Anda di halaman 1dari 31

Weda Sebagai Sumber dan Kitab Suci Hindu

A.  Pengertian Weda
Wahyu yang diturunkan oleh Hyang Widhi melalui para Rsi, dikumpulkan atau dihimpun
menjadi suatu kitab suci. Kitab suci yang diyakini sebagai wahyu yang diturunkan oleh Hyang
Widhi disebut Weda. Kata Weda dapat dikaji melalui dua pendekatan, yaitu
berdasarkan etimologi  (akar katanya) dan berdasarkan semantic(pengertiannya). Weda sebagai
wahyu yang diturunkan Agama Hindu, secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, dari akar
kata "Wid" yang berarti mengetahui atau pengetahuan. Dari kata Weda yang ditulis dengan
huruf A (panjang) berarti pengetahuan kebenaran sejati atau kata-kata yang diucapkan dengan
aturan-aturan tertentu yang dijadikan sumber ajaran Agama Hindu. Secara semantic Weda berarti
kitab suci yang mengandung kebenaran abadi, ajaran suci atau kitab suci bagi umat Hindu.
Maharsi Sanaya mengatakan bahwa Weda adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang
mengandung ajaran yang luhur untuk kesempurnaan umat manusia serta menghindarkannya dari
perbuatan jahat.
Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna berasal dari Sang Hyang Widhi
yang didengarkan oleh Para Maha Rsi melalui pawisik (wahyu), sehingga weda
disebut Sruti yang berarti Sabda Suci atau pawisik yang didengarkan sehingga weda itu
sebagian besar adalah nyanyian-nyanyian dari Hyang Widhi yang berbentuk puisi, dalam Weda
disebut Chandra. Orang yang menghayati dan mengamalkan Weda akan mendapatkan
kerahayuan atau ketenangan lahir batin. Winternitz dalam bukunya A History of Indian
Literature, volume I (1927) menyatakan bahwa kitab suci Weda adalah monument dan susastra
tertua di dunia. Ia menyatakan bila kita ingin mengerti permulaan dari kebudayaan kita yang
tertua, kita harus melihat Rg Weda sebagai susastra tertua yang masih terpelihara. Sebab
pendapat apapun yang kita miliki mengenai susastra maka dapat dikatakan bahwa Weda adalah
susastra timur tertua dan bersama dengan itu merupakan monument susastra dunia tertua.
Demikian pula Bloomfield dalam bukunya The Religion of Weda (1908) menyatakan bahwa Rg
Weda bukan saja monument tertua tetapi juga dokumen di timur yang paling tua.

B.       Bahasa Weda
Sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa maka timbul sebuah pertanyaan, bahasa apakah yang
dipergunakan ketika wahyu itu turun dan demikian pula ketika Weda itu dituliskan. Dapat kita
lihat pada kenyataannya bahwa setiap agama memiliki bahasa wahyunya tersendiri, biasanya
bahasa kitab suci mereka adalah bahasa dimana wahyu tersebut diterima atau diturunkan. Begitu
pula sebaliknya yang terjadi pada agama Hindu, kitab suci Weda menggunakan bahasa
SansekertaKarena Maha Rsi penerima wahyu Weda tersebut menggunakan bahasa sansekerta.
Sampai saat ini bahasa sansekerta juga digunakan dalam penulisan susastra Hindu.
Istilah bahasa sansekerta adalah bahasa yang dipopulerkan oleh Maharsi bernama Panini
yang hidup pada abad ke VI sebelum masehi. Pada waktu itu Maharsi Panini mencoba menulis
sebuah kitab Vyakarana (tata bahasa) yang kemudian terkenal dengan nama Astadhayayi yang
terdiri dari delapan Adhyaya atau bab yang mencoba mengemukakan bahwa bahasa yang
digunakan dalam Weda adalah bahasa dewa-dewa. Bahasa dewa-dewa yang demikian dikenal
dengan “Daivivak” yang berarti bahasa atau “sabda dewata”.
Kemudian atas jasa Maharsi Patanjali yang menulis kitab “Bahasa” dan merupakan buku
kritik yang menjelaskan kitab Maharsi Panini yang ditulis pada abad ke II sebelum masehi,
makin terungkaplah nama Daivivak untuk menamai bahasa yang digunakan dalam penulisan
karya sastra seperti Itihasa (Sejarah), Purana (cerita-cerita kuno/mitologi). Penulis yang tampil
setelah Maharsi Panini adalah Maharsi Katyayana. Katyayana hidup di abad ke V sebelum
masehi. Katyayana dikenal juga dengan nama Vararuci dan di Indonesia salah satu karya dari
Maharsi Vararuci yaitu Sarasamuccaya telah diterjemahkan kedalam bahasa Jawa Kuno pada
masa kerajaan Majapahit.
Dengan perkembangannya yang pesat sesudah diturunkannya Weda, kemudian para ahli
Sansekerta membedakan bahasa Weda kedalam tiga kelompok, yakni:
1)   Bahasa Sansekerta Weda (Vedic Sanskrit) yakni bahasa sansekerta yang digunakan dalam
Weda yang umumnya jauh lebih tua dibandingkan dengan bahasa sansekerta yang kemudian
digunakan dalam berbagai susastra Hindu seperti dalam Itihasa, Purana, Dharmasastra,dll.
2)   Bahasa Sansekerta Klasik (Classical Sanskrit) yakni bahasa sansekerta yang digunakan dalam
karya sastra (susastra Hindu) seperti Itihasa (Ramayana dan Mahabharata), Purana (18
Mahapurana dan 18 Upapurana), Smrti (kitab-kitab Dharmasastra), kitab-kitab Agama (Tantra),
dan Darsana yang berkembang sesudah Weda.
3)   Bahasa Sansekerta Campuran (Hybrida Sanskrit) dan untuk di Indonesia oleh para ahli
menamai sansekerta kepulauan (Archipelago Sanskrit). Baik sansekerta campuran maupun
sansekerta kepulauan keduanya ini tidak murni menggunakan kosa kata atau tata bahasa
Sansekerta sebagaimana yang digunakan dalam kedua kelompok sebelumnya (Sansekerta Weda
dan Sansekerta Klasik). Contoh sansekerta campuran dapat dijumpai di India terutama pada
masyarakat yang tidak menggunakan bahasa sansekerta (kini menjadi bahasa Hindi) seperti di
India Timur atau Selatan, sedangkan di Indonesia dapat kita lihat dari Sruti, Stava atau Puja yang
digunakan oleh para pandita di Bali.
Tentang pengucapan mantra dalam Weda yang tertuang di dalam kitab Nirukta I.18 menyatakan
bahwa :
“Seseorang yang mengucapkan mantra (Weda) tidak mengerti makna yang terkandung dalam
mantra Weda tersebut, maka tidak memperoleh penerangan rohani. Seperti sebatang kayu bakar
yang disiram minyak tanah tidak akan pernah terbakar jikalau tidak ada api. Demikianlah
orang yang hanya mengucapkan (membaca), tidak mengetahui arti atau makna mantra (Weda)
maka tidak akan memperoleh cahaya pengetahuan sejati.”

C.       Umur Kitab Suci Weda


Umat Hindu meyakini bahwa Weda itu tidak berawal dan tidak berakhir dalam pengertian
waktu. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum itu atau tidak ada sesuatu yang lebih awal dari
Weda. Weda berarti sudah ada sebelum pengertian waktu itu ada. Dalam hal ini Weda telah ada
saat Brahman ada, yaitu sebelum alam semesta ini diciptakan. Brhadaranyaka Upanisad
menyatakan:
“Sa yathardraidhagner abhyahitat prtag viniscaranti, evam va are symahato bhuttasya
nihsvasitam eta dyad rgvedo yayur Wedah samavedo ‘tharvangirasa itihasah puran avidya
upanisadah slokah sutrany anuvyakhyani vyakhyani asyaivaiatani sarvani nihsvasitani”
Artinya :
(seperti juga sinar api yang dihidupkan dengan minyak campur air, berbagai asap  akan keluar
dan menyebar, begitu juga Rg Weda, Yajur Weda, samaWeda, AtharvaWeda (Atharvangirasa),
Itihasa, Purana dan ilmu pengetahuan, Upanisad, sloka, sutra (aphorisme), penjelasan, komentar-
komentar. Daripada-Nya semuanya dinafaskan)
Brhadaranyaka Upanisad II.4.20.
Bebagai pendapat ditemukan dalam dunia penelitian yaitu mengenai kapan wahyu Tuhan
tersebut diturunkan. Hal ini banyak mengundang pendapat baik dari sarjana Barat maupun para
sarjana Timur. Pada mulanya Weda diterima secara lisan dan disampaikan pula secara lisan,
karena mengingat pada saat Weda itu diturunkan belum dikenal tentang tulisan. Setelah manusia
mengenal tulisan barulah wahyu tersebut di paparkan dalam bentuk mantra-mantra oleh Maharsi
Wyasa atau Krsnadwipayana, beliau menyusun atau menuliskan kembali ajaran Weda tersebut
kedalam empat himpunan (Samhita) yang dibantu oleh empat orang siswanya. Banyak sekali
para ahli yang berpendapat tentang kapan Weda diturunkan, diantaranya yaitu:
1)   Vidyaranya mengatakan sekitar 15.000 tahun Sebelum Masehi.
2)   Lokamanya Tilak Shastri menyatakan 6000 tahun Sebelum Masehi.
3)   Bal Gangadhar Tilak menyatakan 4.000 tahun Sebelum Masehi.
4)   Dr. Haug memperkirakan tahun 2.400 tahun Sebelum Masehi.
5)   Max Muller menyatakan sekitar 1.200-800 tahun Sebelum Masehi.
6)   Heina Gelderen memperkirakan 1.150-1.000 tahun Sebelum Masehi.
7)   Sylvain Levy memperkirakan 1000 tahun Sebelum Masehi.
8)   Stutterhein memperkirakan 1000-500 tahun Sebelum Masehi.
Demikian pendapat para sarjana memperkirakan mengenai masa turunnya wahyu Weda
yang sudah sangat tua dan sampai saat ini ajaran Weda masih relevan menjadi sumber ajaran
agama Hindu dan senantiasa menjadi pegangan bagi umat Hindu.

D.      Sifat - Sifat Weda


          Sifat Weda yang utama adalah anadi ananta, artinya Weda itu bersifat abadi. Karena
Weda adalah sabda Tuhan yang diterima oleh Para Maha Rsi. Walaupun usia Weda sudah sangat
tua, namun ajaran yang terkandung didalamnya ternyata sangat relevan dengan perkembangan
zaman. Lebih jauh dapat ditegaskan sifat Weda itu adalah sebagai berikut :
1.      Weda itu tidak berawal, karena Weda merupakan sabda Tuhan yang telah ada sebelum alam
diciptakan olehNya.
2.      Weda tidak berakhir karena ajaran Weda berlaku sepanjang zaman, mengingat Weda tidak
berawal dan berakhir sehingga Weda disebut anadi ananta (abadi).
3.      Weda berlaku sepanjang zaman, maksudnya dari manusia pada zaman prasejarah sampai
manusia modern, dari manusia dengan kecerdasan tinggi maupun rendah. Weda akan
memberikan penjelasan mengenai Tuhan dan Alam Semesta ini, sesuai dengan kemampuan daya
pikir manusia sendiri.
4.      Weda itu disebut Apauruscyam¸ artinya Weda itu tidak disusun oleh manusia melainkan
diperoleh atau diterima oleh orang-orang suci atau para maharsi. Oleh karena itu, Weda bukan
agama budaya dan bukan hasil ciptaan manusia.
5.      Weda mempunnyai keluwesan, tidak kaku namun tidak berubah inti dan hakikatnya. Weda dapat
diumpamakan sebagai bola karet yang melengket, kemanapun ia digelindingkan, maka tanah
yang dilalui itu akan melengket, memberikan warna baru pada bola karet itu, namun inti karet itu
sedikitpun tidak berkurang, demikian pula bentuknya yang bundar hanya warna yang berubah
sesuai dengan daerah yang dilalui.

E.  Weda, Wahyu Tuhan Yang Maha Esa


Seperti halnya setiap ajaran agama memberikan tuntunan untuk kesejahteraan dan
kebahagiaan umat manusia lahir dan batin dan diyakini pula bahwa ajaran itu bersumber pada
ajaran Weda yang merupakan wahyu atau sabda Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan
Sruti yang artinya didengar. Weda sebagai himpunan sabda atau wahyu berasal dari
Apauruseyam (bukan dari Purusa atau Manusia), sebab para Rsi penerima wahyu hanya
berfungsi sebagai instrument (sarana) dari Tuhan Yang Maha Esa untuk menyampaikan ajaran
suci-Nya.
“Tasmad yajnat sarvahuta rcah samani yajnire, chandamsi yajnire tasmadd yajus tasmad
ajayata”
Artinya :
(Dari Tuhan Yang Maha Agung dan kepada-Nya umat manusia mempersembahkan berbagai
Yajna daripadaNyalah muncul Rg Weda dan Sama Weda. daripadaNyalah muncul Yajur Weda
dan Atharva Weda).
Yajur Weda XXXI.7.
Tentang para Rsi yang menerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa dan menyampaikan secara
lisan melalui tradisi kuno, yakni sistem perguruan yang disebut parampara, seorang pengamat
Weda dan penyusun kitab Nirukta, menyatakan:
“Saksat krta dharmana rsayo bubhuvuste saksat krtadharmabhaya upadesena mantran
sampraduh.”
Artinya :
(Para Rsi adalah orang-orang yang mampu merealisasikan dan mengerti dharma dengan
sempurna. Beliau mengajarkan hal tersebut kepada mereka yang mencari kesempurnaan yakni
yang belum melaksanakan hal itu).
Nirukta I.19.
“Rsayo mantradrastarah Rsirdarsanat stoman dadarsety aupamanyavah yadenan tapasyamanan
brahmasvayambhu abhyanarsat tad Rsinam Rsitvamiti vijnayate”
Artinya :
(Para rsi adalah mereka yang memperoleh mantra. Kata rsi berarti drasta. Acarya Upamanyu
menyatakan: mereka yang karena ketekunan melakukan tapa memperoleh dan merealisasikan
mantra Weda disebut Rsi)
Nirukta II.11
Dari uraian tersebut, maka jelaslah bahwa para Maha Rsi adalah mereka yang menerima
wahyu Tuhan Yang Maha Esa karena kesucian pribadi, hati, dan pikiran mereka yang dapat
merekaam sabda suci-Nya. Kata Maha Rsi berasal dari urat kata drs yang artinya melihat atau
memandang, dalam pengertian yang lebih luas berarti memperoleh atau menerima. Oleh karena
itu seorang Rsi disebut denganmantradrastra (mantra drestah iti Resih). Ada beberapa cara
seorang Rsi memperoleh wahyu, yaitu melalui:
1)   Svaranada, yakni gema yang diterima para Rsi dan gema tersebut berubah menjadi sabda atau
wahyu dan disampaikan kepada para siswa kerohanian didalam asrama (pasraman)
2)   Upanisad, pikiran para Rsi dimasuki oleh sabda Brahman sehingga yang diterima oleh para
siswa dari guru adalah sabda Brahman. Guru menyampaikan ajaran-Nya itu dalam suasana
pendidikan dalam garis perguruan parampara yang disebut Upanisad, yakni duduk dibawah dekat
guru untuk menerima ajaran suci-Nya.
3)   Darsana, yakni manusia berhadapan dengan dewa-dewa seperti ketika Arjuna berhadapa dengan
Hyang Siva atau Indra dalam suatu pandangan memakai mata batin (mata rohani).
4)   Avatara, yakni manusia berhadapan dengan AvataraNya seperti halnya Arjuna menerima
wejangan suci Bhagavadgita dan Sri Krisna, sang Purna Avatara.
Demikianlah Weda adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang diterima oleh para Rsi dan
merupakan sember ajaran agama Hindu yang bersifat kekal abadi (Anadi dan Ananta).

F.  Weda Kitab Suci, Sumber Ajaran Agama Hindu


Satu-satunya pemikiran secara tradisional yang kita miliki adalah yang mengatakan bahwa
Weda adalah kitab suci agama hindu. Sebagai kitab suci agama Hindu, maka ajaran Weda diyakini
dan dipedomani oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktu tertentu. Apapun yang
diturunkan sebagai ajaranNya kepada umat manusia adalah ajaran suci, terlebih lagi bahwa isinya
itu memberikan petunjuk-petunjuk atau ajaran untuk hidup beragama.
Sebagai kitab suci, Weda adalah sumber ajaran agama Hindu sebab dari Weda mengalir
ajaran yang merupakan kebenaran agama Hindu. Ajaran Weda dikutip kembali dan
memberikan warna terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab Weda
mengalirlah ajarannya dan dikembangkan dalam kitab-kitab Smrti, Itihasa, Purana, Tantra, Darsana
dan Tatwa-tatwa yang kita warisi diIndonesia. Svami Sivananda, seorang yogi besar di abad modern
ini,menyatakan Weda adalah kitab tertua dari perpustakaan umat manusia. Kebenaran yang
terkandung dalam agama hindu berasal dari Weda dan akhirnya kembali kepada Weda. Weda
adalah sumber ajaran agama, sumber tertinggi dari semua sastra agama.
Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia ini dan di akhirat nanti.
Ajaran Weda tidak terbatas hanya sebagai tuntunan hidup individual, tetapi juga dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagaimana hendaknya seseorang atau masyarakat
bersikap dan bertindak, tugas-tugas individu dan tugas-tugas umum sebagai anggota masyarakat,
demikian pula bagaimana seorang rohaniawan bertingkah laku, tugas dan kewajiban kepada negara
atau pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Segala tuntunan hidup ditunjukkan kepada kita
oleh ajaran Weda yang terhimpun dalam Kitab suci Weda.

G.  Sapta Rsi Penerima Wahyu Weda


Sepintas telah dijelaskan tentang para Rsi menerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang
kemudian terhimpun dalam kitab suci Weda. Dalam agama Hindu orang-orang suci penerima
wahyu disebut Rsi atau Maha Rsi, kata ini berarti yang memandang, melihat atau yang
memperoleh wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dalam perkembanganya kita jumpai berbagai
sebutan terhadap orang-orang suci antara lain : Muni, Sadhu, Swami, Yogi, Sannyasi, Acarya,
Upadhyaya dan lain-lain dan di Indonesia pada zaman dahulu kita mengenal istilah Mpu atau
Bhujangga, kini para Pandita dari golongan Vaisnava di Bali disebut pula dengan Rsi. Untuk
membedakan Rsi penerima wahyu Weda dengan Rsi para pandita dewasa ini, maka untuk yang
pertama disebut Maharsi atau kadangkala dapat disebut Rsi. Maharsi ini dapat disebut sebagai
nabi bagi umat Hindu dan jumlahnya tidaklah seorang, melainkan cukup banyak.
Seorang Maharsi adalah tokoh pemikir dan pemimpin agama, ia juga seorang ”Jnanin”,
filosuf dan pejuang dalam bidang agama. Ia rendah hati dan tahan uji, ia memiliki pandangan
yang luas dan mampu menatap masa depan, mampu mengendalikan indrianya, suka melakukan
tapa, brata, yoga, samadhi, karena itu ia senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Sebagai pemimpin agama ia adalah pengayom yang memberikan keteduhan dan kesejukan
kepada siapa saja yang datang untuk memohon bimbingannya.
Dengan sifat-sifat tersebut di atas, seorang Rsi adalah seorang rohaniawan, agamawan
dan sekaligus seorang pemimpin dalam bidang agama. Di dalam kitab-kitab Purana kita jumpai
pengelompokkan Rsi ke dalam 3 katagori, yaitu :
a.         DevaRsi,
b.         BrahmaRsi,
c.         RajaRsi.
Dengan adanya Rsi ke dalam tiga kelompok itu, secara tidak langsung kita mengetahui bahwa
tidak semua Rsi berstatus sebagai penerima wahyu Tuhan. Hindu berpandangan bahwa dengan
banyaknya Rsi itu umat mendapatkan teladan, figur dan penampilannya menjadi panutan,
wejangan-wejangannya memberikan kesejukan hati dan kebahagiaan yang tiada taranya,
misalnya karya Maharsi Wyasa yang memadukan unsur sejarah dan mitologi dalam karya
besarnya Mahabharata dan kitab-kitab Purana.
Disamping pengelompokan ke dalam 3 katagori tersebut di atas, kitab Matsya Purana dan
Brahmanda Purana menyebutkan 5 kelompok Rsi, sebagai berikut :
a.    BrahmaRsi, tugasnya mempelajari dan mengajarkan Weda, jadi fungsinya sebagai pandita.
b.    SatyaRsi, gelar para Rsi yang mempunyai asal-usul langsung dari Tuhan Yang Maha Esa pada
permulaan penciptaan dunia ini
c.    DevaRsi, dikaitkan dengan mantra-mantra dalam kitab suci ini seperti Marici, Bhrgu, Angira,
Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha.
d.         SrutaRsi,
e.          RajaRsi.
Pengelompokkan ini merupakan penyempurnaan pengelompokan sebelumnya dengan
menambahkan 2 kelompok baru, yaitu SatyaRsi dan SrutaRsi. Dari istilah-istilah ini dapat
dipahami bahwa nama-nama kelompok ini hanya bersifat relatif fungsional dihubungkan dengan
fungsi dan sifat yang khas dari seorang Rsi. Selanjutnya perlu kita tinjau lebih jauh kaitan
seorang Rsi dengan tugas yang dibebankan kepadanya. Seorang Rsi sebagai Brahmana, sebagai
guru dan sebagai Bhatara (yang memberikan perlindungan). Kata Brahmana adalah istilah umum
yang digunakan dalam Weda sebagai gelar untuk menamakan fungsi seseorang sebagai
pemimpin upacara agama.
Seorang Rsi karena pengetahuannya dapat berfungsi sebagai pemimpin dalam
melaksanakan upacara agama, ia juga merupakan seorang Brahmana. Demikian pula karena
memiliki kemampuan untuk mengajarkan dalam rangka penyebar luasan ajaran Weda dan
Dharma, maka secara fungsional ia adalah seorang guru. Di dalam Manavadharmasastra
disebutkan adanya beberapa jenis guru, demikian pula halnya dengan Brahmana. Seorang guru
disebut Acarya, Mahcarya atau Upadhyaya, tetapi guru ini belum tentu seorang Rsi.
Seorang disebut Acarya bila ia telah menguasai seluruh isi Weda, termasuk Itihasi,
Purana, Wedangga, dan kitab-kitab susastra Hindu yang lain. Sebaliknya seorang Upadhyaya,
hanya dianggap cukup bila ia menguasai Wedangga. Selanjutnya seorang Rsi sebagai Bhatara
(pelindung) sekaligus seorang pemimpin baik dalam bidang kerohanian, politik dan
pemerintahan dan bahkan menjadi panglima perang sebagai contoh adalah Rsi Bhisma, Drona
dan sebagainya.
Di Bali pada masa pemerintahan Dharma Udayana Varmadeva, Mpu Rajakrta menjabat
Senapati Kuturan dan kemudian nama ini populer menjadi Mpu Kuturan yang merintis
Kahyangan Tiga dengan desa Pakraman di daerah ini. Seorang Brahma Rsi menurut kitab
Brahmanda Purana tugasnya mempelajari dan mengajarkan Weda, jadi fungsinya sebagai
pandita. Adapun seorang yang dinyatakan sebagai SatyaRsi adalah gelar para Rsi yang
mempunyai asal-usul langsung dari Tuhan Yang Maha Esa pada permulaan penciptaan dunia ini.
Beliau pula yang mula-mula disebut sebagai Bhatara, misalnya Bhatara Manu dan lain-lain.
Kelompok Deva Rsi dikenal pula dengan nama Prajapati. Di dalam kitab brahmanda
Purana disebutkan adanya 9 Prajapati, yaitu : Marici, Bhrgu, Angira, Pulastya, Pulaha, Kratu,
Daksa, Atri dan Vasistha. Di antara 9 Prajapati itu ada pula yang disebut-sebut namanya dalam
kitab Rg Weda, sebagai Rsi yang dikaitkan dengan mantra-mantra dalam kitab suci ini. Adapun
4 kelompok lainnya (Brahma, Satya, Sruta dan Raja Rsi) di dalam Brahmanda Purana masing-
masing disebutkan berturut-turut : Sonaka, Sananda, Sanatana dan Sanatkumara.
Disamping nama-nama yang telah disebutkan di atas, terdapat pula keterangan lain yang
menyebutkan kelompok Sapta Rsi penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun
dalam Weda. Weda sebagai Sabda suci atau pawisik Sang Hyang Widhi yang diterima oleh Para
Maha Rsi. Keterangan ini dapat dijumpai pada sebuahKitab Nirupta. Para Maha Rsi sebagai
penerima Sabda Suci atau Pawisik (Mantra Drestah Iti Resih) artinya orang-orang yang
melihat atau mendapat mantra-mantra itu.
Menurut kitab-kitab Purana maupun Manavadharmasastra, nama-nama SaptaRsi
dikaitkan dengan jangka waktu tertentu. Satu jangka waktu atau Yuga manusia dibimbing oleh
adanya Sapta Rsi disamping Rsi-Rsi lainnya. SaptaRsi atau Sapta Maharsi ini merupakan
pengembala utama umat manusia dan penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Adapun SaptaRsi
dan keluarga (Gotra) dari Sapta (Maha) Rsi, yang paling banyak disebut adalah: Grtsamada,
Visvamitra, Vamadeva, Atri, Bharadvaja, Vasistha dan Kanva. Untuk mengenal lebih jauh
tentang masing-masing dari para Rsi itu serta kaitannya dengan turunnya Weda dapat dijelaskan
hal-hal penting sebagai berikut:
a.         Rsi Grtsamada
Maharsi Grtsamada adalah Maharsi yang banyak dihubungkan dengan turunnya mantra-
mantra Weda, terutama Rg Weda mandala II. Dari beberapa catatan diketahui bahwa
Grtsamada adalah keturunan dari Sunahotra, keluarga Angira, adapula penjelasan lain yang
menyatakan bahwa Grtsamada adalah keturunan Bhrgu. Dengan demikian sejarahnya tidak
diketahui dengan pasti, sedang di dalam Mahabharata, ia disebutkan keturunan Maharsi Sonaka
dan  dinyatakan sebagai keturunan Bharadvaja.
b.         Rsi Visvamitra
Maharsi Visvamitra adalah Maharsi kedua yang banyak disebut-sebut namanya dan
dikaitkan dengan seluruh Rg Weda mandala III. Kitab mandala III Rg Weda ini terdiri dari 58
Sukta. Setelah diadakan penelitian, ternyata tidak semua Sukta itu dikaitkan dengan nama
Visvamitra karena diantara mantra-mantra itu ada menyebutkan Maharsi lainnya, seperti Kusika,
Isiratha dan lain-lain. Visvamitra adalah putra Rsi Musika. Disamping itu dijumpai pula nama
Rsi Jamadagni sebagai Maharsi yang dikaitkan dengan mandala III Rg Weda.
c.          Rsi Vamadeva
Maharsi Vamadeva banyak dihubungkan dengan kitab Rg Weda mandala IV. Di dalam
kitab-kitab Purana diceritakan bahwa Vamadeva sempat mengadakan dialog dengan deva Indra
dan Aditi, suatu hal yang tidak dapat dibayangkan oleh pikiran kita, kecuali kita memberikan
penafsiran bahwa maksudnya adalah untuk menjelaskan bahwa Vamadeva memperoleh
kesempurnaan selagi beliau masih muda. Maharsi Vamadeva disebut memberikan petunjuk
untuk mencapai kesempurnaan sejati.
d.         Rsi Atri
Maharsi Atri pada umumnya banyak dikaitkan dengan turunnya mantra-mantraRg Weda
mandala V. Di dalam Matsya Purana, nama Atri tidak saja sebagai nama keluarga, tetapi juga
sebagai nama pribadi. Dinyatakan bahwa dalam keluarga Atri yang tergolong Brahmana
dijumpai pula beberapa nama dari keluarga Atri seperti : Saryana, Udvalaka, Sona, Sukratu,
Gauragriva dan lain-lain. Dalam cerita lainnya dikemukakan pula informasi bahwa Maharsi Atri
banyak dikaitkan dengan keluarga Angira. Bila kita baca dengan teliti Rg Weda mandala V,
tampaknya tidak hanya Maharsi Atri yang menerima wahyu untuk mandala ini, tetapi juga
Druva, Prabhuvasu, Samvarana, Gauraviti, Putra Sakti dan lain-lain. Dikemukakan pula bahwa
di antara keluarga Atri, 36 Rsi tergolong penerima wahyu. Kemungkinan nama-nama itu adalah
keturunan dari Maharsi Atri.
e.       Rsi Bharadvaja
Rsi Bharadvaja adalah Maharsi yang banyak dikaitkan dengan turunnya mantra-mantra
dari Rg. Weda Mandala VI, kecuali ada beberapa saja yang diturunkan melalui Sahotra dan
Sarahotra. Adapun nama-nama lain, seperti Nara, Gargajisva adalah nama Rsi penerima wahyu
dari keluarga Bharadvaja. Di dalam kitab-kitab Purana dijelaskan bahwa Bharadvaja adalah putra
Brihaspati, cerita ini belum dapat dipastikan kebenarannya karena disamping keterangan lain
yang mengatakan bahwa Samyu dengan Bharadvaja masih dalam satu keluarga.
f.       Rsi Vasistha
Nama Vasistha sering digunakan sebagai nama keluarga kadang kala sebagai nama pribadi.
Rsi Vasistha banyak dikaitkan dengan turunnya mantra-mantra Rg Weda mandala VII. Salah
seorang keturunan Rsi Vasistha adalah Rsi Sakti yang juga terkenal sebagai penerima wahyu. Di
dalam kitab Mahabharata nama Vasistha disamakan dengan Visvamitra. Di dalam kitab Matsya
Purana, dinyatakan bahwa Rsi Vasistha mengawini Arundhati, saudara perempuan Devarsi
Narada. Dari padanya lahir seorang putra bernama Sakti.
g.      Rsi Kanva
Maharsi Kanva merupakan Maharsi penerima wahyu dan banyak dikaitkan dengan Rg Weda
mandala VIII. Mandala ini isinya bermacam-macam Sukta. Kanva adalah nama pribadi dan
juga nama keluarga. Mandala VIII dinyatakan diterima oleh keluarga Sakuntala. Disamping Rsi
Kanva terdapat pula nama-nama Rsi lainnya seperti Kasyapa, putra Marici. Maharsi Kanva
mempunyai putra bernama Praskanva. Nama-nama Rsi yang lain yang juga dapat dijumpai
dalam mandala VIII adalah: Gosukti, Asvasukti, Pustigu, Bhrgu, Manu, Vaivasvata, Niopatithi
dan sebagainya. Adapun mandala IX dan X Rg Weda merupakan mandala yang paling lengkap.
Mandala ini memuat pokok-pokok ajaran agama Hindu yang sangat penting dan sangat
bermanfaat untuk diketahui.
Disamping nama-nama Rsi sebagai telah dikemukakan diatas, tampaknya penggunaan Rsi
itu telah cukup merasuk sampai ke Bali. Dalam mempelajari perkembangan agama Hindu
didaerah ini, kita jumpai pula tokoh-tokoh yang juga disebut Saptarsi yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan agama Hindu.
Disamping Sapta Rsi tersebut diatas masih banyak lagi Maha Rsi lain sebagian penerima
Wahyu atau pawisik yang berjasa dalam mengelompokkan Weda serta berjasa menyusun dalam
penulisan Kitab Suci Weda. Dalam tradisi Hindu disebutkan bahwa Maha Rsi terbesar yang
sangat banyak jasanya dalam mengkodifikasikan atau menghimpun Weda adalah Bhagawan
Wyasa, dimana beliau dibantu oleh empat orang siswanya atau muridnya yaitu :
1.    Maha Rsi Pulana yang juga disebut Paila, sebagai penyusun Reg Weda
2.    Maha Rsi Waisampayana sebagai penyusun Yajur Weda
3.    Maha Rsi Jaimini sebagai penyusun Sama Weda
4.    Maha Rsi Sumantu sebagai penyusun Atharwa Weda
Keempat Weda tersebut diatas disebut Catur Weda Samhita. Disamping menghimpun
Catur Weda Samhita tersebut, Maha Rsi Wyasa juga sebagai penyusun kitab Mahabharata,
Purana, Bhagawadgita, dan Brahmasutra. Maha Rsi Wyasa dikenal pula dengan nama Kresna
Dwipayana Wyasa, Bhagawan Wyasa dan Wyasadewa.
Berdasarkan keterangan diatas, maka Pawisik atau wahyu tersebut tidak hanya diterima
oleh seorang Maha Rsi saja melainkan oleh banyak Maha Rsi dari keluarga yang berbeda
ditempat yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda pula. Pengumpulan berbagai Mantra
menjadi himpunan buku-buku merupakan usaha kodifikasi Weda. Selain itu banyak lagi usaha
yang dilakukan dalam mengkodifikasi atau mengumpulkan ayat-ayat suci tersebut sehingga
dapat dilestarikan. Usaha menyusun atau mengkodifikasi itu ada beberapa kecenderungan yang
dipergunakan sebagai cara penghimpunannya yaitu :
1.      Didasarkan atas usia ayat-ayat termasuk tempat geografis turunnya ayat-ayat itu.
2.      Didasarkan atas sistem pengelompokkan isi, fungsi dan guna mantra-mantra itu.
3.      Didasarkan atas resensi menurut system keluarga atau kelompok geneologis.

H.  Weda sebagai Sumber Hukum Hindu


Maharsi Manu, peletak dasar hukum Hindu menjelaskan bahwa Weda adalah sumber dari
segala Dharma :
”Vedo ’khilo dharma mulam smrti sile ca tad vidam, acarasca iva sadhunam atmanas tustir
eva ca”
Artinya :
 (Weda adalah sumber dari segala Dharma, yakni agama, kemudian barulah Smrti, disamping
Sila (kebiasaan atau tingkah laku yang baik dari orang yang menghayati dan mengamalkan
ajaran Weda) dan kemudian Acara yakni tradisi-tradisi yang baik dari orang-orang suci atau
masyarakat yang diyakini baik serta akhirnya Atmatusti, yakni rasa puas diri yang
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa).
Manavadharmasastra II.6.
Berdasarkan kutipan di atas, kita mengenal sumber-sumber hukum Hindu menurut
kronologisnya seperti berikut :
a.  Weda (Sruti).
Dalam ajaran agama Hindu, Weda termasuk dalam golongan Sruti.Weda diyakini sebagai
sastra tertua dalam peradaban manusia yang masih ada hingga saat ini. Setelah tulisan
ditemukan, para Rsi menuangkan ajaran-ajaran Weda ke dalam bentuk tulisan.
b.  Smrti (Dharmasastra).
Smrti (Dharmasastra) adalah Weda juga, karena kedudukannya dipersamakan dengan Weda
(Sruti).
c.  Sila (tingkah laku orang suci).
d. Acara (Sadacara).
Sadacara berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata Sat dan Acara. Sat adalah Satya yang
berarti kebenaran Weda dan Acara artinya tradisi yang baik.
’Acara ngarania prawrti kawarah sang hyang aji’’.
Artinya:
Acara adalah pelaksanaan ajaran pustaka suci agama.
Sarasamuscaya 177
Dari pemahaman ini Sadacara adalah ajaran Weda yang Sanatana Dharma itu diterapkan menjadi
tradisi suci.
e.       Atmatusti (Amanastuti).
Atmanastusti adalah tercapainya kepuasan diri dan kebahagiaan rohani baik dalam upacara
yadnya maupun dalam berbagai kegiatan sehari-hari. Implementasi Atmanastusti dalam
kehidupan masyarakat Bali, misalnya dalam sebuah paruman desa adat, dalam teknik
pengambilan keputusan secara ilmiah ditinjau dari hukum hindu sebagaimana disebutkan
bahwa :
1.     Dengan rasa puas diri, berarti keputusan yang di ambil dapat memuaskan diri setiap orang. 
2.     Atmatusti dan disebut juga dengan istilah Santosa yang mempunyai makna dapat memuaskan
semua orang.
3.     Atmanastusti baru kemudian diambil sebagai keputusan bersama,
Pada intinya disebutkan bahwa Atmanastusti itu sebagai kepuasan diri atau setiap orang yang
dapat dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk lebih menengakkan
tentang kedudukan sumber-sumber hukum Hindu itu, lebih jauh sloka-sloka
Manawadharmasastra menyatakan sebagai berikut :
”Srutistu Vedo dharma sastramtu vai smrtih, te sarvarthesvamimamsye tabhyam dharmohi
nirbabhau”.
Artinya :
(Sesungguhnya Sruti (Wahyu) adalah Weda, demikian pula Smrti itu adalah Dharmasastra,
keduanya tidak boleh diragukan dalam hal apapun, sebab keduanya adalah kitab suci yang
menjadi sumber dari agama dan hukum Hindu).
Manavadharmasastra II.10.
Dari terjemahan sloka di atas, dapat ditegaskan bahwa ke lima sumber hukum Hindu itu
kebenarannya tidak dapat dibantah. Kedudukan sloka II.6 dan II.10 di atas merupakan dasar yang
harus dipegang teguh dalam hal kemungkinan timbulnya perbedaan pengertian mengenai
penafsiran hukum yang terdapat di dalam berbagai kitab agama. Maka kedudukan yang pertama
lebih tinggi dari sumber hukum berikutnya. Ketentuan ini ditegaskan lebih lanjut di dalam sloka
Manavadharmasastra berikutnya :
”Sruti dvaidham tu yatrasyattatra dharmavubhau smrtau, ubhavapi hi tau dharmau samyuktau
manisibhih”.
Artinya :
(Bila dua kitab Sruti bertentangan satu dengan yang lainnya, keduanya diterima sebagai hukum
karena keduanya telah diterima oleh orang-orang suci sebagai hukum).
Manavadharmasastra II.14.
Dari ketentuan ini maka tidak ada ketentuan yang membenarkan adanya sloka yang satu
harus dihapus oleh sloka yang lain, melainkan keduanya harus diterima sebagai hukum.
Disamping sloka-sloka di atas, masih ada sloka yang penting pula artinya di dalam memberi
batasan tentang pengertian sumber hukum itu, yaitu sloka berikut :
”Wedah smrtih sadacarah svasya ca priyatmanah, etas catur vidham prahuh saksad dharmasya
laksanam”.
Artinya :
(Weda, Smrti, Sadacara dan Atmanastuti mereka nyatakan sebagai empat dasar usaha untuk
memberikan batasan tentang Dharma).
Manavadharmasastra II.12.
Terjemahan sloka di atas menyederhanakan sloka II.6, dengan meniadakan ”Sila”, karena
Sila dengan ”Sadacara” mengandung arti yang mirip dan bahkan sama. Sila berarti kebiasaan dan
Sadacara juga berarti kebiasaan. Selanjutnya di Indonesia kita jumpai kitab Sarasmuscaya yang
merupakan karya dengan mengambil sumber kitab Mahabharata dan Purana, juga memberikan
penjelasan tentang Weda sebagai sumber hukum Hindu sebagai berikut :
”Sruti wedah samakhyato dharmasastram tu vai smrtih, te sar vathesvamimasye tabhyam
dharmo vinirbhrtah”.
(Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smrti itu sesungguhnya adalah Dharmasastra
keduanya harus diyakini dan dituruti agar sempurnalah pelaksanaan dharma itu).
Sarasmuccaya 37.
Penjelasan dan terjemahan kitab Sarasmuccaya di atas didasarkan pada teks Sansekerta,
sedang teks Jawa kunonya merupakan terjamahan yang sudah diperluas atau dikomentari oleh
penerjemah jawa Kuno, namun demikian baik Manavadharmasastra maupun Sarasamuccaya
meyakini bahwa Sruti dan Smrti itu adalah dua sumber hukum dalam melaksanakan Dharma.
Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam Weda sebagai
sumber hukum, bersifat memaksa dan mutlak harus dipatuhi, kitab Manavadharmasastra
menyatakan hal itu :
”Kamatmata na prasasta caivehastya kamaka, kamyohi wedadhigamah karmayogasca
vaidikah”.
Artinya :
(Berbuat karena nafsu untuk memperoleh pahala tidaklah terpuji namun berbuat tanpa keinginan
akan pahala tidak dapat kita jumpai di dunia ini karena keinginan-keinginan itu bersumber dari
mempelajari Weda dan karena itu setiap perbuatan diatur oleh Weda)
Manavadharmasastra II.2.
”Tesu samyag varttamano gacchatyabmaralokatam, yatha samkalpitamcceha sarvan kaman
samasnute”.
Artinya :
(Ketahuilah bahwa ia yang selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dengan
cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang sempurna kelak dan memperoleh semua
keinginan yang diharapkan).
Manavadharmasastra II.5.
”Yo’vamanyeta te mule hetu sastra srayad dvijah, sa sadhubhir bahiskaryo nastiko weda
nindakah”.
Artinya :
(Setiap dvijati yang menggantikan dengan lembaga dialektika dan memandang rendah kedua
sumber hukum itu (Sruti dan Smrti) harus dijauhkan dari orang-orang bajik sebagai orang atheis
yang menentang Weda).
Manavadharmasastra II.11.
”Pitr deva manusyanam wedas caksuh sanatanah, asakhyamca ’prameyamcca wedasastramiti
sthitah”.
Artinya :
(Weda adalah mata yang abad dari para leluhur, dewa-dewa dan manusia. Peraturan-peraturan
dalam Weda sukar dipahami oleh manusia dan itu adalah kenyataan).
Manavadharmasastra XII.94.
”Ya weda vahyah smrtayo yasca kasca kudrstayah, sarvastanisphala tamo nisthahitah smrtah”.
Artinya :
(Semua tradisi dan sistem kefilsafatan yang tidak bersumber pada Weda tidak akan memberi
pahala kelak sesudah mati karena dinyatakan bersumber pada kegelapan).
Manavadharmasastra XII.95.
”Utpadnyante syavante ca yanyato nyani kanicit, tanyarvakalika taya nisphalanya nrtani ca”.
Artinya :
 (Semua ajaran yang menyimpang segera akan musnah, tidak berharga dan palsu karena tidak
berpahala).
Manavadharmasastra XII.96
”Vibharti sarva bhutani wedasastram sanatana, tasmadetat param manye yajjantorasya
sadhanam”.
Artinya :
 (Ajaran Weda menyangga semua makhluk ciptaan ini, karena saya berpendapat, hal itu harus
dijunjung tinggi, jalan menuju kebahagiaan semua makhluk.
Manavadharmasastra XII.9
”Senapatyam ca rajyam ca dandanetri tvam eva ca, sarva lokadhipatyam ca weda sastra
vidarhati”.
Artinya :
 (Panglima Angkatan Bersenjata, pejabat pemerintah pejabat pengadilan dan penguasa atas
semua manusia di dunia ini hanya layak kalau mengenal ajaran Weda).
Manavadharmasastra XII.100.
Terdapat beberapa sloka yang menekankan pentingnya Weda sebagai sumber ajaran
Hindu maupun sebagai sumber hukum dalam membina masyarakat, oleh karena itu berdasarkan
ketentuan-ketentuan di atas pemahaman dan penghayatan ajaran Weda sangat penting karena
bermanfaat tidak saja kepada mereka yang mendalami dan mengamalkannya tetapi juga kepada
masyarakat yang dibinanya.

I.     Pengkodifikasian Weda
Kitab Weda merupakan naskah suci pokok dari agama hindu. Weda adalah pengetahuan
suci yang sangat luar biasa. Weda diterima melalui Maha Rsi bukan orang biasa maka kebenaran
Weda adalah mutlak tidak dapat diragukan lagi. Berdasarkan materi dan luas ruang lingkup
isinya, jenis buku Weda itu banyak jumlahnya. Weda mencakup berbagai aspek kehidupan yang
menyangkut manusia. Maha Rsi Manu membagi jenis Weda kedalam dua kelompok besar,
yaitu Weda Sruti dan Weda Smrti.
Pembagian dalam dua jenis Weda ini selanjutnya dipakai untuk menamakan semua jenis
buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda secara tradisional. Kelompok Weda Sruti isinya
hanya memuat wahyu sedangkan kelompok Weda Smrti isinya adalah ingatan kembali
terhadap Sruti. Jadi, Smrti merupakan buku pedoman yang isinya tidak bertentangan dengan
Sruti Bila dibandingkan dengan ilmu politik, Sruti adalah UUD-nya Hindu sedangkan Smrti
adalah UU pokok dan UU pelaksanaannya adalah Nibandha. Keduanya merupakan sumber
hukum yang mengikat yang harus diterima. Oleh karena itu, Bhagawan Manu menegaskan dalam
kitabnya Manawa Dharmasastra II.10 sebagai berikut :
Srutistu Weda Wijneyo dharmacastram tu wai Smrtih. te sarwartheswam imamsye tabhyam
dharmohi nirba bhau.
"Sesungguhnya Sruti (wahyu) adalah Weda demikian pula Smrti itu adalah Dharmasastra,
keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci
yang menjadi sumber dari Agama Hindu (Dharma)".
Manawa Dharmasastra. II. 10
Penghimpunan dan pengkodifikasian weda sangatlah penting dilakukan, karena wahyu
Hyang Widhi diberbagai tempat yang diterima oleh beberapa Maha Rsi, penyampainnya masih
dalam bentuk lisan dari mulut ke mulut serta hanya disampaikan kepada orang tertentu saja. Oleh
karena itu menjadi sangat penting untuk mengkodifikasikan Weda sehingga dapat dilestarikan
dan disampaikan kepada semua umat Hindu. Weda secara garis besarnya dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu Weda Sruti dan Weda Smrti.
1). Weda Sruti
Weda Sruti adalah kelompok Weda yang ditulis oleh para Maha Rsi
melaluipendengaran langsung dari wahyu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kelompok Weda Sruti
menurut Bhagawan Manu merupakan Weda yang sebenarnya atau weda orisinil. Menurut sifat
isinya, weda sruti dibagi menjadi tiga bagian antara lain :
1.    Bagian mantra (Mantra Samhita)
Kitab Mantra atau Mantra Samhita umurnya sangat tua dan merupakan dokumen umat
manusia tertulis yang tertua dan masih ada sampai sekarang. Kitab ini ditulis dalam bentuk syair
atau prosa liris, bahasanya bahasa Sansekerta Weda (Wedic Sanskrit). Syair-syair tersebut
terkumpul dalam empat himpunan mantra yang masing-masing disebut samhita. Keempat
samhita tersebut disebut Catur Weda Samhita yang terdiri dari :
a.  Rg. Weda atau Rg. Weda Samhita merupakan kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran-
ajaran umum dalam bentuk pujaan (Rc atau Rcas) Arc =memuja. Rg. weda terdiri dari 10.552
mantra, isinya syair-syair pujaaan. Kitab ini merupakan Weda yang tertua dan yang terpenting,
isinya terdiri dari 10 mandala. Dan mandala yang ke-10 adalah mandala yang terpenting karena
menunjukkan kebenaran yang mutlak. Pendeta penyajinya disebut Hort (Horti). Kitab Rg. Weda
dikumpulkan dalam berbagai jenis resensi, seperti resensi Sakala, Baskala, Aswalayana,
Sankhyayana, dan Madukeya. Dari lima macam resensi ini, yang masih terpelihara adalah
resensi sakala, sedangkan resensi-resensi lainnya banyak yang tidak sempurna lagi karena
mantra-mantranya hilang. Rg.Weda terbagi atas 10 mandala yang tidak sama panjangnya  
b.      Sama Weda atau Sama Weda Samhita merupakan kumpulan mantra-mantra yang memuat
ajaran umum mengenai lagu-lagu pujaan atau saman yang dinyanyikan waktu upacara. Sama
Weda terdiri dari 1.875 mantra. Kata sama berarti irama atau melodi. Pendeta penyajinya
disebut Udgatr (Udgatri). Sama Weda terdiri dari dua bagian, yaitu :
1.      Bagian Arcika terdiri dari mantra-mantra pujaan yang bersumber pada Rg. Weda.
2.      Bagian Uttararcika, yaitu himpunan mantra-mantra yang bersifat tambahan. Kitab ini terdiri dari
beberapa buku nyanyian pujaan (gana). Dari kitab-kitab yang ada, yang masih dapat dijumpai
antara lain Ranayaniya, Kutama, dan Jaiminiya (Talawakara).
c.       Yajur Weda atau Yajur Weda Samhita merupakan kumpulan mantra-mantra yang memuat
doa-doa pujaan atau pokok-pokok yadnya, yang terdiri dari 1.975 mantra. Pendeta penyajinya
disebut Adwaryu. Yajur Weda terdiri dari mantra-mantra yang sebagian besar berasal dari Rg.
Weda, ditambah dengan beberapa mantra tambahan baru. Tambahan ini umumnya berbentuk
prosa. Menurut Bhagawan Patanjali, kitab ini terdiri dari 101 resensi yang sebagian besar sudah
lenyap. Kitab ini terdiri atas dua aliran, yaitu :
1.      Yajur Weda Hitam (Kresna Yajur Weda) yang terdiri atas beberapa resensi yaitu
Katakhassamhita, Mapisthalakathasamhita, Maitrayamisamhita, dan Taithiriyasamhita (terdiri
dari dua aliran, yaitu Apastamba dan Hiranyakesin).
2.      Yajur Weda Putih (Sukla Yajur Weda juga dikenal Wajasaneyi Samhita). Kitab ini terdiri dari
dua resensi, yaitu Kanwa dan Madhayandina.
Perbedaan pokok antara kedua Yajur Weda ini terletak pada penggunaan mantra. Mantra pada
yajur weda putih diucapkan sebagai doa-doa dalam suatu upacara, sedangkan mantra pada Yajur
Weda Hitam menguraikan tentang arti dari upacara itu sendiri.
d.      Atharwa Weda atau Atharwa Weda Samhita terdiri dari 5.987 mantra. Diantara mantra-
mantra itu banyak yang berbentuk prosa. Isinya adalah tuntunan hidup sehari-hari yang
berhubungan dengan hidup keduniawian. Banyak mantranya bersifat magis (Atharwan). Pendeta
penyajianya disebutBrahmana. Kitab ini terdiri dari Resensi Saunaka dan Paipplada.
 Dari keempat kelompok Weda itu, tiga kelompok pertama sering disebut sebagai mantra yang
berdiri sendiri. Oleh karena itu disebut Trayi weda atau Tri Weda.
2.    Bagian Brahmana (Karma Kanda)
Kitab-Kitab Brahmana memuat ajaran tentang kewajiban-kewajiban hidup beragama.
Kewajiban-kewajiban ini antara lain kewajiban untuk melakukan upacara korban atau yadnya.
Setiap Kitab Suci Weda memilki kitab Brahmananya sendiri-sendiri. Kitab Reg Weda memiliki
dua buah kitab Brahmana yaitu: Aetareya Brahmana dan Kausitaki Brahmana yang juga disebut
Sankhyana Brahmana. Kitab yang pertama terbagi atas 40 bab, sedangkan kitab yang kedua
terdiri dari 30 bab. Kitab Sama Weda memiliki beberapa kitab brahmana yaitu: Tandya
Brahmana (Panca Wirusa), Sadwirusa Brahmana, Adbhuta Brahmana. Kitab Yajur Weda
memiliki dua kitab brahmana yaitu: Taittiriya Brahmana (milik Sukla Yajur Weda). Kitab
Atharwa Weda memiliki kitab Gopatha Brahmana.
3.    Bagian Upanisad/Aranyaka (Jnana Kanda)
Kata Upanisad berarti duduk dibawah dekat seorang guru untuk menerima ajaran-ajaran
yang bersifat rahasia. Pokok ajaran Upanisad berkisar pada dua asas
yaitu Brahman dan Atman.Brahman adalah asas alam semesta, dan Atma adalah asas manusia.
Upanisad-upanisad yang dipandang paling penting, yaitu: Isa Upanisad, Kena Upanisad, Katha
upanisad, Aetareya Upanisad, Taiitiriya Upanisad, Kausitaki Upanisad dan Swetaswatara
Upanisad.
Kitab Aranyaka merupakan kelanjutan dari kitab Brahmana. Kitab ini merupakan pedoman
bagi orang yang sudah melaksanakan Wanasprasta. Kitab ini isinya interpretasi upacara-upacara
keagamaan. Kitab ini disebut rahasya Jnana karena isinya bersifat rahasia. Kitab-kitab 
Aranyaka yaitu: Aetareya Aranyaka (milik Reg Weda). Tandra Aranyaka (Milik Sama Weda),
Satapatha Aranyaka (milik Atharwa Weda). Menurut DR.G Sriniwasa Murti bahwa tiap-tiap
sakha yaitu cabang ilmu dari kitab suci Weda merupakan satu Upanisad. Dalam penelitian beliau
dinyatakan bahwa kitab Catur Weda Samhita memiki 1.180 sakha yang perinciannya sebagai
berikut: Reg Weda memiliki 21 sakha, Sama Weda memiliki 1.000 sakha, yajur Weda memilki
109 sakha dan Atarwa Weda memiliki 50 sakha. Jadi semestinya ada 1.180 sakha, namun
berdasarkan catatan Muktikopanisad jumlah upanisad yang ada sebanyak 108 buah buku, setiap
Weda dari Catur Weda memilki kitab Upanisad sebagai berikut:
a.     Upanisad yang termasuk Reg Weda berjumlah 10 Upanisad yaitu: Aetareya, Kausitaki, Nada-
Bindu, Atmaprabedha, Nirwana, Mudgala, Aksamalika, Tripura, Saubhaya, dan Brahwrca
Upanisad.
b.    Upanisad yang termasuk Sama Weda berjumlah 16 Upanisad yaitu: Kena, Chandogya, Aruni,
Maitrayani, Maitreyi, Wajrasucika, Yogacudamani, Wasudewa, Mahat, Sanyasa, Awyakta,
Kondika, Sawitri, Rudraksajabala, Darsana dan Jabali Upanisad.
c.     Upanisad yang termasuk Yajur Weda:
-          Yajur Weda Hitam berjumlah 32 Upanisad: Kanthawali, Taittiriyaka, brahma, Kaiwalya,
Swetaswatara, Garbha, Narayana, Amrtabindu, Asartanada, Katagnirudra, Kausika,
Sukharahasya, Tejebindu, Dyanabindu, Brahmawidya, Yogatattwa,  Daksinamurti, Skanda,
Sariraka, Yoga Sikha, Ekasara, Aksi, Awadhuta, Katha, Rudrahredaya, Yogakundalini,
Pancabrahma, Pranagnihotra, Wahara, Kalisandraha, Ratnakhata dan Saraswatirasya Upanisad.
-          Yajur Weda Putih berjumlah 19 Upanisad: Isawasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa,
Paramahamsa, Subata, Mantrika, Niralambha, Trisikhibrahmana, Turiyatitah, Adwanyataraka,
Pinggala, Bhiksu, Adhyatma, Tarasara, Yadnyawalkya, Satyayani, Muktika dan Mandala
brahmanaa Upanisad.
d.      Upanisad yang termasuk Atharwa Weda  Berjumlah 31 Upanisad: Prasna, Mundaka, Mandhuka,
Atharwasria, Atharwasikha, Brhaajjabala, Nrsimhatapini, Naradapariwrrjaka, Sita,
Mahanarayana, Ramarahasya, Ramatapini, Sandilya, Paramahamsa, Annapurna, Surya, Atma,
Pasupata, Parabrahma, Tripuratapini, Dewi, bhawana, Brahma, Ganapati, Mahawakaya,
Gopalatapini, Krsna, Hayagriwa, Dattatreya, Garuda, Sarabha.
2). Weda Smrti
Kitab Weda Smrti adalah kitab yang ditulis berdasarkan ingatan yang bersumber kepada
Weda Sruti. Kitab ini dianggap sebagai kitab Hukum Hindu yang didalamnya memuat tentang
sariat Hindu yang disebut Dharma. Kerena itu Kitab Smrti ini dinyatakan sebagai Kitab
Dharmasastra. Dharma berarti hukum dan Sastra berarti ilmu. Keterangan lebih lanjut
mengenai kitab Smrti dapat kita temukan dalam berbagai kitab seperti:
“Srutir wedah samakhyato, dharmasastram tu wai smrti”
Artinya:
Yang dimaksud dengan sruti sama dengan weda dan Dharmasastra itu sesungguhnya Smrti.
Kitab Sarassamuscaya 37.

 “Srutistu wedo wijneyo dharmasastram tu wai smrtih”


Artinya:
Ketauilah bahwa sesungguhnya Sruti itu adalah Weda dan Dharmasastra itu adalah Smrti.
Menawa Dharmasastra II. 10
            Dari kedua keterangan itu menjelaskan kepada kita yang dimaksud dengan
Dharmasastra itu adalah Smrti atau dengan kata lain Smrti adalah Dharmasastra. Smrti sebagai
Dharamasastra bersifat pelengkap dalam melengkapi keterangan-keterangan yang terdapat dalam
Sruti, yang dirumuskan secara jelas dan mudah serta sistematis. Jadi, Smrti seperti kitab ulang
dalam versi yang berbeda. Namun dalam mempergunakan kitab Smrti, kita perlu hati-hati karena
antara kedua kitab tersebut (Sruti dan Smrti) tidak boleh bertentangan. Jika kedua kitab tersebut
bertentangan, mungkin ada kesalahan saat Maha Rsi menyusun Smrti karena Smrti merupakan
ingatan Maha Rsi akan wahyu sedangkan Sruti adalah wahyu yang didengar lalu ditulis secara
langsung.
Kitab Smrti artinya mengingat, sehingga istilah Smrti adalah untuk menyebutkan jenis
kelompok Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Smrti dapat digolongkan kedalam
dua kelompok,            yaitu:
1.    Kelompok Wedangga
Dilihat dari arti kata, Wedangga terdiri dari dua kata yaitu Weda adalah Kitab Suci dan
Angga artinya badan (batang tubuh). Jadi, Wedangga artinya batang tubuh (badan) Weda. Kitab
Wedangga tidak terpisah dari weda, karena isi dan idenya lahir dari Weda. Kitab ini akan
memberikan penjelasan tentang hal-hal yang ada dalam Weda (badan Weda). Kelompok
Wedangga terdiri dari 6 bagian yang disebut Sad Wedangga, yang terdiri dari:
a.    Siksa (Phonetika)
Isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang tata cara yang tepat dalam pengucapan mantra serta
tinggi rendahnya tekanan suara. Buku-buku siksa ini disebut Pratisakhya yang dihubungkan
dengan berbagai resensi Weda Sruti.
b.   Wyakarana (Tata Bahasa)
Wyakarana sebagai suplemen batang tubuh Weda dianggap sangat penting dan menentukan
karena untuk mengerti dan menghayati Weda Sruti, tidak mungkin tanpa bantuan pengertian dan
bahasa yang benar. Asal mula teori pengajaran Wyakarana, bersumber pada kitab Pratisakhya.
c.    Chanda (Lagu)
Chanda adalah cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu.
Peranan Chanda di dalam sejarah penulisan Weda karena dengan Chanda semua ayat-ayat itu
dapat dipelihara turun temurun seperti nyanyian yang mudah diingat. Diantara berbagai jenis
kitab Chanda, yang masih terdapat dewasa ini adalah dua buah buku, antara lain Nidana sutra
dan Chandra sutra. Kitab terakhir itu dihimpun oleh Bhagawan Pinggala.

d.   Nirukta (Sinonim dan Antonym)


Kelompok jenis kitab Nirukta isinya terutama memuat berbagai penafsiran otentik mengenai
kata-kata yang terdapat di dalam Weda. Kitab tertua dari jenis ini dihimpun oleh Begawan Yaska
bernama Nirukta, ditulis pada tahun 800 SM. Kitab ini membahas tiga masalah yaitu:
1.    Naighantukakanda, memuat kata-kata yang sama artinya.
2.    Naidhamakanda (Aikapadika), memuat kata-kata yang berarti ganda.
3.    Daiwatakanda menghimpun nama Dewa-Dewa yang ada di angkasa, bumi dan surga.
e.    Jyotisa (Astronomi)
Kelompok Jyostisa merupakan pelengkap Weda yang isinya memuat pokok-pokok ajaran
astronomi yang diperlukan untuk pedoman dalam melakukan Yadnya. Isinya yang penting
membahas peredaran tata surya, bulan dan benda angkasa lainnya yang dianggap mempunyai
pengaruh dalam pelaksanaan Yadnya. Satu-satunya buku Jyotisa yang masih kita jumpai ialah
Jyostisa Wedangga yang penulisanyan sendiri tidak dikenal.
f.     Kalpa (Ritual)
Kelompok kalpa ini merupakan kelompok Wedangga yang terbesar dan yang terpenting.
Kitab kalpa adalah jenis kitab Smrti (Wedangga) yang isinya berhubungan dengan kitab
Brahmanda dan kitab-kitab mantra. Kalpa terdiri empat kitab yang kebanyakan isinya
berhubungan dengan kitab-kitab Brahmana. Dan hanya sebagian kecil yang berhubungan dengan
kitab-kitab mantra.
Kitab Kalpa terdiri dari beberapa kitab, antara lain :
a.    Kitab Srauta
Kitab Srauta atau disebut juga Srauta Sutra, isinya memuat berbagai macam ajaran
mengenai tata cara melakukan yadnya. Tata cara melakukan yadnya yang dimaksud antara lain
tata cara upacara yadnya, penebusan dosa, dan lain-lain serta tata cara upacara yadnya yang
berhubungan dengan upacara keagamaan, baik dalam tingkatan upacara besar, upacara kecil, dan
upacara harian (tiap-tiap hari).
b.    Kitab Grhya
Kitab Grhya disebut juga dengan nama Grhya Sutra. Kitab Grhya Sutra isinya menguraikan
tentang berbagai aturan pelaksanaan yadnya yang harus dilaksanakan oleh masyarakat (umat
hindu) yang telah hidup berumah tangga. Berhubungan dengan kitab Srauta dan Grhya Sutra
terdapat kitab sradha kalpa dan pitri medha sutra. Kedua kitab tersebut isinya menguraikan
tentang pokok-pokok ajaran yang berhubungan dengan tata cara upacara untuk roh orang-orang
yang telah meninggal dunia. Disamping itu pula terdapat kitab Prayas Cita Sutra sebagai
pendukung dari Kitab Waitana Sutra (Atharwa Weda).
c.     Kitab Dharma Sutra
Kitab Dharma Sutra isinya menguraikan tentang berbagai macam aspek mengenai peraturan
hidup bermasyarakat dan bernegara. Kitab Dharma Sutra disebut juga Dharma Sastra. Kitab
Dharma Sutra dipandang sebagai kitab yang sangat penting diantara kitab-kitab jenis kalpa.
Karena dipandang sangat penting maka terdapat kesan bahwa Weda Smrti itu adalah Dharma
Sastra. Diantara orang suci yang disebutkan sebagai penulis kitab Dharma Sastra adalah
Bhagawan Manu, Bhagawan Apastamba, Bhagawan Bhaudayana, Bhagawan Harita, Bhagawan
Wisnu, Bhagawan Wasistha, Bhagawan Waikanasa, Bhagawan Sanskha Likhita, Bhagawan
Yajnawalkya, dan Bhagawan Parasara.
Dari nama-nama para orang suci penulis Dharma Sastra tersebut diatas yang paling terkenal
adalah Bhagawan Manu. Karya sastra beliau di bidang Manawa Dharmasastra ditulis oleh
Bhagawan Bhrgu. Ajaran yang termuat dalam kitab Menawa Dharmasastra yang ditulis oleh
Bhagawan Bhrgu menyebar diseluruh pelosok dunia, seperti di India, Campa, Kamboja,
Thailand, dan Indonesia.
Agama hindu mengajarkan kepada umatnya, bahwa dalam hidup dan kehidupan kita ini,
dilalui oleh empat zaman atau disebut jugaCatur Yuga. Bhagawan Sankhalikhita menjangkau
bahwa masing-masing dari Catur Yuga mempunyai Dharma Sastranya tersendiri, seperti
berikut :
a.    Pada zaman Satya/Krtha Yuga berlaku kitab Manawa Dharma Sastra karya sastra dari Bhagawan
Manu.
b.   Pada zaman Treta Yuga berlaku kitab Dharma Sastra yang ditulis oleh Bhagawan Yajnawalkhya.
c.    Pada masa Dwapara Yuga berlaku kitab Dharma Sastra buah karya Bhagawan Sankha Likhita.
d.   Pada masa Kali Yuga dipergunakanlah Dharma Sastra yang ditulis oleh Bhagawan Parasara.
Diantara keempat kitab Dharma Sastra tersebut, yang diterapkan untuk masing-masing Catur
Yuga memiliki sifat saling mengisi atau melengkapi diantara satu dengan yang lainnya.
d.    Kitab Sulwa Sutra
Kitab Sulwa Sutra merupakan bagian terakhir dari kitab-kitab Kalpa. Kitab Sulwa Sutra ini,
isinya memuat tentang petunjuk dan peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat dan
mendirikan tempat suci untuk beribadat (Pura, Candi), bangunan-bangunan lainnya yang
berhubungan dengan arsitektur. Kitab Sulwa Sutra memiliki beberapa bentuk buku, antara lain
Kitab Silpa Sastra, Kitab Kautuma, Kitab Mayatama, Kitab Wastu Widya, Kitab Manasara, dan
Kitab Wisnu Dharmotara Purana.
2. Kelompok Upa Weda
Kitab-kitab Upa Weda merupakan kitab kelompok kedua dari Weda Smrti, setelah kitab-
kitab Wedangga. Upa berarti dekat/sekitar dan Weda dapat diartikan pengetahuan suci/kitab suci.
Upa Weda juga diartikan sebagai weda yang lebih kecil. Kitab Upa Weda memiliki fungsi sama
pentingnya dengan kitab-kitab Smrti yang lainnya. Kitab Upa Weda terdiri dari bebrapa cabang
ilmu, antara lain sebagai berikut :
a.    Itihasa
Kitab Itihasa dikelompokkan dalam kitab-kitab Upa Weda. Nama Itihasa pada mulanya
diberikan oleh penulis kitab Mahabharata pada bagian Adi Parwa, yaitu Bhagawan Wyasa.
Itihasa terdiri atas tiga kata yaitu Iti-ha-sa, yang artinya sesungguhnya kejadian itu begitulah
nyatanya. Didalam kitab Adi Parwa terdapat kata "Jayo nametihaso yam srotatawyo
wujigisuna". Menurut para ahli kata "Jaya" itulah yang kemudian dinamakan itihasa. Jaya adalah
nama episode karangan Bhagawan wyasa yang menceritakan sejarah pandawa dan korawa.
Itihasa adalah sebuah epos yang menceritakan sejarah perkembangan raja-raja dan kerajaan
Hindu di masa lampau. Itihasa adalah karya sastra yang bersifat spiritual, dimana ceritanya
penuh filsafat, roman, kewiraan, dan mitologi sehingga memberi sifat kekhasan sebagai sastra
spiritual. Idealisme yang ada dalam kitab itihasa itu berpegang teguh kepada Dharma, sifat-sifat
kepemimpinan dengan asas Astabrata. Kitab Itihasa secara tradisional terdiri dari kitab
Ramayana (terdiri dari 7 kanda) dan Mahabharata (terdiri dari 18 parwa). Kedua kitab ini sangat
terkenal di dunia dan digubah kedalam sastra jawa kuno yang sangat indah. Ceritanya banyak
diambil dalam bentuk drama, pewayangan,seni pahat, seni lukis dan sebagainya.
-         Ramayana ditulis oleh Mpu Walmiki. Menurut tradisi, kejadian yang dilukiskan didalam
Ramayana menggambarkan kehidupan pada zaman Tretayuga, tetapi menurut para ahli lainnya,
Ramayana telah selesai ditulis sebelum tahun 500SM. Diduga ceritanya telah populer sejak
3100SM. Ramayana merupakan epos yang ditulis dalam bentuk stansa meliputi 24.000 buah
stansa. Seluruh isi dikelompokkan kedalam tujuh kanda yaitu Bala Kanda, Ayodnya Kanda,
Aranya Kanda, Kiskindha Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Uttara Kanda. Tiap-tiap
kanda merupakan satu kejadian yang menggambarkan cerita yang menarik. Kitab ini dikenal
sebagai adikawya, sedangkan dalam berbagai bentuk versi baru, seperti Ramayana Tatwa Padika
ditulis oleh Maheswaratirtha, Amrtakataka oleh Sri Rama, dan Kekawin Ramayana oleh Mpu
Yogiswara.
-            Mahabharata yang sering disebut dengan istilah "wiracarita" terdiri atas 100.000 ribu sloka
dan dibagi menjadi 18 parwa, sehingga disebut asta dasa parwa. Menurut tradisi, kejadian
Bharatayudha diperkirakan pada permulaan zaman Kaliyuga. Kitab Mahabharata menceritakan
kehidupan keluarga bharata dan isinya menggambarkan pecahnya perang saudara antara
pandawa dengan korawa. Kitab ini meliputi 18 buah parwa, yaitu Adi Parwa, Sabha Parwa,
Wana Parwa, Wirata Parwa, Udyoga Parwa, Bhisma Parwa, Drona Parwa, Karna Parwa, Satya
Parwa, Sampti kaparwa, Stri Parwa, Santri Parwa, Amsasana Parwa, Aswamedhi Kaparwa,
Asramawasi Kaparwa, Mausala Parwa, Mohaprasthani Kaparwa, Swargarohana Parwa. Parwa
ke-12 merupakan parwa terpanjang yang meliputi 14.000 stana. Mahabharata ditulis oleh
Bhagawan Wyasa, Mahabharata banyak menggambarkan kehidupan beragama, sosial, dan
politik menurut ajaran agama Hindu, yang mirip dengan dharma sastra dan wisnu smrti.
b.    Purana
Kitab Purana adalah bagian dari kitab-kitab Upaweda. Kitab Purana memuat ajaran suci
dalam cerita-cerita kuno dan perumpamaan untuk memudahkan penerapan dan pengertian yang
terkandung dalam kehidupan sehari-hari serta bagi mereka yang tingkat pikirannya belum tinggi.
Juga menceritakan tentang "Case Low" pembuktian hukum yang pernah dijalankan. Sejarah
penulisan Purana dimulai pada tahun 500 SM. Dan mencapai kesempurnaan pada tahun 600 SM,
ketika Maharaja Harsa Wardana yang memerintah Negara Aryawarta. Adapun jenis-jenis purana
adalah yaitu Brahmanda Purana, Brahmawaiwarta Purana, Markandya Purana, Bhawisya Purana,
Wamana Purana, Brahma Purana, Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda
Purana, Padma Purana, Warana Purana, Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga Purana, Siwa
Purana, Skanda Purana dan Agni Purana. Diantara Purana-purana tersebut, yang paling terkenal
adalah Wisnu Purana dan Bhagawata Purana. Berdasarkan sifatnya, kedepan belas purana itu
dibagi atas tiga bagian yaitu :
a.    Satwika Purana, terdiri atas Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda Purana,
dan Waraha purana.
b.    Rajasika Purana, terdiri atas Bhrahmanda Purana, Bhrahmawaiwarta Purana, Markandya Purana,
Bhawisya Purana, Waruna Purana dan Brahma Purana.
c.    Tamasika Purana, terdiri atas Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga Purana, Siwa Purana,
Skanda Purana, dan Agni Purana.
Kitab-kitab purana sangat penting karena bermanfaat untuk memahami garis-garis besar isi
Weda. Menurut Wisnu Purana III.6.24, suatu purana yang lengkap dan baik memuat lima macam
pokok isi, meliputi hal-hal sebagai berikut :
a.    cerita tentang penciptaan dunia.
b.    cerita tentang bagaimana tanda dan terjadinya pralaya.
c.    cerita yang menjelaskan silsilah dewa-dewa dan bhatara.
d.   cerita mengenai zaman manu atau manwantara.
e.    cerita mengenai silsilah keturunan dan perkembangan dinasti surya wangsa dan candra wangsa.
Isi kitab-kitab purana lainnya memuat pokok-pokok pemikiran yang menguraikan tentang
kejadian alam semesta, doa-doa dan mantra untuk sembahyang, cara melakukan puasa, tata cara
upacara keagamaan dan petunjuk-petunjuk mengenai cara bertirtayatra ke tempat-tempat suci.
Adapun peranan penting dari purana ialah karena kitab-kitab ini memuat pokok-pokok ajaran
mengenai ketuhanan.
c.     Artha Sastra
Kitab Artha Sastra berisikan tentang pokok-pokok pemikiran bidang ilmu politik atau ilmu
pemerintahaan negara. Artha Sastra sebagai bagian dari kitab Upa Weda, ditulis oleh Bhagawan
Brhaspati. Jejak beliau didalam tulis menulis kitab-kitab artha sastra diikuti oleh Maharsi
Kautilya (Canakya). Disamping Maharsi Kautilya yang mengikuti Bhagawan Brhaspati dalam
menulis kitab-kitab Artha Sastra, ada juga Bahgawan lainnya seperti Bhagawan Usana,
Bhagawan Parasara, Danding, Wisnugupta, Bharadwaja, dan Wisalaksa.
Kitab-kitab yang tergolong kitab Artha Sastra adalah Niti Sastra atau Rajadharma
(Dandaniti). Jenis kitab Artha Sastra yang digubah di Indonesia adalah jenis Usana, Nitisastra,
dan Sukraniti. Umumnya naskah-naskah itu tidak lengkap lagi sehingga bila ingin mengadakan
rekontruksi diperlukan data-data dan bahan-bahan lain untuk penulisannnya kembali.
d.    Ayur Weda
Kitab Ayur Weda adalah kelompok kitab Upa Weda yang isinya menguraikan tentang
bidang ilmu kedokteran atau kesehatan baik rohani maupun jasmani. Adapun nama kitab yang
termasuk kelompok kitab ayur weda adalah kitab Caraka Samhita, Susruta Samhita, Kasyapa
Samhita, Astanggahrdaya, Yogasara, dan Kama Sutra.
Pada umumnya kitab Ayur Weda erat sekali hubungannya dengan kitab-kitab Dharma Sastra
dan Purana Ajaran umum yang menjadi hakikat isi seluruh kitab ini menyangkut bidang
kesehatan jasmani dan rohani dengan berbagai sistem sifatnya. Jadi ayur weda adalah filsafat
kehidupan, baik etis maupun medis. Oleh karena itu, luas lingkup bidang isi ajaran yang
dikodifikasikan didalam Ajur Weda ini meliputi bidang yang sangat luas dan merupakan hal-hal
yang hidup. Berdasarkan materi yang terdapat dalam kitab Ayur Weda maka isi kitab Ayur
Weda meliputi delapan bidang ajaran umum, yaitu sebagai berikut :
1.    Salya adalah ajaran mengenai ilmu bedah.
2.    Salkya adalah ajaran mengenai ilmu penyakit.
3.    Kayakitsa adalah ajaran mengenai ilmu obat-obatan.
4.    Bhuta Widya adalah ajaran mengenai ilmu psikoterapi.
5.    Kaumara Bhrtya adalah ajaran mengenai ilmu pendidikan anak-anak dan merupakan dasar bagi
ilmu jiwa anak-anak.
6.    Agada Tantra adalah ajaran mengenai ilmu toksikologi.
7.    Rasayamatantra adalah ajaran mengenai ilmu muhjizat.
8.    Wajikarana Tantra adalah ajaran mengenai ilmu jiwa remaja.
Kitab Caraka Smhita merupakan bagian dari kitab Ayur Weda. Kitab tersebut memuat delapan
bidang ajaran, antara lain sebagai berikut :
1.      Sutrathana, isinya menguraikan tentang ilmu pengobatan.
2.      Nidanasthana, isinya memuat tentang berbagai penyakit yang bersifat umum.
3.      Wimanasthana, isinya menguraikan tentang ilmu pathologi.
4.      Sarithana, isinya menguraikan tentang ilmu anatomi dan embriologi.
5.      Indiyasthana, isinya menguraikan tentang materi diagnosa dan prognosa.
6.      Cikitasasthana, isinya menguraikan tentang ajaran khusus mengenai pokok-pokok ilmu terapi.
7.      Kalpasthana, isinya menguraikan tentang ajaran di bidang terapi secara umum.
8.      Siddistana, isinya juga menguraikan tentang pokok-pokok di bidang terapi secara umum.
Berdasarkan catatan yang ada, kitab Kalpasthana dan kitab Siddistana telah diterjemahkan
kedalam bahasa Arab dan Persia pada tahun 800 Masehi. Kitab Susruta Samhita ditulis oleh
Bhagawan Susanta. Kitab ini isinya menguraikan tentang pentingnya ajaran umum dibidang ilmu
bedah. Disamping itu, kitab Susruta Samhita juga mencatat berbagai macam alat-alat yang dapat
dipergunakan dalam pembedahan. Kitab Yogasara dan Yogasastra ditulis oleh Bhagawan
Nagarjuna. Kedua kitab ini isinya menguraikan tentang pokok-pokok ilmu yoga yang
berhubungan dengan sistem anatomi dalam pembinaan kesehatan, baik jasmani maupun rohani.
Kitab kama Sutra ditulis oleh Bhagawan Watsyayana pada abad ke-10 masehi. Kitab Kama Sutra
berhubungan dengan kitab Wajikarana Tantra. Isinya menguraikan tentang ajaran ilmu jiwa
remaja.
e.     Gandharwa Weda
Kitab Gandharwa Weda merupakan bagian dari kitab-kitab Upa Weda. Gandharwa Weda
sebagai kitab Smrti, juga memiliki beberapa bagian kitab, seperti: Natya Sastra, Natya
Wedagama, Dewa Dasa Sahasri, Rasarnawa, dan Rasaratnasamucaya. Kitab Gandharwa Weda
isinya menguraikan tentang berbagai aspek cabang ilmu seni.
f.     Kama Sastra
Kitab Kama Sastra adalah termasuk kitab suci agama hindu pada bagian Smrti (Upa Weda).
Kama Sastra sebagai bagian dari jenis kitab Upa Weda isinya menguraikan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan asmara, seni atau rasa indah. Didalam upaya untuk
mewujudkan salah satu tujuan hidup, umat Hindu dipandang perlu untuk membangkitkan rasa
indah tersebut. Kebangkitan dari rasa indah manusia terbentuk untuk berbakti kepada Sang
Hayng Widhi, hendaknya dipedomani oleh Kama Sastra. Karena dengan demikian asmara dan
rasa indah yang muncul itu tentu terarah/bernilai positif adanya. Diantara kitab-kitab Kama
Sastra yang terkenal adalah karya dari Bhagawan Watsyayana.
g.    Agama
Kitab agama itu baru ada setelah agama hindu ada dan berkembang di dunia. menurut Weda,
agama Hindu dapat dipelajari ole seluruh umat manusia. Hal ini termuat dalam kitab Yajur Weda
sebagai berikut :
"Yaatkeram wacam kalyanin awadoni janebhyah,
Brahma Rajanyabhyam cudraya caryaya ca siwaya caranayaca"
Artinya :
Biar kutanyakan disini kitab suci ini kepada orang-orang banyak, kepada kaum Brahmana, Kaum
Ksatrya, Kaum Sudra, dan Kaum Waisya dan bahkan kepada orang-orangKu dan kepada mereka
(orang-orang asing) sekalipun.
(Yajur Weda XVI. 18)
Berdasarkan bunyi sloka tersebut diatas dinyatakan bahwa kitab suci Weda dapat
dipelajari oleh siapa saja, tidak terkecuali. Namun menyadari akan kekurang sempurnanya kita
sebagai umatnya, maka tidak akan semuanya dapat mempelajarinya dengan sempurna.
Disamping itu, kita juga perlu menyadari bahwa Weda sebagai sumber ajaran agama Hindu
mengandung ajaran yang sangat tinggi. bagi mereka yang belum dapat mempelajari Weda dapat
belajar agama Hindu berdasarkan kitab-kitab agama. Kitab agama isinya memuat ajaran tentang
keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan petunjuk-petunjuk untuk melaksanakan tata cara
persembahyangan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah kitab-kitab Smrti yang
dapat kita pergunakan sebagai petunjuk untuk menata kehidupan dalan berhubungan dengan
Sang Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa, banyak jenisnya. Hal itu sesuai dengan ucapa Kitab
Smrti (Dharmasastra) sebagai berikut :
"Weda'khilo dharma mulam smrti cile ca tad widam
acaracca iwa sadhunam atmanastustir ceva ca"
Artinya :
Seluruh weda merupakan sumber utama daripada dharma (Agama Hindu) kemudian berulah
Smrti, disamping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda (sila)
dan kemudian tradisi-tradisi dari orang-orang suci (acara) serta yang terakhir adalah rasa puas
diri sendiri (atmanastusti)
(Manawa Dharmasastra II.6)

J.    Isi Kitab Suci Weda


Bila kita mempelajari secara keseluruhan mantra-mantra Weda (Catur Weda) termasuk
pula kitab-kitab Mantra, Brahmana, Aranyaka/Upanisad, maka pada garis besarnya ajaran Weda
dapat dikelompokkan kedalam 4 kelompok isi, yang masing-masing dapat dikembangkan lagi
sebagai pengetahuan, yaitu sebagai berikut :
a.    Kelompok yang membahas Vijnana, yaitu kelompok mantra yang membahas bermacam aspek
pengetahuan, baik pengetahuan alam sebagai ciptaanNya, termasuk pula teologi, kosmologi dan
lain-lain yang bersifat metaphisik. Kata vidjnana berarti kebijaksanaan tertinggi (realization of
knowlegde). Intinya mungkit sangat singkat atau pendek, kadangkala sangat sulit untuk
memahami apa yang terkandung di balik mantra atau sangat sulit untuk memahami apa yang
terkandung dibalik mantra atau ungkapan melalui mantra-mantra itu. Demikian pula
penggunaannya terlebih lagi digunakan dalam rangkaian doa atau stava, sehingga hal itu kadang-
kadang kita anggap hal yang biasa dan bukan merupakan pengetahuan yang disebut vidjnana. Ini
akan bertambah jelas setelah kita membaca Yajur weda, bahwa weda berisikan berbagai
pengetahuan yang diperlukan oleh manusia guna meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan.
Yang paling menonjol dalam aspek vidjnana ini adalah aspek yang memberi keterangan dasar
pandangan filsafat dan methapisika berdasarkan weda.
b.    Kelompok yang membahas aspek Karma, yaitu kelompok mantra mengenai aspek atau jenis
Karma atau Yajna sebagai dasar atau cara dalam mencapai tujuan hidup manusia. Pembahasan
secara mendalam mengenai hal ini kemudian dikembangkan didalam kitab-kitab Kalpasutra
sebagai pengembangan lebih jauh kitab-kitab Brahmana.
c.    Kelompok yang membahas Upasana, yaitu kelompok mantra yang membahas segala aspek yang
ada kaitannya dengan petunjuk dan cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Kata Upasana berarti usaha mendekatkan diri dengan sthana Sang Hyang Widhi. Kelompok
mantra ini menjadi dasar berkembangnya sistem atau ajaran yoga.
d.   Kelompok yang membahas aspek Jnana, yaitu kelompok mantra yang membahas segala aspek
pengetahuan secara umum sebagai ilmu murni. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa
kita tidak mendapatkan gambaran secara lengkap bagaimana ilmu itu, kecuali hukum-hukum
tertentu yang kemudian kalau kita kembangkan akan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, sebagai
contoh Vaidikaganitam, Ayurweda dan sebagainya. Ayurweda ini sudah lama dikembangkan
dalam perguruan modern (Ayurvedic collage) sebagai bidang yang berdiri sendiri, berdampingan
dengan sistem pengobatan modern. Ini berarti di dalam weda terdapat pengetahuan atau ilmu
murni yang bisa dikembangkan lagi.
   Setelah diketahui bahwa isi Weda dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok isi, dapat
pula disederhakanan menjadi 2 aspek, yaitu ajaran yang mengandung aspek Karmakanda, yakni
yang menyangkut ajaran karma, yajna dan upanisad dapat dijumpai dalam kitab-kitab Samhita,
Brahmana, dan Aranyaka, sedang aspek lainnya adalah Jnanakanda, yang dapat dijumpai dalam
Samhita, Aranyaka da Upanisad. Selanjutnya tentang isi Weda dapat pula dianalisis dengan
menggunakan  dasar-dasar pendekatan sesuai kitab Bhagavadgita, yakni mengelompokkan isi
Weda dalam 5 topik, sebagai berikut :
a.       Yang mengandung ajaran Bhakti atau Bhaktiyoga
b.      Yang mengandung ajaran Karma atau Karmayoga
c.       Yang mengandung ajaran Jnana atau Jnanayoga
d.      Yang mengandung ajaran Rajayoga
e.       Yang mengandung ajaran Vibhutiyoga atau ajaran yang bersifat mistis.
Mengingat mantra-mantra weda sulit dipahami dan mungkin kurang menarik minat bagi umat
yang awam dibidang kerohanian, para Rsi menyusun kitab-kitab sastra sebagai alat bantu
memahami ajaran tersebut. Tentang hal ini, Maharsi yang juga Adikawi Walmiki menyatakan
dalam karya agung beliau Ramayana, bahwa disusunnya cerita seperti Mahabharata dan
Ramayana sebagai sarana untuk lebih memudahkan umat memahami kitab suci Weda.

DAFTAR PUSTAKA

Bantas, I Ketut dan I Nengah Dana. 1986. Pendidikan Agama Hindu. Jakarta: Karunika Jakarta.
Bantas, I Ketut. 2002. Agama Hindu. Jakarta: Universitas Terbuka.
Midastra, I Wayan,dkk. 2007.Savitri Pendidikan Agama Hindu untuk SMP Kelas VIII. Denpasar: Tri
Agung.
Sudirga, Ida bagus,dkk. 2010. Widya Dharma Agama Hindu untuk SMA Kelas XI. Denpasar: Ganeca
Exact.
Tim Penyusun. 1994. Buku Pelajaran Agama Hindu until Perguruan Tinggi. Jakarta: hanuman Sakti.
Nama-nama para maharsi sebagai penulis Hukum
Hindu diantaranya; Gautama,  Baudhayana,Shanka-likhita,  Wisnu,
Aphastamba,  Harita,  Wikana, Paitinasi, Usanama, Kasyapa, Brhraspati dan Manu.
Beberapa aliran Hukum Hindu diantaranya:
1.      Aliran Yajnyawalkya oleh Yajnyawalkya.
2.      Aliran Mithaksara oleh Wijnaneswara.
3.      Aliran Dayabhaga oleh Jimutawahana.
Dari ketiga aliran tersebut akhirnya keberadaan hukum Hindu dapat berkembang
dengan pesatkhususnya di wilayah India dan sekitarnya, dua aliran yang yang terakhir
yang mendapat perhatian khusus dan dengan penyebarannya yang sangat luas yaitu
aliran Yajnyawalkya  dan aliran Wijnaneswara. Pelembagaan
aliran (Yajnyawalkya dan Wijnaneswara) yang diatas sebagai sumber Hukum
Hindu padaDharmasastra. Adapun penggaruh Hukum Hindu sampai ke Indonesia
nampak jelas pada Jaman Majapahit tetapi sudah dilakukan penyesuaian atau
reformasi Hukum  Hindu, yaitu dipakai sebagaisumber yang berisikan ajaran-ajaran
pokok Hindu yang khususnya memuat dasar-dasar umum Hukum Hindu, yang
kemudian dikembangkan menjadi sumber ajaran Dharma bagi masyarakat Hindu.

1. SUMBER-SUMBER HUKUM HINDU.
Sumber Hukum Hindu berasal dari Veda Sruti dan Veda Smrti. Veda
Sruti adalah
kitab suci  Hinduyang berasal dari wahyu Sang  Hyang  Widhi  Wasa/Tuhan Yang Maha
Esa yang didengar langsung oleh para Maharsi, yang isinya patut dipedomani dan
dilaksanakan oleh umat sedharma. Veda Smrti adalah kitab suci Hindu yang ditulis
oleh para Maharsi berdasarkan ingatan yang bersumber dari wahyu Sang
Hyang  Widhi  Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, yang isinya patut juga dipedomani dan
dilaksanakan oleh umat sedharma.
Ada tiga penulis yang terkenal terkait dengan keberadaan kitab Dharmasutra,
diantaranya adalah;
1.                  Gautama   adalah  penulis  kitab   Dharmasutra   yang  karya  hukumnya  lebih
menekankan pembahasan aspek hukum dalam rangkaian peletakan dasar tentang
fungsi dan tugas raja sebagai pemegang dharma. Pada dasarnya beliau membahas
tentang pokok-pokok hukum pidana dan hukum perdata.
2.                  Apastamba  adalah  penulis  kitab  Dharmasutra  yang  karya  hukumnya  lebih
menekankan pembahasan tentang   pokok-pokok materi wyawahara pada dengan
beberapa masalah yang belum dibahas dalam kitab Gautama, seperti; mengenai
hukum perzinahan, hukuman karena membunuh diri, hukuman karena
melanggar dharma, hukum yang timbul karena sengketa antara buruh dengan majikan,
dan hukum yang timbul karena penyalah-gunaan hak milik.
3.                  Baudhayana  adalah  penulis  kitab  Dharmasutra  yang  karya  hukumnya  lebih
menekankan pembahasan tentang pokok-pokok hukum seperti; hukum
mengenai bela diri, penghukumankarena seorang Brahmana, penghukuman atas
golongan rendah membunuh Brahmana, dan penghukuman atas pembunuhan yang
dilakukan terhadap ternak orang lain.
  
Menurut kitab  Dharmasastra  yang ditulis oleh Manu, keberadaan titel hukum at
auwyawaharapada dibedakan jenisnya menjadi delapan belas (18), antara lain;
1.      Rinadana yaitu ketentuan tentang tidak membayar hutang.
2.      Niksepa adalah hukum mengenai deposito dan perjanjian.
3.      Aswamiwikrya adalah tentang penjualan barang tidak bertuan.
4.      Sambhuya-samutthana yaitu perikatan antara firman.
5.      Dattasyanapakarma adalah ketentuan mengenai hibah dan pemberian.
6.      Wetanadana yaitu hukum mengenai tidak membayar upah.

7.       Samwidwyatikarma   adalah  hukum  mengenai  tidak  melakukan  tugas  yang
diperjanjikan. 
8.      Krayawikrayanusaya artinya pelaksanaan jual beli. 
9.      Swamipalawiwada artinya perselisihan antara buruh dengan majikan. 
10.    Simawiwada artinya perselisihan mengenai perbatasan 
11.    Waparusya adalah mengenai penghinaan. 
12.    Dandaparusya artinya penyerangan dan kekerasan. 
13.    Steya adalah hukum mengenai pencurian.
14.    Sahasa artinya mengenai kekerasan.
15.    Stripundharma adalah hukum mengenai kewajiban suami-istri.
16.    Stridharma artinya hukum mengenai kewajiban seorang istri.
17.    Wibhaga adalah hukum pembagian waris.
18.    Dyutasamahwya adalah hukum perjudian dan pertaruhan

Sumber-sumber Hukum Hindu menurut urut-urutannya adalah:


1.      Veda Sruti.
2.      Veda Smrti.
3.      Sila.
4.      Acara (Sadacara).
5.      Atmanastusti.
Selanjutnya   berdasarkan   perkembangan   ilmu   pengetahuan,   peninjauan   su
mber hukum Hindu dapat dilakukan melalui berbagai macam kemungkinan antara lain:

A.    Sumber Hukum dalam Arti Sejarah


Sumber hukum dalam arti sejarah adalah peninjauan dasar-dasar hukum yang
dipergunakan oleh para ahli sejarah dalam menyusun dan meninjau pertumbuhan suatu
bangsa terutama di bidang politik, sosial, kebudayaan, hukum dan lain- lain, termasuk
berbagai lembaga Negara.
Menurut catatan sejarah perkembangan hukum Hindu, periode berlakunya hukum
tersebut pun dibedakan menjadi beberapa bagian, antara lain:
1)   Pada jaman Krta  Yuga, berlaku Hukum  Hindu  (Manawa  Dharmasastra) yang ditulis
oleh Manu.
2)     Pada jaman Treta  Yuga, berlaku Hukum  Hindu  (Manawa  Dharmasastra) yang ditulis
olehGautama.
3)    Pada    jaman    Dwapara    Yuga,    berlaku    (Hukum    Hindu    Manawa Dharmasas
tra) yang ditulis oleh Samkhalikhita.
4)   Pada jaman Kali  Yuga, berlaku Hukum  Hindu  (Manawa  Dharmasastra) yang ditulis
olehParasara.
Keempat bentuk kitab  Dharmasastra  di atas, sangat penting kita ketahui
dalam hubungannya dengan perjalanan sejarah hukum Hindu.

B.     Sumber Hukum Hindu dalam Arti Sosiologi


Penggunaan sumber hukum ini biasanya dipergunakan oleh para sosiolog
dalam menyusun thesa-thesanya, sumber hukum itu dilihat dari keadaan ekonomi
masyarakat pada jaman-jaman sebelumnya. Sumber hukum ini tidak dapat berdiri
sendiri melainkan harus di tunjang oleh data-data sejarah dari masyarakat itu sendiri.
Oleh sebab itu sumber hukum ini tidak bersifat murni berdasarkan ilmu sosial semata
melainkan memerlukan ilmu bantu lainnya. Pengetahuan yang membicarakan
tentang kemasyarakatan disebut dengan sosiologi. Masyarakat adalah kelompok
manusia pada daerah tertentu yang
mempunyai hubungan, baik hubunganagama, budaya, bahasa, suku, darah dan yang
lainnya.
  
A.    Sumber Hukum Hindu dalam Arti Formil
Sumber hukum dalam arti formil menurut Prof.  Mr.J.L.Van Aveldoorm  adalah
sumber hukum yang berdasarkan bentuknya yang dapat menimbulkan hukum
positif itu, artinya dibuatoleh badan atau lembaga yang berwenang. Yang termasuk
merupakan sumber hukum dalam artiformil dan bersifat pasti yaitu; Undang-
undang, Kebiasaan dan adat, serta Traktat. Di sampingsumber-sumber hukum yang
disebutkan di atas, ada juga penunjukan sumber hukum dengan menambahkan
kata yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum. Dengan demikian dapat kita lihat
susunan sumber hukum dalam arti formil sebagai berikut:
a.   Undang-undang.
b.   Kebiasaan dan adat.
c.   T r a k t a t
d.   Yurisprudensi
e.   Pendapat ahli hukum yang terkenal.

B.     Sumber Hukum Hindu dalam arti Filsafat


Sumber hukum dalam arti filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan
merupakan satu bagian yang tak terpisahkan atau integral dari agama. Filsafat
adalah ilmu pikir, filsafat jugamerupakan pencairan rasional ke dalam sifat kebenaran
atau realistis, yang juga memberikan pemecahan yang jelas dalam
mengemukakan  permasalahan-permasalahan  yang  lembut  darikehidupan  ini, di mana
ia juga menunjukkan jalan untuk mendapatkan pembebasan abadi dari
penderitaan akibat kelahiran dan kematian. Untuk mencapai tingkat kebahagiaan itu
ilmu filsafatHindu menegaskan sistem dan metode pelaksanaannya sebagai berikut:
a.     Harus berdasarkan pada dharma
b.     Harus diusahakan melalui keilmuan (Jnana)
c.     Hukum didasarkan pada kepercayaan (Sadhana)
d.   Harus didasarkan pada usaha yang secara terus menerus dengan pengendalian; pikiran
, ucapan, dan perilaku
e.     Harus ditebus dengan usaha prayascita (penyucian).
Dalam  filsafat  Hindu   mengajarkan  sistem  dan  metode  penyampaian  buah
pikiran.

C.    Sumber Hukum menurut Veda
Dalam sloka kitab Manawadharmasastra ditegaskan bahwa, yang menjadi
sumber hukum umat sedharma “Hindu” berturut-turut sesuai urutan adalah sebagai
berikut:
1.    Sruti
2.    Smerti
3.    Sila
4.    Sadacara
5.    Atmanastuti
Menurut Dr.  P.N.  Sen,  Dr.  G.C.  Sangkar, menyatakan bahwa sumber-
sumber hukum Hindu berdasarkan ilmu dan tradisi adalah:
1.    Sruti
2.    Smerti
3.    Sila
4.    Sadacara
5.    Atmanastuti
6.    Nibanda
 
  
Ada beberapa penulis kitab Dharmasastra antara lain:
1.   Manu
2.   Apastambha
3.   Baudhayana
4.   Wasistha
5.   Sankha Likhita
6.   Yanjawalkya
7.   Parasara
Secara tradisional Dharmasastra telah dikelompokkan menjadi empat kelompo
k menurut jamannya masing-masing yaitu:
1.     Jaman Satya Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Manu.
2.     Jaman Treta Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Yajnawalkya.
3.     Jaman  Dwapara  Yuga,  berlaku  Dharmasastra  yang  ditulis  oleh  Sankha Likhita.
4.     Jaman Kali Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Parasara.

2. Sloka kitab suci yang menjelaskan sumber Hukum Hindu.


Berikut ini dapat disajikan beberapa sloka dari kitab suci yang menggariskan V
eda
sebagai sumber hukum yang bersifat universal, antara lain sebagai berikut;

“Yaá pàvamànir adhyeti åûibhiá  saý   bhåaý  rasam. sarvaý   sa pùtam aúnati


svaditaý   màtariúvanà”
Terjemahannya:
“Dia yang menyerap (memasukkan ke dalam pikiran) melalui pelajaran-pelajaran
pemurnian intisarimantra-mantra Veda yang diungkapkan kepada para åûi, menikmati
semua tujuan yang sepenuhnyadimurnikan yang dibuat manis oleh Tuhan Yang Maha
Esa yang menjadi napas hidup semesta alam (Åtharvaveda IX.67.31).

“Pàvamànir yo adhyeti- åûibhiá  saýbhåaý rasam tasmai sarasvati duhe kûiraý  sarpir


madhùdakam”.
Terjemahannya:
‘Siapapun juga yang mempelajari mantram-mantram Veda yang suci yang berisi intisari
pengetahuan yang diperoleh para dewi pengetahuan (yakni Sang Hyang Saraswati)
menganugrahkan susu, mentega yang dijernihkan, madu dan minuman Soma
(minuman para dewa)’(Åtharvaveda IX.67.32).

“Iyam te rad yantasi yamano dhruvo-asi dharunah.


kryai tva ksemaya tva rayyai tva posaya tva”.
Terjemahannya:
Wahai pemimpin, itu adalah negaramu, engkau pengawasnya. Engkau mawas diri,
teguh hati danpendukung warga negara. Kami mendekat padamu demi perkembangan
pertanian, kesejahtraan manusia, kemakmuran yang melimpah” (Yajurveda IX.22).

Veda merupakan karunia ibu Saraswati, dan orang-orang yang mempelajari


serta mengamalkannya dengan keyakinan yang mantap akan terpenuhi
keinginannya. Mantra-mantra Veda mengandung kekuatan kedewasaan dan sabda
suci ini
hendaknya diajarkan kepada semua orang dalamprofesi apapun di masyarakat bahkan
orang-orang asingpun tidak tertutup untuk mempelajari kitab suci Veda, ajarannya
bersifat abadi memberikan perlindungan kepada umatnya. Selanjutnya
kitab smrti menjelaskan sebagai berikut;

“Kàmàtmatà na praúasta na caiwe hàstya kàmatà, kàmyo hi wedàdhigamaá


karmayogasca waidikaá”
Terjemahannya:
Berbuat hanya karena nafsu untuk memperoleh phala tidaklah terpuji namun berbuat
tanpa keinginan akan phala tidak dapat kita jumpai di dunia ini karena keinginan-
keinginan itu bersumberdari mempelajari Veda dan karena itu setiap perbuatan diatur
oleh Veda (Manawa Dharmasastra, II.2).

3.    Hubungan Hukum Hindu dengan budaya, adat-istiadat, dan kearifan daerah


setempat.
Dalam  praktiknya  di  tengah  masyarakat  memang  tampak  gejala  yang  berta
ut- menaut antarahukum  Hindu  dengan Hukum Adat. Kitab-kitab Hukum  Hindu  dalam
bentuk kompilasi seperti; Adigama,Agama, Kutaragama, Purwadigama dan Kutara
Manawa, memang amat sering diajadikan sumberpenyusunan Hukum Adat. Hanya
transfer ke dalam Hukum Adat  tidak dilakukan sepenuhnya, karenatidak semua materi
dalam hukum Hindu tersebut sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan
masyarakat. Hukum adat menduduki orbit yang sentral dan telah berperan dominan
dalam suatu lingkungan budaya tertentu, yakni lingkungan masyarakat adat yang
mendukungnya. Konsekuensi dariperan yang dominan itu menjadikan hukum
Adat semakin mengakar dan melembaga dalam interaksi sosial masyarakatnya, dalam
arti
bahwa kepatuhan masyarakat terhadap Hukum Adat tersebut tidak dapatdibantahkan.
Konsekuensi lainnya adalah membawa akibat yang sangat fatal, di mana mulai 
muncul tokoh-tokoh hukum adat yang tidak lagi menerima anggapan bahwa hukum
adat bersumber kepada hukum hindu,berkesempatan mengemukakan hasil penelitiann
ya. Gde Pudja lebih jauh mengemukakan, “Hukum Hindu-lah yang merupakan sumber
dasar dari Adat di Indonesia terutama di daerah-daerah di mana pengaruh Hindu itu
sangat besar. Untuk daerah Bali dan Lombok, pembuktian itu tidaklah begitu sulit,
karena seluruh pola pemikiran dan tata kehidupan masyarakat yang beragama Hindu,
tetap  mendasarkanpada  ajaran-ajaran  agama  Hindu  yang  mereka  yakini 
(Pudja,19977:192).
Menurut “Soerjono Soerkarto” yang mengemukakan bahwa hukum
Adat  bersumber dari perkembangan perilaku yang berproses melalui cara, kebiasaan,
tata kelakuan, dan adat istiadat, baru kemudian menjadi hukum adat, akan semakin
mempertegas mengenai pembuktian adanya hukum hindu menjiwai hukum adat.
Namun kerangka
teori  ini  akan  melahirkan  adat  murni,  karena  ia bersumberkan  kepada  perilaku
menjadi manusia, baik personal maupun umum. Dalam prosesmenjadikan kebiasaan,
tata dan adat-istiadat, kitab Dharmasastra atau hukum hindu sedikit banyakmemberi
pengaruh, berhubung kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat itu dibatasi oleh suatu
norma-norma sosial dan norma-norma agama yang bersumber langsung
dari Wahyu Tuhan. Hukum Hindudalam pembahasan di muka dinyatakan berdasarkan 
pada adat.
Berbagai pengaruh hukum hindu terhadap hukum adat sebagaimana contoh
yang dikedepankan di atas, menunjukkan skala pengaruh hukum
hindu terhadap hukum adat pada dimensi “Pawongan”dan”palemahan”. Adanya
pengaruh hukum Hindu terhadap hukum adat, tidak dimaksudkan untuk mengatakan
bahwa hukum adat itu tidak ada. Gde Pudja mengatakan, hukum adat haruslah tetap
ada, sebagai kadiah
yang asli pada masyarakat primer. Namun sejauh ini pembuktian untuk membedakanh
ukum  adat  dengan  hukum  hindu,  belum  banyak  dilakukan.  Kalau  ada,  penulisan
ini belum sampaimelihat kemungkinan bahwa hukum itu bersumber pada Hukum
Hindu. (Pudja, 1977:34).
Demikianlah hubungan hukum Hindu dengan budaya, adat-istiadat, dan kearifan
daerah setempat telah menyatu saling memelihara diantaranya. Keberadaan adat-
istiadat di Indonesia patut dipelihara guna mewujudkan cita-cita bangsa ini yakni
menjadi bangsa yang sejahtera dan makmur serta bahagia.

Anda mungkin juga menyukai