PENDAHULUAN
Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai bahasa daerah, suku,
dan agama. Indonesia pada saat ini memiliki 1.340 jenus suku, 546 jenis bahasa daerah dan
5 jenis agama yang diakui oleh Indonesia. Dari begitu banyak perbedaan Indonesia mampu
menyatukannya dalam satu ruang lingkup, yaitu ruang lingkup Indonesia dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Begitu banyak
keistimewaan yang dimiliki oleh Indonesia, bukan cuman dari segi perbedaan
masyarakatnya, akan tetapi dari segi alamnya pun Indonesia tidak bisa diragukan lagi.
Salah satu pulau yang memiliki daya tarik bagi wisatanya adalah pulau Sulawesi.
Sedangkan mayoritas suku yang lebih dominan di pulai Sulawesi adalah suku Bugis-
Makassar. Dari namanya, suku Bugis-Makassar ini bukan berarti suku yang mendiami
daerah Makassar saja yang merupakan ibu kota provinsi Sulawesi Selatan. Dalam
mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng,
Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis,
tetapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan
Mandar. Suku Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Sulatan,
penciri utama dari kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat istiadatnya yang masih
1
dipegang dengan teguh oleh masyarakat adatnya. Berdasarkan sensus penduduk tahun
2000, populasi Suku Bugis sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini suku Bugis menyebar
pula di berbagai Provinsi di Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi tengah, Papua,
DKI Jakarta, Kalimatan Timur, Kalimatan Selatan, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau.
Disamping itu suku-suku Bugis juga banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura yang
telah beranak pinak dan keturunannya telah menjadi bagian dari negera tersebut. Karena
Jiwa perantauan dari masyarakat Bugis, maka suku-suku Bugis sangat banyak yang
merantau ke mancanegara. Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik
sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya
daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya suku Bugis bermigrasi terutama
di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan
kemerdekaan.
Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan, itulah
faktor mengapa suku Bugis tersebar di beberapa daerah Indonesia dan mancanegara karena
masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari
masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati
bahwa suku bugis banyak tersebar di Sulawesi Tenggara. Populasinya pun cukup banyak,
hal inilah yang menjadi yang menjadi objek penelitian dari makalah ini. selain itu suku
Bugis sangat menjunjung nilai adat istiadat, seperti adat perkawinan dalam suku Bugis
yang bisa dikatakan sangat menarik perhatian masyarakat Indonesia khususnya yang berada
di Pulau Sulawesi, hal ini juga yang akan menjadi objek dari makalah ini.
2
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
b. Mengetahui tata cara pernikahan dalam adat suku Bugis yang berkembang di
Sulawesi Tenggara, lalu sesuaikah tata cara pernikahan adat bugis zaman kolonial
1.4 Manfaat
b. Makalah ini juga bisa digunakan untuk pembaca sebagai referensi bahan ajar dalam
c. Makalah ini juga bisa digunakan untuk masyakat suku Bugis untuk meluruskan
masalah-masalah yang diluar dari ajaran nenek moyang mengenai adat pernikahan.
3
BAB II
Suku Bugis adalah sekelompok etnis yang pada awalnya mendiami beberapa
daerah di Sulawesi Selatan dengan ciri utama dari bahasa adat Istiadat yang khas dan
berbeda dari dialeg di Nusantara bahkan di Seluruh Dunia. Banyak cerita mengenai asal-
muasal mengenai suku Bugis mulai dari karya sastra I La Galigo hingga legenda “To
manurungnge” memberikan pengertian tersendiri dari suku tersebut. Bugis secara umum
terdiri dari rumpun suku-suku yang lebih kecil yang mendiami wilayah Pare-Pare, Barru,
Sidrap, Pangkep, Pinrang, Bone, Sinjai, Soppeng dan Wajo. Secara keseluruhan seluruh
wilayah tersebut memiliki rumpun adat istiadat yang serupa namun secara khusus dapat
Pada abad ke 15, ketika kesultanan Gowa berada pada puncak kekuasaan ada
banyak juru tulis, tenaga administrasi kerajaan dan juga pedagang dari Melayu dan
Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sehingga proses akulturasi budaya terjadi secara
alami. Proses membuat para pendatang yang sudah lama mendiami daerah-daerah Bugis
dimasukkan ke dalam kategori suku Bugis terlebih bahasa yang mereka gunakan sudah
jauh berbeda dari bahasa orang tua mereka ketika pertama kali datang di Sulawesi
Selatan.
Saat ini, suku Bugis sudah dapat ditemui di seluruh penjuru Indonesia, bahkan
beberapa wilayah di Asia didiami oleh orang-orang dari Bugis, meskipun sudah lahir dan
besar di luar Indonesia bahkan sebagian diantara mereka tidak pernah ke Indonesia dan
lahir dengan kewarganegaraan asing seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan juga
4
Philipina. suku Bugis telah menjadi bagian dari negara Malaysia dan Singapura dan
menjadi pembesar negara tersebut seperti Tun Abdul Razak yang menjadi tokoh Nasional
di Malaysia. Hal ini disebabkan oleh nenek moyang suku Bugis yang terkenal dengan
jiwa perantau yang luar biasa, membuat mereka berhasil bertahan hidup dan tumbuh di
negeri orang.
Suku Bugis masuk dalam kategori suku-suku Melayu Deutero yang masuk melalui
jalur darat ke Nusantara. Yunan sebagai pusat utama masuknya nenek moyang dari suku
Bugis. Penamaan Suku Bugis berasal kata “to Ugi” yang berarti orang-orang Ugi,
sedangkan “Ugi” sendiri adalah nama raja pertama dari kerajaan Cina yang terdapat di
Pamanna (Saat ini Kabupaten Wajo) yakni La Sattumpugi. Pada masa tersebut, pengikut
La Sattumpugi menjuluki diri mereka pengikuti Ugi atau to Ugi.La Sattumpugi sendiri
adalah saudara dari Batara Lattu yang tidak lain ayah dari Sawerigading. La Sattumpugi
kemudian memiliki seorang putri bernama We Cedai yang kelak dinikahkan dengan
Sawerigading dan melahirkan beberapa anak dimana salah satu anaknya yang paling
sebuah karya sastra otentik yang tidak merujuk pada salah satu kitab manapun di
Nusantara, kisah ini diabadikan pada halaman dengan tebal 9000 Folio. Sawerigading
yang dikenal julukan Opunna Ware atau orang yang dipertuankan di Ware telah menjadi
kisah yang terabadikan dalam karya sastra I La Galigo. Kisah sawerigading kemudian
menyebar dan terkenal sampai pada suku Kaili, Buton, Luwuk dan Gorontalo.
pinggir sungai ataupun daerah pinggir laut. Komunitas-komunitas kecil ini kemudian
5
mengembangkan kebudayan, bahasa dan aksara. Sejalan dengan tumbuhnya komunitas,
sistem pemerintahan pun tumbuh untuk mengatur keperluan hidup di dalam komunitas
serta melindungi diri dari serangan komunitas lain. Kerajaan-kerajaan Suku Bugis Klasik
terdiri dari Bone, Luwu, Soppeng, Sidenreng, Sawitto dan Rappang. Meskipun sudah
Selatan menyebabkan pertalian antar suku menjadi sukar terhindari, hal ini disebabkan
oleh dua hal yakni pertalian melalui perkawinan dan juga sistem kerajaan yang menjajah
dan yang dijajah membuat sebagian warga ikut mengalami proses akulutrasi budaya antar
Pada zaman modern seperti saat ini, komunitas-komunitas Bugis semakin besar dan
Luwu, Wajo, Soppeng, Bone, Sidrap, Pinrang, Barru dan juga Sinjai, dimana kerajaan
Luwu dianggap sebagai kerajaan paling tertua kemudian disusul Cina (Pamanna), Mario
(Soppeng) dan kerajaan Siang (Pangkajene dan Kepulauan). Sedangkan daerah peralihan
dimana suku Bugis dan Makassar maupun Mandar saling membaur berada di Kabupaten
Sistem komunitas dalam kerajaan memang tidak dapat dihindarkan dari perang
saudara baik satu suku (Bugis-Bugis) dan juga antara suku (Makassar-Bugis). Perang
yang paling besar yang terjadi adalah perang antara Kerajaan Gowa dan Bone yang
dimulai sejak abad ke 15. Konflik yang dilatar belakangi kekuasan, politik dan ekonomi
ini kemudian merebak ke seluruh suku dan membentuk aliansi antar kerajaan. Kerajaan
kerajaan Gowa yang sama-sama melakukan ekspansi kekuasaan. Pada bagian Utara,
6
Kerajaan Bone juga harus berhadapan dengan Kerajaan Luwu di daerah Sungai
Walennae. Kerajaan Bugis lainnya yakni Wajo yang baru terbentuk setelah terjadi
Kerajaan Bugis Soppeng melakukan ekpansi ke barat sampai ke daerah Barru. Perang
antara Luwu dan Bone yang sama-sama kuatnya kemudian pecah dengan hasil akhir
kemenangan berada di tangan Bone dengan direbutnya Payunga ri Luwu. Sebagai bentuk
pertahanan, Kerajaan Luwu yang terdesak kemudian beraliansi dengan kerajaan Wajo dan
kembali menyerang kerajaan Bone yang juga beraliansi dengan Sidenreng. Hasil akhirnya
kemudian membuat daerah Wajo dan Luwuk semakin menyempit dan bergeser ke arah
utara.
ekpansi sampai ke Bone dan berhasil menaklukkan kerajaan Bone. Gowa yang berada di
atas angin dengan persatuan dua kerajaan kembar antara Gowa-Tallo kemudian sangat
sulit ditaklukkan paling tidak hingga akhir abad ke-16. Apalagi kekuatan ekonomi
kerajaan Gowa yang sangat maju dan berkembang memaksa kerajaan Bone, Wajo dan
Soppeng membentuk aliansi yang dikenal dengan Aliansi “Tellumpoccoe”. Hari ini bunyi
dari perjanjian masih dapat dilihat di seluruh daerah yang Bone, Soppen dan Wajo yang
Suku Bugis terkenal sebagai salah satu pelaut ulung yang akrab dengan kerasnya
lautan. Kemahiran dalam sistem Navigasi kapal membuat suku-suku Bugis kemudian
menjangkau hampir seluruh semenanjung Asia Tenggara dan juga Australia bahkan
sampai semenanjung Afrika Selatan dan Madagaskar. Si Cape Town, Afrika Selatan
7
terdapat sebuah Subburn yang diberi nama Maccassar sebagai tanda nenek moyang
Penyebab utama Migrasi suku-suku Bugis dalam jumlah besar tidak lain merupakan
konflik internal di dalam kerajaan-kerajaan suku Bugis dan juga konflik eksternal dengan
suku Makassar pada abad ke 16, 17, 18 dan 19. Kekacauan di daerah Sulawesi Selatan
membuat sebagian orang kemudian berpindah untuk mencari suasana yang lebih tenang
dan juga untuk memenuhi kebutuhan akan kemerdekaan karena baik kemenangan di
pihak Bugis ataupun di pihak Makassar, kelompok yang tidak memiliki keturunan Raja,
Sebagian suku Bugis merupakan suku yang suka melakukan pelayaran dan
perdagangan. Sampai pada akhirnya masyarakat suku Bugis datang ke Sulawesi Tenggara
dengan maksud tujuan tersebut, sampai pada akhirnya tercatatlah sebuah histori yang
Tenggara mengakui adanya hubungan historis dengan Sawerigading dari Luwu yang
dihubungkan dengan kedatangan To Manurung (orang asing). Persepsi yang sama juga
ditemukan pada tradisi di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, seperti: Gowa dan Bone.
Pada sisi lain suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar dan suku Massenrempuluk
mengakui pula bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk, diperkuat
dengan tradisi raja-raja Bugis, Makassar, dan Mandar menghormati Raja Luwu
sebagai primus interparis. Dalam lontarak Bajo juga mengakui asal-usul nenek moyang
8
Di Mekongga ditandai dengan kedatangan La Rumbalangi yang berhasil membunuh
Tombula orang yang keluar dari ruas bambu yang kelak menjadi Raja Wuna Pertama juga
bahwa ketika terjadi kemelut politik maka muncullah Tebeto Tulanggadi lelaki tampan
yang muncul dari bambu gading. Pada saat yang sama muncul pula seorang perempuan
asing bernama Wulele Waru, seorang putri yang terpencar dari sekuntum bunga kayu
waru.Peristiwa tersebut terjadi pada abad XIV, istilah bambu tersebut semakin
menguatkan adanya kesamaan dalam arti terdapat hubungan kekerabatan antara raja-raja
pertama yang berhasil menata administrasi dan struktur pemerintahan tradisional yang ada
di Sulawesi Tenggara. Mereka secara tidak langsung mengakui bahwa para pendatang
yang sering disebut to manurung(orang asing yang memiliki kelebihan) itu adalah
Sawerigading ke dunia timur yang menyebabkan persebaran Suku Bugis dan Suku Bajo di
daerah-daerah perantauannya. Tetapi secara faktual bahwa orang Bugis yang umumnya
memiliki gaya hidup yang lebih dinamis, lebih mudah bersosialisasi dan beradaptasi.
Melalui filosofi hidup di rantau yang harus meraih sukses, maka konsep “tiga ujung”
9
memegang peranan penting dalam mempertahankan eksistensi orang Bugis di negeri
rantau.
atau di gading. Pendapat tersebut dapat dihubungkan dengan mitos sebagai orang yang
keluar dari ruas bambu atau dari selah-selah bambu. Penafsiran lain sesuai dengan tradisi
lisan yang menyatakan bahwa leluhur Sawerigading adalah manusia yang berkembang
biak di atas rakit bambu (gading) dalam pelayaran. Pendapat ini didukung oleh gerak
dari daratan Asia Tenggara ke Nusantara pada masa bercocok tanam. Secara faktual
bahwa pada awal pemukiman penduduk di pantai mereka membuat rumah dengan tiang
dari bambu, tangga dari bambu, lantai dari bambu, dinding dari bambu, bagian dari atap
kekerabatan antar etnik baik yang dilakukan oleh etnis yang ada di Sultra, maupun dari
Bugis sejak dahulu kala diakui sebagai pelayar ulung dan juga menanamkan pengaruhnya
di kawan itu (Riau dan Kalimantan Barat). Demikian pula di Negeri Timur atau Tanah
Lau, seperti Sulawesi Tenggara. Kerajaan Laiwoi (di Kendari) didirikan oleh La Mangu,
anak Arung Bakung seorang yang disebut sebagai pelarian politik dari Bone yang kawin
mahkota Ranomeeto, dialah yang melahirkan La Mangu yang kelak mendirikan Kerajaan
Laiwoi. Arung Bakung dikenal sebagai pemimpin orang Bugis yang berhasil mengusir
bajak-bajak laut Tobelo di pesisir pantai Timur Sulawesi Tenggara. Kerajaan Laiwoi
10
merupakan dinasti Bugis-Muna-Tolaki, suatu gambaran nyata bentuk hebungan
kekerabatan melalui perkawinan, inilah yang kelak mengembangkan Kota Kendari sampai
pada taraf sekarang ini. Di Kota Kendari sekarang ini sulit memisahkan antara ketiga etnis
tersebut bahkan dengan etnis lainnya karena mereka lentur atau menyatu dalam suatu
melahirkan etnis baru “Bugis Kendari”, dengan ciri budaya dalam wujud bahasa Bugis
meningkat, baik dalam dimensi perdagangan maupun dalam dimensi pemerintahan yang
menjadi daya dorong migrasi penduduk dari luar yang masuk ke Sulawesi Tenggara.
Perdagangan bukan hanya dilakukan melalui perahu layar, tetapi dapat dilakukan melalui
Kapal Motor, angkutan darat, dan angkutan udara. Demikian pula penempatan dan mutasi
kekerabatan melalui perkawinan. Hampir tidak ditemukan lagi rintangan berarti dalam
proses perkawinan antar etnik. Sehingga mempermudah para pemuda perantau untuk
11
BAB III
a) Mammanu-manu/Mappese-pese (Penjajakan)
dalam adat perkawinan Etnis Bugis yaitu mammanu-manu yang diibaratkan sebagai
burung-burung yang terbang kesana-kemari untuk mencari apakah ada gadis yang
berkenan dihati. Langkah ini dimulai dengan mengutus seorang paruh baya untuk
melakukan kunjungan biasa kepada keluarga peremuan untuk mencari tahu seluk-
Pada jaman dahulu setelah ada kata sepakat antara kedua belah pihak maka
calon mempelai wanita dipingit, proses pengitan untuk mempelai wanita dilakukan
selama satu minggu dan selama satu minggu itu di bekali ilmu agama dan ilmu rumah
tangga.
selanjutnya ialah mappese-pese (penjajakan). Dalam hal ini memastikan apakah gadis
tersebut masih dalam keadaan belum ada yang mengikat atau menyimpannya.
pertanyaan-pertanyaan yang secara tidak langsung dan sangat halus. Sesudah ada kata
sepakat maka utusan dari pihak pria mohon diri untuk kembali lagi dalam pertemuan
12
b) Madutta/massuro
meminang yang dilakukan oleh salah seorang atau masing-masing duta dari kedua
belah pihak untuk berdialog. Waktu melamar belum melibatkan banyak orang,
Pandangan hidup yang dipedomani, bertolak pada niat yang sama, tujuan yang
sama, pandangan hidup dan prinsip yang sama, serta berprilaku luwes jika kedua
merealisasikan tujuan Mappasiarekeng dan Mappetu Ada ini, maka pedoman yang
b) Andai kata ada issue atau informasi yang berkembang segala sesuatunya
tidak dapat diterima secara resmi kecuali informasi yang diantar oleh
Kegiatan ini mengukuhkan kembali apa yang telah disepakati oleh kedua duta
yang dihadiri oleh pini-sepuh dari kedua belah pihak, dalam pelaksanaanya belum
melibatkan banyak orang, suku kedua duta pini-sepuh dari kedua belah pihak. Waktu
13
pelaksanaan acara Mappetu Ada, setelah ada penentuan waktunya, barulah
menyampaikan lamaran. Pada proses pelamaran biasanya orang tua lakilaki tidak
terlibat.
Jika lamaran telah diterima, proses selanjutnya disebut mappetu ada adalah
tahap ini keluarga dari pihak laki-laki dan pihak perempuan bersama-sama membahas
tentang beberapa hal yang harus disepakati yaitu Sompa (mahar/mas kawin), doi
menre (uang naik), waktu pengantaran leko’ (seserahan), tanra esso (penentuan hari).
pihak membicarakan tentang sompa, doi menre, waktu penghantaran leko’ yang
terdiri ulu leko berisi daun sirih, gambir, kapur sirih, tembakau hitam, leko caddi
berisi makanan khas Suku Bugis diantaranya sokko dan palopo kue bolu peca’,
barongko, cucuru, serta onde-onde. Leko lompo berisi seperangkat pakaian wanita
mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, Al-Qur’an, perlengkapan shalat, dan
Leko caddi diantarkan pada saat mappenre doi terdiri dari satu lembar baju
bodo, satu lembar sarung sutera, satu piring nasi ketan, satu mangkok palopo (saus
gula merah) dua sisir pisang raja. Nasi ketan saling melengket pada saat dimasak,
14
gula merah artinya manis, santan rasanya gurih, psang artinya harapan atau
keinginan. Semua ini apabila dirangkaikan dalam kata semoga kedua calon mempelai
dapat bersatu kelak dan tidak akan terpisahkan dalam suatu kehidupan yang manis
dikemudian hari.
2) Doi balanca/doi menre, yaitu uang belanja atau uang naik dari keluarga
adat.
atau seserahan yang dibawa oleh keluarga laki-laki pada saat hari
pelaksanaan akad-nikah.
5) Pakeang Botting, busana pengantin yang disepakati untuk dipakai dan cara
pembayarannya.
berdasar status social yang terdiri dari bangsawan tinggi 88 real, bangsawan
15
menengah sebesar 44 real, golongan orang kebanyakan (to maradeka) sebesar 22 real,
e) Persiapan Pernikahan
Secara historis dalam tradisi masyarakat Bugis di Tanah Bone dan Wajo yang
hidup dalam matapencarian sebagai petani, dalam rangkaian persiapan ini dilakukan
acara segenap khalayak bahwa ada suatu pesta pernikahan dikampung itu. Menjelang
7 hari sebelum akad nikah juga diadakan acara mappallabu (membuat tepung dari
beras) pada malam hari sekaligus dilanjutkan dengan pembuatan kue-kue kering
(beppa leyya, cucuru tenne, beppa pute) untuk rangkaian acara pernikahan. Secara
artinya mengundang secara lisan segenap keluarga dan undangan secara tertulis
kepada keluarga dan undangan secara tertulis kepada keluarga yang jauh dan para
kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita mengenai waktu pelaksanaan
perkawinan. Apabila sudah ada kepastian kapan akan dilaksanakan perkawinan maka
tahapan yang dilakukan adalah mappaisseng (member kabar) keluarga dekat. Pada
zaman dulu orang yang diutus untuk mattampa ini terdiri dari 8 orang 4 laki-laki dan
4 perempuan.
16
2) Mabbaruga/Saorapo/Sarapo/Mappatettong Sarapo (Pembuatan Tempat Pelaksaan
Pesta)
penikahan disebut baruga atau saorapo karena rumah ini dengan mudah akan
tempat pelaksanaan pesta. Kata Saorapo berarti rumah yang tidak permanen.
Sao=rumah dan rapo=tidak kuat atau rapuh artinya rumah yang yang sesudah acara
Saorapo adalah bangunan yang dibuat untuk ruangan tambahan yanga da didepan
atau disamping ruamh dengan cara menyambung dua buah rumah panggung dengan
tiang, diberikan lantai, dinding dan atap. Biasanya dinding terbuat dari kain panjang
yang dilengkapi dengan kain lamming yaitu kain yang diberi hiasan manic-manik.
Bentuk wala Suji hampir tidak berbeda bagi Suku Bugis-Makassar. Wal Suji atau
baruga motif segi empat belah ketupat ini sudah tidak asing lagi dalam khasanah
baruga, serta pallawa atau pagar pada acara perkawinan atau pesta adat.
Pada zaman dahulu Saorapo ini dibuat sebulan sebelum acara pernikah
pelaksaan hari H, tujuannya itu untuk mendapatkan ruang yang lebih luas guna
17
Pernikahan pada zaman dulu dijadikan ajang silaturahmi dan kumpul-kumpul
mengharapkan amplop dari keluarga yang diundang, dan biasanya Saorapo ini dibuat
jauh hari sebelum pernikahan biasanya sebulan sudah dibuat saorapo agar
mendapatkan ruangan yang lebih lus untuk menampung orang banyak dan selama
sebulan itu kelurga yang diundang makan di rumah keluarga yang hendak
bisanya ditandai dengam digantung paha daging kerbau itu menandakan bahwa
persediaan makanan masih banyak tapi apabila sudah tidak ada maka dari keluarga
yang diundang tadi biasanya menyumbangkan kerbau, sayur-sayuran, beras, dan lain-
lain. Ini menandakan bahwa pernikahan pada zaman dulu dijadikan ajang kumpulan
keluarga, bukn mengharapkan amplop. “Sebelum mendirikan baruga atau sarapo ini
indo botting menanamkan ditengah-tengah sarapo daun keladi yang berisi, golla,
3) Wettu Rapo-Raponna
Wettu rapo-rappona yaitu masa sebulan sebelum acara akad nikah dilakukan
pernikahan.
18
4) Ripallekke/Ripassobbu
Bagi calon mempelai wanita dipingit, ditempatkan pada suatu kamar khusus
selama satu minggu, yang berakhir selama tiga hari menjelang akad nikah. Sesaat
sebelum mallekke disiapkan sokkolotong (nasi ketan hitam) telur ayam setengah
matang disimpan dalam klambu dan calon pengantin ditemani oleh teman-teman
gadis sebayanya untuk makan bersama. Beberapa aktivitas selama ripallekke yang
memiliki makna edukatif-religius yang dalam bahasa arab disebut tafaul dan dalam
dari beras yang disangrai sampai hangus, kemudian ditembuk sampai halus bersama.
Untuk pemakaiannya dicampur dengan air jeruk nipis, dan paninii. Bedak ini
dioleskan kebagian anggota tubuh calon mempelai wanita, terutama wajah, lengan,
kaki, yang dibiarkan sampai kering dan melengket pada kulit berlangsung beberapa
6) Ripasau/mandi uap
Proses dipisau (mandi uap) ini tidak dilakukan lagi oleh masyarakat bugis yang ada di
Polleang prosesi mandi uap diganti dengan cemme majang (mandi kembang) yang
didalamnya ditambahkan bunga pandan agar bau keringat mempelai hilang. Calon
mandi calon mempelai mengambil air wudhu dan kemudian melaksanakan solat
19
ashar. Kemudian calon melakukan upacara mappendre temma/katam Al-Quran
Cemme passili artinya : mandi menolak bencana, ingin mengandung makna pula
sebagai penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari segala
marabahaya yang dapat menimpa calon mempelai yang sebentar lagi akan
mengarungi kehidupan baru. Acara passili ini dilakukan secara terpisah antara calon
rumahnya pada saat naik matahari atau sekitar pukul 10.00 yang dilakukan di depan
pintu rumah.
8) Macceko
memuluskan kulit utamanya wajah, sebelum acara tudang penni atau mappaccing dan
selanjutnya tudang botting pada keesokan harinya. Kegiatan ini bertujuan untuk
a) Konsep Mappacci/Tudangpenni
Mappacci merupakan upacara adat untuk mensucikan diricalon mempelai dari hal-
hal yang bersifat kotor, baik secara fisik maupun secara batin.
Upacara adat mappacci dilaksanakan oleh kedua belah pihak keluarga calon
mempelai. Tradisi upacara mappacci merupakan tradisi turun-temurun yang masih sukar
untuk dihilangkan. Biasanya pada malam mappacci ini calon mempelai perempuan tidak
20
memakai kostum lengkap, artinya baik hiasan maupun perhiasan emasnya tidak dipakai
semua. Mappaci juga berlaku untuk calon mempelai laki-laki. Calon mempelai laki-laki
yang akan mappacci hanya memakai jas biasa dengan sarung sutra atau “lippagarrusu”
bersama songko pamiring ulaweng (songko yang dianyam dengan hiasan pinggi benang
emas)
Dalam proses upacara mappacci, terlebih dahulu pihak keluarga melengkapi segala
peralatan yang harus dipenuhi seperti daung pacci (daun pacar), daun panasa (daun
nangka), colli daung utti (pucuk daun pisang), angkalulung (bantal), lipa sebbe 7/9
lampaa (sarung sutra 7/9 lembar), patti (lilin), wennu (beras yang telah disangrai hingga
1) Tahap persiapan
pelaksanaan mappacci dimulai. Pada tahap persiapan ini, terlebih dahulu para
upacara mappacci
Suku Bugis, jika hendak melakukan sesuatau masih ada yang percaya
adanya hari/waktu baik dan ada hari/waktu yang tidak baik, diantaranya
Ketengnge’/Ulengnge
21
Persiapan Bahan dan Alat Perlengkapan
mappacci.
1) Bantal
2) Lipa Sebbe
lembar atau dalam bahasa bugis disebut pitullampa, dalam bahasa bugis
kata tujuh sangat erat kaitannya dengan kata patuju/tujui yang artinya
atau bermanfaat, dan slalu benar. Makna lain bilangian tuju yang dalam
bahasa bugis dikatakan pitu, bermakna pula akan makna atau banyaknya
22
pakaian penutup aurat, demikian pula halnya istri adalah pakaian dari
Puccu daung utti atau pucuk daun pisang diletakkan di atas sarung
hasil yang diharapkan. Selain itu, pucuk daun pisang juga mempunyai
dihasilkan oleh pasangan calon mempelai. Puccu daung utti (pucuk daun
pisang) adalah symbol serba guna karena seluruh bagian dari pohon
4) Daung Panasa
Daun nangka dijadikan sebagai salah satu alat dalam upacara mappacci,
23
5) Patti/Lilin
6) Daung Pacci
7) Bekkeng
Dimaknai sebagai lambing dua insane yang menyatu dalam suatu ikatan
atau jalinan yang kukuh, sehingga diharapkan agar pasangan suami istri
8) Wenno
24
9) Uwwae’
mengharapkan rezeki dan berkah yang mengalir seperti air dari Allah
10) Minynya
berumahtangga.
tangga yang bahagia, dan anak keturunan yang baik. Semua ini
25
oleh pasangan suami istri yang berjumlah Sembilan pasang
mempelai.
orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi perbedaan-
yang dianggap penting dari harus selalu dijaga dan dikawal karena
26
Biasanya upacara mapacci ini didahului dengan pembacaan
dimulai.
2) Tahap pelaksanaan
langkah dari proses upacara adat mappacci, seperti hal-hal yang harus dilakukan
mempelai sudah siap untuk dirias dalam rangka wenni mappacci (malam pacar)
atau tudangpenni. Pacci adalah suatu tanamana yang daunnya ditumbuk secara
halus yang akan digunakan untuk mewarnai (pewarna) kuku. Dalam bahasa
Bugis kata pacci dapat dihubungkan dengan kata paccing yang berarti
27
suci/bersih. Dengan demikian peristiwa mappacci berarti membersihkan atau
mensucikan calon mempelai dair sikap dan perilaku yang tidak bersih/tidak halal.
filosofis, sehingga memiliki nilai-nilai edukatif yang tinggi, baik terhadap calon
Nilai Social
Nilai Budaya
a) Mappapenning/Mappenre’ Botting
rumah calon mempelai perempuan untuk melaksanakan akad nikah). Prosesi mappenre
botting yaitu kegiatan mengantar calon mempelai laki-laki kerumah calon mempelai
rombongan mengantar leko’ sake (seserahan) terdiri dari seperangkat emas (kalung
permata, cincin permata), busana perempuan lengkap terdiri dari 12 bosara, kue 12
bosara yang berisi kue seperti: barongko, cucur, kue putih, dll, walasuji terdiri dari 7
28
jenis buah yaitu: nangka, pisang, buah lontar, tebu tujuh batang, buah pinang, kelapa
Makna dari buah yang terdapat pada walasuji yaitu panasa (nangka) yaitu
mengunjungi kedua rumpun keluarga, bua ta’situnrung (buah lontar setandan) yaitu daun
lontar yang dibuat jail atau tikar sebagai alas tidur/duduk. Tebu tujuh batang
mengandung rasa manis dan isinya terus guris. Alosi sintnrung (buah pinang setandan)
yaitu saling berusaha merukunkan suatu keluarga besar dari kedua belah pihak. Salak
(buah salak) yaitu atassalang atau kesalahan, jika sekiranya ada kesalahan dapat
dimaafkan. Kaluku situnrung (kelapa setandan) yaitu kelapa rasanya gurih, maksudnya
hubungan keluarga yang hambar diusahakan saling mendukung agar gurih kembali.
Susunan dalam pengiring leko lompo adalah pattiwi bessi (pembawa tombak),
pangulu botting (indo botting), paerang taibani (pembawa lilin), pakusu-kusu (mewakili
(pemukul gendrang).
(pendamping mempelai laki-laki), (6) paseppi (anak0anak yang memakai baju mempelai
2 orang), (7) pattiwi lellu (pembawa tombak), (8) pattiwi teddung (pembawa payung),
29
(9) indo susuanna (ibu pengasuh), (10) saksi-saksi. Adapun kostum yang digunakan oleh
Pattiwi Sompa, memakai: jas biasa, lipa sabbe (sarung sutera), songko
yang terbuat dari tembaga atau perak) yang diisi dengan 4 liter beras, pala, kayu
manis, kemiri, gula merah, dan mas kawin yang telah disepakati dan dibungkus
dengan kain putih kemudian diletakkan dalam sarung yang disebut tope,
tapong, songko pute (peci putih), cere ammiccung (wadah meludah dari perak),
Paddenreng botting, memakai jas tutup warna hitam, sarung sutra, dan
Terdapat dua macam kostum bagi mempelai laki-laki. Kostum biasa yaitu
lippa sabbe (sarung sutra), jas biasa, keris. Sedangkan untuk kostum assigara
(kostum adat) yang lengkap menggunakan waju bella dada (baju tanpa kancing),
songko ure’ca/songko bolong (songko yang terbuat dari akar pelepah lontar),
keris, passio’/passio’ banri (ikat pinggang), patto naga (gelang naga). Apabila
30
perempuan berpakaian lengkap maka laki-laki pun harus berpakaian lengkap,
Kostum passeppi tidak jauh beda dengan kostum mempelai, hanya nilainya
tidak sama misalnya: jika perhiasan mempelai terbuat dari emas, maka perhiasan
Pattiwi lellu, terdiri atas: 4/6/8 orang tergantung dari stratifikasi social,
orang, golongan orang biasa memakai 4 orang, dan golongan terendah sama
Indo’ pasusu, terdiri dari dua orang, kostum mereka terdiri atas: waju tokko
31
10. Sabbi (saksi-saksi)
Sabbi, terdiri dari keluarga dekat mempelai laki-laki atau mereka yang
dituakan oleh masyarakat. Kostumnya hanya jas biasa, sarung sutra dan songko.
rumah mempelai perempuan telah menunggu pula beberapa orang pejemput tamu
1) Kain kebaya dan kain sarung, tetapi kebaya sering diganti dengan mukena
7) Farfum
9) Kain batik
11) Jilbab
32
laki-laki untuk pengantin perempuan dan merupakan harga diri bagi
kebutuhan mulai dari kaki sampai kepala sudah dipenuhi oleh suaminya.
laki-laki dan menyampaikan bahwa pihak mempelai perempuan telah siap menerima
Sebelum akad nikah dilaksanakan, biasanya sunrang (mahar) doi balanca (uang
telah disepakati semula lengkap semua barulah mempelai laki-laki dinikahkan oleh
penghulu. Pelaksanaan akad nikah yang dalam bahasa bugis disebut Akkalabinengenne
atau appasialang, sebagai acara puncak yang sakral, dengan resminya menjadi pasangan
suami istri sebelum acara akad nikah dan sesudahnya, masih banya acara yang perlu
botting.
2. Pihak laki-laki juga demikian halnya untuk menuju kediaman calon mempelai
perempuan lengkap dengan bawaannya yang disebut leko (seserahan) dan walas
33
uji, serta maharnya diantar oleh sanak saudara, dan kerabat bahkan tokoh
dipelaminan, karna keduan mempelai belum resmi sebagai suami istri sehingga
Acara ini artinya mempelai laki-laki diantar ke kamar mempelai perempuan untuk
menemui dan melakukan pembatalan wudhu yang menandakan kedua pasangan telah
Saat mempelai laki-laki akan menemui istrinya dikamar maka pintu kamar
mempelai perempuan terkunci rapat sehingga terjadilah dialog singkat antara pengantar
mempelai laki-laki dengan penjaga pintu kamar mempelai. Setiba dikamar perempuan,
maka mempelai laki-laki berusaha untuk menyentuh bagian tubuh tertentu mempelai
perempuan biasa tangangan, atau pergelangan tangan istrinya sebagai tanda pembatalan
wudhu dan menunjukan bahwa kedua mempelai telah resmi menjadi suami istri.
Selanjutnya pemasangan cincin sebagai perlambang bahwa keduanya telah terikat dan
saling mengikat diri dalam sebuah lembara perkawinan yang harus senantiasa dijaga
keutuhannya. Cincin adalah sebuah symbol pengikat, tetapi yang utama adalah ikatan
batin dan jiwa kedua mempelai yang harus dipupuk dan dieratkan karna cincin biasa
dilepas, hilang, dan bahkan terjual, tetapi ikatan bantin dan jiwa tang telah terjalin
dengan erat, sangat sulit dilepaskan, kiranya kedua mempelai hari ini berikrar untuk
34
e) Marellau Addampeng (Permohonan Maaf)
Acara selanjutnya yaitu kedua mempelai menuju tempat akad nikah dimana semua
keluarga telah berkumpul untuk menyaksikan proses pemasangan cincin dan dilajutkan
ke acara memphon maaf kepada keda orang tua memelai perempuan dan seluruh
oleh keluarga pihak perempuan. Dalam prosesi perkawinan yang dilaksanakan dirumah
mempelai perempuan, orangtua pihak laki-laki tidak ikut serta karena dalam adat istiadat
suku bugis mempelai perempuan yang seharusnya datang mengunjungi orangtua laki-
laki, setelah acara ini selesai maka kedua mempelai harus kembali kerumah orangtua
laki-laki untuk memohon maaf serta meminta doa restu dari orangtua pihak laki-laki
Setelah rombongan atau pengantar mempelai laki-laki sudah pulang, maka dari
bersama mempelai laki-laki menuju kerumah mempelai laki-laki sebagai umpan balik
f) Marolla
Marolla ialah saat mempelai perempuan diantar kerumah orangtua mempelai laki-
laki. Acara ini merupakan juga prosesi penting dalam rangkaian adat perkawinan bugis
yaitu kunjungan balasan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Jadi meupakan
35
orangtua mempelai laki-laki. Kegiatan marolla ini biasanya dilakukan sehari atau
Dalam acara marolla ini ada pula acara khusus yang disebut acara mammatoa
Mempelai perempuan diantar oleh Indo’botting untuk memberikan sarung sutera kepada
dapat diperlihatkan pada tamu-tamu yang hadir. Sesudah acara marola kedua mempelai
resepsi dan setelah kedua mempelai mengganti akaian pengantin. Kegiatan diawali
ketika Indo’Botting duduk ditengah-tengah antara kedua mempelai laki-laki yang berada
perempuan dalam keadaan menutup kepalanya dengan sarung, mendengar kode tersebut
berusaha menghindari dari kejaran sang suami, maka terjadilah kejar-kejaran diantara
kegiatan ini.
36
h) Marola Wekkadua
Selanjutnya acara marola wekkadua artinya kunjungan yang kedua kalinya oleh
mempelai yang diiringi oleh keluaraga dekat saja, mempelai biasanya bermalam satu
malam saja dan pada kunjungan kali ini mempelai membawa makanan yang terdiri dari
makanan lauk pauk dan kue-kue, karena menurut kebiasaan mempelai perempuan masih
Saat pelaksanaan marola mabbenni, maka acar pesta pernikahan dari pihak
maka kedua pasangan suami istri ini sudah data dikatakan mandiri. Dalam bahasa Bugis
nalaowanni alena, akan tetapi masih ada kegiatan yang perlu dilalui.
Marola wekkadua, yaitu mempelai perempuan diantar oleh dua atau tiga orang
perempuan untuk bersama-sama ke rumah mempelai laki-laki, dengan pakaian biasa dan
bermalam satu malam. Pada subuh harinya, mempelai bersama pengantarnya kembali
sesudah sarapan. Pada saat itu mertua mempelai perempuan memberikan hadiah kepada
menantunya dalam bentuk barang berharga berupa peralatan dapur atau emas/perak.
i) Marola Wekkatellu
Kegiatan terakhir, yaitu marola wekka tellu artinya kunjunan yang ketiga kalinya,
mempelai sudah boleh menginap untuk beberapa malam dan selama penganti berada
rumah meruanya mempelai perempuan selalu dikirimi makanan dari rumah orangtuanya.
Ketika pamit, kembali mempelai perempuan mendapat seperangkat peralatan makan dari
mertuanya.
Acara mappitu, yaitu dari pihak laki-laki ada tujuh orang perempuan tua mabbaju
ponco atau baju tokko dalam bahasa Bugis, dan baju bodo dalam bahasa Makassar
37
bersama tiga orangtua lainnya, datang kerumah mempelai perempuan dengan membawa
kue-kue adat seperti doodoro, baje, beppa pute, beppa laiyya, cucuru tenne dan lain-lain,
dilakukan oleh keluarga mempelai perempuan dengan menyiapkan 40 liter beras ketan,
masing-masing 20 liter beras ketan hitam dan 20 liter beras ketan putih yang disebut
sawa (lapa-lapa), baik berukuran kecil yang disebut sawa maupun yang berukuran besar
disebut kampalo. Dari jumlah tersebut lebih banyak dibuat dalam bentuk sawa karena
dibuat dalam bentuk ikatan ( setiap satu ikatan terdiri dari lima buah) dan setiap
undangan yang hadir akan diberi hadiah minimal satu ikat untuk dibawa pulang ke
rumah masing-masing.
Ritual yang terakhir yaitu bersiarah kubur ke makam para leluhur, keluarga yang
telah meninggal dunia, ritual ini bermaksud untuk mendoakan bagi keluarga yang telah
meninggal.
segala kelesuan, kelelahan dan berusaha mandi secara rileks dan bergembira ria.
38
BAB III
DI SULAWESI TENGGARA
kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Jadi eksistensi merupakan dinamis yang yang
tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan luntur atau kenyal dan mengalami
perkawinan suku bugis di sulawesi tenggara. Eksistensi ini juga berkaita dengan strategi
merupakan tradisi turun temurun bahkan yang telah menjadi adat masih sukar untuk
pelaksanaan telah mengalami perubahan, namun nilai-nilai dan Makna masih tetap
Berbicara tentang adat bugis yang salah satunya adalah adat perkawinannya,
Merupakan adat yang digunakan ketika orang bugis ingin melaksanakan suatu pernikahan,
dalam perkembangannya, adat ini masih kental digunakan dalam pelaksanaan suatu
perkawinan baik itu tahap sebelum perkawinan sampai tahap pelaksanaan pernikahan.
39
Dalam perkembangannya, Pernikahan pada saat ini tidak mengacu pada pernikahan
pada sesama suku saja. Akan tetapi pernikahan antar suku yang berbeda juga kerab terjadi.
Contohnya pernikahan antara suku bugis dan suku tolaki yang dimana dalam hal ini suku
bugis adalah perempuan dan suku tolaki adalah laki-laki. Dalam hal ini maka adat yang
digunakan dalam pelamarannya adalah adat si perempuan yakni suku bugis. Akan tetapi
mereka sendiri.
40
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
41