Terminologi[sunting | sunting sumber]
Istilah "Betawi" merupakan sebuah pengistilahan dalam bahasa masyarakat lokal pesisir utara
Jawa (Sunda ataupun Jawa) yang diserap dari istilah dalam bahasa Belanda: Batavia, berakar
dari kata bahasa Latin: Batavi, yang bermakna "pulau yang baik". Kata tersebut diduga berakar
dari *batawjō direkonstruksi dari dua kata yang dalam hipotesis Proto-
Jermaniknya yakni *bataz ("baik; bagus") dan *awjō ("pulau").
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Sejarah penduduk asli Jakarta (Sunda Kalapa) diawali pada masa zaman batu yang menurut
Sejarawan Sagiman MD sudah ada sejak zaman neolitikum. Arkeolog Uka Tjandarasasmita
dalam monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan
Pajajaran" (1977) secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang
sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara pada abad ke-5.
Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikum atau batu baru (3500–3000 tahun yang
lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya di mana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung,
Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat
manusia yang menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta. Dari alat-alat yang ditemukan di
situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai
gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian
(mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur
organisasi kemasyarakatan yang teratur. [3]
Penduduk asli Jakarta berbahasa Sunda Kuno. Jadi, penduduk asli Jakarta telah berdiam di
Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu dan bersuku Sunda.[4]
Pada abad ke-2, Menurut Yahya Andi Saputra Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah
kekuasaan Kerajaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor.
Penduduk asli Betawi adalah rakyat Kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan dengan
China telah maju. Bahkan, pada tahun 432 M Salakanagara telah mengirim utusan dagang
ke Tiongkok.
Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi sungai Citarum. Menurut
Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan Kerajaan Salakanagara.
Hanya saja ibu kota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi sungai Citarum.
Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibu kota kerajaan
di tepi sungai Candrabhaga, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai
Bekasi. Candra berarti bulan atau sasih, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang
terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak
istana kerajaan Tarumanengara yang termasyhur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli
pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu
rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian mulai
berkembang. Petani Betawi membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-
orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini masih dapat kita saksikan di sawah-sawah
menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil menggerak-gerakkan tangan orang-
orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi
Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran.
Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan mereka punya
kagumbiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan juga bergembira
menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya
mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau
yang dilarungkan ke laut.
Grup tari Topeng Betawi saat masa kolonial Hindia Belanda. Ini adalah salah satu pengaruh
budaya Sunda
Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari:
Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam
kota benteng Batavia.
Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat
diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal
abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin
tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah
yang tersedia yang relatif meyakinkan walaupun hasil kajian yang dilakukan Castles
mendapatkan banyak kritikan karena hanya menitikberatkan kepada skesta sejarah yang baru
ditulis tahun 1673.
Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah
ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi
sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Namun menurut Uka
Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum
masehi. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof. Dr. Parsudi Suparlan menyatakan,
kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum
mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas
tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan
sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada
tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi.
Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan,
yakni golongan orang Betawi.
Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. berpendapat bahwa hingga beberapa waktu yang lalu penduduk
asli Jakarta mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu atau menurut lokasi tempat
tinggal mereka, seperti orang Kwitang; orang Kemayoran; orang Tanah Abang dan seterusnya.
Setelah tahun 1970-an yang merupakan titik balik kebangkitan kebetawian di Jakarta telah terjadi
pergeseran lebel dari Melayu ke Betawi. Orang yang dulu menyebut kelompoknya sebagai
Melayu telah menyebut dirinya sebagai orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran
dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar
benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia
tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu yang umum digunakan
di Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Brunei dan Thailand Selatan yang kemudian
dijadikan sebagai bahasa Indonesia.
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran
dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai
minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9
juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-
ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di
Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah salah satu
caranya ’suku’ Betawi hadir.
Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal
giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal
dari abad ke-11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya
antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan
istilah Mestizo. Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian
dikenal dengan "Kalapa" (sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik pendatang dari
dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja
Pajajaran, Prabu Surawisesa di mana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal
dan dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong
Tugu. Upaya pemerintah Indonesia untuk melestarikan budaya Betawi, ialah dengan
didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
Musik[sunting | sunting sumber]
Gambang Kromong.
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal
dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana dan Samrah yang berakar pada tradisi
musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang
berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang
Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-
kicir". Pengaruh budaya Jawa dengan sedikit unsur Sunda didalamnya juga ada dalam
kebudayaan Betawi, seperti: pementasan wayang
Ondel-Ondel Betawi.
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di
dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi,[6] Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda,
Cokek, tari silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan
[7]
Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta
dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan
gaya dan koreografi yang dinamis.
Drama tradisional Betawi antara lain lenong dan tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya
menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan
lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.[8]