Anda di halaman 1dari 18

TUGAS AGAMA HINDU

Oleh:
Dewa Made Feri Adisusinta
LONDON SCHOOL OF PUBLIC RELATION
Sejarah Agama Hindu di Indonesia

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat
diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi
denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu
itu yang menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan
yadnya oleh Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman
melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut
dengan “Vaprakeswara”.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar,
misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam
kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga
munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai
(Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan
diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi,
Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai
huruf Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja
Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah
berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang
menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara.
Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama
Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya
prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf
Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan
atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar,
diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta
dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654
Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat
tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat
Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti
yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama
Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang
dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa
sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar
yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli
Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu
raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah
Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan
bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja
Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya
munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga
adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-
1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra
Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan
kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman
kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai
sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit,
sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan
masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan
berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping
juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali
diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-
prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini
bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama
Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan
Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada
jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan
Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa.
Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan
sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau
Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun
1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran
agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman
keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa
beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan
tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan
kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha
pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923
di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga
Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di
Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950
di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu.
Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan
Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan
yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d
10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan
bernama Parisada Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada
Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Kitab Suci Weda

Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan
ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda
merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus
melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci
atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.

Weda secara ethimologinya berasal dari kata “Vid” (bahasa sansekerta), yang artinya
mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan
kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan
Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran
suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat
nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan
merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi
Wasa.
Bahasa Weda
Bahasa yang dipergunakan dalam Weda disebut bahasa Sansekerta, Nama sansekerta
dipopulerkan oleh maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sensekerta yang
berjudul Astadhyayi yang sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam
mempelajari Sansekerta.
Sebelum nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan dalam
Weda dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh yang merintis
penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian dilanjutkan oleh Rsi Patanjali
dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali diikuti pula oleh Rsi Wararuci.

Pembagian dan Isi Weda


Weda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan
oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak.
maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti
dan Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku
yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut
tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu
yang berlaku secara institusional ilmiah. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu,
sedangkan kelompok Smerti isinya bersumber dari Weda Sruti, jadi merupakan manual,
yakni buku pedoman yang sisinya tidak bertentangan dengan Sruti. Baik Sruti maupun
Smerti, keduanya adalah sumber ajaran agama Hindu yang tidak boleh diragukan
kebenarannya. Agaknya sloka berikut ini mempertegas pernyataan di atas.
Srutistu wedo wijneyo dharma
sastram tu wai smerth,
te sarrtheswamimamsye tab
hyam dharmohi nirbabhau. (M. Dh.11.1o).

Artinya:
Sesungguhnya Sruti adalah Weda, demikian pula Smrti itu adalah dharma sastra,
keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab
suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu. (Dharma)

Weda khilo dharma mulam


smrti sile ca tad widam,
acarasca iwa sadhunam
atmanastustireqaca. (M. Dh. II.6).

Artinya:
Seluruh Weda merupakan sumber utama dari pada agama Hindu (Dharma), kemudian
barulah Smerti di samping Sila (kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang-orang yang
menghayati Weda). dan kemudian acara yaitu tradisi dari orang-orang suci serta akhirnya
Atmasturi (rasa puas diri sendiri).

Srutir wedah samakhyato


dharmasastram tu wai smrth,
te sarwatheswam imamsye
tabhyam dharmo winir bhrtah. (S.S.37).

Artinya:
Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smerti itu sesungguhnya adalah
dharmasastra; keduanya harus diyakini kebenarannya dan dijadikan jalan serta dituruti agar
sempurnalah dalam dharma itu.
Dari sloka-sloka diatas, maka tegaslah bahwa Sruti dan Smerti merupakan dasar
utama ajaran Hindu yang kebenarannya tidak boleh dibantah. Sruti dan Smerti merupakan
dasar yang harus dipegang teguh, supaya dituruti ajarannya untuk setiap usaha.
Untuk mempermudah sistem pembahasan materi isi Weda, maka dibawah ini akan
diuraikan tiap-tiap bagian dari Weda itu sebagai berikut:

SRUTI
Sruti adalah kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh Tuhan (Hyang Widhi
Wasa) melalui para maha Rsi. Sruti adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima
melalui pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau
himpunan. Oleh karena itu Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda Samhita
(Samhita artinya himpunan). Adapun kitab-kitab Catur Weda tersebut adalah:

Rg. Weda atau Rg Weda Samhita.


Adalah wahyu yang paling pertama diturunkan sehingga merupakan Weda yang
tertua. Rg Weda berisikan nyanyian-nyanyian pujaan, terdiri dari 10.552 mantra dan
seluruhnya terbagi dalam 10 mandala. Mandala II sampai dengan VIII, disamping
menguraikan tentang wahyu juga menyebutkan Sapta Rsi sebagai penerima wahyu. Wahyu
Rg Weda dikumpulkan atau dihimpun oleh Rsi Pulaha.

Sama Weda Samhita.


Adalah Weda yang merupakan kumpulan mantra dan memuat ajaran mengenai lagu-
lagu pujaan. Sama Weda terdiri dari 1.875 mantra. Wahyu Sama Weda dihimpun oleh Rsi
Jaimini.

Yajur Weda Samhita.


Adalah Weda yang terdiri atas mantra-mantra dan sebagian besar berasal dari Rg.
Weda. Yajur Weda memuat ajaran mengenai pokok-pokok yajus. Keseluruhan mantranya
berjumlah 1.975 mantra. Yajur Weda terdiri atas dua aliran, yaitu Yayur Weda Putih dan
Yayur Weda Hitam. Wahyu Yayur Weda dihimpun oleh Rsi Waisampayana.

Atharwa Weda Samhita


Adalah kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran yang bersifat magis. Atharwa
Weda terdiri dari 5.987 mantra, yang juga banyak berasal dari Rg. Weda. Isinya adalah doa-
doa untuk kehidupan sehari-hari seperti mohon kesembuhan dan lain-lain. Wahyu Atharwa
Weda dihimpun oleh Rsi Sumantu.

Sebagaimana nama-nama tempat yang disebutkan dalam Rg. Weda maka dapat
diperkirakan bahwa wahyu Rg Weda dikodifikasikan di daerah Punjab. Sedangkan ketiga
Weda yang lain (Sama, Yayur, dan Atharwa Weda), dikodifikasikan di daerah Doab (daerah
dua sungai yakni lembah sungai Gangga dan Yamuna.
Masing-masing bagian Catur Weda memiliki kitab-kitab Brahmana yang isinya
adalah penjelasan tentang bagaimana mempergunakan mantra dalam rangkain upacara.
Disamping kitab Brahmana, Kitab-kitab Catur Weda juga memiliki Aranyaka dan Upanisad.

Kitab Aranyaka isinya adalah penjelasan-penjelasan terhadap bagian mantra dan


Brahmana. Sedangkan kitab Upanisad mengandung ajaran filsafat, yang berisikan mengenai
bagaimana cara melenyapkan awidya (kebodohan), menguraikan tentang hubungan Atman
dengan Brahman serta mengupas tentang tabir rahasia alam semesta dengan segala isinya.
Kitab-kitab brahmana digolongkan ke dalam Karma Kandha sedangkan kitab-kitab
Upanishad digolonglan ke dalam Jnana Kanda.

SMERTI
Smerti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini
didasarkan atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi. Secara
garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok
Wedangga (Sadangga), dan kelompok Upaweda.

Kelompok Wedangga:
Kelompok ini disebut juga Sadangga. Wedangga terdiri dari enam bidang Weda yaitu:
(1). Siksa (Phonetika)
Isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang cara tepat dalam pengucapan mantra serta
rendah tekanan suara.

(2). Wyakarana (Tata Bahasa)


Merupakan suplemen batang tubuh Weda dan dianggap sangat penting serta
menentukan, karena untuk mengerti dan menghayati Weda Sruti, tidak mungkin tanpa
bantuan pengertian dan bahasa yang benar.

(3). Chanda (Lagu)


Adalah cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu.
Sejak dari sejarah penulisan Weda, peranan Chanda sangat penting. Karena dengan Chanda
itu, semua ayat-ayat itu dapat dipelihara turun temurun seperti nyanyian yang mudah diingat.

(4). Nirukta
Memuat berbagai penafsiran otentik mengenai kata-kata yang terdapat di dalam
Weda.

(5). Jyotisa (Astronomi)


Merupakan pelengkap Weda yang isinya memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang
diperlukan untuk pedoman dalam melakukan yadnya, isinya adalah membahas tata surya,
bulan dan badan angkasa lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh di dalam pelaksanaan
yadnya.

(6). Kalpa
Merupakan kelompok Wedangga (Sadangga) yang terbesar dan penting. Menurut
jenis isinya, Kalpa terbagi atas beberapa bidang, yaitu bidang Srauta, bidang Grhya, bidang
Dharma, dan bidang Sulwa. Srauta memuat berbagai ajaran mengenai tata cara melakukan
yajna, penebusan dosa dan lain-lain, terutama yang berhubungan dengan upacara keagamaan.
Sedangkan kitab Grhyasutra, memuat berbagai ajaran mengenai peraturan pelaksanaan yajna
yang harus dilakukan oleh orang-orang yang berumah tangga. Lebih lanjut, bagian
Dharmasutra adalah membahas berbagai aspek tentang peraturan hidup bermasyarakat dan
bernegara. Dan Sulwasutra, adalah memuat peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat
tempat peribadatan, misalnya Pura, Candi dan bangunan-bangunan suci lainnya yang
berhubungan dengan ilmu arsitektur.

Kelompok Upaweda:
Adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan Wedangga. Kelompok
Upaweda terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
(1). Itihasa
Merupakan jenis epos yang terdiri dari dua macam yaitu Ramayana dan Mahabharata.
Kitan Ramayana ditulis oleh Rsi Walmiki. Seluruh isinya dikelompokkan kedalam tujuh
Kanda dan berbentuk syair. Jumlah syairnya sekitar 24.000 syair. Adapun ketujuh kanda
tersebut adalah Ayodhya Kanda, Bala Kanda, Kiskinda Kanda, Sundara Kanda, Yudha
Kanda dan Utara Kanda. Tiap-tiap Kanda itu merupakan satu kejadian yang menggambarkan
ceritra yang menarik. Di Indonesia cerita Ramayana sangat populer yang digubah ke dalam
bentuk Kekawin dan berbahasa Jawa Kuno. Kekawin ini merupakan kakawin tertua yang
disusun sekitar abad ke-8.

Disamping Ramayana, epos besar lainnya adalah Mahabharata. Kitab ini disusun oleh
maharsi Wyasa. Isinya adalah menceritakan kehidupan keluarga Bharata dan
menggambarkan pecahnya perang saudara diantara bangsa Arya sendiri. Ditinjau dari arti
Itihasa (berasal dari kata “Iti”, “ha” dan “asa” artinya adalah “sesungguhnya kejadian itu
begitulah nyatanya”) maka Mahabharata itu gambaran seja
Om Swastiastu dan Swastika

Om Swastiastu adalah kata yang sering digunakan umat Hindu di Bali sebagai Salam
atau Pembuka kata. Om Swastiastu adalah salam yang kita ucapkan bila bertemu dengan
orang lain, sapaan sekaligus doa untuk lawan bicara agar orang tersebut selalu diberkahi oleh
Tuhan Yang Maha Esa.Salam umat Hindu ini sekarang telah menjadi salam resmi dalam
pertemuan pertemuan resmi. OM adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi. Istilah Om ini
merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Maha Esa. Om adalah
seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Puranalah Tuhan Yang
Mahaesa itu diseru dengan ribuan nama.
Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga fungsi
kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala
ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau
puja dan puji pada Tuhan. Dalam Bhagawan Gita kata Om ini dinyatakan sebagai simbol
untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati
berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan. Kata Swastiastu terdiri dari
kata-kata Sansekerta: SU + ASTI + ASTU, Su artinya baik, Asti artinya adalah, Su + Asti =
Swasti Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti.
Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari
kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu
bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan
beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam
semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng. Kata Swastiastu sangat erat kaitnnya
dengan simbol suci Agama Hindu yaitu SWASTIKA.
Swastika merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos)
dan Buana Alit (Mikrokosmos). Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip
dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan
dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak
dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi. Dengan
mengucapkan panganjali Om Swastiastu itu, sebenarnya kita sudah memohon perlindungan
kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini. Dan dari bentuk
Swastika itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang
kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi.
Jadi marilah kita sebagai umat Hindu membudayakan mengucap Om Swastiastu
dengan benar dan sungguh-sungguh karena Om Swastiastu merupakan mantra yang
mengandung arti sangat mendalam dan mencakup seluruh alam ini. Kurangi menyingkat Om
Swastiatu dengan singkatan “OSA” karena kekuatan mantranya akan hilang. Om Swastiastu
mendoakan seluruh alam semesta berada dalam keadaan baik, mulailah jari dengan mengucap
Om Swastiastu.
Panca Sradha

Agama Hindu atau Hinduisme berasal dari bahasa Sansekerta, menjadi agama yang
begitu dominan di wilayah Asia Selatan, terlebih di negara Nepal dan India. Agama ini
menawarkan adanya kewajiban abadi atau “kekal” yang harus dilakukan oleh semua umat
tanpa memandang sekta, kasta, maupun strata. Kewajiban ini termasuk kesucian,
pengendalian diri, dan kejujuran.
Umat Hindu berpegang teguh pada dasar keyakinan dalam menjalankan agamanya.
Dasar inah yang selanjutnya menjadikan semua umat beragama Hindu percaya dan sangat
meyakini keberadaan Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa. Dasar keyakinan ini terdiri dari
lima aspek yang disebut dengan Panca Sradha. Kelima aspek tersebut antara lain:

Keyakinan terhadap Brahman atau Widhi Tattwa

Ajaran pertama ini berfokus pada keyakinan pada Brahman atau Tuhan. Ada banyak
sebutan nama Tuhan dalam agama Hindu, seperti Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau
Brahman. Ini artinya, setiap umat Hindu meyakini dengan benar bahwa Tuhan itu ada, Maha
Esa, Maha Kuasa, Maha segalanya. Kita sebagai umat Hindu sangat percaya dengan
keyakinan ini, hal ini dapat di buktikan dengan di lakukannya puja Tri Sandhya setiap hari
yakni tiga kali dalam sehari, yaitu pada saat pagi hari, siang hari, dan sore hari.

Keyakinan terhadap Atman atau Atman Tattwa

Kedua adalah Atman Tattwa atau lebih kerap disebut dengan Roh Suci. Umat Hindu
meyakini pula bahwa keberadaan Jiwatman membuat manusia bisa hidup. Atman diyakini
memiliki sifat kekal dan sempurna.

Keyakinan terhadap Karmaphala atau Karmaphala Tattwa

Keyakinan dasar ketiga dalam ajaran agama Hindu adalah keberadaan dari
Karmaphala. Kata Karma sendiri memiliki arti perilaku atau perbuatan, sementara phala
artinya hasil yang didapat. Jadi, jika dijelaskan secara singkat, Karmaphala ini artinya hasil
yang didapat dari perbuatan yang dilakukan.

Sederhananya, umat Hindu sangat percaya dengan adanya hukum sebab akibat dalam
kehidupan sehari-hari. Karmaphala sendiri dibedakan menjadi tiga bagian waktu, yaitu masa
kini atau sekarang, masa nanti atau hari esok, dan masa depan. Hukum karma ini menjadikan
manusia dapat mengontrol dirinya untuk berbuat sesuai dengan aturan dan dharma. Sehingga,
manusia pun tidak berani melanggar ajaran Hindu karena khawatir menerima akibatnya.

Keyakinan terhadap Samsara atau Samsara Tattwa

Ajaran keyakinan keempat dalam Panca Sradha adalah Samsara Tattwa atau percaya
dengan adanya reinkarnasi, penjelmaan kembali atau kelahiran kembali, dalam agama Hindu
ini dikenal dengan istilah Punarbawa yang artinya kelahiran berulang-ulang. Umat Hindu
percaya setiap ruh akan kembali lagi kepada Tuhan dan harus dalam keadaan yang suci.
Adanya konsep punarbawa menjadikan umat Hindu enggan berbuat salah atau melanggar
aturan yang tertuang dalam kitab suci mereka.

Keyakinan terhadap Moksa atau Moksa Tattwa

Keyakinan terakhir adalah meyakini dan percaya dengan Moksha, yaitu bersatunya
Brahman dengan Atman. Bukan tanpa alasan, tujuan tertinggi dalam agama Hindu adalah
bisa mencapai Jagadhita dan Moksa.

Secara sederhana, masyarakat Hindu percaya bahwa adanya Panca Sradha akan
membuat mereka lebih mengetahui mana hal yang baik dan buruk. Apa yang dilakukan saat
ini akan memberikan hasil yang setimpal nantinya, seperti keyakinan Karmaphala. Konsep
ini meyakini persatuan sang atma pada Brahman untuk meraih kehidupan yang kekal abadi.
Untuk mewujudkannya, umat Hindu berlomba-lomba berbuat kebaikan dan mendekat kepada
Sang Hyang Widhi.
Panca Yadnya

Dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, dikenal adanya Panca Yadnya yang
berlaku sejak lahir hingga meninggal. Panca Yadnya terdiri dari dua kata yaitu Panca yang
artinya Lima dan Yadnya yang artinya Persembahan Suci Tulus Ikhlas. Jadi pengertian Panca
Yadnya yaitu Lima korban suci tulus ikhlas kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan
Yang Maha Esa sesuai manifestasinya.

1. Dewa Yadnya
Persembahan atau korban suci tulus ikhlas yang di tujukan kepada sang pencipta
(Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dalam manifestasinya sebagai Tri Murti yaitu
Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Contohnya adalah melakukan Tri
Sandhya

2. Pitra Yadnya
Persembahan atau korban suci tulus iklhas yang di tujukan kepada roh-roh para
leluhur dan bhatara-bhatara karena mereka lah yang membuat kita ada di dunia
hingga kita dewasa . Pitra yadnya ini bertujuan menyucikan roh-roh para leluhur
agar mendapatkan tempat yang layak di kahyangan. Contohnya adalah Ngaben,
untuk mengembalikan unsur-unsur jasmani kepada asalnya yaitu Panca Maha
Bhuta yang ada di Bhuana Agung

3. Rsi Yadnya
Persembahan karya suci yang di tujukan kepada para rsi, orang suci, pinandita,
pandita, sulinggih, guru, dan orang suci yang berhubungan dengan agama hindu.
Rsi adalah orang-orang yang bijaksana dan berjiwa suci. Sulinggih maupun guru
juga termasuk orang suci karena beliau orang bijaksana yang memberikan arahan
kepada siswa-siswi nya. Contohnya adalah Menjalankan ajaran - ajaran suci
beliau. Melindungi, menghormati, dan memberikan sesari serta daksina pemuput
untuk pemangku.

4. Manusa Yadnya
Manusa Yadnya adalah suatu upacara suci yang bertujuan untuk memelihara
hidup, mencapai kesempurnaan dalam kehidupan dan kesejahteraan manusia
selama hidupnya contohnya upacara bayi dalam kandungan hingga akhirnya
menikah.

5. Bhuta Yadnya
Persembahan suci yang ditujukan kepada bhuta kala atau makluk bawah. Bhuta
kala adalah kekuatan yang ada di alam yang bersifat negative yang perlu dilebur
agar kembali kesifat positif agar tidak mengganggu kedamaian hidup umat
manusia. Contohnya adalah Tawur kesanga dan nyepi
Tri Hita Karana

Tri Hita Karana merupakan konsep atau ajaran dalam agama Hindu yang selalu
menitikberatkan bagaimana antara sesama bisa hidup berdampingan, saling bertegur sapa
satu dengan yang lain, tidak ada riak-riak kebencian, penuh toleransi dan penuh rasa damai.
Tri Hita Karana bisa diartikan secara leksikal yang berarti tiga penyebab kesejahteraan.
Istilah ini terambil dari kata tri yang artinya tiga, hita yang artinya keseimbangan atau
sejahtera, dan karana yang artinya penyebab. Ketiga hal tersebut adalah Parahyangan,
Pawongan, dan Palemahan.
Kalo kita lihat lebih jauh, maka unsur- unsur Tri Hita Karana itu meliputi : Sanghyang
Jagatkarana (Tuhan Yang Maha Esa), bhuana (alam), dan manusia. Unsur- unsur Tri Hita
Karana itu terdapat dalam kitab suci Bhagavad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut:
“Sahayajnah prajah sristva pura vaca prajapatih anena prasavisya dhvan esa vo'stivistah
kamadhuk.” (Pada jaman dahulu, Prajapati menciptakan manusia dengan yajna dan bersabda
“dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu).

Penerapan Tri Hita Karana


Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu selama ini adalah sebagai
berikut: hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya,
hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya,
sedangkan hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi,
Manusia Yadnya. Padahal, hubungan ini jauh daripada itu. Misal Parahyangan bisa saja
diwujudkan dengan PHBS di Pura, yaitu menjaga kebersihan, keindahan dan kesuucian di
Pura juga merupakan wujud hubungan bhakti kita kepada Hyang Widhi.

Awalnya konsep Tri Hita Karana muncul berkaitan dengan keberadaan desa adat di
Bali. Hal ini disebabkan oleh terwujudnya suatu desa adat di Bali, bukan saja merupakan
kepentingan hidup tapi adalah kepentingan bersama dalam masyarakat, dalam hal
kepercayaan memuja Tuhan. Dengan kata lain, bahwa ciri khas desa adat di Bali harus
mempunyai unsur wilayah, orang-orang atau masyarakat yang menempati suatu wilayah serta
adanya tempat suci untuk memuja Tuhan.
Pertama, Parahyangan. Parahyangan berasal dari kata para (tertinggi) dan hyang
(Beliau) yang artinya Tuhan. Parahyangan berarti ketuhanan atau hal-hal yang berkaitan
dengan keagamaan dalam rangka memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa. Banyak di kalangan
kita mengartikan bahwa parahyangan berarti tempat suci (Pura) untuk memuja Tuhan.
Manusia menyembah atau memuja kepada Tuhan disebabkan oleh sifat-sifat satvika
(kebajikan) yang dimilkinya. Rasa bhakti dan sujud pada Tuhan timbul dalam hati manusia
oleh karena Sanghyang Widhi yang maha ada, maka kuasa, maha pengasih yang
melimpahkan kasih dan kebijaksanaan kepada ciptaan-Nya. Kita Sebagai umat yang
beragama yang yang selalu memohon perlindunganNya, sangat berhutang budi, baik lahir
dan batin kepadaNya. Hutang budhi tersebut tak akan terbayarkan dengan apapun. Karena hal
tersebut, maka satu-satunya cara yang dapat kita lakukan kepadaNya hanyalah dengan jalan
menghaturkan bhakti dan sradha yang setinggi-tingginya.

Adapun contoh implementasi rasa syukur kita kepada Tuhan adalah dengan jalan :

1. Dengan sradha dan bhakti menghaturkan yadnya dan persembahyangan kepada


Tuhan Yang Maha Esa. Melakukan Punia (persembahan) tanpa ada rasa pamrih, melakukan
tirtta yatra (perjalanan suci) ke tempat-tempat yang bisa mengantarkan pada nilai-nilai
kesuciannya.
2. Peduli dengan sesama terutama di saat mendenganr ada saudara (sesama) tertimpa
musibah. Sebagai orang yang yang senantiasa bisa menjadi suri tauladan, menjadi suluh bagi
orang lain maka setidaknya harus bisa menjadi suluh bagi diri kita terlebih dahulu. Rajin
bicara kebajikan dengan disertai tindakan yang nyata.
3. Alam sekitar atau lingkungan kita merupakan cermin kita yang paling dekat wujud
peduli terhadap alam. Lingkungan tampak asri, bersih, tertata rapi artinya kita sudah bisa
mewujudkan salah tri hita karana ini. Dalam Bhagawadgita dikatakan bahwa “Satatam
kirtayatom mam. Yatantas ca drsha vrtatah. Namasyantas ca mam bhatya. Ni tyayuktah
upsate”(IX.14)
(Berbuatlah selalu hanya untuk memuji-Ku dan lakukanlah tugas pengabdian itu
dengan tiada putus-putusnya. Engkau yang memujaku dengan tiada henti-hentinya itu serta
dengan kebaktian yanbg kekal adalah dekat dengan-Ku)

Di samping itu rasa bhakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa itu timbul dalam hati
manusia berupa sembah, puji-pujian, doa penyerahan diri, rasa rendah hati dan rasa
berkorban untuk kebajikan. Kita sebagai umat manusia yang beragama dan bersusila harus
menjunjung dan memenuhi kewajiban, antara lain cinta kepada kebenaran, kejujuran,
keikhlasan, dan keadilan.
Dengan demikian jelaslah begaimana hubungan antara manusia dengan Sanghyang
Widi. Hubungan ini harus dipupuk dan ditingkatkan terus kearah yang lebih tinggi dan lebih
suci lahir bhatin. Sesuai dengan swadharmaning umat yang religius, yakni untuk dapat
mencapai moksartam jagadhita ya ca iti dharma, yakni kebahagiaan hidup dunia (sekala
niskala) yang dilandasi oleh Dharma (kebenaran).
Kedua, Pawongan. Pawonan berasal dari kata wong (wwang dalam bahasa
Jawa/Kawi) yang artinya orang. Pawongan adalah perihal yang berkaitan dengan orang dalam
satu kehidupan masyarakat. Dalam arti yang sempit, pawongan adalah kelompok manusia
yang bermasyarakat yang tinggal dalam satu wilayah.
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup menyendiri. Mereka memerlukan
bantuan dan kerja sama dengan orang lain. Karena itu hubungan antara sesamanya harus
selalu baik dan harmoni. Hubungan antar manusia harus diatur dengan dasar saling asah,
saling asih dan saling asuh, yang artinya saling menghargai, saling mengasihi dan saling
membimbing. Hubungan antar keluarga di rumah harus harmoni. Hubungan dengan
masyarakat lainnya juga harus harmoni. Hubungan baik ini akan menciptakan keamanan dan
kedamaian lahir batin di masyarakat. Masyarakat yang aman dan damai akan menciptakan
negara yang tenteram dan sejahtera.
Pada mulanya Tuhan yang lebih dulu menciptakan bhuwana atau alam, maka
munculah palemahan, setelah itu barulah Beliau menciptakan manusia beserta mahluk hidup
lainya. Setelah manusia berkembang dan menghimpun diri dalam kehidupan bersama dan
mendiami suatu wilayah tertentu maka muncullah masyarakat yang disebut dengan
pawongan.
Selain menyelaraskan hubungan atman dengan paramatman atau hubungan manusia
dengan Tuhan, kita sebagai makhluk sosial juga harus membina hubungan dengan sesama
manusia dan makhluk lainnya. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya hendaknya dapat
menciptakan suasana rukun, harmonis, dan damai serta saling bantu membantu satu sama lain
dengan hati yang penuh dengan cinta kasih. Yang mana kasih merupakan dasar kebajikan.
Kasih muncul dari dalam kalbu yang merupakan alam paramatman, yaitu ananda
(kebahagiaan).
Dalam Manu Smrti II,138 disebut: “satyam bruyat priyam bruyam na bruyam satyam,
Priyam canartam, bruyat esa dharmah sanatanah” (Berkatalah yang sewajarnya, jangan
mengucapkan kata kata yang kasar. Walaupun kata- kata itu benar, jangan pula mengucapkan
kata-kata lemah lembut namun dusta. Inilah hukum susila yang abadi (sanatana dharma).
Perkataan adalah akar dasar dari perilaku, karena itu dalam menjalin hubungan,
semua dipengaruhi oleh perkatan atau ucapan kita. Kemudian akan menjadi perilaku yang
baik yang menjadi dasar mutlak dalam kehidupan sebagai manusia, karena dengan berbuat
susila manusia dapat meningkatkan taraf hidupnya baik di alam sekala maupun di alam
niskala.
Ketiga, Palemahan. Palemahan berasal dari kata lemah (Bahasa Jawa) yang artinya
tanah. Palemahan juga berarti bhuwana atau alam. Dalam artian yang sempit palemahan
berarti wilayah suatu pemukiman atau tempat tinggal. Manusia hidup dalam suatu lingkungan
tertentu. Manusia memperoleh bahan keperluan hidup dari lingkungannya. Manusia dengan
demikian sangat tergantung kepada lingkungannya. Oleh karena itu, manusia harus selalu
memperhatikan situasi dan kondisi lingkungannya.
Lingkungan harus selalu dijaga dan dipelihara serta tidak dirusak. Lingkungan harus
selalu bersih dan rapi. Lingkungan tidak boleh dikotori atau dirusak. Hutan tidak boleh
ditebang semuanya, binatang-binatang tidak boleh diburu seenaknya, karena dapat
menganggu keseimbangan alam. Lingkungan justu harus dijaga kerapiannya, keserasiannya
dan kelestariannya. Lingkungan yang ditata dengan rapi dan bersih akan menciptakan
keindahan. Keindahan lingkungan dapat menimbulkan rasa tenang dan tenteram dalam diri
manusia.
Manusia hidup dimuka bumi ini memerlukan ketentraman, kesejukan, ketenangan dan
kebahagiaan lahir dan bhatin, untuk mencapai tujuan tersebut manusia tidak bisa hidup tanpa
bhuwana agung (alam semesta). Manusia hidup di alam dan dari hasil alam. Hal inilah yang
melandasi terjadinya hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta ini.
Demikianlah penjelasan mengenai pembagian dari tri hita karana tersebut. Arti
penting ajaran Tri Hita Karana ini merupakan ajaran agama Hindu yang universal. Ajaran Tri
Hita Karana mengarahkan manusia untuk selalu mengharmoniskan hubungan manusia
dengan sang pencipta, manusia dengan alam semesta, dan hubungan manusia dengan alam
semesta atau lingkunganya.
Arah dan sasaran dari tri hita karana adalah mencapai mokrastham jagadhita ya ca iti
dharma, yakni mencapai kebahagiaan lahir dan bhatin sehingga dengan keharmonisan maka
tercapailah kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir dari agama Hindu yakni bersatunya
atman dengan paramatman.

Anda mungkin juga menyukai