Anda di halaman 1dari 19

Tugas Meringkas Materi Siwa Sidantha

Nama : Putu Gde Chaksu Raditya Uttama

NIM : 202009041

BAB 2 SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA HINDU

Dalam sejarah agama Hindu pada tulisan ini akan diuraikan secara sederhana tentang
perkembangan agama Hindu baik di India, perkembangan agama Hindu di Indonesia, serta
perkembangan agama Hindu sampai di Bali. Dalam bebagai sumber dijelaskan bahwa agama
Hindu yang pada awalnya berkembang di lembah sungai Sindhu yang melahirkan nama dari
agama Hindu tersebut dari perkataan Sindhu (sebuah nama sungai di daerah Jammu Kashmir,
sebagai daerah perbatasan antara India, Pakistan, Afganistan, daerah Cina khsusnya Tibet,
serta perbatasan dengan daerah Nepal, yang sebelumnya bahwa nama Hindu disebut dengan
nama Sanatans Dharma artinya agama yang menurun tersu atau agama yang kekal abadi
sepanjang jaman, tiada berakhir). Tempat asal perkembangan agama Hindu merupakan
adalah berasal dari daerah pegunungan, tepatnya di wilayah pegunungan Himalaya yang juga
dikenal sebagai pegunjungan Kailasa berdasarkan sumber-sumber sastra agama Hindu di
India maupun yang ada di Bali. Dengan berawal di daerah Jamuu Kashmir tersebut lalu dapat
berkembang di daerah lainnya di India terutama di daerah Uttar Pradesh, daerah Madhya
Pradesh, Andra Pradesh, daerah Karnataka, daerah Tamil Nadu dan sebagainya di wilayah
negara India.

2.1 Sejarah Agama Hindu di India

Mengenai perkembangan agama Hindu di India dapat dipilah menjadi empat jaman (vuga)
yakmi pertama, jaman Weda, kedua, Jaman Brahmana, ketiga, jaman Upanisad, dan keempat,
jaman tantrayana. Dari masing-masing jaman tersebut memiliki kekhasan tersendiri, terutama
dalam penonjolan aktivitas religiusitasnya.

-Jaman Weda

Jaman Weda ini dimulai dengan kedatangan bangsa Arya kira-kira 5000 SM tahun yang lalu,
di daerah hulu sungai Sindhu yang terkenal dengan nama Panjab (lima sungai). Bangsa Arya
itu yang termasuk induk bangsa Indo Eropah, mula-mula adalah bangsa pengembara Dari
tempat mereka terakhir di daerah Asia Tengah, sebagian dari mereka masuk dan menetap di
dataran tinggi Iran, dan sebagian lagi di Panjab. Pada waktu itu di sepanjang lembah sungai
Sindhu terdapat suatu peradaban bangsa Dravida yang sudah tinggi sekali tingkatannya.
Peradaban ini berpusat di kota kota yang diperkuat dengan benteng Mahenjodaro dan
Harappa. Pada jaman Weda ini bahwa kegiatan keagamaan pemujaan kepada dewa dewa
yang mengacu sumber catur weda samhita seperti rgveda yang memuat mantra-mantra suci,
samaveda yang memuat mantra serta lagu suci agama Hindu, yajurveda yang memuat mantra
untuk pelaksanaan persembahan atau yajna, dan atharvaveda yang memuat mantra gaib untuk
memohon kerahayuan umat manusia. Jadi jaman weda ini diperkirakan sekitar 2500 SM telah
berkembang agama Hindu di India.

-Jaman Brahmana

Brahmana adalah kitab suci yang menguraikan masalah yajna atau sesaji dan upacara
upacaranya, yang meliputi arti dari suatu sesaji atau yajna serta tenaga gaib apa yang
tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya. Tiap-tiap yajna ditetapkan dengan cermat sekali
menurut peraturan-peraturannya. Menyimpang sedikit saja dari peraturan-peraturan itu berarti
batalnya, tidak sahnya yajna itu. Jaman bersumber dari pustaka Kalpasutra berisi tuntunan
upacara yajna yang begitu rumit, kemudian ada pustaka Ghryasutra berisi tuntunan yajna
yang kecil dalam lingkungan keluarga, sedangkan tuntunan yajna yang tergolong besar diatur
dalam pustaka srautasutra. Dalam srautasutra ada diatur mengenai upacara rajasuya dan
upacara asvemedha jajna. Jaman ini diperkirakan keberadaannya pada tahun 1000 SM.

-Jaman Upanisad

Yang menitikberatkan aktivitas keagamaan pada spiritual atau rohani. Kata upanisad berarti
duduk di bawah dekat guru, untuk mendengarkan upadesa atau ajaran mengenai brahman,
samsara, swarga naraka, dan moksha. Upanisad disebut juga kitab rahasia karena isinya
mengajarkan tentang hal-hal yang bersifat dan hakikat Brahman Upanisad inilah yang
memuat berbagai ajaran yang membahas ajaran ketuhanan (brahmawidya) yang merupakan
dasar kehidupan beragama Hindu. Jaman upanisad ini diperkirakan keberadaannya sekitar
tahun 800 SM.
-Jaman Tantrayana

Sekitar tahun 600 SM. Dalam Tantrayana aspek yang menonjol adalah konsep teologinya
yang melihat dari segi peranan sakti. Tantrayana berorientasi kepada Siva dan karena itu
sekte ini dikenal pula sebagai sekte Siwa. Dalam sekte Siwa ini, nama Siwa selalu disebut-
sebut sebagai ista dewata dengan seribu nama (siwa sahasra nama) beberapa di antaranya :
Siwa, Hara, Rudra, Puspalocana, Sambhu, Maheswara, Trilocana, Wamadewa, Wiswarupa,
Ganeswara, Pasupati, Tejomaya, Sadasiwa, Durga, Mahakala, Dhaneswara, Padmagarbha,
dan selanjutnya banyak sekali sampai seribu. Jaman ini bersumber pada Weda atau Agama
atau Tantra yang sesungguhnya tidak dapat dipisah-pisahkan begitu rupa mengingat
Tantrayana bersumber pada Weda, seperti jaman Kertayuga bersumber pada sruti, tretavuga
bersumber pada smrti, dwaparayuga bersumber pada purana, dan kaliyuga bersumber pada
agama atau tantra. Dalam menyelenggarakan upakara yajna termasuk ada beberapa alat
peraga yang sering dipakai yaitu dhupa, dipa, puspa, gand aksata tirtha, dan mantra.

2.2 Sejarah Agama Hindu di Indonesia

Berkenaan dengan sejarah perkembangan agama Hindu yang ada di Indonesia bahwa para
ahli memperkirakan sekitar abad ke-4 yang dimulai di daerah Kutai Kalimantan, Dengan
bukti adanya peninggalan berupa prasasti batu dalam bentuk yupa di tepi sungai Mahakam
Kalimantan Timur sekitar tahun 400 Masehi, ini membuktikan sebagai perjalanan pertama
oleh para ahli agama Hindu untuk menyebarkan agama Hindu di wilayah Indonesia Kerajaan
Katai adalah sebagai kerajaan tertua di Asia Tenggara, oleh karena disana ada ditemukan
tujuh buah yupa dengan huruf pallawa serta berbahasa Sansekerta. Dalam prasasti tersebut
dikatakan, Sang Maharaja Kundunga mempunyai putra bernama Sang Aswawarmman,
namanya yang seperti Ansuman (Dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia
Sang Aswawarmman mempunyai putra tiga, seperti api yang suci ketiganya. Yang terkemuka
dari ketiga putranya itu ialah Sang Mulawarmman raja yang bijaksana, kuat dan kuasa. Sang
Mulawarmman telah mengadakan yajna yang menggunakan emas banyak. Untuk peringatan
yajna itulah yupa ini didirikan oleh para Brahmana. Jadi dari ketarangan tersebut bahwa
agama Hindu telah disebarkan oleh para ahli agama Hindu dari India ke Indonesia terutama
oleh para resi, para brahmana, para brahmacarin serta figur utama dalam agama Hindu.
Sekitar tahun 400-500 di Jawa Barat berdiri kerajaan Tarumanegara dengan rajanya
Purnawarman. Diketemukan tujuh buah prasasti yaitu di daerah Bogor (Ciaruteum.
Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten); di daerah Jakarta (Tugu, Cilincing) dan di
daerah Banten Selatan (Lebak Munjul).

Kemudian di Jawa Tengah berdiri kerajaan Kalingga sekitar tahun 618-906 yang diperintah
oleh seorang ratu bernama Ratu Sima. Disana juga ada ditemukan sebuah prasasti dengan
huruf pallawa berbahasa Sansekerta sekitar tahun 650 bertempat di desa Tuk Mas di kaki
gunung Merbabu dan pada prasasti itu terlukis gambar gambar trisula, kendi, kapak, sangkha,
cakra, bunga teratai dan sebagainya yang merupakan lambang Siwa dan Visnu dalam agama
Hindu.

Terkait dengan penyebaran agama Buddha di Indonesia maka di Palembang ditemukan


kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 yang ditandai dengan penyebaran agama Baddha
Mahayang terutama Wajrayana atau Mantrayana

Kemudian di Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram dengan rajanya Sanjaya telah
mendirikan Lingga pada tahun 654 saka dengan prasasti (Canggal Jahun 732. Masih di Jawa
Tengah ada banyak candi Hindu yang berdiri yakni sekitar abad ke-8 sampai ke-9, sedangkan
candi Buddha berdiri di Jawa Tengah bagian selatan seperti Candi Kalasan, Candi
Borobudur, dan sebagainya. Bertempat di Candi Prambanan ada ditemukan Arca Brahma,
Arca Visnu, Arca Siva, Arca Siwaguru, Arca Ganesa, dan Arca Durga. Bertempat di Dinoyo
Malang ditemukan kerajaan Kanjuruhan pada tahun 760 dengan rajanya Dewasimha yang
mendirikan tempat pemujaan untuk Rsi Agastya sebagai lambang Siwa Mahaguru dan itu
pertanda agama Hindu dari sekte Siwa dengan pemujaan-pemujaan oleh para pandita dengan
keahlian di bidang Weda.

Dalam perkembangan agama Hindu di Jawa Timur juga berkembang agama Hindu, terutama
dari Isanawangsa dengan Sindok memerintah tahun 929-947 di Kerajaan Medang dan sebagai
raja yang taat pada agama Hindu karena Empu Sindok sebagai raja yang sangat memuliakan
Dewa Siwa. Juga melakukan pemujaan kepada tiga dewa (Tri Murti), saat itu telah disusun
pustaka hukum Hindu bernama Purwadigama yang mengambil sumber dari Veda Smrti yakni
Manawadharmasastra dan saat itu telah disusun kitab suci Sanghyang Kamahayanikan.
Kemudian raja Dharmawangsa pada tahun 996 telah berhasil menyadur Mahabharata dengan
bahasa Jawa Kuna Tahun 991 telah ditulis Sivasasana. Pada tahun 1019-1042 Airlangga
memerintah menggantikan Dharmawangsa. Tahun 1030 Mpu Kanwa menyusun Kakawin
Arjunawiwaha. Kerajaan Kediri dengan masanya tahun 1042-1222 dengan rajanya bernama
Kameswara (1115-1130), lalu diganti oleh Jayabhaya (1130-1160), kemudian digantikan oleh
Sarweswara (1160-1170), dan digantikan oleh Aryyeswara (1170-1180), raja Srengga (1190
1200), dan raja terakhir Kertajaya (1200-1222). Jaman Kediri. telah ditulis beberapa kakawin
yakni Kakawin Krsnayana oleh Mpu Triguna, Kakawin Sumanasantaka oleh Mpu Monaguna.

Selanjutnya kerajaan Singhasari dengan masa pemerintahannya tahun 1222-1292, dengan


rajanya Ken Arok (1222-1227), Anusapati (1227-1248). Tohjaya (1248), Sri Jaya
Wisnuwardhana (1248-1268), dan raja Kertanagara (1269 1292). Pada masa kerajaan
Singhasari banyak bangunan suci yang telah dibangun berupa candi yakni candi Kidul, candi
Jago, candi Singosari dan lain-lainnya.

Kemudian berdiri kerajaan Majapahit (1293-1528) dengan beberapa rajanya Kertarajasa


Jayawardhana (1293-1309), Jayanagara (1309 1328), Tribhuwano Tunggadewi (1328-1350),
Rajasanagara (1350-1389), Wikramawardhana (1389-1429), dan masa jaya Majapahit
berakhir tahun 1522 karena dikalahkan oleh raja Demak yang Islam. Sejak itu perkembangan
Hindu mulai suram. Namun demikian masih ada juga kerajaan Hindu yakni kerajaan
Pajajaran dengan rajanya Raja Jayabhupati yang beragama Hindu dari aliran Waisnawa, lalu
diganti oleh Rahyang Niskala Wastu Kencana, setelah diganti oleh Rahyang Dewa Niskala
atau Rahyang Ningrat Kencana. Kemudian Sri Baduga Maharaja memerintah di Pajajaran
tahun 1350 1367, raja berikutnya adalah Hyang Bunisora (1357-1371), Perabu Niskala Wastu
Kencana (1371-1474) Tohaan di Galuh (1475-1482), Sang Ratu Jayadewata (1482-1521),
Prabu Ratu Samian (1521-1535), dan Prabu Ratu Dewata (1535-1543) yang akhirnya
kerajaan Hindu di Jawa Barat ini ditundukkan oleh Kerajaan Islam Banten pada tahun 1579
oleh raja Sultan Yusuf. Demikian perjalanan agama Hindu di Indonesia (sampai di pulau
Jawa) dengan masa jayanya pada jaman kerajaan Ajapahit di Mejokerto Jawa Timur dengan
rajanya yang bernama Hayam Wuruk yang didampingi oleh Maha Patih Gadjah Mada.

2.3 Sejarah Agama Hindu di Bali

Agama Hindu bisa berkembang di Bali adalah berkat jasa para orang suci yang datang dari
Jawa Timur, oleh karena awalnya di Bali, terutama pada jaman prasejarah hanya memiliki
kepercayaan kepada roh yang berstana di gunung terutama kepercayaan kepada roh nenek
moyang, juga adanya kepercayaan terhadap alam nyata dan alam tidak nyata. Juga saat itu
hanya ada kepercayaan setelah mati untuk menjelma kembali dari alam sana dan ada
kepercayaan bahwa roh nenek moyang dapat dimintai perlindungan untuk keselamatan
keturunannya. Penyebaran agama Hindu di Bali, untuk pertama kalinya dilakukan oleh Rsi
Markandeya sebagai orang suci dan yogi dari India yang memiliki pasraman di lereng
gunung Raung Jawa Timur, Beliau telah menata kehidupan beragama Hindu di Bali dengan
mengajak 800 warga dan dilanjutkan lagi mengajak 400 warga Hindu datang ke Bali sekalian
membawa misi agama Hindu serta membuka lahan pertanian di Bali terutama dimulai di
Desa Taro Gianyar Bertempat di kaki gunung Agung (di Besakih) Rsi Markandeya menanam
panca datu berupa perak, tembaga, emas, besi, dan campuran keempat logam.

Rsi Markandeya adalah orang yang pertama-tama mengajarkan agama Siwa di Bali dan
mendirikan Pura Wasuki di lereng gunung Agung. Perkiraan masuknya agama Hindu ke Bali
adalah sebelum abad ke-8, hal ini dikuatkan dengan adanya temuan berupa pecahan fragmen
prasasti di Pejeng yang berbahasa Sansekerta yang memuat mantra Buddha (Yete Mantra)
yang diperkirakan dari tahun 778 Masehi, awal prasasti ada berbunyi "Siwas ddh" dan
menurut R Goris bahwa itu berbunyi "Siwa Siddhanta" Dengan demikian pada abad ke-8
agama Siwa Siddhanta sudah berkembang di Bali. Meluas dan mendalamnya suatu keyakinan
beragama tidak mungkin secara mendalam untuk diterima oleh raja beserta rakyatnya,
tentunya melalui suatu proses yang agak panjang. Oleh karena itu agama Hindu (Siwa
Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8 Maschi. Pada abad ke-8
sudah dijumpai menyebar luas dan mendalam di kalangan kerajaan dan masyarakat luas.
Bukti lain dari pada awal penyebaran agama Hindu di Bali dengan ditemukannya 'arca Siwa'
di Pura Putra Batara Desa di Desa Bedaulu Gianyar. Arca tersebut satu tipe dengan arca Siwa
di candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 dan yang menurut Stutterheim tergolong pada
periode seni area Hindu Bali.

Menurut R. Goris bahwa Mpu Kuturan awal kedatangannya di Bali melihat suatu kenyataan
bahwa agama Hindu yang berkembang terdiri dari sembilan sekte. Sembilan sekte tersebut
adalah Siwa Siddhanta, Pasupata. Bhairawa. Waisnawa, Bodha (Sogatha), Brahmana. Resi,
Sora (Surve) dan Ganapatya. Dapat digarisbawahi di sini bahwa di antara sekte sekte yang
berkembang di Bali saat itu (menurut R. Goris ada sembilan sekte) bila diperhatikan dalam
kenyataan dan realitanya bahwa kesemuanya telah menampakkan identitas masing-masing,
tetapi dalam aplikasinya oleh pengikutnya menjadikan sekte-sekte itu telah menyatu dan
secara bersama sama untuk mengajegkan agama Hindu saat itu hingga kini.
Dalam perkembangan selanjutnya bahwa Mpu Kuturan telah mengajarkan ajaran Tri Murti
dengan membuat kahyangan tiga (Pura Desa/Pura Baleagung untuk tempat pemujaan Dewa
Brahma, Pura Puseh untuk tempat pemujaan Dewa Wisnu, dan Pura Dalem untuk tempat
pemujaan Dewa Siwa) di masing-masing desa pakraman yang dilandasi oleh konsep tri hita
karana, sebagai tiga faktor yang menentukan kesejahtraan umat manusia (faktor
parahyangan/unsur Ketuhanan, faktor pawongan/unsur umat manusia, dan faktor
palemahan/unsur lingkungan/alam semesta), juga membuat kahyangan catur loka pala dan
kahyangan rwa bhinneda di Bali. Mpu Kuturan telah menata kembali Pura Besakih dengan
beberapa bangunan suci berupa gedong, meru, dan lain-lainnya. Belau moksa di Pura
Silayukti Karangasem-Bali.

Dalam perjalanan serta perkembangan agama Hindu pada masa pertengahan di Bali, maka
pada tahun 1489 Dalem Waturenggong dari Kerajaan Gelgel telah mengangkat pandita Hindu
dari kerajaan Kediri dan kerajaan Majapahit, Jawa Timur bernama Dang Hyang
Dwijendra/Dang Hyang Nirartha (gelar Beliau saat dwijati Siwa Paksa dan gelar Beliau saat
dwijati Buddha Paksa) atau (Pedanda Sakti Wawu Rawuh gelar Beliau di Bali, Tuan Semeru
gelar Beliau di Lombok, dan Pangeran Sangupati gelar Beliau di Sumbawa) sebagai pendeta
istana atau purahita/dharmadhyaksa. Beliau sangat berjasa untuk membina dan membangun
perkembangan agama Hindu di Bali. Hal ini dibuktikan bahwa Beliau telah banyak
mendirikan tempat suci, antara lain: Pura Purancak (Jembrana). Pura Rambut Siwi
(Jembrana), Pura Pekendungan (Beraban Tabanan), Pura Sakti Mundeh (Kaba-Kaba), Pura
Petitenget (Badung), Pura Dalem Gandhamayu (Gelgel Klungkung) dan lain-lainnya. Beliau
moksa di Pura Uluwatu Baung-Bali.

Dang Hyang Dwijendra juga berjasa selain membina dan menata tata keagamaan Hindu,
seperti konsep Ketuhanan (teologi) berupa pemahaman keesaan Tuhan ditandai
pembangunan bangunan suci berupa padmasana (padma kencana. padmasana,
padmasanasari, padmasana lingga, padma asta sedana, padma naja, padma lara, padmasaji,
padma kurung. lain dari itu juga ada padmasana anglayang, padma agung. padmasana,
padmasari, dan padmacapah). Juga Beliau menata tata arsitektur Bali dengan nafas Hindu,
menata kemasyarakatan, dan mengembangkan kesusastraan Hindu

Sedangkan pada masa Bali baru atau modem bahwa Siwa Siddhanta semakin mantap dalam
keberadaannya dan diyakini serta diterapkan oleh umat Hindu di Bali melalui pembinaan oleh
tokoh agama Hindu serta peran lembaha keagamaan Hindu seperti PHDI 23 Februari 1959
bernama Parisada Dharma Hindu Bali, serta saat dilaksanakannya Maha Sabha Hindu Bali
pertama (saat tgl 7-10 Oktyober 1959).

BAB 3 SAMPRADAYA DAN FILSAFAT HINDU

3.1 Pemahaman Sampradaya

Dalam tulisan oleh R. Goris yang berjudul Sekte-Sekte di Bali' (1986) tidak disebut istilah
Sampradaya, tetapi diuraikan dengan istilah 'Sekte' sebagaimana yang ada ditemukan di
Pulau Jawa. Namun demikian, Beliau juga akhirnya melanjutkan penelitiannya terhadap
keberadaan agama Hindu di Pulau Dewata (Pulau Bali) mengenai hal yang sama, maka R.
Goris tetap menekankan pada sekte-sekte' yang ada di Bali yang ditegaskan adalah berasal
dari India.

Agama Hindu memiliki banyak sekte atau paksa, yang berasal dari negeri asalnya di Jambhu
dwipa dan juga yang sampai berkembang hingga di Bali dwipa. Dalam perjalanan serta
perkembangan sekte-sekte tersebut mengalami pasang surut jumlah pengikutnya, termasuk
juga yang ada berkembang di Indonesia, khususnya di Pulau Dewata ini. Eksistensi dari pada
sekte-sekte agama Hindu tersebut tentu memiliki kekhasan tersendiri dan memiliki pengikut
yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Seperti halnya di Bharatiya bahwa
pengikut sekte atau paksa Saiva Siddhanta yang banyak pengikutnya. Jadi pemuja Siva
adalah nampak sangat dominan di Bharatiya dan tidak hanya disana, juga di Bali bahwa
pengikut Saiva Siddhanta adalah yang paling menonjol dari sejak awal hingga kini. Hanya
saja bedanya bahwa sekte atau paksa Saiva Siddhänta yang eksis di Bali hingga kini tampil
eksklusif, oleh karena antara satu sekte dengan sekte yang lainnya diberikan tempat serta
porsi yang sama dalam keberadaannya secara seiring dan sejalan. Walaupun yang nampak
adalah sekte atau paksa Saiva Siddhanta yang ada, tetapi tidak menghilangkan sekte yang
lainnya, masih meyakini konsep tri murti yakni tiga perwujudan Tuhan Yang Maha Esa yang
digelari Dewa Brahma, Dewa Visnu, dan Dewa Siva. Kalau di Bali dalam satu area terutama
di wilayah Desa Pakraman, yang juga dikenal dengan nama Desa Adat telah mentradisi
dalam memuja serta memuliakan ketiga wujud Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal dengan
konsep ti murti melalui tempat suci sebagai tempat pemujaan-Nya yang bernama tri
kahyangan atau kahyangan tiga, dan ketiga pura tersebut di antaranya adalah di Pura
Baleagung atau Pura Desa untuk memuliakan atau memuja Dewa Brahma, di Pura Puseh
untuk memuliakan atau memuja Dewa Visnu, dan di Pura Dalem untuk memuliakan atau
memuja Dewa Siva. Termasuk juga untuk memuliakan paksa yang lainnya, seperti Dewa
Surya distanakan di suatu pelinggih, Dewi Durgha sebagai sakti Siva distanakan sekalian di
Pura Dalem.

3.2 Filsafat Hindu

Ajaran filsafat India merupakan cikal bakal dari pada ajaran filsafat pada umumnya. Filsafat
India telah berkontribusi lebih dini dari pada ajaran fisafat lainnya. Filsafat India sebagai
salah satu ajaran filsafat timur memiliki kelebihan kalau karena Filsafat India telah hadir
lebih tua dari filsafat lainnya di dunia. Satu catatan penting pada filsafat India adalah adanya
empat tujuan hidup manusia (catur purusa artha), yakni dharma (kebenaran, kewajiban agama
dan moral), artha (kekayaan atau kepemilikan material), kama (kesenangan dan cinta), dan
moksa (penebusan dosa, atau pembebasan spiritual sebagai tujuan puncak umat Hindu). Juga
dengan adanya empat fase kehidupan (catur asrama), yakni masa belajar (brahmacarya), masa
berumah tangga (grhastha), masa mengasingkan diri (vanaprastha), dan masa meminta-minta
(sanyasin atau biksuka).

Jadi dapat dikatakan bahwa lingkup dari filsafat India selain yang dikatagorikan sebagai sad
darsana yang bersifat orthodox atau yang astika (percaya dan yakin dengan otoritas Teda) dan
ada juga filsafat India yang bersifat heterodox atau astika (yang tidak yakin terhadap otoritas
Veda) sebagaimana dijelaskan di depan. Sesuai dengan prinsip penggolongan tradisional,
yang paling mungkin dipakai oleh para pemikir India dibagi menjadi dua kelompok besar
yaitu: aliran filsafat ortodoks (astika) dan aliran filsafat heterodoks (nastika). Kelompok
pertama terdiri atas enam sistem filsafat utama (yang secara populer dikenal sebagai sad
darsada) yaitu Mimamsa, Vedanta, Sankhya, Yoga, Nyaya, Vaisesika. Semuanya ini
dianggap sebagai aliran ortodoks (astika), bukan karena mereka mempercayai adanya Tuhan,
tetapi karena mereka otoritas dari kitab-kitab Veda.

Pertama, Nyaya Darśana adalah ilmu tentang logika dan kedayagunaan. Nyaya Dardana
mendiskusikan kebenaran mendasar melalui bantuan an empat cara pengamatan, yaitu: (i)
Pratyaksa Pramana atau pengamatan langsung, (ii) Anumana Pramana, atau melalui
penyimpulan, (iii) Upamana Pramana, atau melalui perbandingan, dan (iv) Sabda Pramana,
atau melalui penyaksi. Jadi nyaya darśana mendapatkan kebenaran dengan empat cara
tersebut. Jadi pokok permasalahan yang diuraikan di dalamnya adalah kekhususan padharta
atau katagori-katagori. Ada tujuh katagori, antara lain pertama, Drawya dengan sembilan
katagori, kedua, Guna yang terdiri atas dua puluh empat sifat, ketiga, Karma yang terdiri dari
lima gerakan, keempat, Samanya yang menyangkut dua hal, kelima, Visesa yang memiliki
sembilan katagori abadi, keenam, Samavaya merupakan keterpaduan satu jenis yakni
substansi dengan sifat, dan ketujuh, Abhava yang memiliki empat macam katagori
(pragabhava, dhvansabhava, atyantabhava, anyonyabhava).

Ketiga, Sankhya Darsana, bahwa Sankhya mempergunakan tiga sistem atau cara mencari
pengetahuan kebenaran, yaitu pratyaksa (pengetahuan langsung), anumana (penyimpulan).
dan apta vakya (penegasan yang benar). Kata 'apta' artinya 'pantas atau 'benar yang ditujukan
kepada wahyu-wahyu veda atau guru-guru yang mendapatkan wahyu. Dalam mencari
kebenaran dialam ini bahwa Samkhya mendasarkan juga pada Purusa dan Prakrti atau
Pradhana. Selain itu juga berdasarkan atas pertimbangan tri guna yakni sattvam, rajas, tamas.
Juga mahat, buddhi, ahamkara, manas panca bhuddhindrya, panca karmendrya, panca tan
matra, dan panca mahabhuta.

Keempat, Yoga Darsana bahwa Raja yoga dikenal dengan nama astangga yoga, atau yoga
dengan delapan anggota, yaitu: (i) yama (larangan); (ii) niyama (ketaatan); (iii) asana (sikap
badan), (iv) pranayama (pengaturan nafas); (v) pratyahara (penarikan indra dari obyek); (vi)
dharana (konsentrasi); (vii) dhyana (meditasi), dan (viii) samadhi (keadaan supra sadar)
(Maswinara, 1998:51). Yama terdiri atas ahimsa (tanpa kekerasan), satya (kebenaran), asteya
(pantang mencuri), brahmacarya (masa menuntut ilmu dan tidak kawin), aparigraha (hidup
sederhana). Niyama terdiri atas sauca (kesucian lahir batin), santosa (kepuasan mental/
spiritual), tapa (pantangan/pengekangan), swadhyaya (belajar hal kesucian), isvarapranidhana
yakni penyerahan diri secara iklas kepada Tuhan.

Kelima, Mimämsä Darsana, dimana Purva mimamsa atau karma mimamsa adalah
penyelidikan ke dalam bagian yang lebih awal dari kuab suci Veda suatu pencarian ke dalam
ritual-ritual Veda atau bagian Veda yang hanya berurusan dengan masalah Mantra dan
Brāhmana saja. Disebut Purva Mimämsä karena ia lebih awal (Purva) dari pada Uttara
Mimāmsā (Vedānta), dalam pengertian logika, dan tidak demikian banyak dalam pengertian
kronologis. Menurut Prabhakara bahwa sumber pengetahuan kebenaran (pramana) dalam
Mimamsa ada lima dan ditambahkan satu lagi oleh Kamarila sehingga menjadi enam sumber
seperti berikut ini 1. pratyaksa: pengamatan langsung, 2. anumana dengan penyimpulan, 3.
Upamana mengadakan perbandingan, 4. Sabda kesaksian kitab suci atau orang bijak, 5.
Arthapatti penyimpulan dari keadaan, dan 6. Anupalabdhi atau abhawa pratyaksa pengamatan
ketidakadaan.

Keenam, Vedanta Darsana, istilah Vedanta artinya secara harfiah adalah instisari atau akhir
dari Veda, merupakan jnana kanda atau bagian akhir dari Veda setelah Mantra, Brahmana
dan Aranyaka (Maswinara, 1998:61). Selain itu, vedanta juga mencari kebenaran Tuhan
melalui upanisad, bhagawadgita, dan brahma sutra, sehingga dapat diyakini bahwa Tuhan itu
Esa (sat-cit-ananda), Tuhan tak terkondisikan (bhuma), serta Tuhan itu realitas mutlak
(päramärthika satta), alam sebagai realitas relatif (vyävahärika satta), dan obyek-obyek ini
sebagai realitas nyata (pratibhäsika satta).

BAB 4 SAIVA SIDDHANTA DI INDIA

4.1 Sumber Ajarannya

Ada beberapa sumber ajaran Saiva Siddhanta di India yakni Veda, Saiva Agamas, serta
sumber tertulis lainnya yang digunakan. Saiva Siddhanta adalah filsafat dari Saivaismei
bagian selatan, yang bersumber tidak dari penyusun tunggal, yang merupakan jalan tengah
antara adwaita-nya Sankara dan Wasista-advaita-nya Ramanuja.

4.2 Ajarannya

Ajaran pokok dari filsafat Saiva Siddhanta adalah bahwa Siwa merupakan realitas tertinggi
dan jiwa atau roh pribadi adalah dari intisari yang sama dengan Siwa, tetapi odak identik.
Lima kegiatan Tuhan (Panca Krtya) adalah: srsti (penciptaan), sthiti (pemeliharaan), samhara
(penghancuran), tirobhawa (menutupi), dan anugraha (karunia), yang secara terpisah
dianggap sebagai kegiatan dari Brahma, Wisnu, Rudra, Maheswara, dan Sadasiwa.

4.3 Tempat Pemujaannya

Tempat pemujaan bagi umat Hindu di India termasuk bagi pengikut Saiva Siddhanta dinamai
Mandir. Dalam istilah lainnya juga dinamai Dewalaya. Sebagai sentra pemujaan Siwa di
India kalau di daerah Uttar Pradesh ada di daerah Benares atau juga dinamai kota Kasi Umat
pada umumnya mnyebutnya dengan nama kota Siva. Oleh karena disana para umat indu
untuk memuja Bhatara Siwa: Nama mandimya adalah Visvanath Mandir Ada juga sebuah
tempat suci yang sangat megah untuk pemujaan Dewa Siwa yakni Golden Temple yang
terletak di tengah-tengah kota Benares di dekat sungai Ganga.

4.4 Penerapan Saiva Siddhanta di India

Mengenai penerapan Saiva Siddhanta di India dapat dilihat dalam praktek nyata kehidupan
beragama Hindu d India secara sosiologis nampak dengan jelas. Kemudian secara religiusnya
terlihat dalam praktek pemujaan (upasana atau puja). Yang paling rutin diterapkan adalah di
suatu mandir, baik di tingkat perseorangan maupun dalam kondisi komunal Ada dua cara
dalam penerapannya yang dilakukan adalah dengan cara sarana, sadhana, material, upakara,
banten/ bali, atau simbol-simbol tertentu yang dinamai pratika atau saguna upacara.

Dalam penerapan agama Hindu di India ada yang dinamai sepuluh samskara meliputi
garbhadana samskara (mensucikan kegiatan penciptaan), pumsavana samskara (upacara
mantra-mantra kandungan berumur bulan ketiga bagi anak), Simantonnayana saniskara
(pengucapan manra weda pada saat kandungan berumur tujuh bulan), Jatakarma samskara
(upacara segera kelahiran anak), Namakarana samskara (upacara pemberian nama anak),
Annaprasana samskara (pemberian makanan pertama kali saat berumur enam bulan),
Cudakarana samskara (upacara pencukuran rambut pertama ali bagi anak), Upanayana
samskara (upacara mendekatkan anak untuk belajar pada gurunya), Samavartana samskara
(upacara mengakhiri masa belajar agama atau weda). dan Vivaha samskara (upacara
perkawinan atau masa berumah tangga). Ada dikenal dengan homa untuk dewa yajna, tarpana
atau sraddha untuk pitra yajna, belajar weda atau brama untuk resi yajna, bali untuk bhuta
yajna, dan penghormatan atau keramahtamahan untuk manusya yajna.

4.5 Pengikutnya

Bila diperhatikan tentang pengikut dari Sarva Siddhanta bahwa pada umumnya adalah para
bhakta Siva. Terutama umat Hindu pada umumnya yang tersebar di berbagai pelosok wilayah
di negara bagian India, mulai dari daerah utara sampai ke daerah selatan.
4.6 Hari Sucinya

Seperti halnya di Indonesia dan juga di Bali bahwa perayaan suci agama Hindu nampak ada
persamaan dan sedikit perbedaan. Ada yang sama dalam sebutan perayaan sucinya seperti
perayaan Siwaratri, perayaan Saraswati, Purnima atau Purnama, Amavasya atau Tilem, dan
juga menyucikan sekali perayaan bagi umat Hindu setiap hari selasa, yang oleh umat Hindu
dinamai Mangala Wara merupakan hari suci untuk pengendalian diri, menasihati diri,
menggembleng diri, serta koreksi diri.

Hari suci yang lainnya lagi adalah pemujaan kehadapan sakti Siwa yang dinamai Durga Puja
yakni hari suci untuk memuja Dewi Durga sebagai ibu suci dan ibu niskala yang memberikan
kekuatan lahir batin terhadap umat Hindu.

4.7 Orang Sucinya

Orang suci umat Hindu yang ada di India ada yang damai pandita. Kata pandita (bahasa
Hindi) sedangkan dalam bahasa Sasekerta disebut Pandita. Kalau di Indonesia disebut
Pendeta yakni orang suci yang memimpin suatu upacara keagamaan Hindu. Terutama bagi
pengikut Saiva Siddhanta bahwa para pemuja Siva dan para bhakta Siva begitu berbhakti
kepada orang suci.

Sesuai kepercayaan umat Hindu yang bersumber pada ajaran Veda bahwa orang suci Hindu
ada dikenal dengan nama sapta resi. Ketujuh resi penerima wahyu yaitu Grtsamada,
Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja. Wasistha, dan Maha Resi Kanwa. Selain itu juga
ada dinamai maharesi penyusun catur veda samhitai yakni Maharsi Paila (Pulaha) sebagai
penyusun Rgweda samhita, Maharsi Paila (Pulaha) sebagai penyusun Rgweda samhita,
Maharsi Waisampayana sebagai penyusun Yajurweda samhita, Maharsi Jamini sebagai
penyusun Samaweda samhita, dan Maharsi Sumantu sebagai penyusun Atharwaweda
samhita. Itulah para orang suci Hindu yang juga sebagai orang suci bagi bhakta Siwa.

BAB 5 SAIVA SIDDHANTA DI BALI

5.1 Sumber Ajarannya

Sebagai sumber ajaran dari pada Saiva Siddhanta di Bali adalah bersumber pada ajaran Weda
dan sumber suci dalam naskah tradisional. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Sa Sasana
ada dikelompokkan beberapa naskah tradisional Bali. Kelompok yang dimaksud ada empat,
yaitu kelompok. weda, tattwa, ethica, dan upacara agama. Kelompok weda, misalnya: weda
parikrama, weda sanggraha, surya sevana, dan siva pakarana. Kelompok tattwa, meliputi
bhuwana kosa, bhuwana sang ksepa, wrhaspati tattwa, siwa gama, siwatattwapurana, gong
besi, purwa bhumi kamulan, tantu panggelaran, usana dewa, ganapati tattwa, tattwa jnana,
dan jnana siddhanta. Kelompok ethica adalah siwa sasana, rsi sasana, wrti sasana, putra
sasana, dan slokantara. Kemudian yang tergolong dalam kategori upacara agama, meliputi: a)
upacara dewayajna b) upacara pitra yajna c) upacara rsi yajna, antara lain: kramaning
madhiksa, yajna samskara, dlinya; d) upacara manusa yajna e) upacara bhuta yajna.

5.2 Ajarannya

Tattwa adalah hakikat atau kebenaran suatu unsur, baik yang nyata maupun yang tidak nyata
termasuk hakikat Tuhan. Secara sederhana dapat diartikan sebagai hakikat kebenaran Tuhan
beserta segala ciptaan-Nya. Kemudian kata filsafat artinya: 1. pengetahuan dan penyelidikan
dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya; 2. teori yang
mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; 3. ilmu yang berintikan logika, estetika,
metafisika, dan epistemology; 4. falsafah. Dari kedua pengertian di atas, bahwa antara tattwa
dan filsafat memiliki kesamaan makna, yakni sama-sama menekankan pada hakikat dan
kebenaran. Juga sama-sama mengkaji hal atau obyek yang kongkrit serta segala hakikat yang
ada.

Sedangkan Wrhaspatitattwa mengajarkan tentang Yoga, cetana telu (Paramasiwa atau


Nirguna Brahman, Sadastwa. Satu hal utama yang wajib dipelajari dari ajaran
Wrhaspatitatwa adalah menyadari hakikat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dapat dilakukan
dengan : 1) mempelajari segala tattwa (jnanabhyudreka); 2) tidak tenggelam dalam
kesenangan hawa nafsu (indriyayogamarga); dan tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan
baik atau buruk (trsnadosaksaya).

Selanjutnya tentang Ganapati Tattwa berisikan ajaran agama Hindu secara dialog Dewa Siwa
dengan Sang Hyang Ganapati. "tentang hakikat alam semesta, dimana diciptakan oleh Panca
Dewata dari unsur yang paling halus sampai dengan tingkat yang mempunyai wujud nyata".
Setelah panca dewata (Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara, Sadasiwa) menciptakan
pancatanmatra (gandha, rasa, rupa, sparsa, sabda tanmatra), kemudian tercipta panca maha
bhuta (akasa-unsur suara, bayu-unsur angin, teja-unsur matahari, bintang, bulan, apah-unsur
air, pertiwi-unsur bumi dan tanah).
5.3 Tempat Pemujaannya

Tempat pemujaan atau tempat suci umat Hindu Indonesia disebut Pura. Sering pula umat
Hindu menyebutnya dengan nama Kahyangan atau Parahyangan. Pura adalah tempat suci
untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atau para Dewa sebagai
manifestasi Tuhan. Palemahan pura umumnya terdiri dari tiga yaitu jeroan (utama mandala)
melambangkan alam atas (swah loka), jaba tengah (madhyama mandala) melambangkan
alam tengah (bhwah loka), dan jaba sisi (kanista mandala) yang melambangkan alam bawah
(bhur loka).

Adapun tempat pemujaan bagi umat Hindu, antara lain pertama, Pura Keluarga adalah pura
yang khusus bagi umat Hindu yang masih ada ikatan satu keluarga atau wit. Pura Keluarga
juga dinamai Pura Kawitan, Pamerajan, Dadia, Panti, Ibu, Padarman, dan lain-lainnya:
Bertempat di Pura Keluarga bahwa umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta
roh suci leluhur atau atma sidha dewata. Pelinggih utama pada Pura Keluarga biasanya
berupa Gedong, Pelinggih Rong Tiga, atau ada pula berupa Meru serta Pelinggih Padmasana.

Kedua, Pura Teritorial yang dimaksudkan adalah Pura Kahyangan Desa. Jenis pura ini juga
dinamai Tri Kahyangan atau Kahyangan Tiga. Nama-nama Pura Kahyangan Tiga adalah a)
Pura Baleagung sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa
Brahma (Pencipta/Utpatii), b) Pura Puseh sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam
manifestasi-Nya sebagai Dewa Wisnu (Pemelihara/Sthiti), c) Pura Dalem sebagai tempat
memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Siwa (Mengembalikan ke
asalnya/Pralina).

Ketiga, Pura Fungsional merupakan tempat suci dalam kaitannya dengan kekaryaan umat
Hindu. Pura ini juga dinamai Pura Swagina. Jenis pura fungsional, seperti Pura Subak
merupakan tempat suci umat Hindu yang memiliki ikatan kerja dalam pertanian. Pura Subak
juga dinamai Pura Bedugul atau Ulun Suwi atau Pura Ulun Subak Kalau kaitannya dengan
ikatan profesi bagi para pedagang di sekitar pasar atau di tempat tertentu untuk berjualan
disebut Pura Melanting.

Keempat, Pura Umum, Pura Umum adalah pura yang tergolong kahyangan jagat sebagai
tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta segenap manifestasi-Nya. Yang tergolong
sebagai Pura Umum adalah Pura Sad Kahyangan Jagat, Pura Dang Kahyangan Jagat, Pura
Jagatnatha di sekitar perkotaan maupun pura yang dibangun di wilayah Indonesia yang dapat
dijadikan tempat sembahyang oleh umat Hindu.
5.4 Penerapan Saiva Siddhanta di Bali

Penerapan Saiva Siddhanta di Bali lebih banyak yang nampak melalui pelaksanaan upacara
agama Hindu yang dikelompokkan ke dalam lima bagian besar yang dinamai panca yajna,
yakni : pertama, Dewa Yajna yakni persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta
dengan semua manifestasi-Nya. kedua, Manusa Yajna yakni persembahan kehadapan
manusia yang dimulai sejak dalam kandungan sampai menjelang meninggal. ketiga, Pitra
Yajna yaitu persembahan kehadapan orang tua selama masih hidup maupun setelah mati
kehadapan para pitara-pitari guna mendapatkan kerahayuan hidup di dunia ini dan di akhirat.
keempat, Resi Yajna yakni persembahan kehadapan para orang suci, para resi yang telah
berjasa dalam pembinaan, pengembangan, serta menuntun umat. kelima, Bhuta Yajna yakni
persembahan kehadapan para bhuta kala atau makhluk bawahan, oleh karena para bhuta kala.

5.5 Pengikutnya

Sebagai pengikut filsafat dan ajaran Saiva Siddhanta adalah segenap umat Hndu yang tinggal
di Pulau Bali. Filsafat Saiva Siddhanta tersebut juga diikuti oleh para sadharma atau umat
Hindu yang asli Indonesia, di antaranya umat Hindu yang tinggal di Kalimantan, umat Hindu
di Sulawesi, umat Hindu di Sumatra, umat Hindu di Jawa, umat Hindu di Bali, umat Hindu di
Lombok, umat Hindu di Sumbawa, di Sumba, di Papua, dan sebagainya di wilayah kepulauan
Nusantara ini.

Kemudian kalau di Pulau Dewata bahwa pengikut Saiva Siddhanta adalah umat Hindu pada
umumnya, oleh karena kalau di Bali tidak ada perbedaan yang menjolok walaupun dari para
bhakta adalah pengikut Vaisnawa dan yang lainnya. Demikian juga dalam pelaksanaan gita
atau nyanyian suci agama Hindu, bahwa semua aspek atau semua ista dewata Hyang Widhi
dimuliakan oleh umat Hindu melalui gita tersebut. Dalam hal ini bahwa pengikut Saiva
Siddhanta menampakkan adanya kekompakan dan kesatuan dan pemahaman filosofinya,
ritualnya, etikanya, maupun dalam konteks sosial, budaya, adat istiadatnya yang selalu
bergandengan tangan secara rutin.

5.6 Hari Sucinya

Hari suci merupakan hari baik bagi umat Hindu untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa/Ida Hyang Widhi Wasa. Beberapa hari suci Hindu antara lain Galungan.
Kuningan, Saraswati, Pagerwesi, Nyepi, Siwaratri, Purnama, dan Tilem.
Pertama, hari raya Galungan yang pelaksanaannya setiap enam bulan sekali, yaitu pada
Budha Kliwon Dungulan,

Kedua, hari raya Saraswati yang dilaksanakan pada Sabtu Umanis Watugunung. Umumnya
perayaan ini dikenal dengan nama Piodalan Sang Hyang Aji Saraswati atau piodalan Sang
Hyang Pangeweruh.

Ketiga, hari raya Pagerwesi adalah sebagai hari pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi
Wasa (Hyang Paramesti Guru) yang dirayakan setiap Budha Kliwon Sinta Perayaan hari raya
ini bermakna untuk memohon kekuatan hidup baik secara fisik dan nonfisik (wahya
adhyatmika).

Keempat, hari raya Nyepi yang perayaannya dilaksanakan setiap penanggal pisan sasih
kadasa. Pada perayaan Nyepi bahwa umat Hindu melakukan catur brata penyepian, seperti
Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelungaan (tidak
bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak menikmati hiburan).

Kelima, hari Siwaratri yang berarti malam siwa. Saat Siwaratri, maka umat Hindu melakukan
tapa brata yoga dan samadhi. Waktu pelaksanaannya selama 36 jam. Jenis brata dapat
dilakukan berupa upawasa (tidak makan dan tidak minum), monabrata (tidak berbicara/selalu
hening), dan jagra (tidak tidur).

Keenam, hari Purnama dan Tilem, saat purnama dan tilem merupakan hari baik untuk
melakukan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hari Purnama (Purnima) adalah
hari bulan terang. Hari Tilem (Amavasya) merupakan hari bulan mati/bulan gelap. Pada hari
Purnama merupakan hari payogan Sang Hyang Candra, sedangkan pada hari Tilem
merupakan hari payogan Sang Hyang Surya. Sedangkan hari suci lainnya ada berupa Budha
Kliwon, Anggara Kliwon, Saniscara Kliwon, Kajeng Kliwon, serta yang lainnya.

5.7 Orang Sucinya

Orang suci adalah sangat besarjasanya terhadap perkembangan dan penyebaran agama Hinda
kepada umat di dunia ini. Orang suci umat Hindu secara umum disebut dengan nama Rsi.
Dalam tulisan ini ada beberapa orang suci bagi umat Hindu antara lain Bhagawan Bhrigu,
Bhagawan Bharadwaja, Rsi Agastya, Bhagawan Brihaspati, Mpu Tantular, Mpu Kuturan,
Mpu Bharadah, Rsi Markandeya, dan Dang Hyang Nirartha/Dang Hyang Dwi Jendra.

Pertama, Bhagawan Bhrigu merupakan orang suci Hindu yang namanya banyak disebut-
sebut dalam kitab purana. Beliau sebagai pendiri keluarga/warga Bhargawa.

Kedua, Bhagawan Bharadwaja sebagai orang suci Hindu yang ada kaitannya dengan cerita
Ramayana yang ditulis oleh Bhagawan Walmiki. Bhagawan Bharadwaja juga sebagai
penerima wahyu suci dari Tuhan Yang Maha Esa. Beliau sebagai guru suci pada sebuah
ashram kenamaan Hindu di kota Prayaga yang kini dinama kota Allahabad.

Ketiga, Rsi Agastya sebagai orang suci lahir di kota Kashi atau Benares-India Utara (Uttar
Pradesh). Beliau telah menyebarkan ajaran agama Hindu di India dan termasuk sampai di
Indonesia dan di Bali.

Keempat, Bhagawan Brihaspati adalah seorang putra dari Bhagawan Angira yang merupakan
orang suci yang terkenal bagi umat Hindu.

Kelima, Mpu Tantular sebagai pujangga besar agama Hindu. Beliau telah menulis kakawin
Sutasoma. Beliau memilki empat putra yaitu Mpu Kanawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu
Sidhimantra, dan Mpu Kepakisan.

Keenam, Mpu Kuturan sebagai orang suci yang telah berjasa menyebarkan ajaran agama
Hindu di Indonesia dan di Bali khususnya. Beliau mengajarkan ajaran In Murti dan
mengajarkan konsep Tri Kahyangan di setiap desa adat atau di desa pakraman di Bali.

Ketujuh, Mpu Bharadah sebagai orang suci Hindu merupakan adik dari Mpu Kuturan.
Kebesaran nama Mpu Bharadah sangat terkenal di Bali dan Mpu Bharadah ada dimuliakan di
salah satu pura di kompleks Pura Besakih.

Kedelapan, Rsi Markandeya adalah orang suci Hindu yang pertama kali datang ke Bali untuk
menyebarkan ajaran agama Hindu. Beliau datang dari tanah Jawa menuju Bali beserta dengan
beberapa pengikutnya untuk merabas hutan Bali dijadikan lahan pertanian dan sekaligus
menata kehidupan beragama Hindu di Bali.

Kesembilan, Dang Hyang Dwi Jendra nama lain beliau adalah Dang Hyang Nirartha, Jikalau
di Bali beliau bergelar Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Kalau di Lombok beliau bergelar Tuan
Semeru dan di Sumbawa bergelar Pangeran Sangupati. Banyak tempat suci yang telah beliau
bangun di Pulau Bali, seperti Pura Purancak, Pura Rambut Siwi, Pura Pulaki, Pura Ponjok
Batu, Pura Tanah Lot, Pura Peti Tenget, Pura Uluwatu, Pura Air Jeruk, Pura Batu Klotok, dan
lain-lainnya. Kesepuluh, Dung Hyang Astapaka merupakan salah satu orang suci dari Budha
Mahayana dari Majapahit dan di Bali beliau mendirikan Pura Sakenan di daerah Serangan
Denpasar Selatan. Keturunan beliau di Bali kini menetap di daerah Karangasem yaitu di Desa
Budakeling.

Anda mungkin juga menyukai