, berguna atau bermanfaat. Diharapkan agar calon mempelai,

senantiasa berbuat melakukan/mengerjakan sesuatu yang benar, berguna

atau bermanfaat, dan slalu benar. Makna lain bilangian tuju yang dalam

bahasa bugis dikatakan pitu, bermakna pula akan makna atau banyaknya

hari yang ada.

Lippa (sarung) merupakan symbol mabbulo sipeppa (persatuan),

karna sarung merupakan lembaran benang yang telah disatukan

kemudian diolah dan ditenun, fungsi utama sarung adalah sebagai

22
pakaian penutup aurat, demikian pula halnya istri adalah pakaian dari

suami, dan suami merupakan pakaian dari istri.

3) Paccu Daung Utti (Pucuk Daun Pisang)

Puccu daung utti atau pucuk daun pisang diletakkan di atas sarung

sutra tersebut. Pucuk daun pisang yang melambangkan kehidupan yang

terus menerus (berkesinambungan) yang mempunyai makna bahwa

calon mempelai, harus mempunyai rasa kerja keras demi mendapatkan

hasil yang diharapkan. Selain itu, pucuk daun pisang juga mempunyai

makna berkesinambungannya suatu keturunan baik, yang akan

dihasilkan oleh pasangan calon mempelai. Puccu daung utti (pucuk daun

pisang) adalah symbol serba guna karena seluruh bagian dari pohon

pisang dimanfaatkan oleh manusia, khususnya buahnya

4) Daung Panasa

Daung panasa (daun nangka) diletakkan diatas pucuk daun pisang.

Daun nangka dijadikan sebagai salah satu alat dalam upacara mappacci,

karena kata dari nangka dalam bahasa Bugis yaitu “panasa/minasa”

berarti suatu keinginan luhur yang diharapkan calon mempelai dapat

mempunyai cita-cita yang luhur untuk masa depannya. Sedangkan

“buah nangka” dalam bahasa Bugis disebut “lempu”, jika dikaitkan

dengan kata “lempuu” (kejujuran) yang mempunyai makna symbol

kejujuran dan dapat dipercaya sehingga diharapkan agar calon mempelai

ketika berumahtangga dapat berkata jujur satu sama lain.

23
5) Patti/Lilin

Selanjutnya dinyalahkanlah lilin sebagai penerang bagi calon

mempelai dalam mengarungi bahtra rumahtangganya kelak. Adapun

maknanya agar suami istri mampu menjadi penerang bagi keluarganya

dan masyarakat dimasa yang akan datang.

6) Daung Pacci

Makna daun pacci dapat diartikan sebagai symbol dari kebersihan

dan kesucian penggunaan pacci ini menandatang calon mempelai telah

bersih dan suci hatinya dan kehidupan selanjutnya sebagai sepasang

suami istri hingga ajal menjemput. Karena daun pacci tersebut

mempunyai makna suatu kebersihan dan keindahan yang diharapkan

secara rohaniah akan membersihkan calon mempelai dari segala

keburukan-keburukan yang ada padanya.

7) Bekkeng

Wadah bekkeng (tujuh tempat pacci) yang terbuat dari logam.

Dimaknai sebagai lambing dua insane yang menyatu dalam suatu ikatan

atau jalinan yang kukuh, sehingga diharapkan agar pasangan suami istri

tetap menyatu dan bahagia sampai akhir hayar.

8) Wenno

Jagung melati/beras melati yang telah disangrai, dapat dimaknai

sebagai suatu kemandirian dalam membina rumah tangga, yang

diharapkan agar calon mempelai kelak dapat hidup mandiri dan

berkembang dengan baik.

24
9) Uwwae’

Disiapkan uwwae’ (air) yang memiliki makna symbolic

mengharapkan rezeki dan berkah yang mengalir seperti air dari Allah

SWT dan air juga menggambarkan kebersihan dan kesucian.

10) Minynya

Perlengkapan selanjutnya yaitu minyak kelapa. Sifat minyak yang

kental, maka diharapkan bertambahnya iman calon mempelai ketika

berumahtangga.

11) Wellulu (daun sirih) atau Rokok

Benda ini menunjukan rasa penghormatan untuk memberikan

suguhan makanan sirih-pinang dan atau suguhan merokok.

 Pelaksanaan Upacara Adat Mappacci

Setelah semua bahan/alat mappacci disiapkan, maka tahap

selanjutnya adalah mengenal pelaksana upacara adat mappacci/

orang yang diminta untuk meletakkan pacci kepada mempelai.

Pada zaman dahulu orang yang diminta untu meletakkan

daung pacci pada calon mempelai biasanya adalah orang-orang

yang memiliki kedudukan social yang baik, kehidupan rumahtangga

yang bahagia, dan anak keturunan yang baik, kehidupan rumah

tangga yang bahagia, dan anak keturunan yang baik. Semua ini

mengandung makna agar calon mempelai kelak dikemudian hari

dapat pula hidup bahagia seperti mereka yang telah meletakkan

daun pacci di tangan calon mempelai. Pelaksanaan acara dimulai

25
oleh pasangan suami istri yang berjumlah Sembilan pasang

(duakkasera), kemudian ditutup/akhiri oleh kedua orang tua

mempelai.

Jumlah orang yang meletakkan daun pacci ditangan calon

mempelai pada zaman dahulu biasanya disesuaikan dengan tingkat

stratifikasi social calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan

bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau “duakkasera”,

untuk golongan bangsawan menengah 2 x 7 orang “duakkapitu”,

sedangkan untuk golongan dibawahnya lagi 1 x 9 orang atau 1 x 7

orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi perbedaan-

perbedaan dalam jumlah orang yang akan melakukan acara ini.

Setiap orang yang di panggil oleh untuk memberikan pacci

kepada calon mempelai diantar oleh seorang pengantar yang

membawakan sebuah lilin yang sedang menyala. Lilin tersebut

tidak boleh mati dan diharuskan selalu menyala sampai pada

kegiatan upacara mapacci tersebut selesai. Hal ini diibaratkan

bahwa orang yang member pacci tersebut merupakan orang-orang

yang dianggap penting dari harus selalu dijaga dan dikawal karena

merekalah yang akan memberikan doa dan pemberi kebersihan

kepada calon mempelai. Namun saat ini proses pemberian pacci

secara berpasang-pasangan dan proses penjemputan melalui

pembawaan lilin tidak dilakukan lagi, serta mengenai jumlah orang

yang akan meletakkan daun pacci tidak ditentukan lagi jumlahnya.

26
Biasanya upacara mapacci ini didahului dengan pembacaan

kitab Barazanji sebagai pernyataan syukur kepada ilahi dan

junjungan Nabi Muhammad SAW. Setelah bacaan Barazanji

samapi pada “asyrakal” dan seterusnya, barulah acara Mappacci

dimulai.

2) Tahap pelaksanaan

Upacara adat mappacci tersebut selain memilki tahap persiapan juga

memilki tahap pelaksanaan yang berfungsi menjelaskan urusan atau langkah-

langkah dari proses upacara adat mappacci, seperti hal-hal yang harus dilakukan

ketika melakukan upacara adat mappacci.

Pada tahap pelaksanaan mappacci terlebih dahulu ada beberapa tahap/cara

yang dilakukan dalam merawat calon mempelai perempuan hingga tiba

pelaksanaan upacara mapacci.

 Mappanre Temme (Khatam Al-Qur’an)

 Mabbarazanji (Pembacaan Barazanji)

 Proses Upacara Mappacci

Upacara mappacci dilakukan setelah upacara Mappasilli, ini berarti calon

mempelai sudah siap untuk dirias dalam rangka wenni mappacci (malam pacar)

atau tudangpenni. Pacci adalah suatu tanamana yang daunnya ditumbuk secara

halus yang akan digunakan untuk mewarnai (pewarna) kuku. Dalam bahasa

Bugis kata pacci dapat dihubungkan dengan kata paccing yang berarti

27
suci/bersih. Dengan demikian peristiwa mappacci berarti membersihkan atau

mensucikan calon mempelai dair sikap dan perilaku yang tidak bersih/tidak halal.

Upacara mappacci merupakan upacara adat ynag mengandung makan

filosofis, sehingga memiliki nilai-nilai edukatif yang tinggi, baik terhadap calon

mempelai, maupun terhadap masyarakat luas.

Berikut ini nilai-nilai yang berkaitan dengan perlengkapan/bahan upacara

adat mappacci, yaitu:

 Nilai Religius (Agama)

 Nilai Social

 Nilai Budaya

3.3 Tahap Pelaksanaan Pernikahan

a) Mappapenning/Mappenre’ Botting

Mappapenning atau Mappenre’ Botting (mengantar calon mempelai laki-laki ke

rumah calon mempelai perempuan untuk melaksanakan akad nikah). Prosesi mappenre

botting yaitu kegiatan mengantar calon mempelai laki-laki kerumah calon mempelai

perempuan untuk melaksanakan prosesi akad nikah.

Kegiatan mappenre botting ditandai dengan calon mempelai laki-laki dan

rombongan mengantar leko’ sake (seserahan) terdiri dari seperangkat emas (kalung

permata, cincin permata), busana perempuan lengkap terdiri dari 12 bosara, kue 12

bosara yang berisi kue seperti: barongko, cucur, kue putih, dll, walasuji terdiri dari 7

28
jenis buah yaitu: nangka, pisang, buah lontar, tebu tujuh batang, buah pinang, kelapa

setandan, dan salak.

Makna dari buah yang terdapat pada walasuji yaitu panasa (nangka) yaitu

mamminasa (maksud/harapan/cita-cita), utti situnrung (pisang setandan) yaitu saling

mengunjungi kedua rumpun keluarga, bua ta’situnrung (buah lontar setandan) yaitu daun

lontar yang dibuat jail atau tikar sebagai alas tidur/duduk. Tebu tujuh batang

mengandung rasa manis dan isinya terus guris. Alosi sintnrung (buah pinang setandan)

yaitu saling berusaha merukunkan suatu keluarga besar dari kedua belah pihak. Salak

(buah salak) yaitu atassalang atau kesalahan, jika sekiranya ada kesalahan dapat

dimaafkan. Kaluku situnrung (kelapa setandan) yaitu kelapa rasanya gurih, maksudnya

hubungan keluarga yang hambar diusahakan saling mendukung agar gurih kembali.

Susunan dalam pengiring leko lompo adalah pattiwi bessi (pembawa tombak),

pangulu botting (indo botting), paerang taibani (pembawa lilin), pakusu-kusu (mewakili

saudara mempelai), pallipa garrusu (mewakili orangtua mempelai), pattiwi passio

(pembawa uang panai/uang belanja, alat-alat paerang bosara 2 x 12 bembengang

(pembawa kue dalam bosara), panca (buah-buahan dalam walasuji), paggenrang

(pemukul gendrang).

Sealin susunan pengiring leko’ lompo (erang-erang/seserahan) susunan pengiring

rombongan pengantar mempelai laki-laki terdiri atas: (1) pattiwi sompal/sunrang

(pembawa sompa/maskawin), (2) pattapog (pembawa cerek), (3) paddenreng botting

(pengiring mempelai), (4) botting orowane (mempelai laki-laki), (5) balibotting

(pendamping mempelai laki-laki), (6) paseppi (anak0anak yang memakai baju mempelai

2 orang), (7) pattiwi lellu (pembawa tombak), (8) pattiwi teddung (pembawa payung),

29
(9) indo susuanna (ibu pengasuh), (10) saksi-saksi. Adapun kostum yang digunakan oleh

rombongan pengiring mempelai laki-laki diuraikan berikut ini.

1. Pattiwi Sompa (Pembawa Mahar)

Pattiwi Sompa, memakai: jas biasa, lipa sabbe (sarung sutera), songko

bolong (songkok hitam), peralatan yang terdiri dari kompu-kompu (mangkok

yang terbuat dari tembaga atau perak) yang diisi dengan 4 liter beras, pala, kayu

manis, kemiri, gula merah, dan mas kawin yang telah disepakati dan dibungkus

dengan kain putih kemudian diletakkan dalam sarung yang disebut tope,

digantung pada leher pembawa sompa (dikalawing).

2. Pattapong (Pembawa Cerek)

Pakaian yang dikenakan Pattapong, yaitu: baju kaos yang berlengan,

tapong, songko pute (peci putih), cere ammiccung (wadah meludah dari perak),

ota-otang (tempat sirih-pinang).

3. Paddenreng Botting (Pengiring Mempelai)

Paddenreng botting, memakai jas tutup warna hitam, sarung sutra, dan

songko bolong (songko to Bone warna hitam)

4. Botting Orowane (Mempelai Laki-laki)

Terdapat dua macam kostum bagi mempelai laki-laki. Kostum biasa yaitu

lippa sabbe (sarung sutra), jas biasa, keris. Sedangkan untuk kostum assigara

(kostum adat) yang lengkap menggunakan waju bella dada (baju tanpa kancing),

songko ure’ca/songko bolong (songko yang terbuat dari akar pelepah lontar),

keris, passio’/passio’ banri (ikat pinggang), patto naga (gelang naga). Apabila

30
perempuan berpakaian lengkap maka laki-laki pun harus berpakaian lengkap,

jadi kostum antara perempuan dan laki-laki harus serasi.

5. Balibotting (Pendamping Mempelai Laki-laki)

Karna merupakan pendamping dari mempelai laki-laki maka seluruh

pakaiannya bersama perhiasannya sama dengan pakaian yang dikenakan oleh

mempelai laki-laki. Biasanya yang menjadi balibotting haruslah saudara sendiri

atau keluarga yang mempunyai stratifikasi social yang sama.

6. Passeppi (Dua Orang Anak Mendampingi Mempelai)

Kostum passeppi tidak jauh beda dengan kostum mempelai, hanya nilainya

tidak sama misalnya: jika perhiasan mempelai terbuat dari emas, maka perhiasan

passeppi terbuat dari perak.

7. Pattiwi Lellu (Pembawa Tombak)

Pattiwi lellu, terdiri atas: 4/6/8 orang tergantung dari stratifikasi social,

untuk golongan bangsawan memakai 8 orang, golongan menengah memakai 6

orang, golongan orang biasa memakai 4 orang, dan golongan terendah sama

sekali tidak memakai lellu.

8. Pattiwi’ Teddung (Pembawa Payung)

Pattiwi teddung, pakaian yang digunakan sama dengan pattiwi lellu,

kecuali passapu diganti dengan songko tapong putih.

9. Indo’ Pasusu (Ibu Pengasuh)

Indo’ pasusu, terdiri dari dua orang, kostum mereka terdiri atas: waju tokko

warna putih, lippa sabbe, giwang dan bros.

31
10. Sabbi (saksi-saksi)

Sabbi, terdiri dari keluarga dekat mempelai laki-laki atau mereka yang

dituakan oleh masyarakat. Kostumnya hanya jas biasa, sarung sutra dan songko.

Untuk menyambut kedatangan rombongan mempelai laki-laki maka didepan

rumah mempelai perempuan telah menunggu pula beberapa orang pejemput tamu

yang disebut padduppa botting.

Adapun ragam dan jumlah erang-erang itu tergantung dari permintaan

keluarga mempelai perempuan. Namun umunnya erang-erang terdiri atas :

1) Kain kebaya dan kain sarung, tetapi kebaya sering diganti dengan mukena

2) Pakaian dalam berupa bra dan CD

3) Baju, rok, celana

4) Sepasang sepatu dan tas pesta

5) Satu set perlengkapan make up

6) Handuk besar dan handuk kecil

7) Farfum

8) Sabun dan ala-alat mandi

9) Kain batik

10) Sisir dan cermin

11) Jilbab

12) Al-Quran dan sajadah dengan harapan mereka menunaikan solat

Makna dari erang-erang itu adalah sebagai hadiah yang

dipersembangkan oleh pengantin

32
laki-laki untuk pengantin perempuan dan merupakan harga diri bagi

pengantin laki-laki, dengan harapan agar istri rela/ikhlas

menyerahkan diri lahir dan batin kepada suaminya karena semua

kebutuhan mulai dari kaki sampai kepala sudah dipenuhi oleh suaminya.

b) Medduppa Botting ( Menjemput Mempelai Laki-laki)

Pelaksanaan kegiatan medduppa botting yaitu tahapan dimna keluarga pihak

mempelai perempuan mengutus dua orang unutuk menjemput rombongan mempelai

laki-laki dan menyampaikan bahwa pihak mempelai perempuan telah siap menerima

kedatangan rombongan tersebut.

c) Akkalabinengenna (akad nikad)

Sebelum akad nikah dilaksanakan, biasanya sunrang (mahar) doi balanca (uang

belanja) diperlihatkan kehadapan penghulu dan saksi-saksi. Setelah semua syarat-syarat

telah disepakati semula lengkap semua barulah mempelai laki-laki dinikahkan oleh

penghulu. Pelaksanaan akad nikah yang dalam bahasa bugis disebut Akkalabinengenne

atau appasialang, sebagai acara puncak yang sakral, dengan resminya menjadi pasangan

suami istri sebelum acara akad nikah dan sesudahnya, masih banya acara yang perlu

dilakasanakan dari kedua belah pihak seperti :

1. Pihak perempuan sudah lebih awal mempersiapkan segala sesuatu menunggu

kedatangan rombongan pihak laki-laki dalam bahasa Bugis disebut maddupa

botting.

2. Pihak laki-laki juga demikian halnya untuk menuju kediaman calon mempelai

perempuan lengkap dengan bawaannya yang disebut leko (seserahan) dan walas

33
uji, serta maharnya diantar oleh sanak saudara, dan kerabat bahkan tokoh

masyarakat, rombongan ini disebut pampawa botting atau pappapeninng.

Saat akad nikah berlangsung, kedua mempelai tidak duduk bersama

dipelaminan, karna keduan mempelai belum resmi sebagai suami istri sehingga

belum sah untuk bersanding.

d) Mappasilukang/Mappasikarawa/mattawa (Pembatalan Wudhu atau Menyentuh

Anggotan Badan Istri)

Acara ini artinya mempelai laki-laki diantar ke kamar mempelai perempuan untuk

menemui dan melakukan pembatalan wudhu yang menandakan kedua pasangan telah

resmi menjadi suami istri serta menjemput istrinya.

Saat mempelai laki-laki akan menemui istrinya dikamar maka pintu kamar

mempelai perempuan terkunci rapat sehingga terjadilah dialog singkat antara pengantar

mempelai laki-laki dengan penjaga pintu kamar mempelai. Setiba dikamar perempuan,

maka mempelai laki-laki berusaha untuk menyentuh bagian tubuh tertentu mempelai

perempuan biasa tangangan, atau pergelangan tangan istrinya sebagai tanda pembatalan

wudhu dan menunjukan bahwa kedua mempelai telah resmi menjadi suami istri.

Selanjutnya pemasangan cincin sebagai perlambang bahwa keduanya telah terikat dan

saling mengikat diri dalam sebuah lembara perkawinan yang harus senantiasa dijaga

keutuhannya. Cincin adalah sebuah symbol pengikat, tetapi yang utama adalah ikatan

batin dan jiwa kedua mempelai yang harus dipupuk dan dieratkan karna cincin biasa

dilepas, hilang, dan bahkan terjual, tetapi ikatan bantin dan jiwa tang telah terjalin

dengan erat, sangat sulit dilepaskan, kiranya kedua mempelai hari ini berikrar untuk

saling menguatkan ikatan jalinan perkawinan suci ini.

34
e) Marellau Addampeng (Permohonan Maaf)

Acara selanjutnya yaitu kedua mempelai menuju tempat akad nikah dimana semua

keluarga telah berkumpul untuk menyaksikan proses pemasangan cincin dan dilajutkan

ke acara memphon maaf kepada keda orang tua memelai perempuan dan seluruh

keluarga dekat yang sempat hadir pada akad nikah tersebut.

Setelah selesainya prosesi mrellau addampeng, maka mempelai laki-laki diterima

oleh keluarga pihak perempuan. Dalam prosesi perkawinan yang dilaksanakan dirumah

mempelai perempuan, orangtua pihak laki-laki tidak ikut serta karena dalam adat istiadat

suku bugis mempelai perempuan yang seharusnya datang mengunjungi orangtua laki-

laki, setelah acara ini selesai maka kedua mempelai harus kembali kerumah orangtua

laki-laki untuk memohon maaf serta meminta doa restu dari orangtua pihak laki-laki

yang disebut marolla (kunjungan balasan).

Setelah rombongan atau pengantar mempelai laki-laki sudah pulang, maka dari

pihak perempuan mempersiapkan rombongan untuk mengantar mempelai perempuan

bersama mempelai laki-laki menuju kerumah mempelai laki-laki sebagai umpan balik

sekaligus mempelai perempuan menemui mertuanya, kegiatan ini disebut mapparolla

sekaligus mengenal mertua.

f) Marolla

Marolla ialah saat mempelai perempuan diantar kerumah orangtua mempelai laki-

laki. Acara ini merupakan juga prosesi penting dalam rangkaian adat perkawinan bugis

yaitu kunjungan balasan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Jadi meupakan

sebuah kekurangan, apabila seorang mempelai perempuan tdak diantar kerumah

35
orangtua mempelai laki-laki. Kegiatan marolla ini biasanya dilakukan sehari atau

sesudah pesta perkawinan di rumah mempelai perempuan berakhir.

Dalam acara marolla ini ada pula acara khusus yang disebut acara mammatoa

artinya mempelai perempuan membawakan sarung untuk orangtua mempelai laki-laki

beserta saudara-saudaranya. Acara ini dilakukan dalam kamar mempelai laki-laki.

Mempelai perempuan diantar oleh Indo’botting untuk memberikan sarung sutera kepada

orangtua dan saudara mempelai laki-laki.

Biasanya sarung yang diberikan dikembalikan lagi kepada mempelai perempuan

untuk kemudia dibalas dengan pemberian-pemberian dari keluarga mempelai laki-laki

sesuai kemampuan mereka. Hadiah-hadiah yang diperoleh pada waktu mmammatoa

dapat diperlihatkan pada tamu-tamu yang hadir. Sesudah acara marola kedua mempelai

mohon diri dan kembali pulang kerumah orangtua mempelai perempuan.

g) Mappaccule Botting (Mempermainkan Pengantin)

Kegiatan mappaccule botting dilaksanakan pada malam hari seusai kegiatan

resepsi dan setelah kedua mempelai mengganti akaian pengantin. Kegiatan diawali

ketika Indo’Botting duduk ditengah-tengah antara kedua mempelai laki-laki yang berada

di belakang IndoBotting member kode dengan memukul-mukul lantai, maka mempelai

perempuan dalam keadaan menutup kepalanya dengan sarung, mendengar kode tersebut

berusaha menghindari dari kejaran sang suami, maka terjadilah kejar-kejaran diantara

kedua mempelai sampai mengelilingi Indo Botting sebagai pertanda berakhirnya

kegiatan ini.

36
h) Marola Wekkadua

Selanjutnya acara marola wekkadua artinya kunjungan yang kedua kalinya oleh

mempelai yang diiringi oleh keluaraga dekat saja, mempelai biasanya bermalam satu

malam saja dan pada kunjungan kali ini mempelai membawa makanan yang terdiri dari

makanan lauk pauk dan kue-kue, karena menurut kebiasaan mempelai perempuan masih

malu makan dirumah orangtua mempelai laki-laki.

Saat pelaksanaan marola mabbenni, maka acar pesta pernikahan dari pihak

keluarga laki-laki baru dilaksanakan. Setelah keduanya melaksanakan pesta pernikahan,

maka kedua pasangan suami istri ini sudah data dikatakan mandiri. Dalam bahasa Bugis

nalaowanni alena, akan tetapi masih ada kegiatan yang perlu dilalui.

Marola wekkadua, yaitu mempelai perempuan diantar oleh dua atau tiga orang

perempuan untuk bersama-sama ke rumah mempelai laki-laki, dengan pakaian biasa dan

bermalam satu malam. Pada subuh harinya, mempelai bersama pengantarnya kembali

sesudah sarapan. Pada saat itu mertua mempelai perempuan memberikan hadiah kepada

menantunya dalam bentuk barang berharga berupa peralatan dapur atau emas/perak.

i) Marola Wekkatellu

Kegiatan terakhir, yaitu marola wekka tellu artinya kunjunan yang ketiga kalinya,

mempelai sudah boleh menginap untuk beberapa malam dan selama penganti berada

rumah meruanya mempelai perempuan selalu dikirimi makanan dari rumah orangtuanya.

Ketika pamit, kembali mempelai perempuan mendapat seperangkat peralatan makan dari

mertuanya.

Acara mappitu, yaitu dari pihak laki-laki ada tujuh orang perempuan tua mabbaju

ponco atau baju tokko dalam bahasa Bugis, dan baju bodo dalam bahasa Makassar

37
bersama tiga orangtua lainnya, datang kerumah mempelai perempuan dengan membawa

kue-kue adat seperti doodoro, baje, beppa pute, beppa laiyya, cucuru tenne dan lain-lain,

kedatangan mereka dimaksudkan silahturahim dalam membina kerukunan keluarga

massita baiseng atau saling mengenal besan.

j) Massawa (Pembuatan Lapa-lapa sebagai Hidangan Acara Selamatan)

Kegiatan Masawa ini dilaksanakan setelah kedua mempelai saling berbaikan

ditandai dengan terjalinnya komunikasi antara keduanya. Pelaksanaan massawa

dilakukan oleh keluarga mempelai perempuan dengan menyiapkan 40 liter beras ketan,

masing-masing 20 liter beras ketan hitam dan 20 liter beras ketan putih yang disebut

sawa (lapa-lapa), baik berukuran kecil yang disebut sawa maupun yang berukuran besar

disebut kampalo. Dari jumlah tersebut lebih banyak dibuat dalam bentuk sawa karena

dibuat dalam bentuk ikatan ( setiap satu ikatan terdiri dari lima buah) dan setiap

undangan yang hadir akan diberi hadiah minimal satu ikat untuk dibawa pulang ke

rumah masing-masing.

k) Masiara Kuburuu (Siarah Kubur)

Ritual yang terakhir yaitu bersiarah kubur ke makam para leluhur, keluarga yang

telah meninggal dunia, ritual ini bermaksud untuk mendoakan bagi keluarga yang telah

meninggal.

l) Cemme-Cemme ri Saloe’ (Mandi Ramai-Ramai di Sungai)

Mandi-mandi di sungai secara beramai-ramai dengan harapan menghilangkan

segala kelesuan, kelelahan dan berusaha mandi secara rileks dan bergembira ria.

38
BAB III

EKSISTENSI ADAT PERKAWINAN SUKU BUGIS

DI SULAWESI TENGGARA

Istilah eksistensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kerberadaan,

kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Jadi eksistensi merupakan dinamis yang yang

tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan luntur atau kenyal dan mengalami

perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dan

mengaktualisasikan potensi-potensinya. Eksistensi dalam hal ini merujuk pada adat

perkawinan suku bugis di sulawesi tenggara. Eksistensi ini juga berkaita dengan strategi

atau cara masyarakat bugis di Sualwesi Tenggara mempertahankan adat perkawinannya

dalam menghadapi tekanan moderenisasi dan kemajuan zaman

Seiring dengan perkembangan zaman, sentuhan teknologi modern telah

mempengaruhi dan menyentuh masyarakat suku bugis, namun kebiasaan-kebiasaan yang

merupakan tradisi turun temurun bahkan yang telah menjadi adat masih sukar untuk

dihilangkan. Kebiasaan-kebiasaan tersebut masih sering dilakukan meskipun dalam

pelaksanaan telah mengalami perubahan, namun nilai-nilai dan Makna masih tetap

terpelihara dalam setiap pelaksanaannya.

Berbicara tentang adat bugis yang salah satunya adalah adat perkawinannya,

Merupakan adat yang digunakan ketika orang bugis ingin melaksanakan suatu pernikahan,

dalam perkembangannya, adat ini masih kental digunakan dalam pelaksanaan suatu

perkawinan baik itu tahap sebelum perkawinan sampai tahap pelaksanaan pernikahan.

39
Dalam perkembangannya, Pernikahan pada saat ini tidak mengacu pada pernikahan

pada sesama suku saja. Akan tetapi pernikahan antar suku yang berbeda juga kerab terjadi.

Contohnya pernikahan antara suku bugis dan suku tolaki yang dimana dalam hal ini suku

bugis adalah perempuan dan suku tolaki adalah laki-laki. Dalam hal ini maka adat yang

digunakan dalam pelamarannya adalah adat si perempuan yakni suku bugis. Akan tetapi

proses-proses yang dilakukan dimasing-masing rumah mempelai yakni menggunakan adat

mereka sendiri.

40
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

41

Anda mungkin juga menyukai