Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH KERAJAAN BALI

Disusun oleh :
Erica Kalila Milania Putri
X-5
Absen 10

Guru Pengampu :
Bima Perkasa Putra Puji Irianto S.Hum S.pd
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bali adalah tempat berkembangnya agama Hindu dan Hampir seluruh Masyarakatnya
menjadi penganutnya. Agama Hindu di Bali mulai tumbuh dan berkembang sejak abad ke-8.
bersamaan dengan pertumbuhan agama Hindu di Jawa Tengah, Agama Hindu banyak
pengaruhnya terhadap kebudayaan setempat, juga terhadap sistem pemerintah.

Berita Cina menyebutkan pada abad ke-7 ada daerah Dwapatan (Bali) yang mempunyai
adat yang sama dengan Jawa (Holing). Prsasti Bali 804 Caka (882 M) menyebutkan pemberian
izin pembuatan pertapaan di bukit Kintamani. Prasasti berangka tahun 896 caka (991 M) isinya
menyebutkan tempat suci dan istana Raja terletak di Singhamandawa dekat Sanur berhuruf Dewa
Nagari dan Bali Kuno. Kitab Usana Bali abad ke 16 menyebutkan Raja Jayapangus memerintah
setelah Raja Jayakusuma. la Raja penyelamat Bali yang terkena malapetakaa karena lupa
menjalankan ibadah Raja ini juga mendapat wahyu untuk melakukan upacara agama kembali
yang sekarangsebagai hari Galungan.

Kerajaan Bali terletak pada sebuah Pulau kecil yang tidak jauh dari daerah Jawa Timur.
Dalam perkembangan sejarahnya, Bali mempunyai hubungan erat dengan Pulau Jawa. Karena
letak pulau itu berdekatan, maka sejak zaman dulu mempunyai hubungan yang erat. Bahkan
ketika Kerajaan Majapahit runtuh, banyak rakyat Majapahit yang melarikan diri dan menetap di
sana. Sampai sekarang ada kepercayaan bahwa sebagian dari masyarakat Bali dianggap pewaris
tradisi Majapahit.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Ingin mengetahui Sejarah Kerajaan Bali.

1.2.2 Ingin mengetahui letak Kerajaan Bali.

1.2.3 Ingin mengetahui raja-raja Kerajaan Bali.

1.2.4 Ingin mengetahui kehidupan Kerajaan Bali.

1.2.5 Ingin mengetahui barang barang peninggalan Kerajaan Bali

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui sejarah Kerajaan Bali

1.3.2 Untuk mengetahui sumber sejarah Kerajaan Bali

1.3.3 Untuk mengetahui kondisi politik Kerajaan Bali

1.3.4 Untuk mengetahui kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Kerajaan Bali

1.3.5 Untuk mengetahui barang peninggalan Kerajaan Bali

SMA NEGERI 2 KOTA KEDIRI


2023

BAB II
PEMBAHASAN

Kerajaan Bali merupakan istilah untuk serangkaian kerajaan Hindu-Budha yang pernah
memerintah di Bali, di Kepulauan Sunda Kecil, Indonesia. Adapun kerajaan-kerajaan tersebut terbagi
dalam beberapa masa sesuai dinasti yang memerintah saat itu. Dengan sejarah kerajaan asli Bali yang
terbentang dari awal abad ke-10 hingga awal abad ke-20, kerajaan Bali menunjukkan budaya istana Bali
yang luhur, di mana unsur-unsur spiritual penghormatan kepada arwah leluhur dikombinasikan dengan
pengaruh ajaran Hindu, yang diadopsi dari India melalui perantara Jawa kuno, berkembang, memperkaya,
dan membentuk budaya Bali.
Karena kedekatan dan hubungan budaya yang erat dengan pulau Jawa yang berdekatan selama
periode Hindu-Budha Indonesia, sejarah Kerajaan Bali sering terjalin dan sangat dipengaruhi oleh
kerajaan di Jawa, dari kerajaan Medang pada abad ke-9 sampai ke kerajaan Majapahit pada abad ke-13
hingga 15. Budaya, bahasa, seni, dan arsitektur di pulau Bali dipengaruhi oleh Jawa. Pengaruh dan
kehadiran orang Jawa semakin kuat dengan jatuhnya kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-15. Setelah
kekaisaran jatuh di bawah Kesultanan Muslim Demak, sejumlah abdi dalem Hindu, bangsawan, pendeta,
dan pengrajin, menemukan tempat perlindungan di pulau Bali. Akibatnya, Bali menjadi apa yang
digambarkan oleh sejarawan Ramesh Chandra Majumdar sebagai benteng terakhir budaya dan peradaban
Indo-Jawa. Kerajaan Bali pada abad-abad berikutnya memperluas pengaruhnya ke pulau-pulau tetangga.
Kerajaan Gelgel Bali misalnya memperluas pengaruh mereka dan mendirikan koloni di wilayah
Blambangan di ujung timur Jawa, pulau tetangga Lombok, hingga bagian barat pulau Sumbawa,
sementara Karangasem mendirikan Koloni mereka di Lombok Barat pada periode selanjutnya.
Sejak pertengahan abad ke-19, negara kolonial Hindia Belanda mulai terlibat di Bali, ketika
mereka meluncurkan kampanye mereka melawan kerajaan kecil Bali satu per satu. Pada awal abad ke-20,
Belanda telah menaklukkan Bali karena kerajaan-kerajaan kecil ini jatuh di bawah kendali mereka, baik
dengan kekerasan atau dengan pertempuran, diikuti dengan ritual massal bunuh diri, atau menyerah
dengan damai kepada Belanda. Dengan kata lain, meskipun beberapa penerus kerajaan Bali masih hidup,
peristiwa-peristiwa ini mengakhiri masa kerajaan independen asli Bali, karena pemerintah daerah berubah
menjadi pemerintahan kolonial Belanda, dan kemudian pemerintah Bali di dalam Republik Indonesia.

Nama Resmi Kerajaan


Salah satu prasasti berangka tahun 875 Saka/953 M berbahasa Sansekerta menyebut nama "Sri
Walipuram" yang mengandung arti, bahwa Bali merupakan suatu kerajaan. Selain itu juga, ada beberapa
prasasti yang menyebut kata baladwipamandala, misalnya Prasasti Klandis menyebutkan;

“… ring maniratna singhasana siniwi sabalidwipamandala…” artinya: “… (sang raja) yang duduk di
atas singgasana bertahtakan emas-permata dipuja oleh seluruh rakyat di wilayah Pulau Bali…”
Selanjutnya dalam Prasasti Dausa Indrakila A II (983 Saka/1061 M) menyebutkan:

“… nityasa kuminking sakaparipunnakna nikang balipamandala…” artinya: “… (raja) senantiasa


memikirkan kesejahteraan rakyat di seluruh wilayah Pulau Bali…”.
Selain ungkapan tersebut, dalam Prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1103 Saka/1181 M,
Bali disebut dengan istilah “baliwipanagara” yang dapat diartikan Bali merupakan suatu Negara.
Sumber Sejarah
Sumber yang cukup penting tentang Kerajaan Bali adalah prasasti yang berangka 881 M. Bahasa
yang dipakai adalah Bahasa Bali Kuno. Ada juga prasasti yang tertulis dalam bahasa Sanskerta. Pada
abad ke-11, sudah ada berita dari Tiongkok yang menjelaskan tentang tanah Po-Li (Bali).
Berita Tiongkok itu menyebutkan bahwa adat istiadat penduduk di tanah Po-Li hampir sama dengan
masyarakat Ho-ling (Kalingga). Penduduknya menulis di atas daun lontar. Bila orang meninggal,
mulutnya di masukan emas kemudian dibakar. Adat semacam ini masih berlangsung di Bali. Adat itu
dinamakan Ngaben. Salah satu keluarga terkenal yang memerintah Bali adalah Wangsa Warmadewa. Hal
itu dapat diketahui dari Prasasti Blanjong berangka 914 ditemukan di Desa Blanjong,
dekat Sanur, Denpasar, Bali. Tulisannya bertulisan Nagari (India), dan sebagian berbahasa Sanskerta.
Diberitakan bahwa raja yang memerintah adalah Raja Khesari Warmadewa. Pada tahun 915, Raja Khesari
Warmadewa digantikan oleh Ugrasena.
Kerajaan Bali Dwipa (kerajaan awal)

Stupika yang berisi tablet nazar Buddha, Bali abad ke-8. Stupa berbentuk lonceng mirip dengan
seni Budha Jawa Tengah.

Prasasti Blanjong di Sanur (914), salah satu prasasti paling awal di Bali.

Bali telah dihuni oleh manusia sejak zaman Paleolitik (1 SM ke 200.000 SM), dibuktikan oleh
penemuan alat kuno seperti kapak tangan di desa Sembiran dan desa Trunyan di Bali. [6][7] Diikuti oleh
periode Mesolitik (200.000-3.000 SM); nenek moyang penduduk Bali saat ini mencapai pulau itu sekitar
3000 hingga 600 SM selama periode Neolitikum, ditandai dengan teknologi penanaman padi dan
berbicara bahasa Austronesia. Periode Zaman Perunggu mengikuti, dari sekitar 600 SM hingga 800 M.
Periode sejarah di Bali dimulai sekitar abad ke-8 M, ditandai dengan ditemukannya prasasti nazar
Buddhis tertulis yang terbuat dari tanah lempung. Tablet nazar Buddha, yang ditemukan di patung-
patung stupa tanah liat kecil yang disebut "stupika", adalah prasasti tertulis pertama yang diketahui di Bali
dan berasal dari sekitar abad ke-8 M.[6] Stupika lainnya semacam itu telah ditemukan di Kabupaten
Gianyar, di desa Pejeng, Tatiapi, dan Blahbatuh.[6] Loka-lava berbentuk lonceng mirip dengan gaya stupa
abad ke-8 seni Buddha Jawa Tengah yang ditemukan di Borobudur dan candi-candi Budha lainnya yang
berasal dari periode itu, yang menunjukkan hubungan Sailendra dengan para peziarah Budha atau
penduduk sejarah awal Bali.
Pada awal abad ke-10, Sri Kesari Warmadewa menciptakan prasasti pilar Belanjong yang
ditemukan di dekat jalur selatan pantai Sanur. Itu adalah tulisan tertua yang dibuat oleh penguasa yang
ditemukan di Bali. Pilar tersebut bertanggal sesuai dengan kalender Saka India, pada 836 saka (914 M).
[8]
Menurut prasasti itu, Sri Kesari adalah seorang raja Buddha dari Dinasti Syailendra yang memimpin
ekspedisi militer,[9] untuk mendirikan pemerintahan Buddha Mahayana di Bali.[10] Dua prasasti lain oleh
Kesari dikenal di pedalaman Bali, yang menunjukkan konflik di pedalaman pegunungan di pulau itu. Sri
Kesari dianggap sebagai pendiri dinasti Warmadewa, penguasa Bali yang diketahui paling awal, yang
makmur selama beberapa generasi sebelum ekspansi dari pulau Jawa.
Tampaknya, pusat peradaban awal Bali pertama kali terletak di daerah Sanur di sebelah timur
kota Denpasar hari ini, dan kemudian pusat politik, agama dan budaya pindah ke pedalaman utara,
berkelompok di sekitar dataran selatan di masa kini di Kabupaten Gianyar; lebih tepatnya di pusat
kerajaan tua di Bedulu, dekat Goa Gajah dan Gianyar. Kuil gua batu dan tempat pemandian Goa Gajah,
dekat Ubud di Gianyar, dibuat sekitar periode yang sama. Ini menunjukkan kombinasi ikonografi Buddha
dan Hindu Siwa. Beberapa ukiran stupa, stupikas (stupa kecil), dan gambar Boddhisattva menunjukkan
bahwa dinasti Warmadewa adalah pelindung Buddhisme Mahayana. Namun demikian, agama Hindu juga
dipraktikkan di Bali selama periode ini.

Raja dari Wangsa Warmadewa


Raja dari Wangsa Warmadewa yang pernah memerintah Bali salah satunya yang terkenal ialah:

 Sri Candrabhayasingha Warmadewa membangun pemandian di Desa Manukaya. Nama


pemandian itu adalah Tirta Empul yang berarti air timbul. Pemandian itu dekat dengan Istana
Tampaksiring.
Ikatan dengan Kerajaan di Jawa

Ukiran batu di candi kuil Gunung Kawi menunjukkan gaya candi serupa Jawa selama periode
Medang akhir.
Pada paruh kedua abad ke-10, Bali diperintah oleh raja Udayana Warmadewa dan
ratunya, Mahendradatta, seorang putri dinasti Isyana dari Jawa Timur. Mahendradatta adalah putri raja Sri
Makutawangsawarddhana, dan saudara perempuan raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang. Kehadiran
ratu Jawa di istana Bali menunjukkan bahwa kemungkinan Bali telah membentuk aliansi dengan Jawa
Timur, atau Bali adalah bawahan Jawa; pernikahan mereka adalah pengaturan politik untuk menyegel
Bali sebagai bagian dari wilayah Medang, Jawa Timur. Pasangan kerajaan Bali adalah orang tua dari raja
Jawa yang terkenal, Airlangga (991-1049). Adik laki-laki Airlangga, Marakata dan kemudian Anak
Wungçu naik ke tahta orang Bali.
Kuil candi batu dari Gunung Kawi di Tampaksiring dibuat sekitar periode yang sama. Ini
menunjukkan gaya candi serupa Jawa selama periode Medang akhir. Dinasti Warmadewa terus
memerintah Bali dengan baik sampai abad ke-12 dengan masa pemerintahan Jayasakti (1146–50)
dan Jayapangus (1178–81). Tidak ada bukti jelas tentang kontak dengan kekaisaran Cina secara politik
selama periode ini namun koin Cina yang disebut kepeng banyak digunakan dalam perekonomian Jawa-
Bali. Pada abad ke-12, raja Jayapangus dari Bali utara diketahui telah menikahi seorang wanita pedagang
tiongkok, dan telah diabadikan melalui bentuk seni Barong Landung sebagai patung raja dan permaisur
Cina-nya.
Setelah dinasti Warmadewa, keturunan mereka dan hubungan mereka dengan istana Jawa, tidak
ada informasi lebih lanjut yang terus menerus ditemukan tentang para penguasa Bali. Tampaknya Bali
telah mengembangkan dinasti asli baru yang cukup independen dari Jawa.
Pada akhir abad ke-13, Bali sekali lagi muncul dalam sumber Jawa seperti pada 1284,
raja Kertanegara meluncurkan ekspedisi ofensif Pabali melawan penguasa Bali, yang mengintegrasikan
Bali ke dalam wilayah Singhasari. Namun, setelah pemberontakan Gelang-gelang Jayakatwang pada
tahun 1292 yang menyebabkan kematian Kertanegara dan jatuhnya Singhasari, Jawa tidak dapat
menegaskan kekuasaan mereka atas Bali, dan sekali lagi penguasa Bali menikmati kemerdekaan mereka
dari Jawa.
Kontak Jawa menyebabkan dampak yang mendalam pada bahasa Bali yang dipengaruhi oleh
bahasa Kawi, gaya Jawa Kuno. Bahasa ini masih digunakan di Bali meskipun sudah jarang.

Periode Majapahit

Pura Maospahit ("Pura Majapahit") di Denpasar, Bali, memperagakan arsitektur bata merah khas
Majapahit.
Di Jawa Timur, Majapahit di bawah pemerintahan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi dan
Perdana Menteri Gajah Mada yang cakap dan ambisius, menyaksikan perluasan armada Majapahit ke
pulau-pulau tetangga di kepulauan Indonesia termasuk Bali yang berdekatan. Menurut naskah Babad
Arya Tabanan, pada tahun 1342 pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada dibantu oleh
jendralnya Arya Damar, bupati Palembang, mendarat di Bali. Setelah tujuh bulan pertempuran, pasukan
Majapahit mengalahkan raja Bali di Bedulu (Bedahulu) pada tahun 1343. Setelah penaklukan Bali,
Majapahit mendistribusikan otoritas pemerintahan Bali di antara saudara-saudara muda Arya
Damar; Arya Kenceng, Arya Kutawaringin, Arya Sentong dan Arya Belog. Arya Kenceng memimpin
saudara-saudaranya untuk memerintah Bali di bawah panji Majapahit, ia menjadi leluhur raja-raja Bali
dari trah kerajaan Tabanan dan Badung.
Canto 14 Nagarakretagama, disusun pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pada tahun 1365,
menyebutkan beberapa tempat di Bali; Bedahulu dan Lwa Gajah (diidentifikasikan sebagai Goa Gajah)
sebagai tempat di bawah kekuasaan Majapahit. Ibu kota Majapahit di Bali didirikan di Samprangan dan
kemudian Gelgel. Menyusul kematian Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki periode
penurunan yang stabil dengan konflik atas suksesi, di antaranya adalah perang Paregreg (1405 hingga
1406).[13]
Pada tahun 1468, Pangeran Kertabhumi memberontak terhadap
Raja Singhawikramawardhana dan menguasai Trowulan. Singhawikramawardhana yang kalah pergi dari
ibu kota lebih jauh ke pedalaman ke Daha (bekas ibu kota Kadiri), secara efektif membagi Majapahit
menjadi dua pusat kekuasaan; Trowulan dan Daha. Pada tahun 1474 Singhawikramawardhana meninggal
dan digantikan oleh Dyah Ranawijaya, yang memerintah dari Daha. Untuk menjaga pengaruh Majapahit
dan kepentingan ekonomi, Kertabhumi menganugerahi hak dagang pedagang Muslim di pantai utara
Jawa, sebuah tindakan yang mengarah pada kesultanan Demak dalam beberapa dekade berikutnya.
Kebijakan ini meningkatkan ekonomi dan pengaruh Majapahit, tetapi melemahkan posisi Hindu-Budha
sebagai agama utama, karena Islam mulai menyebar lebih cepat dan bebas di Jawa. Keluhan pengikut
Hindu-Buddha kemudian mendesak Ranawijaya untuk mengalahkan Kertabhumi.
Pada 1478, pasukan Ranawijaya di bawah Patih Udara melanggar pertahanan Trowulan dan
membunuh Kertabumi di istananya, Demak mengirim bala bantuan di bawah Sunan Ngudung, yang
kemudian mati dalam pertempuran dan digantikan oleh Sunan Kudus, tetapi mereka datang terlambat
untuk menyelamatkan Kertabhumi meskipun mereka berhasil mengusir tentara Ranawijaya. Peristiwa ini
disebutkan dalam prasasti Jiwu dan Petak, di mana Ranawijaya mengklaim bahwa ia telah mengalahkan
Kertabhumi dan menyatukan kembali Majapahit sebagai satu Kerajaan. Ranawijaya memerintah dari
tahun 1474 hingga 1498 dengan nama resmi Girindrawardhana, dengan Patih Udara sebagai Perdana
Menteri. Peristiwa ini menyebabkan perang antara Kesultanan Demak dan Daha, karena penguasa Demak
kala itu, Raden Patah, adalah keturunan Bhre Kertabhumi.
Pada 1498, Patih Udara melakukan kudeta dan mengalahkan Girindrawardhana dan perang antara
Demak dan Daha surut. Tetapi keseimbangan yang rapuh ini berakhir ketika patih Udara meminta
bantuan ke Portugal di Malaka dan memimpin Adipati Unus dari Demak untuk menyerang Malaka dan
Daha. Teori lain menyatakan bahwa alasan serangan Demak terhadap Majapahit adalah balas dendam
terhadap Girindrawardhana, yang telah mengalahkan kakek Adipati Yunus, Prabu Bhre Kertabumi (Prabu
Brawijaya V). Kekalahan Daha di bawah Demak menandai berakhirnya era Hindu Majapahit di Jawa.
Setelah jatuhnya kekaisaran, banyak bangsawan Majapahit, pengrajin dan pendeta berlindung baik di
daerah pegunungan pedalaman Jawa Timur, Blambangan di ujung timur Jawa, atau melintasi selat sempit
ke Bali. Para pengungsi mungkin melarikan diri untuk menghindari pembalasan Demak atas dukungan
mereka untuk Ranawijaya terhadap Kertabhumi.
Kerajaan Majapahit Jawa mempengaruhi Bali baik secara budaya maupun politik. Seluruh istana
Majapahit melarikan diri ke Bali setelah penaklukan oleh penguasa Muslim pada tahun 1478, yang
mengakibatkan pengalihan seluruh budaya. Bali dipandang sebagai kelanjutan dari budaya Jawa Hindu
dan merupakan sumber utama pengetahuan tentang hal itu pada zaman modern. Para bangsawan dan
pendeta Jawa yang masuk mendirikan istana bergaya Majapahit di Bali. Masuknya menyebabkan
beberapa perkembangan penting. Perkawinan keluarga-keluarga Bali terkemuka bersama dengan keluarga
kerajaan Majapahit mengarah pada dasar garis keturunan kasta atas Bali. Gagasan Jawa khususnya tradisi
Majapahit memengaruhi agama dan seni di pulau ini. Bahasa Jawa juga memengaruhi bahasa Bali yang
dipetuturkan. Arsitektur dan kuil-kuil Bali modern memiliki banyak kesamaan dengan estetika dan gaya
relief di kuil-kuil Jawa Timur dari zaman keemasan Majapahit.
Sejumlah besar naskah Majapahit, seperti Nagarakretagama, Sutasoma, Pararaton dan Tantu
Pagelaran, disimpan dengan baik di berbagai perpustakaan kerajaan Bali dan Lombok, dan memberikan
sekilas dan catatan sejarah berharga tentang Majapahit. Sebagai hasil dari masuknya unsur Jawa,
sejarawan Ramesh Chandra Majumdar menyatakan bahwa Bali "segera menjadi benteng terakhir budaya
dan peradaban Indo-Jawa."

Kerajaan Gelgel

Candi pemesuan di Gelgel, ibu kota kerajaan tua Bali.

Menurut naskah Babad Dalem (disusun pada abad ke-18), penaklukan Bali oleh kerajaan Jawa
Hindu di Majapahit diikuti oleh didirikannya dinasti pengikut di Samprangan, Kabupaten Gianyar saat
ini, dekat dengan pusat kerajaan lama Bedulu. Perpindahan ini berlangsung pada pertengahan abad ke-14.
Penguasa Samprangan pertama Sri Aji Kresna Kepakisan menjadi bapak tiga putra. Dari mereka, yang
tertua, Dalem Samprangan, berhasil memerintah hanya ternyata menjadi penguasa yang tidak kompeten.
Adik bungsunya, Dalem Ketut, mendirikan kursi kerajaan baru di Gelgel sementara Samprangan
tenggelam dalam ketidakjelasan.[22]
Kontak Eropa pertama dengan Bali dilakukan pada 1512, ketika sebuah ekspedisi Portugis yang
dipimpin oleh Antonio Abreu dan Francisco Serrão yang berlayar dari Melaka Portugis dan mencapai
pantai utara Bali. Bali juga dipetakan pada 1512, dalam bagan Francisco Rodrigues. [23] Di Majapahit,
Jawa Timur, jatuhnya Daha ke dalam tangan Kesultanan Demak pada tahun 1527 telah mendorong
gelombang pengungsian para bangsawan Hindu, pendeta dan pengrajin yang mencari perlindungan ke
Bali.
Pada 1585, pemerintah Portugis di Malaka mengirim sebuah kapal untuk membangun benteng
dan pos perdagangan di Bali, tetapi misinya gagal ketika kapal itu kandas di terumbu semenanjung Bukit.
Pada abad ke-16, Puri (istana Bali) Gelgel menjadi pemerintahan yang kuat di wilayah tersebut.
Pengganti Dewa Ketut, Dalem Baturenggong, memerintah pada pertengahan abad ke-16. Ia menerima
seorang resi Brahmana Jawa bernama Nirartha yang melarikan diri dari kemunduran Hindu di Jawa. Raja
menjadi pelindung Nirartha, yang juga membawa banyak karya sastra yang luas yang membentuk
spiritualisme Hindu Bali. Gelgel mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Dalem Baturenggong,
ketika Lombok, Sumbawa barat dan Blambangan di Jawa paling timur, disatukan di bawah kekuasaan
Gelgel.
Pengaruh Gelgel terhadap Blambangan yang masih Hindu tampaknya menarik perhatian Sultan
Mataram yang bercita-cita menyatukan seluruh Jawa dan juga untuk menyebarkan agama Islam. Pada
1639, Mataram melancarkan invasi ke Blambangan. Kerajaan Gelgel segera mengirimkan dukungan
kepada Blambangan sebagai daerah penyangga terhadap ekspansi Mataram Islam. Blambangan menyerah
pada tahun 1639, tetapi dengan cepat mendapatkan kembali kemerdekaannya dan bergabung kembali
dengan Bali segera setelah pasukan Mataram menarik diri. Kesultanan Mataram sendiri, setelah
kematian Sultan Agung, tampaknya sibuk dengan masalah internal mereka, kehilangan minat untuk
meneruskan kampanye militer mereka, dan berhenti melanjutkan permusuhan terhadap Blambangan dan
Gelgel.

Periode Sembilan Kerajaan

Peta sembilan kerajaan Bali, sekitar tahun 1900

Setelah tahun 1651, kerajaan Gelgel mulai terpecah karena konflik internal. Pada tahun 1686,
sebuah singgasana kerajaan baru didirikan di Klungkung, empat kilometer utara Gelgel. Para penguasa
Klungkung, yang dikenal dengan sebutan Dewa Agung, tidak mampu mempertahankan kekuasaan atas
Bali.
Pulau itu selanjutnya terbagi menjadi sembilan Kerajaan
kecil; Klungkung, Buleleng, Karangasem, Mengwi, Badung, Tabanan, Gianyar, Bangli dan Jembrana.
Kerajaan-kerajaan kecil ini mengembangkan dinasti mereka sendiri, membangun Puri mereka sendiri
(kompleks istana Bali) dan mendirikan pemerintahan mereka sendiri. Namun demikian, sembilan
kerajaan di Bali ini mengakui kepemimpinan Klungkung, bahwa raja-raja Dewa Agung Klungkung
adalah primus inter pares mereka di antara raja-raja Bali, dan pantas menerima tituler terhormat sebagai
raja Bali. Sebagian besar kerajaan ini, saat ini, membentuk basis dan batas-batas Kabupaten Bali. Pada
abad-abad berikutnya, berbagai kerajaan akan berperang berturut-turut di antara mereka sendiri, meskipun
mereka memberi Dewa Agung status simbolis terpenting di Bali. Hal ini menyebabkan hubungan yang
rumit di antara penguasa Bali, karena ada banyak raja di Bali. Situasi ini berlangsung hingga kedatangan
Belanda pada abad ke-19.

Intervensi asing
Raja Buleleng bunuh diri dengan 400 pengikut, pada tahun 1849 puputan melawan Belanda.

Meskipun kontak Eropa telah dilakukan sejak 1512 dan kemudian pada 1585 oleh
armada Portugis, tidak ada kekuatan Eropa yang nyata dirasakan di Bali karena kerajaan Bali melanjutkan
cara hidup mereka terpelihara sejak zaman Hindu Majapahit. Pada 1597, penjelajah Belanda Cornelis de
Houtman tiba di Bali dan bertemu Dalem Gelgel. Ekspedisi Belanda kedua muncul pada 1601,
yaitu Jacob van Heemskerck. Pada kesempatan ini, Dalem Gelgel mengirim surat kepada Pangeran
Maurits, terjemahan yang dikirim oleh Cornells van Eemskerck. Surat itu memberikan izin kepada
Belanda untuk berdagang di Bali serta menyatakan permintaan Bali untuk berdagang secara bebas dengan
Belanda. Surat persahabatan dan perjanjian dagang diplomatik ini diterjemahkan secara salah sebagai
pengakuan orang Bali atas kekuasaan Belanda dan selanjutnya digunakan oleh Belanda untuk
mengajukan klaim mereka ke pulau itu. Meskipun VOC — yang berpusat di Batavia (sekarang Jakarta)
— sangat aktif di Kepulauan Maluku, Jawa, dan Sumatra, VOC tidak tertarik pada Bali, karena VOC
lebih tertarik pada perdagangan rempah-rempah, sebuah produk langka di Bali yang terutama kerajaan
pertanian padi. Pembukaan pos perdagangan dicoba pada tahun 1620 tetapi gagal karena permusuhan
lokal. VOC meninggalkan perdagangan Bali ke pedagang swasta, terutama saudagar Cina, Arab, Bugis
dan kadang-kadang Belanda, yang terutama berurusan dengan perdagangan opium dan budak.

Dewa Agung dari Klungkung pada tahun 1908.


Namun, ketidakpedulian Belanda terhadap Bali berubah total pada abad ke-19, ketika kontrol
kolonial Belanda meluas ke seluruh kepulauan Indonesia dan mereka mulai mengidam-idamkan pulau itu.
Belanda menggunakan dalih untuk memberantas penyelundupan opium, perdagangan senjata,
tradisi tawan karang Bali (penjarahan kapal karam), dan perbudakan untuk memaksakan kontrol mereka
pada kerajaan Bali. Tentara Hindia Belanda menginvasi Bali utara pada tahun 1846, 1848, dan akhirnya
pada tahun 1849 Belanda mampu mengendalikan kerajaan Bali utara, Buleleng dan Jembrana.[26]
Pada tahun 1894, Belanda menggunakan pemberontakan Sasak melawan penguasa Bali di
Lombok Barat, sebagai alasan untuk mengganggu dan menaklukkan Lombok. Belanda mendukung
pemberontakan Sasak, dan melancarkan ekspedisi militer terhadap Puri Bali di Mataram, Lombok. Pada
akhir November 1894, Belanda telah memusnahkan posisi orang Bali, dengan ribuan orang tewas, dan
orang Bali menyerah atau melakukan ritual bunuh diri puputan. Lombok dan Karangasem menjadi bagian
dari Hindia Belanda.[27] Segera sesudahnya kerajaan Bangli dan Gianyar juga menerima kekuasaan
Belanda, tetapi Bali selatan terus menolak.
Pada tahun 1906 Belanda melancarkan ekspedisi militer melawan kerajaan Bali
selatan, Badung dan Tabanan, dan melemahkan kerajaan Klungkung, lagi-lagi dengan dalih tradisi tawan
karang Bali (penjarahan bangkai kapal). Akhirnya pada tahun 1908, Belanda meluncurkan
invasi terhadap kerajaan Klungkung, dengan dalih mengamankan monopoli candu mereka. Tindakan ini
merampungkan penaklukan Belanda atas Bali, dan pada saat itu telah menjadikan Bali
sebagai protektorat Belanda.[28] Meskipun beberapa anggota keluarga kerajaan Bali masih bertahan,
Belanda telah sepenuhnya membongkar institusi kerajaan Bali, menghancurkan kekuasaan dan otoritas
raja-raja Bali dan dengan demikian mengakhiri berabad-abad sistem pemerintahan kerajaan Bali. Selama
periode Hindia Belanda, ibu kota kolonial Bali dan Kepulauan Sunda Kecil berpusat di Singaraja di
pantai utara.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kerajaan Bali terletak di sebuah pulau yang tidak jauh dari daerah Jawa Timur, tepatnya. di
sebelah timur Pulau Jawa, maka dalam perkembangan sejarahnya, Bali mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan Pulau Jawa. Ketika kerajaan Majapahit runtuh, banyak dari rakyat Majapahit yang
melarikan diri kemudian menentap di Bali. Sehingga sampai saat ini masih ada kepercayaan bahwa
sebagian dari masyarakat Bali adalah pewaris tradisi Majapahit.

Kerajaan Bali adalah sebuah kerajaan yang terletak di sebuah pulau berukuran kecil yang tak jauh
dari Pulau Jawa dan berada di sebelah timur. Kerajaan ini berada di sebuah pulau kecil yang dahulu masih
dinamakan dengan Pulau Jawa sehingga bisa dikatakan pulau ini masih dianggap sebagai bagian dari
Pulau Jawa.

Kerajaan ini pada umumnya menganut kepercayaan berupa agama Hindu walau pada
perkembangannya nanti ternyata tidak hanya agama Hindu yang dominan, tapi juga kepercayaan-
kepercayaan seperti animisme dan dinamisme. Ini bisa terjadi karena kentalnya budaya nenek moyang
pada saat itu walau kerajaan ini sudah berdiri
DAFTAR RUJUKAN

Universitas STEKOM. Kerajaan Bali, diakses 16 Oktober 2023


https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Kerajaan_Bali
CNN Indonesia. Kerajaan Bali: Sejarah, Raja terkenal, dan Jejak peninggalan, diakses 16
Oktober 2023 https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20210603102554-574-649801/kerajaan
Detikcom. Sejarah Singkat Kerajaan Bali dan Sejumlah Jejak Penngalannya, diakses 16
Oktber 2023 https://www.detik.com/bali/budaya/d-6177088/sejarah singkat kerajaan bali dan sejumlah
jejak peninggalannya
Kompas.com. Kerajaan Bali: Berdiri, Raja-raja, Kehidupan social, dan Peningalan, diakses
16 Oktober 2023 https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/20/161749079/kerajaan ball berdiri raja
raja kehidupan sosial dan peninggalan

Anda mungkin juga menyukai