Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH KEBUDAYAAN INDIA DI ASIA TENGGARA

Istilah kebudayan India disini meliputi Hinduisme dan Budhisme. Para sarjana
Barat biasa memakai istilah Hinduization yang lazim diberikan untuk menamakan
daerah-daerah di Asia Tenggara yang telah mendapat pengaruh kebudayaan India. G
Coedes. seorang sarjana Perancis, menamakan negara-negara di Asia Tenggara vang
menerima pengaruh kebudayaan India dengan istilah Les etats hinduises (Coedes,
1964). Pada kenyataannya bukan Hinduisme saja yung memainkan peranan,
melainkan juga Budhisme telah memainkan peranan yang tidak dapat diabaikan di
dalam proses mempengaruhi kehidupan kebudayaan di negara-negara seluruh daerah
Asia Tenggara. Bahkan ada beberapa negara di Asia Tenggara ini dimana Budhisme
menjadi agama yang dominan, misalnya di Burma, Thailand dan Kamboja. Di
Indonesia, Hinduisme dan Budhisme mempunyai peranan yang sama. Dalam sejarah
perkembangan Hinduisme dan Budhisme di daerah Asia Tenggara, memang sukar
untuk menarik garis pemisah yang tegas antara keduanya itu, terlebih lagi jika
berhadapan dengan Buddha Tantrayana serta Civa-Buddha yang pernah berkembang
di Jawa sekitar abad ke 13. pengertian istilah Hinduization dalam ilmu pengetahuan
sejarah, adalah lazim dengan pengertian semua daerah di Asia Tenggara yang telah
menerima pengaruh kebudayaan yang datang dari tanah India. G.Coedes memakai
istilah Hinduises, dengan pengertian yang sama. Susan Brown Couing yang
menerjemahkan buku G.Coedes, Lets etats Hinduises d’Indonesia merubahnya
dengan istilah Indianized (Coedes, 1968). dalam bahasa Indonesia, istilah itu lebih
tepat disebut sebagai kebudayaan India, bukan kebudayaan Hindu.
Hubungan antara tanah India dengan daerah-daerah di Asia Tenggara, dapat
ditinjau kembali jauh ke belakang sejak jaman Prasejarah. Pedagang-pedagang dari
kedua belah pihak tentunya sudah saling mengunjungi pelabuhan-pelabuhan
perdagangan satu sama lain, jauh sebelum adanya tanda-tanda pengaruh kebudayaan
India di Asia Tenggara. Pada zaman Neolitikum orang-orang Austronesia sudah
mengenal bagaimana cara mengarungi lautan. Dengan demikian, banyak
kemungkinan bahwa koloni-koloni perdagangan orang-orang Asia Tenggara terdapat
juga di pantai-pantai Bengal dan Koromandel di India.
Sebagai akibat hubungan timbal balik perdagangan, kemudian terjadilah
perubahan besar dalam kehidupan kultural di Asia Tenggara, yaitu dengan timbulnya
kerajaan yang mulai membiasakan adat dan istiadat India serta menggunakan bahasa
Sansekerta sebagai bahasa mereka. Kerajaan-kerajaan dengan kebiasaan baru tersebut
muncul di tempat-tempat para pelaut dan pedagang India biasa berkunjung dan
berinteraksi.
Perubahan-perubahan masyarakat dari tempat berkumpulnya para pedagang yang
kemudian tumbuh menjadi suatu kerajaan atau negara, terutama adalah disebabkan
datangnya para pendeta dan pujangga yang mengikuti perjalanan dagang tersebut
(Hall, 1960). suatu kemungkinan yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa orang-
orang di Asia Tenggara sendiri telah merantau dan berdagang mengunjungi India,
juga memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya dalam proses mempercepat
terjadinya perubahan tersebut.

Bukti-bukti Tertua yang Menunjukkan Sifat-sifat India


Mengenai bagaimana proses akulturasi antara kebudayaan India dan Asia
Tenggara itu terjadi, tidak dapat ditunjukkan dengan cara dan waktu yang tepat.
Berita Cina dapat sedikit memberikan kelengkapan untuk menjelaskan persoalan ini.
Berita Cina ini berupa berita tidak langsung, mengenai adanya pengaruh kebudayaan
India di Asia Tenggara. Berita itu antara lain mengatakan bahwa pada abad-abad
pertama M di Asia Tenggara telah muncul sebuah kerajaan bernama Funan. Kerajaan
ini merupakan cikal bakal kerajaan Kamboja di kemudian hari. Kerajaan Tiongkok
baru mengadakan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Funan pada pertengahan
abad ke III, dengan mengirimkan utusan bernama K’ang Tai dan Tcou-ying.
Selanjutnya berita Cina itu mengatakan bahwa Kerajaan Funan didirikan oleh
seseorang bernama Kaundinya, yang disebut dalam bahasa Cina Houen’ien. Orang-
orang ini dikatakan datang dari suatu tempat yang mungkin sekali adalah India,
mungkin semenanjung Melayu, atau mungkin juga dari pulau-pulau sebelah Selatan.
Berita Cina ini juga mengatakan bahwa di Oc Eo, kota pelabuhan dari Kerajaan
Funan, telah diketemukan sebuah medali emas dari Kaisar Romawi yang bernama
Antonius Pius. Medali ini berasal dari 152 M dan ditemukan bersamaan dengan
sebuah materai berbahasa Sansekerta dari tahun yang sama.
Di Funan sendiri telah ditemukan empat buah inkripsi berbahasa Sansekerta.
Inkripsi ini merupakan inkripsi tertua yang pernah ditemukan di Funan. Salah satu di
antaranya diperkirakan berasal dari jaman ketika Funan pertamakali berhubungan
dengan Cina, yakni sekitar abad ke III.
Menurut catatan sejarah Dinasti Ling di Tiongkok yang memerintah dalam tahun
515M, disebutkan bahwa sekitar awal abad ke II M, di bagian utara dari semenanjung
Melayu juga terdapat sebuah kerajaan yang bercorak India. Kerajaan itu bernama
Kerajaan Langga-siu. Nama ini dapat diidentifikasi dengan Langgasuka. Tradisi
Melayu sendiri yang didasarkan pada kitab Hikayat Marong Mahawangsa,
mengatakan bahwa pada zaman dahulu kala di daerah dekat Kedah terdapat sebuah
kerajaan bernama Langgasuka yang dipimpin oleh raja bernama Mahawangsa.
Selanjutnya berita Cina itu mengatakan bahwa di sebelah utara Langga-siu, di sekitar
teluk Siam, terdapat sebuah kerajaan yang oleh orang Tionghoa disebut P’an p’an.
Kerajaan P’an p’an ini mengirimkan utusannya ke Tiongkok pada tahun 450M.
dikatakan pula bahwa di negeri P’an p’an ini banyak terdapat orang-orang Brahmana
dari India.
Di samping berita-berita Cina, peninggalan-peninggalan arkeologi yang
ditemukan di berbagai daerah Asia Tenggara juga memberikan petunjuk tentang
adanya hubungan dengan kebudayaan India. Di P’ra Pathom dan P’ong Tuk di
lembah sungai Menam telah ditemukan bekas-bekas bangunan serta patung-patung
Buddha yang bergaya seni arca Gupta dan arca-arca kecil dari perunggu yang
bergaya seni Amarawati, yang diduga berkembang di India sekitar abad ke II dan IV
M.
Di desa Sempaga yang terletak di Pantai Barat Sulawesi Tengah, juga telah
ditemukan sebuah arca perunggu. Arca ini dipelajari oleh F.D.K Bosch, dan menurut
pendapatnya arca Buddha Sempaga ini memperlihatkan gaya seni Arca dari pusat
kesenian Amarawati di India Selatan, yang didalam sejarah kesenian India, usianya
dapat ditentukan, yaitu dari abad ke II dan III M.
Bosch menduga bahwa pertemuan antara kebudayaan India dan Indonesia terjadi
sekitar abad ke III atau sesudahnya. Oleh karena itu arca Buddha tersebut ditemukan
dalam lapisan tanah yang mengandung benda-benda bersejarah dari jaman
Neolitikum, maka Bosch menduga bahwa ketika kebudayaan India masuk ke
Indonesia, saat itu Indonesia masih berada dalam tingkat kebudayaan Neolitikum.
Demikian pula arca-arca Buddha yang ditemukan di bukit Siguntang, Sumatera
Selatan dan arca Buddha di daerah Jember, Jawa Timur, memperlihatkan gaya seni
yang sama dengan arca Buddha Sempaga.
Sebuah inkripsi ditemukan di daerah Arkan, Burma memperlihatkan adanya
sebuah dinasti yang bersifat India, yaitu dinasti Candra. Dinasti ini telah memerintah
di Arakan pada pertengahan abad ke IV M. di dalam cerita kronik Burma, kota Taton
(tempat asal orang-orang Mon) dihubung-hubungkan dengan legenda India. Dalam
cerita kronik dikatakan bahwa abad ke III SM, Raja Asoka dari India telah
mengirimkan utusan-utusan agama Buddha yang bernama Sona dan Uttra ke tanah
Suwarnabhumi. Dari utusan itulah asal mulanya agama Buddha masuk ke Burma.
Cerita rakyat Burma mengatakan bahwa agama Buddha di Burma awalnya
dikembangkan oleh dua bersaudara itu yang telah menerima delapan helai rambut
Sang Buddha Gautama ketika ia mengunjungi India. Rambut itu kemudian dibawa ke
Burma melalui laut untuk kemudian disimpan dalam Kuil Shwe Dagon sebagai benda
suci. Cerita ini mengingatkan bahwa pengaruh kebudayaan India masuk ke Burma
melalui jalan laut.
Tanda-tanda pengaruh India di Indonesia yang lebih positif dibandingkan dengan
penemuan arca-arca seperti Buddha Sempaga, Jember, dan Bukit Siguntung, ialah
inkripsi-inkripsi berbahasa Sansekerta dan berhuruf Pallawa, yang ditemukan di
Kutai (Kalimantan Timur) dan inkripsi-, di Ciaruteun, Bogor, Jawa Barat. Inkripsi-
inkripsi ini merupakan inkripsi yang ditemukan di Indonesia. Dari inkripsi Kutai
diketahui adanya seorang Raja yang bernama Mulawarman, sedangkan di Ciaruteun
ditemukan nama Raja, yaitu Purnawarman. Baik prasasti Kutai maupun Ciaruteun
menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa, yang diduga berasal dari sekitar
abad ke IV dan V M. Di samping bahasa dan huruf, nama Mulawarman maupun
Purnawarman mengingatkan akan adanya pengaruh India yang pasti.
Apabila arca-arca Sempaga, Jember, dan Bukit Siguntang menunjukkan adanya
pengaruh Buddhisme, maka prasasti di Kutai dan Ciaruteun menunjukkan adanya
pengaruh Hinduisme.
Berita-berita yang berasal dari catatan orang-orang Eropa memberikan
keterangan mengenai kurun waktu meluasnya pengaruh kebudayaan India di Asia
Tenggara. Berita tertua berupa laporan perdagangan dan pelayaran antara Mesir,
Yunani dengan negeri-negeri di Timur Jauh, laporan ini dikenal dengan nama
Periplous te Erythras Thalasses. Laporan ini ditulis pada sekitar tahun 70 SM sampai
tahun 1 SM.dalam laporan itu diceritakan bahwa kapal Yunani telah singgah di
pelabuhan-pelabuhan besar di sebelah barat India, antara lain pelabuhan Brouch,
Cranganor, dan Porakat. Setelah menyebutkan tiga pelabuhan itu, penulis laporan itu
menyebutkan adanya pelayaran yang dilakukan oleh penduduk setempat menuju ke
timur, yaitu Koverpatmam, Pondichery, dan Sopatna.
Keterangan dari Periplous mengenai hubungan perdagangan antara Asia Barat
dengan India cukup dipercaya. Tetapi keterangannya mengenai daerah yang lebih ke
timur lagi amat samar-samar, terutama keterangannya mengenai geografi. Hal ini
dapat dipahami karena penulis Periplous tidak mengunjungi sendiri daerah Timur ini,
melainkan hanya mengumpulkan keterangan yang diperoleh dari para pedagang dan
pelaut yang ditemui di pelabuhan-pelabuhan India, yang pernah berlayar ke daerah
tersebut. Dalam Periplous terdapat keterangan yang sangat menarik tentang
hubungan perdagangan antara orang-orang India dengan suatu tempat yang disebut
Chyse, yang artinya emas. Nama ini mengingatkan dengan Swarnabhumi dan
Swarnadwipa. Menurut P. Wheatly, meskipun keterangan Periplous tentang keadaan
geografi di sebelah timur India tidak jelas, namun keterangannya mengenai cara-cara
berdagang di sebelah Timur India ini cukup bernilai.
Ckaudius Ptolomeus, seorang ahli geografi bangsa Yunani menulis sebuah buku
besar tentang geografi berjudul Geographike Hypheses. Ia menulis keadaan geografi
seluruh dunia yang ia ketahui pada waktu itu. Dalam buku milik Ptolomeus ini sekali
lagi dijumpai nama-nama tempat yang berhubungan dengan emas dan perak, seperti
Chysechora untuk menyebut negeri emas. Juga nama-nama tempat seperti Borousai
yang dikatakan penduduknya merupakan pemakan manusia. Sabadebai yang juga
penduduknya kenibal, kemudian kota subur penghasil emas yang ibukota nya berada
di ujung barat, sebagai kota dagang yang disebut Argryre, atau kota perak.
Selanjutnya “Labadui” adalah ucapan Yunani dari kata Prakrit Yavadivu, yang
berarti pulau Jawa atau pulai Jelai. Mengenai Yavadwipa, apakah yang dimaksud
adalah Jawa atau Sumatera masih belum jelas. Meskipun identifikasi tempat-tempat
yang disebutkan dalam buku Ptolomeus masih perlu diteliti lebih dalam lagi, namun
jelas bahwa keterangan nama-nama tempat yang disebutkan menggunakan nama-
nama India. Apabila buku Ptolomeus ini ditulis pada abad ke II M, maka hal ini
memperkuat pendapat bahwa pada abad ke II M pengaruh India sudah mukai tersebar
di daerah Asia Tenggara,
Dapat dikatakan bahwa daerah Asia Tenggara sudah lama dikenal oleh penduduk
disekitar Teluk Benggala. Pelayaran lokal antara beberapa tempat di tepi Teluk
Benggala mungkin sudah ada sejak jaman Prasejarah. Beberapa sarjana telah
mempelajari adanya hubungan kebudayaan antara Asia Tenggara dengan kebudayaan
India sebelum kedatangan bangsa Arya. Namun hasil yang memuaskan sampai saat
ini masih belum dapat diperoleh.

Meluasnya Kebudayaan India


Sejak jaman prasejarah, di daerah Asia Tenggara telah terdapat lalu lintas
perdagangan. Diduga bahwa perhubungan perdagangan antara Asia Tenggara dengan
India bertumpu pada pola-pola perdagangan regional yang sudah lama berkembang.
Hubungan ini pada hakekatnya merupakan salah satu benang merah yang
memesatkan wilayah Asia Tenggara. Peninggalan-peninggalan arkeologis dan
epigrafis membuktikan sekitar abad ke V M, baik di daratan Asia Tenggara, di
Semenanjung Melayu maupun kepulauan Indonesia bagian Barat, telah terdapat
pusat-pusat kekuasaan politik yang mengandung sifat-sifat India yang sama. Keadaan
semacam ini hanya mungkin terjadi apabila penyebaran pengaruh itu cukup intensif
dan merata di wilayah tersebut.
Tersebar luasnya pengaruh kebudayaan India di Asia Tenggara dengan India
hakekatnya merupakan bagian dari perdagangan internasional India yang meluas
hingga Asia Barat. Menurut J.C Van Leur barang-barang dagangan Asia Tenggara
bernilai tinggi, seperti perhiasan, logam mulia, barang pecah belah, berbagai jenis
tenunan, dan juga bahan-bahan baku untuk berbagai kerajinan.
Selanjutnya Van Leur juga berpendapat bahwa meluasnya kebudayaan India
Asia Tenggara bukan disebabkan oleh para pedagang India, tetapi terutama
dikembangkan oleh Brahmana India yang diminta datang oleh Raja-raja di Asia
Tenggara untuk meresmikan kedudukannya sebagai raja menurut upacara adat agama
Hindu. Kemudian Van Leur menyangkal pendapat N.J Krom yang menganggap
bahwa koloni-koloni pedaganglah yang menyebarluaskan pengaruh kebudayaan India
di Asia Tenggara. Ia berpendapat bahwa koloni-koloni pedagang India itu tidak
pernah ada di Asia Tenggara seperti yang dilukiskan oleh N.J Krom. Lagipula para
pedagang kurang terpelajar dalam ilmu agama. Dengan demikian, sedikit
kemungkinan untuk dapat ditiru secara baik oleh orang-orang setempat.
Pendapat J.C Van Leur ini didukung oleh Nilakanta Sastri yang menganggap
bahwa kaum Brahmana memegang peranan penting dalam perluasan kebudayaan
India di Asia Tenggara. Hal ini dibuktikan dengan: 1) kepercayaan-kepercayaang
Brahmana dalam bentuk Siwa dan Wisnu; 2) kitab-kitab kepercayaan Brahmana
seperti Purana dan Castra; 3) kesusasteraan Brahmana, seperti Mahabharata dan
Ramayana. Atas dasar bukti-bukti tersebut nilakanta Sastri menarik kesimpulan
bahwa kaum Brahmana memegang peranan penting dalam perluasan kebudayaan
India di Asia Tenggara. Sebaliknya, peranan kaum pedagang dapat dikatakan tidak
ada, kalaupun ada itu sangatlah kecil.
G.Coedes , seorang sarjana Perancis mengemukakan pandangannya bahwa
perkembangan kebudayaan India di Asia Tenggara tidak hanya dilakukan oleh orang-
orang India saja, melainkan juga orang-orang setempat di Asia Tenggara mempunyai
peranan penting. Hal ini antara lain disebabkan karena hubungan perdagangan di
Asia Tenggara yang semakin ramai, sehingga banyak pedagang Asia Tenggara
berlayar merantau ke berbagai pelabuhan besar di India. Setelah mereka kembali ke
tempat masing-masing di Asia Tenggara, mereka telah memiliki pengetahuan yang
cukup tentang adat istiadat dan kebudayaan India. Orang orang inilah yang ikut serta
meluaskan kebudayaan India di Asia Tenggara. (Coedes, 1964). Pendapat G. Coedes
ini mendapatkan dukungan dari F.D.K. Bosch, yang pada tahun 1952 menulis
karangannnya Local genius en Oud-Javaansche Kunst. Di samping ia tidak
menyangkal peranan yang dilakukam oleh para Brahamana India, dikatakannya pula
bahwa perluasan kebudayaan India ini juga dikembangkan oleh para musafir dan para
pelajar Asia Tenggara sendiri, yang untuk suatu jangka waktu tertentu pernah belajar
di India. Bosch mendasarkan kepada berita I-tsing yang pernah mengunjungi
Crivijaya pada akhir abad ke VII, yang melaporkan baha di Crivijaya terdapat lebih
dari 1000 orang Bhiksu yang terdiri dari orang orang Indonesia. Mereka mempelajari
agama Buddha seperti yang lazim dilakukan oleh bhiksu-bhiksu di India. Di antara
Bhiksu-bhiksu banyak yang telah mengunjungi India untuk belajar di pusat agama
Buddha di Nalanda. (Bosch, 1952).
Berita I-tsing tersebut diperkuat dengan inskripsi yang ditemukan di Nalanda
dari tahun 860. Inskripsi ini dikeluarkan oleh dinasti raja-raja Pala, menyebutkan raja
Balaputradeva dari Suvarnabhumi telah mendirikan sebuah asrama di pusat
pengetahuan agama Buddha di Nalanda, untuk keperluan para pemuda dari negerinya
yang sedang belajar di negeri itu. (Bosch, 1952).
Dari uraian tersebut diatas kiranya jelaslah bagaimana dan siapakah yang
menyebarkan pengaruh kebudayaan India di kawasan Asia Tenggara. Hubungan
antara perdagangan India dan Aisa Tenggara adalah awal dari perkenalan
kebudayaan. Hubugan perdagangan ini terjadi secara timbal balik. Tidak hanya
pedagang pedagang India saja yang mengunjungi Asia Tenggara, tetapi juga
pedagang-pedagang Asia Tenggara mengunjungi India. Satu-satunya jalur lalu lintas
perdagangan laut ini ialah Malaka dan selat Sunda. Namun oleh karena kemudian
sering terjadi perompakanan di Selat Malaka, maka terbukalah jalan memintas
dengan melintasi daratan di tanah genting Kra, pangkal dari Semenanjung Melayu.
Penyelidikan arkeologi telah menemukan bukti-bukti disepanjang tenpat yang diduga
sebagai jalan melintas itum Bahkan penelitian penggalian arkeologis yang baru baru
ini dilakukan oleh Madame Junice Stadgard, seorang arkeologi Inggris, telah
menemukan kemungkinan adanya tanah genting Kra yang mungkin dahulu
digunakan untuk lalu lintas pelayaran.
Penemuan-penemuan arkeologi di daerah itu sapar menerangkan bahwa
kepentingan-kepentingannya tidak ahanya pasa saat-saat permulaan daru penetrasi
kebudayaan India saja, tetapi juga pasa waktu-waktu kemudian, ketika kerajaan
Crivijaya mengadakan pengawasan yang keras di daerah itu.
Jalan yang rupa-rupanya disukai di daerah tanah genting Kra, ialah dari Takuapa
di sebelah Barat menuju ke Ch'aiya di sebelah Timur, atau dari Kedah di sebelah
Barat menuju ke Singora di sebelah Timur. Di sebelah Utaranya mungkin ada lagi
sebuah jalur perjalanan dari Tavoy menuju sungai Kanburi, kemudian terus menuju
lembah Menam. Dua buah kota lama, yaitu Pra-pathon dan Pong-tuk, yang
mempunyai peninggalan-peninggalan purbakala yang bersifat India, terletak pada
jalur perjalanan ini. Lebih ke utara lagi ada sebuah jalur perjalanan yang menuju ke
lembah sungai Menam, dengan melalui Moulmein dan terusan Raheng. kedua jalur
perjalanan yang terakhir tersebut diatas pernah dipergunakan oleh orang-orang
Burma dalam penyerbuan ke Siam pasa abad ke 16 dan 18. Juga tentara Jepang
dalam perang dunia II pernah menggunakan jalur pwrjalanan itu untuk menduduki
Burma.
Disamping itu ada pula kemungkinan jalur perjalanan lain dengan melalui bagian
Utara Burma. Dari India dengan melalui daerah Assam, Burma hulu, Yunan terus
menuju Tiongkok.
Berita Cina menyebutkan bahwa lajur perjalanan ini sudah mulai dipergunakan
sejak awal tahun 128 Sebelum M. Jalur perjalanan unu menjadi semakin ramai,
ketika kekuasaan Tiongkok didaerah Yung-ch'ang dalam tahun 699 M dapar
menguasai daerah di seberang sungai Mekong bagian hulu. Di daerah ini Tiongkok
menempatkan markas besar tentaranya pad jarak kira kira 60mil dari perbatasan
Burma sekarang, disebelah sungai Salween. Dalam tahun 97 M, berita Cina
menyebutkan asanya urusan yang datang dari negeri Romawi ke negeri Yung-ch'ang
sengan memalui jalur perjalanan ini pula. Demikian pula pendera I-tsing
menceritakan bahwa dalam abad ke III pernah ada 20 orang pendeta Tiongkok
menuju ke kerajaan Gupta di India dengan melalui perjalanan ini.
Dalam abad ke IV kerjaan Tiongkok mulai mengendorkan kekuasaannya di
daerah perbatasan Burma ini, untuk kemudian menghapuskan sama sekali kekuasaan
di daerah Yung-ch'ang dalam tahun 342 M. Keadaan semaxam inu berlangsung
sampai pada jan kekuasaan Ko-lofeng (749-779M). Kolofeng yang berkedudukan di
Nan-chao telah membuka kembali jalur perdagangan ini. Tindakan Ko-lofeng ini
membawa akibat yang tidak kecil terhadap perkembangan daerah itu. Antara lain
menyebabkan perkembangan ekonomi daerah Burma Utara meningkat san yang
menyebabkan pula adanya hubungan antara orang-orang Pyu di Burma dengan
dinasti T-ang di Tiongkok. maka jalur lalu lintas antara India dan Tiongkok yang
sekian lamanya mati, kini hidup dengan ramai sekali. Melalui jalan unu lah pengaruh
India telah sampai pula ke kerajaan Thai di Nan-chao.
Masih dapat kita sebutkan lagi sebuah jalur perjalanan darat yang lain yang
pernah dipergunakan oleh musafir dulu, yaitu jalan sarat dari sungai Menam menuju
sungai Mekong. Jalur ini melalui daratan tinggi K-orat dengan melalui daerah Si T'ep
menuju ke daerah Busak di Kamboja. Kota Angkor, yang mempunyai peninggalan-
peninggalan arkeologi yang mengagumkan, yang tidak hanya mempunyai sifat-sifat
pengaruh India, tetapi juga memiliki sifat-sifat pengaruh dari daerah Asia Tenggara
lainnya, terletak pasa jalur perjalanan ini.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa masuknya pengaruh kebudayaan
India di Asia Tenggara, diawali dengan perhubungan perdagangan yang timba lbalik.
Namun proses yang mengakibatkan mendalamnya kebudayaan India terutama
diperankan oleh orang-orang Asia Tenggara sendiri, yang secara aktif mau
mendalami adat kebiasaan dan agama itu di India, seperti yang telah dibuktikan
dengan ditemukannya bekas asrama bagi orang-orang Indonesia yang belajar di
Nalanda.

Anda mungkin juga menyukai