Anda di halaman 1dari 9

MATA KULIAH ; PEND, AGAMA HINDU

MATERI : SEJARAH AGAAMA HINDU + TUGAS


PENGAMPU : I NYOMAN ARYA,S.Ag.M.PdH
HARI/JAM : JUMAT :
07.45-09.25 (TARUNA Transdar &MTJ )
09.25-11.20 (TARUNA MTJ & TMO )
13.10-14.50 ( TARUNA TMO & MLog )

PETUNJUK ;
a. Baca dan camkan Materi Sejarah Agama Hindu sampai tuntas
b. Betuk Kelompok dan masing kelompok 5 orang (ada ketua dan skretaris)
c. Tugas dikumpulkan Lewat Wali Kelas masing-masing :

Tugas ;
1. Jelaskan sejarah agama Hindu dan perkembangannya :
a. Pada Zaman Brahmana
b. Zaman Upanisad
2 . Uraikan dengan jelas perkembangan Agama Hindu di Indonesia :
a. Kerajaan Majapahit
b. Kerajaan Singosari
c. Kerajaan Kediri
d. Kerajaan Kutai

3, Jelaskan Sejarah Perkembangan Agama Hindu Di India.


4. Jelaskan Perkembangan agama Hindu Di Bali
5. Sebutkan Maharsi Penerima Wahyu Yang di kenal dengan nama Sapta Rsi

------------- SELAMAT BEKERJA -------------


TUGAS PENDIDIKAN AGAMA HINDU
PENGAMPU : I NYOMAN ARYA,S.Ag.M.PdH
OLEH : KELOMPOK 2
1. NAMA
2. NAMA
3. NAMA
4. NAMA
5. NAMA

1) Jelaskan sejarah agama Hindu dan perkembangannya!


Perkembangan Agama Hindu di India berlangsung dalam waktu yang sangat panjang dan
perkembangannya dapat dibagi menjadi tiga zaman yaitu Zaman Weda, Zaman Brahmana dan
Zaman Upanisad.
a. Zaman Weda
Zaman ini diperkirakan berlangsung dari tahun 1500 SM sampai dengan 600 SM.Dalam
Kitab Nirukta dijelaskan bahwa pada zaman ini muncul kitab suci Weda yang merupakan
wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa yang diterima oleh pada Maharsi sebagai penerima
wahyu. Dalam Agama Hindu Maharsi penerima wahyu beberapa diantaranya dikenal dengan
sebutan Sapta Rsi dan Nawawimsatikrtyasca Vedavyastha Maharsibhih yaitu :
 Sapta Rsi : Maharsi Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista
dan Kanwa
 Nawawimsatikrtyasca Vedavyastha Maharsibhih : Maharsi Daksa, Usana,
Swayambhu, Whraspati, Aditya, Mrtyu, Indra, Wasista, Saraswata, Tridathu,
Tridrtha, Sandhyaya, Akasa, Dharma, Tryaguna, Dhananjaya, Krtyasa, Ranajaya,
Bharadwaja, Gotama, Uttama, Parasara, dan Wyasa

Maharsi yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan dan mengkodefikasikan Weda
adalah Maharsi Wyasa yang dikenal dengan Kresna Dwaipayana Wyasa. Maharsi Wysa
berjasa dalam menyusun kitab Purana, Mahabharata, Bhagawadgitha dan Brahmasutra.
Maharsi Wyasa juga mengkodefikasikan Weda menjadi Catur Weda Samtiha dan dibantu
oleh 4 orang Maharsi yang merupakan siswanya, yaitu:

 Maharsi Paila/Maharsi Puala , menyusun kitab Rg. Weda


 Maharsi Waisampayana, menyusun kitab Yayur Weda Samitha
 Maharsi Jaimini, menyusun kitab Sama Weda Samitha
 Maharsi Sumanthu, menyusun kitab Atharwa Weda Samitha
Perkembangan Agama Hindu diperkirakan telah sampai ke India bagian tengah yaitu
dataran tinggi Dekan lembah sungai Yamuna. Pada Zaman Weda hal yang paling
mendominasi adalah pemujaan terhadap para dewa, pemujaan tehadap dewa dilakukan
dengan tujuan untuk memohon Waranugraha, kesejahteraan lahir dan batin yang dipuja
dengan nyanyian yang sangat indah disertai dengan menghaturkan sajian kepada-Nya.
Mitologi dewa-dewa pada zaman Weda menampilkan beberapa cerita mengenai dewa-dewa
yang dipandang populer dalam Weda diantaranya Dewa Agni, Indra, Rudra dan Waruna.

 Dewa Agni
Dewa Agni dipersonifikasikan dengan api, wujud Dewa Agni digambarkan dengan
berambut nyala api, berjenggot perang, berdagu tajam, bergigi emas dan berkepala
selalu bersinar. Dewa Agni dipandangan sebagai dewa pemimpin upacara. Dewa agni
juga disebut dengan Grhapati yang artinya tuannya rumah tangga. Dewa Agni
menghantarkan persembahan dari seseorang kepada para Dewa. Dewa Agni
dipandang sebagai duta dari para dewa dan pemujanya untuk mengahantarkan
persembahan kepada-Nya. Dalam pelaksanaan upacara keagamaan Dewa Agni
sebagai pendamping para pendeta oleh sebab itu beliau disebut sebagai : Vipra,
Purohita, Hotri, Adwaryu dan semua yang mengandung pengertian pendeta. Dalam
seni arca, Dewa Agni dipuja di India dengan menggambarkannya sebagai orang tua
yang berbadan merah, perutnya besar, memiliki, enam mata, tujuh tangan, dan
atribut-atribut yang lain.

 Dewa Indra
Keberadaan Dewa Indra sangat dominan dalam Weda. Kata Indra berasal dari Ind
dan dri yang artinya memberi makan. Pada mulanya Indra dikenal sebagai dewa
hujan dengan senjatanya Bajra. Dewa Indra dikenal sebagai dewa perang dengan
kendaraanya Gajah Airawata. Pada zaman purana Indra dikenal sebagai dewa
kahyangan (sorga) menjadi saksi agung setiap perbuatan manusia.

 Dewa Rudra
Dewa Rudra diindentikan dengan Dewa Siwa (Siwa Rudra). Dewa Rudra
digambarkan sebagai laki-laki bertubuh besar, perutnya berwarna biru dan
punggungnya berwarna merah. Kepalanya berwarna biru, lehernya berwarna putih,
kulitnya berwarna coklat kemerah-merahan. Karakter dari dewa Rudra tampak
angker dan menakutkan namun memiliki hati yang lembut dan mahapengasih. Dewa
Rudra dikenal sebagai dukunnya para dukun dengan berbagai jenis pengobatan yang
dimilikinya, sehingga diberi julukan Jalasa Bhaseya (Pemilik obat yang sejuk)

 Dewa Waruna
Dalam ajaran agama Hindu, Baruna atau Waruna adalah manifestasi Brahman yang
bergelar sebagai dewa air, penguasa lautan dan samudra. Kata Baruna (Varuna)
berasal dari kata var (bahasa Sanskerta) yang berarti membentang, atau menutup.
Kata "var" tersebut kemudian dihubungkan dengan laut, sebab lautan membentang
luas dan menutupi sebagian besar wilayah bumi. Menurut kepercayaan umat Hindu,
Baruna menguasai hukum alam yang disebut Reta. Ia mengandarai makhluk yang
disebut makara, setengah buaya setengah kambing (kadangkala makara disamakan
dengan buaya, atau dapat pula digambarkan sebagai makhluk separuh kambing
separuh ikan). Istri Beliau bernama Baruni, yang tinggal di istana mutiara. Oleh
orang bijaksana, Dewa Baruna juga disebut sebagai Dewa langit, Dewa Hujan, dan
dewa yang menguasai hukum.

b. Zaman Brahmana
yaitu kata Brahman berarti penjelasan dari seorang pendeta yang cerdas dan bijaksana dalam
hal upacara. Dalam hal ini kata Brahmana menunjukan kumpulan pernyataan dan diskusi
mengenai upacara. Zaman ini ditandai dengan keberadaan kitab Brahmana yang berisi
tentang peraturan-peraturan keagamaan dimana yang menjadi pokok adalah Upacara Yadnya.
Pelaksanaan Upacara Yadnya dianggap sangat penting sehingga kehidupan keagamaan
didominasi oleh upacara, maka dari itu untuk memudahkan pelaksanaan Upacara Yadnya
dibuatlah kitab-kitab penuntun yang disebut dengan Kalpasutra. Kitab Kaplasutra dibedakan
menjadi 4 macam yaitu :
a. Sratasutra, kitab ini memuat tentang penjelasan tentang tatacara persembahyangan
Agnihotra, persembahyangan Darsa Purnama.
b. Gryasutra, kitab ini memuat tentang pokok-pokok penyucian oleh orang yang telah
berumah tangga atau menikah, mulai dari upacara garbhasadhana (upacara dalam
kandungan) sampai upacara Antyestisradha (upacara kematian). Kitab ini juga menuntun
pelaksanaan upacara sehari-hari atau berkala seperti : menghaturkan canang, mesegeh,
trisandhya, perkawinan, potong gigi dan lain-lain.
c. Dharmasastra, kitab ini memuat tentang hukum, adat, kebiasaan, hak dan kewajiban,
social politik ekonomi dan lain-lain
d. Sulwasutra, kitab yang memuat tentang pokok-pokok aturan tentang tata bangunan dan
kaitannya dengan kebutuhan upacara

Pelaksanaan upacara yadnya pada zaman Brahmana ini selalu disertai dengan mantra-mantra
weda yang dilafalkan oleh pendeta dari kitab Catur Weda Sruti yaitu pendeta dari Rg Weda
(Hotri), Sama Weda (Udgatri), Yayur Weda (Adwaryu) dan Atharwa Weda (Brahmana).
Kehidupan masyarakat pada Zaman Brahmana terbagi menjadi 4 tingkatan yang disebut
dengan Catur Asrama, keempat tingkatan inilah yang digunakan sebagai penuntun kehidupan
untuk mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat. Adapun bagian-bagiannya adalah sebagai
berikut:
a. Brahmacari, yaitu masa menuntut atau mencari ilmu;
b. Grhasta, yaitu tingkat kehidupan berumah tangga;
c. Wanaprasta, yaitu menjauhkan diri dari nafsu keduniawian;
d. Sanyasin, yaitu tingkat terakhir Catur Asrama, dimana pengaruh dunia semuanya lepas.

Keempat tingkatan inilah yang digunakan sebagai penuntun kehidupan untuk mencapai
kesempurnaan di dunia dan akhirat. Konsep ketuhanan pada masa ini bersifat satu kesatuan
dimana para dewa merupakan perwujudan dari yang satu disebut dengan Brahman.

c. Zaman Upanisad
Agama Hindu terus berkembang dari dataran tinggi Dekan dan lembah sungai Yamuna,
sampai ke lembah sungai Gangga yang penduduknya bermata pencaharian sebagai pedagang.
Hal ini menyebabkan kehidupan beragama lebih ditekankan pada hal-hal yang bersifat
filosofi daripada upacara. Pada masa ini muncul diskusi-diskusi keagamaan antara para Guru
atau Maharsi dengan Siwanya, diskusi keagamaan tersebut menimbulkan perkembangan
Agama Hindu pada aspek Jnana. Para siswa duduk dekat Guru dan mengajukan pertanyaan,
para Guru akan menjawab dengan berpegangan pada kitab suci Weda, cara diskusi inilah
yang dinamakan Upanisad maka dari itu perkembangan Hindu pada masa ini disebut dengan
Upanisad. Pandangan yang menonjol pada Zaman Upanisad adalah suatu ajaran yang bersifat
monostis, absolutis dalam pengertian ajaran yang mengajarkan bahwa segala sesuatu berasal
dari yang Tunggal yaitu Brahman. Kitab Upanisad merupakan bagian dari Jnana Kanda dari
kitab Weda Sruti yang isinya bersifat ilmiah dan spekulatif tapi masih dalam ruang lingkup
keagamaan. Kitab Upanisad berisi tentang pembahasan Brahman, Atman, hubungan antara
Brahman dengan Atman, hakikat maya, hakikat widya serta mengenai Moksha dan
kelepasan. Brahman dianggap sebagai pusat, awal dan akhir serta bersifat Transenden yaitu
Brahman yang ada diluar pikiran manusia dan Imanen yaitu Brahman yang ada dalam batas
pikiran manusia. Brahman Bersifat Sat Cit Ananda yang artinya kebahagiaan, keberadaan dan
kesadaran. Ungkapan ini menunjukan bahwa Brahman merupakan satu-satunya realitas yang
bersifat mutlak. Brahman merupakan sumber dari semua alam semesta, makhluk hidup dan
penguasa segala yang ada.
Dalam kitab Muktika Upanisad disebutkan bahwa jumlah kitab Upanisad ada 108 buah buku,
yang dapat dibagi menurut kelompok Weda Sruti:
a. Upanisad dalam Rg. Weda
Berjumlah 10 buku yaitu : Aitarya, Kausitaki, Nada-Bindu, Nirwana, Atmapraboda,
Mudgala, Aksamalika, Tripura, Sambhagya dan Bahwrca Upanisad

b. Upanisad dalam Sama Weda


Berjumlah 16 buku yaitu : Kena, Chandogya, Aruni, Maitrayani, Maitreyi, Wajrasucika,
Yogacudamani, Wasudewa, Mahat, Sanyasa, Awyakta, Kondika, Sawitri, Rudraksa
Jabala, Darsana, Jabali Upanisad.

c. Upanisad dalam Yayur Weda, terdiri dari 2 bagian yaitu :


1. Upanisad dalam Yayur Weda Hitam
Berjumlah 32 buah buku yaitu : Kathawali, Taittiriyaka, Brahma, Kaiwalya,
Swetaswatara, Garbha, Narayana, Amrtabindu, Asartanada, Katagnirudra, Kansikasi,
Sarwasara, Sukharahasya, Tejobindu, Dhyanabindu, Brahmawidya, Yogatattwa,
Daksinamurti, Skanda, Sariraka, Yogashika, Ekasakra, Aksi, Awadhuta, Katha,
Rudrahrdaya, Yogakundalini, Pancabrahma, Paramanighotra, Waraha,
Kalisandarana, dan Saraswatirahasya Upnisad
2. Upanisad dalam Yayur Weda Putih
Berjumlah 19 buah buku yaitu : Isawasya, Brhadarayanyaka, Jabala, Hamsa,
Parahamsa, Subaia, Mantrika, Niralamba, Trisihibrahmana, Mandalabrahma,
Adwanyataraka, Pingalu-bikshu, Turiyatika, Adhyatma, Tarasara, Yajnawalkya,
Satyayani, dan Muktika Upanisad.

d. Upanisad dalam Atharwa Weda


Berjumlah 32 buku yaitu : Prasna, Munduka, Mandukya, Atharwasira, Atharwasika,
Brhadjabala, Narasimhatapini, Naradapariwrajaka, Sita, Mahanarayana, Ramarahasya,
Ramatapini, Sandilya, Parahamsapariwarajaka, Annapurna, Surya, Atma, Pasupata,
Parabrahmana, Tripuratapini, Dewi, Bhawana, Brahma, Ganapati, Mahawakya,
Gopalatapini, Kresna, Hayagriwa, Dattareya, dan Garuda Upanisad

2) Uraikan dengan jelas perkembangan Agama Hindu di Indonesia :

3) Jelaskan Sejarah Perkembangan Agama Hindu Di India.


Perkembangan agama Hindu dapat diketahui dari berbagai kitab suci Hindu seperti kitab Sruti,
Weda Smrti, Brahmana dan Upanisad. Keberadaan agama-agama di dunia sangat erat dengan
pendirinya, sebagai contoh Agama Budha pendirinya Sidharta Gautama, Agama Kristen
pendirinya Yesus Kristus dan masih banyak lagi. Berbeda dengan halnya Agama Hindu, wahyu
petunjuk-petunjuk suci dari Tuhan Yang Maha Esa diterima oleh para Maharsi. Para tokoh-tokoh
besar juga menyatakan bawasannya Agama Hindu juga berasal dari kata “Sindhu” yaitu nama
yang diambil dari sebuah sungai yang berada di India bagian barat. Pada awalnya India didiami
oleh bangsa Dravida yang telah memiliki peradaban tinggi, peradaban ini ditemukan di kota
Harappa dan Mahenjo-Daro. Adapun peninggalan dari bangsa Dravida adalah diantaranya:
- Arca Siwanataraja, yaitu arca manusia berkepala tiga, bertangan empat dimana arca ini
menggambarkan tentang Dewa Diwa sebagai raja dari alam semesta
- Materai yang berisi hiasan burung elang yang mengepakan sayapnya
- Materai berisi hiasan orang duduk bersila, bermuka tiga, bertanduk dua, dikelilingi oleh
beberapa binatang seperti : gajah, harimau, badak dan lembu. Konsep ini dianggap sebagai
pemujaan kepada Dewa Siwa sebagai Sang Hyang Pasupati
- Ditemukan juga Arca orang tua yang berjanggut, memakai jubbah yang diperkirakan
merupakan seorang tokoh spiritual

4) Jelaskan Perkembangan agama Hindu Di Bali

Perkembangan agama hindu di Bali merupakan kelanjutan dari perkembangan agama Hindu di
Jawa. Dimana kedatangan agama hindu ke Bali disertai dengan agama Budha dan dalam
perkembangannya berakulturasi secara damai dan harmonis sehingga sering disebut Siwa-Budha
Sebelum pengaruh Agama Hindu berkembang di Bali, masyarakat telah mengenal system
kepercayaan dan pemujaan sebagai berikut
a. Kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat suci. Gunung oleh masyarakat bali
dipandang sebagai tempat bersemayam para leluhur
b. Sistem penguburan yang menggunakan sarkofagus (peti mayat). Jenasah dikubur dengan
kepala menuju arah gunung dan kaki menuju arah laut, hal ini sebagai simbol gunung dan
laut sebagai ulu dan teben.
c. Kepercayaan terhadap alam skala dan niskala. Alam skala merupakan alam kehidupan
manusia, sedangkan alam niskala merupakan alam kehidupan roh suci dan tempat
bersemayam Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
d. Kepercayaan adanya penjelmaan kembali (Punarbhawa).
e. Kepercayaan bahwa roh nenek moyang/leluhur dapat setiap saat memberikan
perlindungan, petunjuk dan tuntunan rohani kepada generasinya.
Pada saat itu pola kepercayaan masyarakat di Bali makin disempurnakan setelah kedatangan
Maharsi Markhandeya di Bali. Kedatangan beliau di Bali dapat diketahui dari Kitab
Markhandeya Purana. Dalam kitab tersebut dinyatakan bahwa untuk pertama kalinya pengaruh
Hindu di Bali pertama kali disebarkan oleh Maharsi Markhandeya yang diperkirakan 4-5 M
melalui Gunung Semeru (Jawa Timur) menuju daerah Gunung Agung ( Tolangkir) dengan tujuan
hendak membangun asrama. Pertama kali kedatangannya beliau diikuti 4000 orang namun
kedatangannya tersebut kurang berhasil dan akhirnya beliau memutuskan untuk pulang ke Jawa.
Setelah pulang ke Jawa beliau kembali datang dan sekarang dengan pengikut kurang lebih 2000
orang dan kedatangannya kali ini berhasil menanam Panca Datu di kaki Gunung Agung
(Besakih). Selanjutnya diceritakan Maharsi Markhandeya berkehendak untuk merambas hutan
guna dijadikan sawah untuk meningkatkan kesejahteraan pengikutnya hutan tersebut bernama
Desa Swarda yang sekarang bernama desa Taro, dsini beliau mendirikan tempat suci bernama
Pura Desa Taro.
Selama beliau menetap di Bali, Maharsi Markhandeya secara berangsur-angsur meningkatlkan
kepercayaan masyarakat Bali, diantaranya
a. Masyarakat Bali mulai diajarkan untuk melakukan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, Sang Hyang Prama Kawi, Sang Hyang Prama Wisesa dan yang lainyya
adalah sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa. Pemujaan dilakukan dengan
mempersembahkan upakara : api, air, bungam dan buah ke hadapan Surya (disebut
“nyuryasewana”). Unsur-unusur upakara yang dipersembahkan tersebut bernama bebali.
Beliau juga mengajrakan bahwa segala sesuatu dikerjakan didahului dengan
menghaturkan bebali ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
b. Mulai dikenal daerah Bali. Bali diartikan daerah yang segala sesuatunya mempergunakan
sesajen atau sarana bebali. Masyarakay yang menjadi pengiringnya dan mendiami daerah
pegunungan disebut orang-orang Bali Aga.
c. Pura Besakih mulai dibangun dan difungsikan sebagai tempat memuja Sang Hyang
Widhi Wasa. Tempat suci lainnya yang dibangun adalah pura : Andakasa, Lempuyang,
Watukaru, Sukawana.
d. Warna merah dan putih mulai digunakan sebagai ider-ider atau umbul-umbul di tempat-
tempat suci. Kedua warna tersebut melambangkan kesuciany yang berasal dari warna
surya dan bulan
e. Upacara bebali untuk keselamatan binatang dan ternak ditetapkan pada tumpek kandang
atau hari sabtu kliwon wuku uye. Sedangkan untuk keselamatan tumbuh-tumbuhan
ditetapan pada tumpek pengatag atau sabtu kliwon wuku wariga. Tuhan
dipersonifikasikan sebagai Sang Hyang Rare Angon atau Sang Hyang Tumuwuh.

Setelah Maharsi Markhandeya penyebaran Agama Hindu dilanjutkan oleh Mpu Sang
Kulputih. Banyak peran yang dilakukan oleh Mpu Sang Kulputih diantaranya:
a. Mengajarkan tentang bebali dalam bentuk seni yang mengandunga makna simbolis dan
suci.
b. Mengajrkan orang-orang Bali Aga untuk menjadi orang-orang suci dalam Pura
Khayangan seperti : Pemangku, Jro Gede, Jero Kebayan, dan diajarakan untuk menjadi
orang suci dengan melakukan taba, brata, yoga, semadhi.
c. Mpu Sang Kulputih juga mengajarkan masyarakat untuk melaksanakan hari-hari suci
seperti : Galungan, Kuningan, Sugian, Pagerwesi, Tumpek dan lain-lain. Disamping itu
beliau juga mengajarkan tata cara pembuatan arca dari kayu, uang kepeng sebagai
perwujudan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Setelah itu di Pura Puseh ( Desa Bedulu Gianyar) ditemukan peninggalan arca Siwa, tiper
arca ini serupa dengan arca yang ditemukan di Candi Dieng. A.J Bernet Kemper menyatakan
bahwa arca tersebut berasal dari abad ke 8 M
Selanjutnya Prasasti Blanjong (913 M) menyeutkan bahwa Raja Putri Mahendradata yang
bergelar Gunapriya Dharmapatni mangkat di Buruan Kutri Gianyar, beliau diwujudkan sebagai
Dhurga Mahisa Asura Mardhani yaitu Bhatari Dhurga yang sedang membunuh para setan yang
ada di badan seekor kerbau. Prasasti tersebut tersimpan di Pura Blanjong Sanur
Pada masa pemerintahan Raja Marakatta Pangkaja Sthanottunggadewa tahun 944-948 Saka
(1022-1026 M) datanglah Empu Kuturan ke Bali. Beliau berasal dari Jawa Timur, beliau
kemudian membangun asrama di Padangbai (Pura Silayukti , sekarang). Mpu Kuturan
mengajarkan tentang : makrokosmos dan mikrokosmos, Sang Hyang Widhi, Jiwatman,
Karmapala, Wali, Wewalen dan lain-lain. Beliau juga mengajaran cara membangun Khayangan
dan bangunan suci lainnya. Konsep bangunan suci yang masih ada sampai sekarang adalah :
a. Sanggah Kemulan, Taksu, Tugu untuk setiap rumah tangga dalam pekarangan.
b. Sanggah pemerajan yang terdiri dari : Surya, Meru , Gedong, Kemulan, Taksu, Pelinggih
Pengayatan Sad Khayangan dan Paibon untuk penyungsungan lebih dari satu
keluarga/pekarangan.
c. Pura Dadia, Pemksan, Panti dan lain-lain yang penyungsungnya lebih dari satu Paibon
atau pemerajan
d. Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Pura Baleagung, dan Dalem) sebagai tempat pemujaan Tri
Murti dibangun di setiap desa adat/pekraman,

Selain pembangunan tempat suci tersebut diatas beliau juga mengajarkan pembangunan
Khayangan Jagat seperti : Pura Besakih, Pura Batur, Pura Lempuyang, Andakasa, Goalawah,
Pura Pusering Tasik
Pada masa pemerintahan raja Marakatta dilaksanankan penghormatan kepada Rsi Agastya, yang
dikemukakan oleh prasasti yang berangka tahun 944. Lontar Dwijendra Tattwa menyatakan
bahwa “kedatangan Maharsi Agastya ke Bali adalah mengajarkan Agama Siwa”, selanjutnya juga
dinyatakan bahwa beliau mengajarkan Tantrisme/Tantra kepada para raja dan kaum bangsawan,
ajaran ini yang disebut dengan Aywawera.

Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang berkedudukan di Gelgel tahun 1470-
1550 M datanglah Dang Hyang Dwijendra ke Bali, yang juga disebut Dang Hyang Niratha.
Kedatangan beliau ke Bali melalui Blambangan-Banyuwangi, mengarungi segara rupek (selat
Bali) dan sampailah di Pura Pulaki. Dang Hyang Dwijendra banyak mengajarkan pengetahuan
agama kepada para raja dan masyarakat di Bali, diantaranya :
a. Ilmu tentang pemerintahan
b. Ilmu tentang peperangan (Dharmayuda)
c. Pengetahuan tentang smaragama (cumbwana karma) ajaran tentang pertemuan smara
laki-laki dan perempuan.
d. Ajaran tentang pelaksanaan memukur, maligia, dan mahasaradha.

Setelah dari Puri Gelgel Dang Hyang Dwijendra melanjutkan perjalanan ke Pura Rambut
Siwi, selanjutnya menuju Pura Uluwatu-Bukit Gong, Bukit Payung-Sakenan - Air Jeruk, Tugu-
Genta Samprangan - Tengkulak – Gowalawah – Pojok Batu – Pengajengan - Mascetti – Peti
Tenget dan tempat suci lainnya, dan beliau dinyatakan Moksha di Pura Uluwatu.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah Dang Hyang Dwijendra memiliki jasa yang sangat besar
terhadap masyarakat Bali, dimana beliau telah mengajarakn tata cara pemerintahan, keagamaan,
arsitektur, kesusastraan dan lain-lain.

5) Sebutkan Maharsi Penerima Wahyu Yang di kenal dengan nama Sapta Rsi

Dalam Agama Hindu Maharsi penerima Wahyu terdiri dari banyak Maharsi yaitu beberapa
diantaranya dikenal dengan sebutan Sapta Rsi dan Nawawimsatikrtyasca Vedavyastha
Maharsibhih. Maharsi Penerima Wahyu yang dikenal dengan nama Sapta Rsi adalah :
a. Maharsi Grtsamada
b. Maharsi Wiswamitra
c. Maharsi Wamadewa
d. Maharsi Atri
e. Maharsi Bharadwaja
f. Maharsi Wasista
g. Maharsi Kanwa

Anda mungkin juga menyukai