A. Kutai
Perkembangan agama Hindu di Indonesia, diketahui pada zaman kerajaan Kutai.
Kutai adalah tergolong kerajaan Hindu tertua di Indonesia abad ke 4 Masehi. Bukti
sejarahnya dengan ditemukan 7 buah prasasti dalam bentuk yupa yang memakai huruf
Pallawa berbahasa Sansekerta dalam bentuk syair. Ditulisnya prasasti-prasasti yang
menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa menunjukkan bahwa kerajaan Kutai
telah mendapat pengaruh agama Hindu dari India, di mana bahasa serta tulisan banyak
dikuasai oleh kaum Brahmana yang menduduki status tertinggi dalam masyarakat
Salah satu prasasti yang berbentuk yupa menyebutkan bahwa raja yang memerintah
adalah Raja Mulawarman yang merupakan raja yang besar, yang berbudi baik, kuat, anak
Aswawarman, cucu Kundungga
Nama Kudungga kemungkinan adalah nama asli yang belum mendapat pengaruh dari
India, sedangkan kata yang berakhiran –warman merupakan nama yang biasa digunakan di
India. Ini menunjukkan bahwa pada saat Kudungga memiliki anak yang kemudian diberi
nama Aswawarman, kerajaan Kutai telah mendapat pengaruh Hindu. Prasasti lainnya semua
berkaitan dengan yajna yang dilakukan oleh Raja Mulawarman
Keberadaan paradaban di wilayah mulai diketahui setelah ditemukanya Arca-arca
Buddha langgam Amarawati di kota Bangun (Kutai) ditemukan arca Buddha dengan
langgam seni gndara. Disamping itu juga ditemukan arca seni bercorak kehinduan
diantaranya Mukhalinga dan ganesha. Temuan bukti tersebut adalah bukti adanya hubungan
anatara Kalimantan dengan India kuno
B. Taruma negara
Perkembangan selanjutnya diketahui juga Hindu berkembangan pada zaman kerajaan
Tarumanegara. Kerajaan Tarumanegara berdiri di Jawa Barat sekitar abad ke 4-5 Masehi.
Raja yang berkuasa adalah Purnawarman. Bukti tentang keberadaan kerajaan ini terlihat dari
ditemukan 7 buah prasasti antara lain: Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Pasir Awi, Muara
Ciaten, Tugu, dan Lebak. Prasasti ini menggunakan Huruf Pallawa dengan Bahasa
Sansekerta
Ketujuh prasasti tersebut memberi keterangan tentang keberadaan kerajaan
Purnawarman di Jawa Barat. Prasasti Ciaruteun, prasasti ini menyebutkan bahwa adanya
bekas tapak kaki seperti kaki dewa Wisnu yaitu kaki yang mulia Purnawarman, raja di negeri
Taruma yang gagah berani.
Prasasti Tugu, di Kebon Kopi disebutkan adanya gambar tapak kaki gajah yang
dikatakan sebagai tapak kaki gajah Dewa Indra (Airawata); Prasasti Tugu, prasasti ini
merupakan prasasti terpanjang dan paling lengkap diantara prasasti Raja Purnawarman.
Prasasati ini menyebutkan Raja Purnawarman yang berhasil menggali sebuah sungai
bernama Gomati yang mengalir di tengah-tengah istana. Raja Purnawarman. Penggalian
dilakukan dalam waktu 21 hari dengan panjang 12 km. Pekerjaan ditutup dengan pemberian
hadiah 1000 ekor lembu kepada para Brahmana. Dalam Prasasti Tugu, disebutkan bahwa
Arca Rajarsi menggambarkan rajarsi yangmemperlihatkan sifat-sifat Wisnu-Surya, dan
Purnawarman dianggap penganutajaran tersebut
C. Kerajaan Holing/Kalingga Jawa Tengah
Sumber berita Tionghoa dari zaman pemerintahan raja T’ang (618-906) disebutkan nama
kerajaan Kalingga/Holing berlokasi di Jawa Tengah. Holing/Kalingga diperintah oleh
seorang raja putri bernama Ratu Sima (674-675 M) dengan kejujurannya, setiap hukum dan
peraturan-peraturannya mutlak dilaksanakan
Sedangkan sumber dalam negeri menyebutkan proses kehidupan di Jawa Tengah sekitar
pertengahan abad ketujuh didapatkan di dalam sumber prasasti Tuk Mas (650 Masehi)
dengan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekert
D. Kerajaan Sriwijaya
Kata Sriwijaya dijumpai dalam prasasti Kota Kapur (pulau Bangka). Sriwijaya yang
dimaksud di sini adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan dengan pusat kerajaannya
adalah Palembang
Prasasti Talangtuo (dekat Palembang) berangka tahun 684 Masehi ditulis dengan
mempergunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Isinya tentang pembuatan taman
Sriksetra atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk kemakmuran semua makhluk.
Semua harapan dan doa yang tercantum dalam prasasti itu jelas sekali bersifat agama Buddha
Mahayana
Prasasti Telaga Batu ditemukan dekat Palembang dengan huruf Pallawa dan bahasa
Melayu Kuno. Pada bagian atas prasasti ini dihiasi dengan tujuh kepala ular kobra berbentuk
pipih dengan mahkota berbentuk permata bulat. Lehernya mengembang dengan hiasan
kalung. Di bagianbawah prasasti ini terdapat cerat (pancuran) seperti yoni
E. Kerajaan Mataram
Sebelumnya kerajaan ini disebut kerajaan mataram, terdapat dua keluarga raja atau
dinasti atau wangsa yang berkuasa di Jawa tengah sejak abad ke-8. Kedua wangsa tersebut
memiliki corak kebudayaan yang berbeda. Mereka adalah Wangsa Sanjaya yang bercorak
Hindu dan Wangsa Syailendra yang bercorak Buddha
Penyatuan kedua wangsa ini terjadi pada abad ke-9 dengan adanya perkawinan antara
Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya) dan raja seorang putri keluarga Syailendra bernama
Pramodawardhani yang merupakan anak Samaratungga, raja Syailendra
Prasasti Canggal yang berangka Tahun 732 Masehi dan mempergunakan huruf
Pallawa dan Bahasa Sansekerta. Isinya menyebutkan tentang peringatan didirikannya sebuah
lingga (lambang Siwa) di atas sebuah Bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya.
Prasasti Canggal juga menyebutkan Raja Sanjaya yang memerintah kerajaan
Mataram di Jawa Tengah pertengahan abad ke-8 M adalah memeluk agama Hindu yang
berkonsepsikan Tri Murti.
F. Kerajaan Isana di Jawa Timur
1. Prasasti Pucangan
Prasasti ini dikeluarkan oleh raja Airlangga pada tahun 963 Saka (1041) Masehi.
Bagian prasasti yang berbahasa Sansekerta diawali dengan penghormatan terhadap raja
Airlangga.
Setelah pemerintahan Mpu Sindok, diikuti masa pemerintahan yang kurang jelas
hingga pemerintahan Dharmawangsa hingga Airlangga. Pada masa pemerintahan
Airlangga di Jawa Timur dari tahun 1019-1042 Masehi menggantikan Dharmawangsa,
ketentraman rakyat dapat diwujudkan. Ibu kotanya bernama Kahuripan.
Ketentraman dan kemakmuran masa pemerintahan Airlangga Nampak pula
tumbuhnya seni sastra seperti kitab Arjunawiwaha yang dikarang oleh Mpu Kanwa tahun
1030.
G. Jenggala dan Panjalu
Tahun 1041 atas pertolongan seorang Brahmana, kerajaan Kediri dibagi menjadi dua
bagian yaitu Jenggala (Singasari) dengan ibukotanya Kahuripan dan Panjalu (Kediri) dengan
ibukotanya Daha.
Airlangga wafat dalam tahun 1049 Masehi yang dimakamkan di Tirta, sebuah bangunan
suci dengan kolamnya yang terletak di Lereng Gunung Pananggungan dan terkenal sebagi
Candi Belasan.
H. Kerajaan Kediri
Raja Kameswara sekitar tahun 1115-1130 Masehi. Ada tampil kesusatraan yang digubah
oleh Mpu Darmaja yaitu kitab Smaradhana yang memuji sang raja sebagai titisan Dewa
Kama. Pengganti Kameswara adalah Jayabaya (1130-1160) Masehi. Pengganti Jayabaya,
Sarweswara (1160-170 M) dilanjutkan oleh raja Aryeswara (1170-1180 M), Gandra dari
tahun 1190-1200 Masehi
I. Kerajaan Singasari
Tampuk pemerintahan pertama di kerajaan Singasari adalah di tangan Ken Arok (1222-
1227 M). Ken Arok pada mulanya mengabdi kepada seorang Awuku (semacam bupati) di
Tumapel yang bernama Tunggul Ametung, kemudian dibunuh oleh Ken Arok, lalu jandanya
(Ken Dedes) dinikahinya. Tidak lama setelah Tunggul Ametung meninggal, Ken Dedes
melahirkan anak yang diberi nama Anusapati. Dari perkawinannya dengan Ken Arok, Ken
Dedes melahirkan putra yang bernama Mahisa Wonga Teleng. Sedangkan dari istrinya yang
lain, Ken Umang, Ken Arok mendapat anak laki-laki yang bernama Tohjaya.
J. Kerajaan Majapahit
Raden Wijaya sebagai raja pertama Majapahit adalah keturunan langsung Ken Arok dan
Ken Dedes. Menurut kekawin Negarakertagama, pada masa pemerintahan Raja
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1350 M), juga terjadi pemberontakan di
Sadeng dan Kunti pada 1331. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Gajah Mada. Karena
jasanya ia diangkan sebagai Patih Mangkubumi pada 1331 M.
Menurut kitab pararaton, sesudah peristiwa Sadeng, Gajah Mada mengeluarkan
sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang menyatakan bahwa dia tidak akan amukti palapa
sebelum dia dapat menundukkan seluruh nusantara
Kerajaan Hindu di Bali
Sejarah
Munculnya kerajaan-kerajaan di Bali diawali dengan adanya Kerajaan Bedahulu
(Wangsa Warmadewa). Kerajaan ini muncul kira-kira pertengahan abad ke-9. Rajanya bernama
Sri Mayadanawa dan bertahta di Bedahulu
Shri Kesari Warmadewa adalah pendiri Kerajaan Bedahulu dari Wangsa
Warmadewa yang pernah berkuasa di Pulau Bali, Indonesia dari tahun 882 M sampai dengan
914 M. Dalem Shri Kesari adalah pendiri Dinasti Warmadewa di Bali. Ia menjadi Raja dinasti
Warmadewa pertama di Bali yang memiliki gelar Shri Kesari Warmadewa (yang bermakna Yang
Mulia Pelindung Kerajaan Singha) yang dikenal juga dengan nama Dalem Selonding
Sri Kesari Warmadewa pendiri dinasti warmadewa di bali
Ia datang ke Bali pada akhir abad ke-9 M atau awal abad ke-10. Dia berasal
dari Sriwijaya (Sumatra) dimana sebelumnya pendahulunya dari Sriwijaya telah
menaklukkan Tarumanegara (tahun 686 M) dan Kerajaan Kalingga di pesisir utara Jawa
Tengah/Semarang sekarang. Persaingan dua kerajaan antara Mataram dengan raja yang
berwangsa Sanjaya dan kerajaan Sriwijaya dengan raja berwangsa Syailendra (dinasti
Warmadewa)
Di dalam sebuah kitab kuno yang bernama "Raja Purana", tersebutlah seorang raja di Bali
yang bernama Shri Wira Dalem Kesari dan keberadaannya dapat juga diketahui pada prasati
(piagam) yang ada di Pura Belanjong di Desa Sanur, Denpasar, Bali. Di pura itu terdapat sebuah
batu besar yang kedua belah mukanya terdapat tulisan kuno, sebagian mempergunakan bahasa
Bali kuno dan sebagian lagi mempergunakan bahasa Sansekerta. Tulisan-tulisan itu
menyebutkan nama seorang raja bernama "Kesari Warmadewa", beristana di Singhadwala
Dia mendirikan istana di lingkungan desa Besakih, yang
bernama Singhadwala atau Singhamandawa, Baginda amat tekun beribadat, memuja dewa-dewa
yang berkahyangan di Gunung Agung. Tempat pemujaan dia terdapat di situ bernama
"Pemerajan Selonding".
Konsep Tri Murti
Peristiwa yang bersejarah dalam perkembangan agama Hindu pada trah keturunan Raja
Warmadewa tercatat pada masa pemerintahan Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa, ketika
masa pemerintahan beliau datanglah seorang Brahmana dari Jawa bernama Empu Kuturan
Di Bali beliau menanamkan konsep Tri Murti, Kahyangan Tiga, dan TRI Kahyangan
Jagat sebagai kristalisasi dari semua ajaran sekte-sekte yang berkembang pada masa itu.
Pura Samuan Tiga
Pertimbangan politis Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa dan Ratu Mahendradatta
Gunapriya Dharmapatni atas rekomendasi dari Empu Kuturan akan keresahan adanya sekte-sekte
merupakan cikal dasar diadakannya pengkristalisasian semua ajaran sekte tersebut diatas, karena
asumsinya dengan banyaknya sekte yang berkembang akan menimbulkan perpecahan dalam
kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Akhirnya diadakanlah pesamuan (pertemuan) di Pura
Samuan Tiga, Bedulu, Gianyar untuk menyatukan persepsi diantara sekte-sekte yang dihadiri
pucuk pimpinan masing-masing sekte, menghasilkan sebuah konsensus Tri Murti, Kahyangan
Tiga, dan TRI Kahyangan Jagat.
Raja Sri Tapolung
Raja terakhir yang memerintah dari dinasti (trah) Warmadewa adalah Sri Tapolung.
Beliau bergelar Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten. Beliau termasyur sampai terkenal ke pulau
Jawa, karena sangat sakti tidak ada bandingannya, lagi pula senopati-senopati beliau sangat sakti,
salah satu contohnya adalah Ki Kebo Iwa, beliau terkenal karena kekebalannya terhadap senjata.
Pada tahun 1343 datanglah para Arya Majapahit menyerang pulau Bali. Penyerangan itu
dipimpin oleh patih Gajah Mada dan Arya Dhamar. Setelah pertempuran berlangsung beberapa
lama, Raja Bali Sri Tapolung akhirnya gugur di medan perang. Para senopati beliau ada yang
gugur ada pula yang tunduk menyerah. Pertempuran inilah yang akhirnya meruntuntuhkan trah
Warmadewa di Bali.
Kerajaan Gelgel
Kerajaan ini muncul setelah kerajaan Bedahulu runtuh oleh pasukan Majapahit. Ketika
itu, pulau Bali menjadi sunyi sepi kacau balau, masing-masing para petinggi pemerintahan
mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri, tidak mau menuruti sesamanya
Mulai saat itu pulau Bali dipimpin oleh raja yang merupakan keturunan dari Dang Hyang
Kapakisan. Raja yang diberikan mandat untuk memerintah Bali adalah Sri Aji Kudawandhira
yang bergelar Dalem Ketut Krsna Kapakisan yangmemerintah di daerah Samprangan, dekat
Gianyar.
Perombakan Pemerintah
Perombakan tata pemerintahan juga dilakukan pada jabatan menteri-menteri, para
menteri (Arya) semuanya berasal dari Majapahit dan diberikan tempat kedudukan masing-
masing, yaitu: Arya Kenceng di Tabanan, Arya Belog di Kaba-kaba, Arya Dalancang di
Kapal,AryaBelentong di Pacung, Arya Kanuruhan di Tangkas dan para Arya lainnya yang diberi
daerah teritorial lainnya
Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Smara Kapakisan (keturunan ke II wangsa Krsna
Kapakisan) terjadi pemindahan ibu kota kerajaan yang dahulunya terletak di Samprangan
(Gianyar) pindah ke Gelgel (Klungkung).
Raja-raja Gelgel
Raja-raja yang memerintah Bali dari wangsa Krsna Kapakisan adalah Dalem Ketut Krsna
Kapakisan, Dalem Ketut Smara Kapakisan, Dalem Watu Renggong, Dalem Bekung, Dalem
Sagening, Dalem Anom Pemahyun, dan Dalem Dimade.
Masa keemasan dari keturunan raja-raja Krsna Kapakisan terjadi pada masa
pemerintahan Raja Dalem Watu Renggong. Raja Dalem Watu Renggong memerintah mulai
tahun 1460 M dengan gelar Dalem Watu Renggong Kresna Kepakisan, dalam keadaan negara
yang stabil.
Dalem Watu Renggong dapat mengembangkan kemajuan kerajaan dengan pesat, dalam
bidang pemerintahan, sosial politik, kebudayaan, hingga mencapai zaman keemasannya.
Pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong, datanglah ke Bali seorang Brahmana
Siwa bernama Dang Hyang Nirartha (Ida Pandita Sakti Wawu Rauh)
Konsep Padmasana
Konsep keagamaan yang telah ditanamkan oleh Empu Kuturan pada masa pemerintahan
Raja Udayana, disempurnakan lagi oleh beliau dengan menambahkan satu konsep yaitu
Padmasana
Diceritakan menurut babad beliau secara spiritual masuk ke dalam mulut naga (lambang
Bhuana, merujuk pada pulau Bali) dan melihat t bunga teratai yang mahkotanya tidak berisi inti
(sari). Kemudian beliau menganjurkan pada tiap-tiap kahyangan jagat seyogianya didirikan
pelinggih berupa padmasana sebagai inti ajaran konsep Ketuhanan.