Anda di halaman 1dari 13

KEBERAGAMAN SUKU DI PULAU JAWA

1. Suku Betawi

Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya
bertempat tinggal di Jakarta.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil perkawinan antar etnis
dan bangsa pada masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi
adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh
Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya
terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai
kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu,
Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Tionghoa.

Namun menurut sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang pernah
meneliti tentang Penduduk Jakarta di mana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967
oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai
orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang
didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai
kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu,
Jawa, Bali, Bugis, Makassar,dan Ambon, serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India,
Tionghoa, dan Eropa.
Pada penelitiannya Lance Castles menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu:

Seni dan kebudayaan


Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis,
semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi
yang berasal dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses
campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa
dikenal dengan istilah Mestizo . Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan
Salakanagara atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (sekarang Jakarta) merupakan
wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya
juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa di mana Prabu
Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya
antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.

Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu, Minang,
Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap
dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.

Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang.
Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa
Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari
Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar
budaya di Situ Babakan.

Kepercayaan

Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama
Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku
Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan
campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal
abad ke-16, Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang
membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa
sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang
masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
2. Suku Sunda

Sunda semacam nama kerajaan yang baru muncul kurang lebih pada abad ke-8
sebagai penerus Kerajaan Tarumanegara. Pusat kerajaan sunda tersebut beadar didaerah
Kota Bogor, yang mana bogor ini dahulu belum menjadi kota seperti sekarang.

Sejarah Suku Sunda menjumpai fase-fase baru, karena arah tepi utara di Jayakarta masuk
kedalam kekuasaan kompeni Belanda sejak tahun 1610, dan dari arah pelosok bagian
timur, masuk kedalam kekuasaan Kerajaan Mataram pada tahun 1625.

Pada tahun 1949, nama sunda ini merupakan sebuah nama yang dipakai untuk menamai
daerah bagian dataran laut dibagian barat wilayah India Timur, sedangkan dataran-
dataran bagian tenggara itu dinamai dengan nama Sahul

Suka Sunda merupakan kelompook suku yang berasal dari bagian barat Pulau Jawa,
Negara Indonesia. Daerah tersebut sering disebut oleh masyarakat dahulu itu dengan
sebutan Tanah Pasundan, atau Tatar Sunda.

Ketika menginjak tahun 1998, Suku Sunda berjumlah kurang lebih sekitar 33 juta
manusia, dari mereka kebanyakan hidup didaerah Jawa Barat, dan sekitar 1juta dari
mereka hidup di daerah lain, atau di Provinsi lain.

Diantara mereka, penduduk kota kurang lebih mencapai 34,51%, demikian jumlah
penduduk dari suku sunda, dengan jumlah penduduk yang cukup dapat dijangkau oleh
berbagai media.
Biarpun demikian, Suku Sunda adalah salah satu kelompok orang yang kurang dikenal
oleh penduduk dunia, Suku Sunda ini hanya dikenal oleh penduduk warga Negara
Indonesia saja

Nama Sunda ini kerap dianggap sebagai orang Sudan di daerah Afrika, dan salah ejaan
dalam bahasa. Dengan beberapa koreksian mengenai ejaan dalam komputer, ejaan dalam
komputer juga merubahnya menjadi Sudanese .

Memasuki abad ke-20, sejarah Suku Subda ini sudah tersusun melaluli bangkitnya
Negara Indonesia, yang pada akhirnya Negara Indonesia tersebut menjadi Negara
Indonesia modern.

Kata dari kata Sunda ini memiliki arti yang bagus, arti dari kata Sunda ini adalah,
Baik/Bersih/Cemerlang/Putih, inti dari kata Sunda tersebut mengandung segala unsur
kebaikan.

Orang sunda ini sangat diyakini sekali oleh orang-orang, bahwa orang sunda ini memiliki
karakter/watak kesundaan, yang mana watak kesundaan itu menjadi tujuan keutaman
hidup.

Karakter/Watak Sunda yang dimaksud itu adalah bageur (baik), singer(terampil), cageur
(sehat), dan yang terakhir pinter(pandai/cerdas). Watak/Karakter sunda tersebut sudah
ada sejak dimana masih pada zaman-nya Salaka Nagara pada tahun 150 sampai ke Kota
Sumedang Larang.
Pada abad ke-17, suku sunda sudah mema=bawa kemakmuran, dan kesejahteraan lebih
dari 1000 tahun.

Suku sunda adalah kebudayaan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah barat bagian
pulau Jawa, sebagai suatu suku bangsa yang baik, Suku Sunda ini merupakan salah satu
asal usul berdirinya peradaban di Nusantara.

Berdirinya di Nusantara itu dimulai dari berdirinya kerajaan-kerajaan tertua di Negara


Indonesia, kerajaan tertua yang pertama berdiri di suku sunda ini adalah Kerajaan
Salakanagara, Galuh, Pakuan Pajajaran, dan yang terakhir ini adalah Sumedang Larang.

Kerajaan Sunda ini merupakan kerajaan yang sangat mencintai dengan kedamaian,
selama pemerintahan kerajaan tersebut tidak melakukan petualangan untuk memperluas
daerah wilayah kekuasan kerajannya .

Beberapa Keturunan Kerajaan Sunda telah melahirkan kerajaan-kerajaan besar yang


didirikan di Nusantara, kerajaan yang didirikan di Nusantara oleh keturunan Kerajaan
Sunda diantaranya seperti Kerajaan Mataram, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Majapahit,
Kerajaan Banten..
3. Suku Jawa

Sejarah Suku Jawa ~ Orang Jawa sering juga menyebut dirinya Wong Jowo atau Tiang
Jawi. Jumlah populasinya paling banyak dibandingkan dengan suku-suku bangsa lain,
dan wilayah asal serta wilayah persebarannya di selurug Indonesia juga paling luas.
Program transmigrasi penduduk Jawa ke pulau-pulau besar lain sudah dimulai oleh
pemerintahan jajahan Belanda sejak abad ke-18, seperti transmigrasi orang Jawa ke
perkebunan besar di sekitar Deli Serdang di Sumatera Utara dan ke daerah provinsi
Lampung. Pada abad itu banyak pula orang Jawa yang dibawa ke berbagai perkebunan di
Suriname (Amerika Selatan), ke Afrika Selatan, dan ke Haiti di Lautan Teduh (Pasifik).

Daerah kebudayaan Jawa meliputi bagian tengah sampai ke bagian timur Pulau Jawa,
sedangkan bagian baratnya adalah daerah kebudayaan suku bangsa Sunda. Berdasarkan
pengaruh luar dan pola kehidupan sosial budaya masyarakatnya para ahli beranggapan
bahwa daerah yang menjadi orientasi kebudayaan Jawa adalah sekitar Banyumas, Kedu,
Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Sementara itu Yogyakarta dan
Surakarta dianggap sebagai pusat utama kebudayaan Jawa. Keduanya adalah bekas
kerajaan Mataram Islam yang pecah pada tahun 1755. Masyarakat di sekitar pantai utara
dan timur lebih dikenal sebagai orang Jawa pesisir dan Jawa Ujung Timur.

Bahasa Suku Jawa

Bahasa Jawa dalam perkembangannya telah terbentuk menjadi suatu kompleks sistem
bahasa yang bertingkat-tingkat secara sosial. Ada tiga gaya bahasa yang paling dasar,
yaitu gaya resmi, setengah resmi, dan tidak resmi. Bahasa resmi dibedakan atas tiga
tingkatan pemakaian bahasa yaitu ngoko, madya, dan krami (krama). Kemudian dari
kombinasi ketiganya terbentuk lagi enam gaya lain. Bahasa ngoko dipakai untuk orang
yang sudah dikenal dekat dan akrab dan terhadap orang lain yang lebih muda usia dan
lebih rendah derajat sosialnya (ngoko lugu dan ngoko andap). Bahasa krami digunakan
untuk berbicara dengan orang yang belum akrab, lebih tua dan lebih tinggi status
sosialnya. Bahasa madya muncul dari variasi pemakaian bahasa ngoko dan krami itu
sendiri. Di daerah Surakarta dan Yogyakarta dikenal gaya bahasa kedaton yang
digunakan di lingkungan istana Sultan dan Kesunanan. Di desa-desa berkembang bahasa
resmi yang disebut krama desa.
Masyarakat Suku Jawa

Kesatuan hidup setempat masyarakat Jawa yang utama adalah desa yang dikepalai oleh
seorang lurah atau Kepala desa. Setiap desa terdiri atas beberapa bagian yang disebut
dukuh (kampung) yang masing-masing dikepalai oleh seorang Kepala Dukuh. Rumah-
rumah penduduk yang terdapat dalam sebuah dukuh dilengkapi dengan lumbung padi,
kandang ternak dan perigi. Di setiap desa terdapat sebuah balai desa tempat pertemuan
pemerintahan desa, sebuah mesjid, beberapa buah langgar (mesjid kecil), sekolah, dan
pasar yang hanya ramai sekali seminggu. Bentuk rumah orang Jawa yang tradisional
ditentukan oleh bentuk atapnya. Berdasarkan bentuk atap itu ada yang disebut rumah
limasan, serontong, joglo, panggangepe, daragepak, macan nyerum, klabang nyander,
tajuk, kutuk ngambang dan sinom. Bentuk rumah limasan adalah paling banyak dimiliki
penduduk. Golongan bangsawan biasanya membangun rumah dengan bentuk joglo.

Masyarakat desa Jawa dipimpin oleh seorang Kepala desa yang disebut Lurah, sering
juga disebut bekel, petinggi atau glondong. Dalam tugasnya lurah dibantu oleh perabot
desa yang terdiri dari kami tuwo (wakil lurah), carik (jurutulis), kebayan (pesuruh desa),
jagabaya (penjaga keamanan), ulu-ulu (pengawas pengairan) dan seorang modin (petugas
mesjid yang biasa memimpin upacara keagamaan desa). Untuk melancarkan tugas Lurah
dan Perabot desa merek didukung oleh hasil dari tanah garapan yang lazim disebut tanah
bengkok.

Dalam masyarakat Jawa terdapat beberapa lapisan sosial yang dianggap masih nyata
perbedaannya. Golongan bangsawan keturunan raja-raja biasanya disebut golongan
bendoro atau bendoro raden. Sering setingkat dengan itu adalah golongan priyayi, yaitu
para kaum terpelajar yang memang biasanya berasal dari golongan bangsawan juga.
Lapisan sosial paling bawah adalah golongan yang disebut wong cilik, seperti golongan
petani di desa. Akan tetapi wong cilik di desa juga suka membagi diri ke dalam tiga
golongan, yaitu wong baku (keturunan pendiri desa), golongan kuli gandhok (orang yang
tidak memiliki tanah atau rumah sendiri) dan jaka sinoman (bujangan yang tidak
mempunyai pekerjaan tetap tetapi memiliki harta orang tuanya).

Mata Pencaharian Suku Jawa

Bertani adalah mata pencaharian sebagian besar masyarakat Jawa yang di desa-desa.
Sebagian lainnya hidup dari pekerjaan sebagai pegawai, tukang, dan pedagang. Pertanian
ada yang dilakukan di sawah-sawah irigasi dan tadah hujan, terutama untuk menanam
padi, ada pula yang di tegalan, dimana ditanam ketela pohon, jagung, ketela rambat,
kedelai, kacang tanah, kacang tunggak dan sebagainya. Tidak semua petani memiliki
lahan pertanian sendiri. Sebagian besar malah menjadi buruh, yaitu mendapat upah dari
pekerjaan mengolah sawah orang lain. Di lingkungan mereka berbagai macam peternakan
sudah banyak dikembangkan, walaupun sifat dan jumlahnya amat sederhana.

Kekerabatan Suku Jawa

Prinsip hubungan kekerabatan dalam masyarakat Jawa adalah bilateral, dimana baik
kerabat pihak ayah maupun pihak ibu diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah yang
sama. Misalmya siwa atau uwa untuk saudara lelaki ayah dan ibu yang lebih tua, lalu
istilah paman untuk saudara lelaki ayah dan ibu yang lebih muda. kelompok kekerabatan
yang terpenting dalam masyarakat ini adalah keluarga inti yang mereka sebut somah atau
kuluwarga. Kelompok kekerabatan yang lebih luas adalah sanak sedulur, yaitu kerabat
dari pihak lelaki atau wanita yang ditarik dari seorang kakek atau nenek moyang sampai
derajat ketiga. Kelompok ini amat berperan dalam berbagai kegiatan upacara daur hidup
seseorang.

Kelompok kerabat yang lebih panjang lagi adalah alur waris yang ditarik sepanjang tujuh
keturunan. Biasanya alur waris ini berperan dalam rangka pemujaan kepada leluhur.
Perkawinan biasanya dilaksanakan dengan upacara adat yang cukup kompleks sesuai dan
lebih meriah dibandingkan dengan upacara kematian misalnya. Sesudah upacara
perkawinan orang Jawa tidak terlalu mempersoalkan dimana mereka akan menetap,
namun seseorang akan bangga kalau ia langsung memiliki rumah sendiri setelah ia
menikah.

Agama Dan Kepercayan Suku Jawa

Agama Islam dipeluk oleh banyak orang Jawa, walapun di beberapa tempat juga banyak
pemeluk agama lain. Tetapi orang Jawa yang beragama Islam juga banyak dipengaruhi
oleh unsur agama lain, mulai dari kepercayaan asli (Kejawen), Hindu, Budha, Nasrani.
Orang Jawa yang mengakui ajaran Islam namun tidak menjalankan sepenuhnya disebut
golongan kejawen, yaitu mereka yang lebih mengutamakan ajaran leluhur yang
menekankan kebatinan dalam diri. Golongan inilah yang sekarang diakui sebagai salah
satu kelompok aliran kepercayaan di Indonesia.

Suasana Kejawen mengajarkan kepada mereka tentang adanya kekuatan adikodrati yang
mereka sebut kesakten dan tentang masih berpengaruhnya roh para leluhur dan roh-roh
alam dalam kehidupan manusia, seperti makhluk-makhluk halus yang mereka sebut
memedi, lelembut, tuyul, demit, jin. Bila ingin hidup tanpa gangguan atau malah dibantu
oleh makhluk-makhluk halus tersebut maka seseorang harus berbuat sesuatu untuk
mempengaruhinya, misalnya dengan berprihatin, berpuasa, mengadakan selamatan dan
menyampaikan sesaji. Selamatan dengan memberikan sesaji tertentu adalah cara yang
paling sering mewarnai kehidupan religi orang Jawa. Sungguhpun begitu upacara
selamatan selalu dipimpin oleh seorang modin.
4. Suku Madura

Seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura tinggal di bagian
timur Jawa Timur biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari Pasuruan sampai utara
Banyuwangi. Orang Madura yang berada di Situbondo, Bondowoso, sebelah timur
Probolinggo, utara Lumajang, dan utara Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang
yang bisa berbahasa Jawa, juga Surabaya utara, serta sebagian Malang. ada juga yang
menetap di Bawean, di negeri jiran Malaysia, Timor Leste, Brunei Darussalam misalnya
juga ada, mereka ada yang menjadi penduduk tetap (sudah dapat IC/ surat tinggal
selamanya.), Bahkan ada juga di negara negara Timur Tengah.

Sebaran tinggal

Di samping suku Jawa dan Sunda, orang Madura juga banyak yang bertransmigrasi ke
wilayah lain terutama ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, serta ke Jakarta,
Tangerang, Depok, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya, juga Negara Timur Tengah khususnya
Saudi Arabia. Beberapa kota di Kalimantan seperti Sampit dan Sambas, pernah terjadi
kerusuhan etnis yang melibatkan orang Madura disebabkan oleh kesenjangan sosial,
namun sekarang kesenjangan itu sudah mereda dan etnis Madura dan penduduk setempat
sudah rukun kembali.

Agama dan kepercayaan


Mayoritas masyarakat hampir 100 % suku Madura adalah penganut Islam bahkan suku
Madura yang tinggal di Madura bisa dikatakan 100 % muslim. suku Madura terkenal
sangat taat dalam beragama islam. Salah satu sebabnya dengan adanya Pondok Pesantren
yang tersebar di seluruh pulau madura. Misalnya Pondok Pondok pesantren miftahul
ulum panyepen, Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, pondok pesantren Al hamidiy
banyuanyar Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar di Kabupaten Pamekasan,
Pondok pesantren Annuqayah disingkat PPA pesantren yang terletak di desa Guluk-
Guluk, Pondok Pesantren Al-Amin di Sumenep dan , Pondok Pesantren Syaikhona Kholil
Bangkalan, Pondok Pesantren Attaraqqi Sampang, dan pesantren-pesantren lainnya dari
yang memiliki santri ribuan, ratusan, dan puluhan yang tersebar di Pulau Madura.
Pesantren-pesantren begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat Madura karena
pesantren tidak sekadar mengajar ilmu agama tetapi juga mempunyai kiprah dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan dan peduli pada nasib rakyat kecil.

Bahasa

Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan. Juga dikenal hemat,
disiplin, dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti
menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji. Selain itu orang Madura
dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik
Laut atau Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji).[butuh rujukan]

Karakter sosial budaya

Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah
peribahasa lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih
tulang) daripada malu (putih mata). Sifat yang seperti ini melahirkan tradisi carok pada
masyarakat Madura, tetapi tradisi lambat laun melemah seiring dengan terdidiknya kaum
muda di pelosok desa, dahulu mereka memakai kekuatan emosional dan tenaga saja,
namun kini mereka lebih arif dalam menyikapi berbagai persoalan yang ada.

Ada perbedaan antara Madura Timur (Sumenep dan Pamekasan) dengan Madura Barat
(Sampang dan Bangkalan). Orang Madura Timur dikenal lebih halus baik dari sikap,
bahasa, dan tatakrama daripada orang Madura Barat.[butuh rujukan] Orang Madura Barat
lebih banyak merantau daripada Madura Timur.[butuh rujukan] Hal ini, disebabkan
Madura Barat lebih gersang daripada Madura Timur yang dikenal lebih subur
5. Suku Baduy

Di Negara yang kaya dengan berbagai macam seni dan budaya, Negara Indonesia
ini ditempati dengan berbagai macam suku yang menetap di berbagai pelosok nusantara.
Keutamaan lokal dengan adat istiadat-nya menjaga kelestarian-kelestarian alam di Negara
Indonesia sampai benar-benar mampu terjaga dengan begitu baik dan menyatu dengan
alam.

Suku Baduy Banten tersisip diantara banyaknya suku-suku yang ada di Negara Indonesia.
Kelompok kesukuan sunda atau masyarakat Suku Baduy Banten ini tinggal bersama alam
di wilayah Pegunungan Kendeng, Kecamatan Leuwidamar, Desa Kendes, Lebak, Banten.

Suku Baduy ini terbagi dengan dua golongan, yang mana golongan-golongan tersebut
disebut dengan Suku Baduy dalam dan Suku Baduy luar.

Perbedaan-perbadaan dari kedua suku ini ialah, yaitu terdapat perbedaan dalam
menjalankan aturan-aturan ketika sedang pelaksanaan adat.

Apabila Suku Baduy dalam masih berpegang teguh dengan adat istiadat dan menjalankan
aturan-aturan adat dengan baik, maka sebaliknya tidak dengan saudaranya yaitu Suku
Baduy luar.

Perbedaan-perbedaan antara Suku Baduy dalam dan Suku Baduy Luar ini terlihat dari
cara menggunakan pakaiannya.

Pakaian-Pakaian adat atau baju yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari
Baduy Luar yaitu terlihat dari balutan-balutan warna yang berwarna putih, terkadang
perbedaan dalam pakaian tersebut hanya pada bagian celana saja yang mana warna dari
celana itu adalah hitam atau biru tua

Perbedaan lainnya terlihat dari cara berpakaian yang dikenakan. Pakaian adat atau baju
dalam keseharian Baduy Luar tersirat dalam balutan warna putih yang mendominasi,
kadang hanya bagian celananya saja bewarna hitam ataupun biru tua.
Etimologi
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya
mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat
yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai
Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri
lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan
nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti
Urang Cibeo (Garna, 1993).

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, penulisan yang tepat adalah "Badui" dan
bukan "Baduy"

Wilayah

Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan
108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan
Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung,
Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian
dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL)
tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-
rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di
bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C.

Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
Bahasa

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda. Untuk berkomunikasi dengan
penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak
mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal
budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan
adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas
sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Soeharto
pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan
membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak
usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca
atau menulis.

Asal usul
Delegasi Kanekes sekitar tahun 1920

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara
Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut
sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut
kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai
tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah,
yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa
prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai
'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan
Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan
Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah
ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten
merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai
jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah
pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran
Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu
diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan
mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.
Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal
bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai
Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut
membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka
sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari
serangan musuh-musuh Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah
tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146).
Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-
orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan
Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan
mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban
memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama
Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau
'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah
agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan

Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran
leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah
leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme). Meskipun sebagian besar
aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya ajaran
leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran Hindu, Buddha, dan di
kemudian hari ajaran Islam.

Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga
dan melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun,
mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan
setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan
sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Inti kepercayaan
tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut
dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh'
(kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan
sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.

(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang


pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi
ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan
bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu
yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan
apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang.
Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam
berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang
lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi
tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun
2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa
anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di
kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan.
Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh
air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan
pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila
batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen
(Permana, 2003a).

Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang


dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat
Sunda secara umum sebelum masuknya Islam

Anda mungkin juga menyukai