2.1. Sejarah Agama Hindu di India dan Perkembangannya Sejarah Agama Hindu di India, perkembangannya dapat diketahui dari kitab-kitab suci Hindu yang terhimpun dalam Veda Sruti, Veda Smrti, Itihasa, Upanisad dan sebagainya. Pertumbuhan filsafat keagamaan (Darsana) dan perkembangan pelaksanaan keagamaannya tak dapat melepaskan diri dari sumber-sumber tersebut, sehingga perkembangan agama senantiasa bersifat religius, dalam arti dan bernafaskan keagamaan. Agama Hindu merupakan sumber kekuatan batin yang menjiwainya. Perkembangan Agama Hindu di India, berlangsung dalam kurun waktu yang amat panjang yaitu berabad-abad hingga sekarang. Sejarah yang amat panjang itu menurut pendapat Govinda Das Hinduism Madras, 1924, halaman 25, zaman dikatakan dapat dibagi 3 bagian yang besar, sekalipun batas-batas pembagiannya tak dapat dipastikan dengan jelas. Ketiga bagian itu adalah: 1. Zaman Veda Kuna 2. Zaman Brahmana 3. Zaman Upanisad
2.1.1. Zaman Veda Kuna Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa Arya kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi ke India, dengan menempati lembah sungai Sindhu, yang juga dikenal dengan nama Punjab (daerah lima aliran sungai). Bangsa Arya tergolong ras Indo Eropa, yang terkenal sebagai pengembara cerdas, tangguh dan trampil. Zaman Veda kuna merupakan zaman penulisan wahyu suci Veda yang pertama yaitu Rg Veda. Kehidupan beragama pada jaman ini, didasarkan atas ajaran-ajaran yang tercantum pada Veda Samhita, yang lebih banyak menegakkan pada pembacaan perafalan ayat-ayat Veda secara oral, yaitu dengan menyanyikan dan mendengarkan secara berkelompok. Veda adalah kitab suci Agama Hindu. Sumber ajaran Agama Hindu adalah kitab suci Veda. Semua ajarannya bernafaskan Veda. Veda menjiwai ajaran Agama Hindu, karena itu agama Hindu mengakui kewenangan ajaran kitab suci Veda. Veda adalah wahyu atau sabda suci Tuhan Yang Maha Esa/ Hyang Widhi Wasa, yang diyakini oleh umatnya sebagai anadi ananta yakni tidak berawal dan tidak diketahui kapan diturunkan dan berlaku sepanjang masa. Namun demikian dikalangan sarjana, baik Hindu maupun Barat telah berikhtiar untuk menentukan kapan sebenarnya Veda itu diwahyukan, hal ini ditemukan antara lain oleh: 1) Lokamaya Tilaksastri Memperkirakan bahwa Veda sudah diturunkan sekitar 6000 tahun sebelum masehi.
2) Bal Gangadhar Memperkirakan bahwa Veda sudah diturunkan sekitar tahun 4000 sebelum masehi, yang diterima oleh para Maharsi. Maharsi adalah orang-orang suci yang dapat berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam agama Hindu, Maharsi penerima wahyu itu tidaklah hanya seorang, melainkan beberapa orang, yang telah populer dengan sebutan Sapta Rsi yaitu tujuh orang rsi adalah: - Grtsamada - Visvamitra - Atri - Bharadvaja - Vasista - Kanva - Vamadeva
Selain Sapta Rsi, juga dikenal 29 Maharsi penerima wahyu yang disebutkan dengan Navavimsati Krtyasca Vedavyastha Maharsibhih yaitu antara lain: Svayambhu, Daksa, Usana, Aditya, Vrhaspati, Mrtyu, Indra, Vasistha, Sarasvata, Tridhatu, Tridrta, Sandhyaya, Akasa, Dharma, Triyaguna, Dhananjaya, Kertyaya, Ranajaya, Gotama, Uttama, Parasara dan Vyasa. Pada zaman Veda dilanjutkan dengan penulisan dan perhimpunan wahyu Veda lainnya, seperti Sama Veda, Yayur Veda dan Atharva Veda, yang penulisannya mempunyai jarak waktu sangat jauh jika dibandingkan dengan Rg. Veda. Menurut tradisi Hindu, Maharsi terbesar yang sangat besar jasanya dalam menghimpun dan mengkodifikasikan Catur Veda adalah Maharsi Vyasa. Beliau dibantu oleh empat orang siswanya yaitu: 1. Maharsi Pulaha sebagai penyusun Rg Veda 2. Maharsi Jaimini sebagai penyusun Sama Veda 3. Maharsi Vaisampayana sebagai penyusun Yajur Veda 4. Maharsi Sumantu, sebagai penyusun Atharva Veda
1. Rg Veda Merupakan yang tertua dan terpenting. Isinya dibagi atas 10 mandala, menunjukkan kebenaran yang mutlak. mantranya terdiri dari 10.552, diucapkan untuk mengundang, mendekatkan Tuhan Yang Maha Esa dan manifestasi yang dipuja agar hadir pada saat upacara. Pengucapan mantra adalah pemimpin upacara yang disebut Hotr.
2. Sama Veda Isinya hampir seluruhnya diambil dari Rg Veda, kecuali beberapa nyanyian suci dinyanyikan pada waktu upacara dilakukan. Jumlah mantranya terdiri dari 1875. Penyampaian nyanyiannya diberikan lagu, yang diucapkan oleh pemimpin upacara yang disebut Udgatr.
3. Yajur Veda Terdiri dari 1975 mantra, berbentuk prosa yang isinya berupa yajur atau rafal dan doa pengucapannya adalah pemimpin upacara bernama Adhvaryu pada saat dilaksanakan suatu upacara korban. Fungsi rafal adalah bukan memuja para deva melainkan untuk mengubah upacara korban yang dipersembahkan menjadi makanan yang dapat diterima oleh para deva dengan pengucapan berulang-ulang disertai dengan menyebutkan nama deva yang dihadirkan.
4. Atharva Veda Terdiri dari 5987 mantra berbentuk prosa yang isinya berupa mantra-mantra dan kebanyakan bersifat magis, yang memberikan tuntunan hidup sehari-hari berhubungan dengan keduniawian seperti tampak dalam sihir, tenung, pedukunan. Isi sihir-sihir dimaksud bertujuan untuk menyembuhkan orang-orang sakit, mengusir roh-roh jahat mencelakakan musuh dan lain sejenisnya.
Veda sebagai sumber ajaran agama Hindu terdiri dari kitab Sruti dan Smrti. Sruti adalah wahyu sedangkan Smrti adalah kitab yang menguraikan komentar, penjelasan atau tafsir terhadap wahyu. materi veda diuraikan pada Sruti dan Smrti. Sruti menurut sifat dan isinya dibedakan atas 4 bagian, yaitu: 1. Mantra 2. Brahmana 3. Aranyaka 4. Upanisad
Kitab mantra atau mantra samhita, umumnya sangat tua dan merupakan dokumen umat manusia yang tertulis dan masih ada hingga sekarang, memakai bahasa Sanskrta. Kitab tersebut dipakai pedoman dalam melaksanakan kehidupaan beragama. Kepercayaan pada zaman Veda kuna sebagai dasar keagamaan agama Hindu menurut kitab-kitab Veda Samhita ada dua golongan zat hidup yang kedudukannya lebih tinggi dari pada manusia, yaitu: Deva-deva dan roh-roh jahat. Deva-Deva yang dipercayai kedudukannya lebih tinggi, karena bersikap murah pada manusia dan berkenan menerima pujaan dan pujian manusia. Deva-deva selalu dihadirkan dalam upacara korban untuk dimohon memberikan tuntutan dan menyelamatkannya dari gangguan-gangguan roh jahat. Mengenai jenis korban yang dilakukan, ada dua macam, yaitu: 1) Korban tetap, seperti: - tiap kali - tiap bulan baru - tiap awal musim semi - tiap awal musim dingin - pada waktu pagi dan sore - tiap bulan purnama - tiap awal musim hujan
2) Korban Berkala, seperti: - Korban soma - Korban Asvamedha/korban kuda - Korban Rajasuya Selain korban-korban tersebut, juga masih ada upacara-upacara lain yang harus yaitu seperti pada waktu: istri mengandung, istri melahirkan anak, anak berumur tiga bulan, anak akan diajak berpergian untuk pertama kalinya, anak untuk pertama kali mulai diberi makan, anak dicukur yang pertama kalinya. Mengenai Deva-deva dalam Rg Veda disebutkan ada 33 Deva, dibedakan atas: Deva- deva dilangit, Deva-deva Angkasa, Deva-deva Bumi. Deva-deva langit antara lain adalah Deva Indra dan Deva Varuna, yang dipandang sebagai pengawas tata dunia atau rta. Akibat karya Deva Varuna maka langit dengan bumi dipisahkan. Peredaran matahari, bulan dan bintang teratur, sungai-sungai mengalir dengan baik dan musim-musim datang pada waktunya. Deva Varuna memberikan hadiah kepada yang mengikuti rta dan hukuman kepada yang jahat. Selain Varuna juga Deva Surya dan Deva Visnu termasuk Deva langit. Deva Surya diyakini dapat memperpanjang hidup dan mengusir penyakit. Deva Surya digambarkan sebagai menaiki kereta yang ditarik oleh tujuh ekor kuda. Deva Visnu dimasukkan Deva langit karena dapat melangkah tiga langkah. Langkahnya yang ketiga dipandang tertinggi, sebagai Surga tempat kediaman para Deva. Deva-deva Angkasa antara lain adalah Deva Indra dan Deva Angin. Deva Indra sering disebut Deva perang dan pendapatkan kerhormatan yang besar sekali, sebab sering membantu manusia dalam perang. Deva Indra digambarkan bersenjatakan panah/wajra. Deva Angin dipandang sebagai deva yang penting. Yang termasuk deva-deva bumi adalah Deva Pertiwi dan Deva Agni. Deva Pertiwi adalah Deva Bumi yang sering disembah sebagai Deva Ibu. Deva Agni juga disebut Deva Api, yang sering dimohon anugerahnya sebab itu api tetap dipergunakan dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Pandangan terhadap roh-roh jahat ada dua golongan, yaitu yang tinggi dan rendah martabatnya. yang tinggi martabatnya menjadi musuh para Deva-deva seperti Deva Vrtra yaitu musuh dari Deva Indra. Deva Vrtra adalah penguasa musim kemarau. Yang rendah matabatnya adalah Raksasa, yang sering menampakan dirinya sebagai, binatang, manusia, pisaca, yang suka makan daging mentah dan mayat serta bangkai - bangkai binatang.
2.1.2. Jaman Brahmana Pada zaman ini ditandai dengan munculnya kitab Brahmana sehingga bagian dari Veda Sruti yang disebut karma kanda. Kitab ini memuat himpunan doa-doa serta penjelasan upacara korban dan kewajiban-kewajiban keagamaan. Disusun dalam bentuk prosa yang ditulis oleh bangsa Arya yang bermukim di bagian timur India Utara yaitu lembah sungai Gangga. Jumlah kitab Brahmana banyak, antara lain: 1) Rg. Veda Memiliki dua jenis yaitu Aitareya dan Kausitaki Brahmana 2) Sama Veda Memiliki kitab Tandya Brahmana yang dikenal dengan nama Panca Visma, memuat legenda kuna yang dikaitkan dengan upacara korban. 3) Yajur Veda Memiliki beberapa buah kitab antara lain Taittriya Brahmana untuk Yajur Veda hitam/Krsna dan Datapatha untuk Yajur Veda Putih/Sukla. 4) Atharva Veda Memiliki Gopatha Brahmana
Perkembangan agama Hindu pada zaman Brahmana ini merupakan peralihan dari zaman Veda Samhita ke zaman Brahmana, kehidupan beragama pada zaman Brahmana ini ditandai dengan memusatkan keaktifan pada batin/rohani dalam upacara korban. Kedudukan kaum Brahmana mendapatkan perlindungan yang baik, karena dapat berpengaruh amat besar. Hal ini terlihat pada masa pemerintahan dinasti Chandragupta Maurya (322-298 sm) di kerajaan Magadha berkat bantuan Brahmana Canakya (Kautilya). Pada zaman Brahmana pula timbul perubahan suasana yang bercirikan antara lain: 1) Korban/yajna mendapat tekanan yang berat 2) Para Pendeta menjadi golongan yang sangat berkuasa. 3) Munculnya perkembangan kelompok-kelompok masyarakat dengan berjenis-jenis pasraman. 4) Deva-deva menjadi berkembang fungsinya. 5) Timbulnya kitab-kitab Sutra. Ciri-ciri perkembangan kehidupan beragama pada zaman Brahmana ini, hidup manusia dibedakan menjadi 4 asrama sesuai dengan varna dan dharmanya yaitu: 1) Brahmacari, yaitu masa belajar mencari ilmu pengetahuan untuk bekal menjalani kehidupan selanjutnya. 2) Grhastha, yaitu tahap hidup berumah tangga dan menjadi keluarga. 3) Vanaprastha, yaitu hidup menjadi penghuni hutan/pertapa. 4) Sannyasin, yaitu kewajiban hidup meninggalkan segala sesuatu.
2.1.3. Zaman Upanisad Kehidupan agama Hindu pada zaman ini bersumber pada ajaran-ajaran kitab Upanisad yang tergolong Sruti dijelaskan secara filosofis. Konsepsi terhadap keyakinan Panca Sraddha dijadikan titik tolak pembahasan oleh para arif bijaksana dan para Rsi. Selain itu juga konsepsi terhadap tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu: dharma, artha, kama, dan moksa diformulasikan menjadi lebih jelas. Melalui upanisad yaitu duduk dekat dengan guru untuk menerima wejangan- wejangan suci yang bersifat rahasia, ajaran-ajaran tersebut diberikan kepada murid-muridnya yang setia dan patuh. Tempat berguru dilaksanakan dengan sistem pasraman, yaitu secara terbatas di hutan. Ajaran Upanisad disebut Rahasiopadesa atau Aranyaka yang berarti ajaran rahasia yang ditulis di hutan. Mengenai inti pokok dan isi upanisad yang diberikan, adalah pembahasan hakekat Panca Sraddha Tattva. Jumlah semua kitab upanisad ada 108 buah dan tiap Veda Samhita mempunyai upanisad tersendiri, antara lain: - Rg Veda, mempunyai: Aitareya upanisad, Kausitaki upanisad - Sama Veda, mempunyai: Chandogya upanisad, Kena upanisad, Maitreyi upanisad - Yajur Veda, mempunyai: Taittiriya upanisad, Svetasvatara upanisad, Ksurika upanisad, Brhadaranyaka upanisad, Jabala upanisad. - Atharva Veda, mempunyai: Prasna upanisad, Mandukya upanisad, Atharvasira upanisad. Tuntunan-tuntunan keagamaan pada zaman upanisad diarahkan untuk meninggalkan ikatan keduniawian dan kembali ke asal sebagai tujuan akhir mencapai moksa untuk menyatu pada Brahman. Sistem hidup kerohanian melalui pasraman-pasraman itu kemudian menimbulkan berbagai aliran filsafat keagamaan, yang masing-masing mencari dan menunjukkan cara atau jalan mencapai moksa itu. Aliran filsafat yang timbul keseluruhannya dapat dikelompokkan menjadi 9 yang disebut Nava Darsana terdiri dari:
Kelompok Astika yang juga disebut Sad Darsana meliputi: 1) Nyaya 2) Vaisesika 3) Mimamsa 4) Samkhya 5) Yoga 6) Vedanta
Kelompok Nastika meliputi: 1) Buddha 2) Carvaka 3) Jaina
2.2. Sejarah Agama Hindu Di Indonesia dan Perkembangannya Perkembangan agama Hindu di Indonesia, diungkapkan oleh berbagai sarjana melalui berbagai teori. Hal ini menimbulkan berbagai kesulitan untuk dapat mengetahuinya secara pasti karena tidak didapatkannya sumber sumber tertulis dari jaman itu yang berasal dari Indonesia sendiri. Menurut penelitian para ahli, secara umum dapat dikatakan bahwa masuk dan berkembangnya agama Hindu di Indonesia berasal dari India, berlangsung secara damai dan bertahap melalui kontak perhubungan dan perdagangan. Proses tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang amat panjang. Diawali dengan tukar menukar barang dagangan, kemudian kontak kebudayaan yang menyebar secara perlahan-lahan dari daerah pesisir hingga sampai masalah agama dengan mendirikan kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia. Pengaruh agama Hindu secara jelas dapat diketahui sekitar tahun 400 masehi dengan didapatkannya batu bertulis dalam bentuk Yupa di tepi sungan Mahakam Kalimantan Timur, menyebutkan tentang kerajaan Kutai. Yupa tersebut berupa tiang batu korban yang dipergunakan untuk mengikatkan bintang korban saat dilaksanakan upacara. Dari isi Yupa tersebut memberikan bukti-bukti kehidupan yang tertua di Indonesia. Yupa itu memberikan bukti-bukti kehinduan yang tertua di Indonesia. Yupa itu mempergunakan huruf Pallawa, bahasa Sanskrta. Keterangan-keterangan yang dilukiskan pada yupa itu ditinjau dari segi religi menunjukkan Sivaistis dengan Vaprakesvara pada isi Yupa yang ke tiga dari 7 buah Yupa yang ditemukan. Vaprakesvara berarti satu tempat suci yang berhubungan dengan Deva Isvara (nama lain Deva Siva). Dari yupa yang lain, juga dapat diketahui bahwa agama yang dianut di Kutai adalah agama Brahma, yaitu dengan jenis hadiah yang diberikan oleh raja Mulavarman kepada para pendeta di tempa suci Yupa. Selanjutnya pengaruh kehidupan berkembang ke Jawa Barat, yang diperkirakan mulai sekitar abad ke 5, ditandai dengan munculnya kerajaan Taruma Negara dengan rajanya bernama Purnavarman. Bukti-buti kehinduannya diberikan bukti dengan 7 buah prasasti pada batu-batu beretulis memakai huruf Pallawa dan bahasa Sanskrta. Ketujuh prasasti tersebut dijumpai di Ciaruteum, Kebon Kopi, Jambu Pasir Awi, Muara Cianten dan Lebak. Dari prasasti tersebut diperoleh keterangan bahwa raja Punavarman beragama Hindu dengan menokohkan Deva Visnu sebagai sumber pemberi kemakmuran. Hal ini jelas disebutkan dalam prasasti Tugu, bahwa raja Purnavarman dalam pemerintahannya menggali sungai Gomati yang diakhiri dengan pemberian hadiah berupa 1000 ekor lembu kepada Brahmana. Selain berupa prasasti, juga berupa arca perunggu memakai atribut Deva Visnu ada didapatkan di Cibuaya, yang memperjelas bahwa raja Punavarman di Jawa Barat menganut agama Hindu. Kehinduan berikutnya berpengaruh di Jawa Tengah, diperkirakan sekitar tahun 670 masehi, dengan diberikan persaksian berupa batu bertulis yang didapatkan di lereng gunung Merbabu. Prasasti itu memakai huruf Pallawa yang type hurufnya lebih muda dari yang ditemukan di Jawa Barat. Memakai bahasa Sanskrta. Sebagian hurufnya telah rusak dan dari yang masih dapat dibaca, menyatakan bahwa pengaruh Hindu yang berkonsepsikan Tri Murti yaitu pemujaan terhadap Deva Brahma, Visnu dan Siva muncul di Jawa Tengah, yang diperkirakan berasal dari Jawa Barat akibat kerajaan Taruma Negara mendapatkan tekanan dari kerajaan Srivijaya. Batu bertulis tersebut bernama Tuk Mas berisi gambaran atribut Deva Tri Murti seperti kendi, cakra, tri sula, kapak dan bunga teratai yang sedang mekar dengan pujian terhadap sungai Gangga di India, jelas menunjukkan identitas agama Hindu. Selain prasasti Tuk Mas juga ditemukan prasasti Canggal memakai huruf Pallawa dan bahasa Sanskrta di dekat Sleman, Jawa Tengah, juga memuat konsepsi Tri Murti. Prasasti ini memakai Candra Sangkala, yang dikeluarkan oleh raja Sanjaya pad tahun 654 Saka (732 masehi), dengan pemujaan yang lebih menonjol pada Deva Siva. Pengaruh agama Hindu di Jawa Timur dapat ditemukan pada prasasti Dinoyo, dekat kota Malang yang berangka tahun 760 masehi. Prasasti ini memakai huruf Jawa Kuna dan bahasa Sanskrta, menceritakan bahwa pada abad ke 8 itu telah ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan diperintah oleh rajanya bernama Deva Simha. Pemerintahannya sangat bijaksana dan terkenal sakti. Beliau menganut agama Hindu dengan memuja Deva Siwa. Di dalam pemerintahannya beliau mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk penghormatan terhadap deva Siva, berupa arca Maharsi Agastya. Arca ini pada mulanya dibuat dari kayu cendana kemudian diganti dengan batu hitam. Untuk peresmiannya dilaksanakan oleh para pendeta ahli veda. Arca tersebut diberi nama Kumbha Yoni yang dikenal sebagai tokoh pembawa dan penyebar agama Hindu dari India Selatan ke Indonesia. Selain arca, juga penghormatan terhadap Maharsi Agastya diabadikan dalam prasasti-prasasti dan Candi Badut dekat kota Malang. Di dalam candi tersebut berisikan sebuah Lingga dan arca Puntikesvara merupakan lambang agastya yang selalu digambarkan seperti Siva dalam wujudnya sebagai Mahaguru. Perkembangan agama Hindu berikutnya di jawa Timur dapat diketahui dari munculnya Empu Sindok sebagai peletak dasar yang memerintah di kerajaan Medang (929- 974 masehi) bergelar Sri Isana Tungga Deva Vijaya, yang berarti raja yang sangat memuliakan pemujaan terhadap Deva Siva dan berkonsepsikan Tri Murti. Kehidupan agama Siva saat ini berdampingan dengan agama Buddha dan bahkan saling mempengaruhi dan mendekati. Mpu Sindok beragama Siva dan putrinya kawin dengan Lokapala yang disebut Sugata Paksa (sebutan Budhis). Agama Siva selanjutnya banyak dipengaruhi oleh Buddha Mahayana dan filsafat Vedanta. Pada jaman ini banyak disusun buku-buku keagamaan seperti Bhuvana Kosa, Bhuvana Sanksepa, Vrhaspati Tattva, sedangkan untuk Buddha Mahayana adalah Sang Hyang Kamahayanikan. Berikutnya dalam pemerintahan raja Dharmavamsa di Jawa Timur (991 - 1016) disusun kitab hukum bernama Purvadigama yang mengambil sumber dari Veda Smrti atau Manava Dharma Sastra dan Siva Sasana. Selain itu juga kitab Mahabharata dari lndia disalin ke dalam Bahasa Jawa Kuna sebanyak 9 buah parwa. Selanjutnya pada pemerintahan Airlangga di Pasuruhan Jawa Timur (1019 - 1042) dapat disusun kitab Arjuna Vivaha, oleh Mpu Kanva dalam tahun 1030. Sikap raja Airlangga sama seperti Mpu Sindok, yaitu melindungi perkembangan agama Hindu dan Buddha. Airlangga beragama Hindu aliran Visnu, banyak mendirikan bangunan-bangunan Suci antara lain: Pertapaan di Pucangan, Patirtan di Jalatunda. Airlangga punya 2 putra, supaya tidak terjadi perebutan tahta, melalui pertolongan Mpu Bharadah pada tahun 1041, kerajaan dibagi 2 yaitu: 1) Kerajaan Jenggala (Singasari) dengan ibukotanya Kahuripan. 2) Kerajaan Panjalu (Kediri) dengan ibu kotanya Daha. Setelah selesai membagi kerajaan Airlangga menjadi pertapa dengan nama Resi Gentayu (Bhathara Guru). Tahun 1042 wafat dimakamkan di Belahan dan kemudian diarcakan dengan Visnu menaiki Garuda yang kini masih tersimpan di museum Tro Wulan Mojokerto. Dalam perkembangannya kerajaan Singasari tak ada beritanya, sedangkan Kediri tumbuh menjadi besar dan berpengaruh. Agama yang dianut adalah Hindu aliran Visnu. Pada jaman ini muncul kitab-kitab Krsnayana dalam bentuk kakawin yang digubah oleh Mpu Panuluh, Harivamsa oleh Mpu Panuluh, Gatotkacasraya oleh Mpu Panuluh, Vrittasancaya, Lubdhaka oleh Mpu Tanakung dan Summana Santaka serta Bhoma Kavya oleh Mpu Monaguna. Dalam masa Singasari dalam pemerintahan raja Kerta Negara (1268-1292) ada usahanya yang dicapai dalam memajukan perkembangan agama Hindu, yaitu dengan mengangkat seorang Dharmadhyaksa yaitu pemimpin agama Sinkretisme. Saat itu pula terjadi penyatuan agama Siva dengan Buddha yang disebut Siva Buddha. Luluhnya perpaduan agama Hindu dengan Buddha mengalami puncaknya pada masa Majapahit (1293-1528). Perkembangan kehidupan beragama hidup berdampingan secara rukun dan damai antara Siva, Visnu, dan Buddha Mahayana, sebagai bentuk bermacam- macam yang ditampilkan oleh satu kebenaran. Siva dan Visnu dinilai sama, digambarkan sebagai Hari Hara (Siva dan Visnu dalam satu arca) seperti yang ditemukan di Candi Simping (Blitar). Demikian pula Siva dan Buddha dipandang sama nilainya. Arca tersebut merupakan perwujudan yang indah dari Raden Vijaya, pendiri kerajaan Majapahit. Secara iebih jelas lagi antara Siva dan Buddha diceritakan dalam pustaka Arjuna Vivaha, Sutasoma, Kunjarakarna, Bubuksah Gagangaking. Selain itu penghormatan terhadap rajanya yang wafat yang dipandang sebagai Deva pujaannya setelah diupacarakan pelepasan jiwanya terhadap jasmaninya, didirikan sebuah patung ditempatkan pada candi penjenasahan. Upacaranya ini disebut Srdddha. Pengaturan di bidang keagamaan diatur secara bijaksana, pedoman untuk pengadilan ditetapkan sehingga kehidupan beragama berkembang dengan baik. Namun kemudian setelah masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, kejayaan kerajaan Majapahit berangsur-angsur surut. Sejalan dengan itu perkembangan agama Hindu di Jawa juga mengalami kemunduran. Perkembangan agama Hindu kemudian mengalih dari Jawa Timur ke Bali. Diperkirakan dari sebelum abad ke 8 hingga abad ke 10. Hal ini dibuktikan dengan penemuan Ye te mantra Buddha yang menyebutkan tentang Siva Siddhartha di Pejeng. Lebih jauh mengenai perkembangan berikutnya tentang Siva Buddha ini, Siva lebih menonjol. Keterangan lebih jelas temuat dalam prasasti Sukawana A. I dan lontar Bhuvana Tattva Maharsi Markandeya yang menceritakan sampai pada pendirian Pura Besakih memakai dasar Panca dhatu. Perkembangan Agama Hindu di Bali berlangsung dari masa Bali Kuna hingga sekarang mengalami kepesatan. Pada masa Bali kuna diawali dari pemerintahan raja suami istri antara Dharmodayana Varmadeva dengan Gunapriya Dharmapatni (putra Mpu Sindok) dari Jawa Timur, luluh bersatu dan mencapai puncaknya. Saat itu pula ke Bali datang Mpu Kuturan, ditugaskan menata kehidupan beragama, menegakkan dharma dan sistem kemasyarakatan, hingga Bali menjadi aman dan tertib. Perkembangan agama Hindu pada masa Bali pertengahan sampai masa Bali Baru diawali dari jatuhnya kerajaan Bali Kuna, sehingga terjadi kekosongan pimpinan di Bali, kemudian terbentuk majelis umat Hindu yang tertinggi bernama Parisada Dharma Hindu Bali. Perkembangan agama Hindu pada masa Bali pertengahan diawali dari pemerintahan Sri Krsna Kepakisan beristana di Samprangan. Kemudian diganti oleh Dalem Waturenggong mencapai puncak keemasannya, karena diangkatnya pendeta istana yang bernama Dang Hyang Nirartha, banyak jasanya dalam pembinaan agama Hindu di Bali. Dalam masa Bali baru, perkembangan agama Hindu menjadi tidak terkoordinasi karena belum ada badan yang tunggal, sehingga perkembangannya menjadi beraneka ragam. Perkembangan penghayat keagamaan banyak bermunculan dan terakhir terangkum dalam wadah Parisada Dharma Hindu Bali. Perkembangan agama Hindu di Bali dalam masa penjajahan, penanganannya mengalami pasang surut. Pada awalnya ditangani oleh Guru Tiga (Guru Rupaka, Pengajian dan Visesa) masing-masing dengan svadharmanya selanjutnya mengalami perubahan yang pelik. Khususnya dalam segi tata urutan hidup kemasyarakatan, karena dicampuri oleh penjajah, sehingga menimbulkan keresahan. Perkernbangan agama Hindu di Bali pada masa kemerdekaan khususnya pada bidang dharma negara, mengalami masa yang pelik, karena mengubah tata cara kehidupan umat tetapi tidak mengubah keyakinan terhadap agama yang telah dipeluknya. Perkembangan hidupnya agama Hindu mengalami pasang surut, karena adanya KUAP (Kantor Urusan Agama Pusat) dan KUAD (Kantor Urusan Agama Daerah) pada saat terbentuknya propinsi Administrasi Nusa Tenggara selaku Instansi tehnis, tidak diperuntukkan pada umat Hindu Kemudian muncullah penumpasan G. 30 S PKI yang dapat mendorong peningkatan kehidupan umat beragama dan akhirnya berhasil diwujudkan adanya Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha di Departemen Agama Pusat sejak tahun 1967, yangg dipandang wajar untuk memberikan tuntunan dan pengawasan terhadap pelaksanaan di daerah-daerah sampai ke tingkat Kabupaten. Selain itu juga keputusan-keputusan Pesamuhan dan Maha Sabha Parisada Hindu Dharma dapat dilaksanakan dengan baik. Sebagai wujud nyata hasil-hasil dalam dharma agama juga dapat dicapai melalui pendirian Kantor Agama di daerah Bali, pendirian sekolah PGAH, Mahavidya Bhavana Institut Hindu Dharma, Parisada dan Perhimpunan Penghayat keagamaan yang kesemuanya itu merupakan indikator adanya suatu perkembangan bagi kehidupan umat Hindu di Bali maupun di seluruh Indonesia. Selanjutnya pembinaan-pembinaan melalui penyuluhan-penyuluhan ke desa-desa hingga dapat terpadu dengan pemerintah melalui berbagai program-program pembangunan yanq selalu dikaitkan dengan keagamaan. Buku-buku tuntunan telah dapat diterbitkan, namun jumlahnya masih sangat terbatas adanya. Berikutya setelah jaman kemerdekaan diperoleh, barulah kemudian pada tanggal 3 Januari-1946 Departemen Agama Republik Indonesia berdiri, sebagai salah satu bentuk jaminan pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan adanya pemekaran struktur organisasi Departemen Agama, maka dapat dirasakan telah dapat memberikan pelayanan kepada semua umat beragama termasuk umat Hindu di Indonesia. Pembinaan untuk umat Hindu di luar Bali ditangani oleh pembimbing Masyarakat Hindu yang ada pada masing-masing Kantor wilayah Departemen Agama setempat. Dan kini hampir di seluruh propinsi di Indonesia trluh terdapat umat Hindu secara tersebar akibat pemerataan pembangunan dan program transmigrasi sehingga pendidikan-pendidikan formal untuk mendalalrni aiaran agama Hindu juga mulai berkembang, dengan berdirinya sekolah PGA Hindu di wilayah Jawa, Lampung dan Kallmantan Tengah. Untuk pembinaan keumatan dilakukan pada masing-masing pura puda saat mereka melaksanakan upacara-upacara seperti hari-hari raya besar yang lainnya seperti Galungan, Sarasvati, Pagerwesi, Nyepi dan lain sejenisnya. Tempat-tempat suci keagamaan hampir di seluruh Indonesia telah ada sesuai dengan perkembangan umat Hindu di seluruh wilayah Indonesia.