Anda di halaman 1dari 5

2.

1 Asal Mula Ngayah di Bali


Menurut Kamus Bali indonesia (1990), kata ngayah secara harfiah dapat diartikan
melakukan pekerjaan tanpa mendapat upah. Ngayah adalah kewajiban sosial masyarakat
Bali sebagai penerapan ajaran karma marga yang dilaksanakan secara gotong royong
dengan hati yang tulus ikhlas baik di banjar maupun di tempat suci atau Pura. Konsep
ngayah ini serupa tapi tidak sama dengan konsep ngopin, nguopin atau ngaopin. Konsep
nguopin adalah kegiatan yang berada dalam skala yang lebih kecil, seperti dilingkungan
keluarga dan rumah tangga, dan hubungannya ditujukan pada kehidupan horizontal (antar
sesama), sedangkan ngayah berada dalam skala yang lebih besar dan tradisi ngayah ini
biasanya ditujukan pada hubungan vertikal dengan Tuhan. Seperti ngayah di tempat suci
atau Pura.
Tradisi budaya yang unik dan menarik untuk diteliti oleh peneliti adalah tradisi
ngayah. Ngayah sangat populer di kalangan masyarakat Hindu Bali khususnya. Ngayah
berhubungan erat dengan budaya, tradisi dan agama. Pelaksanaan ngayah berhubungan
dengan karma dan pengabdian kepada Tuhan, manusia, alam. Ngayah tidak dapat
dihapuskan karena ngayah juga sebagai aturan yang berlaku turun-temurun dan harus
dilestarikan. Setiap kali ada suatu aktivitas atau pekerjaan di sebuah pura atau fasilitas
umum milik masyarakat, biasanya pemimpin masyarakat di sana akan mengajak
warganya untuk “ngayah” artinya menyelesaikan pekerjaan secara gotong royong dengan
ikhlas tanpa pamrih. Tradisi yang merupakan adat kebiasaan masyarakat berupa aturan
atau kaidah sosial yang biasanya tidak tertulis, tetapi dipatuhi dan dipertahankan yang
berdampak dalam kehidupan sehari-hari dan diterapkan secara turun temurun. Tradisi
ngayah di Bali dapat membantu menjalin hubungan baik dalam masyarakat dan
membentuk komunikasi yang efektif di mana terciptanya masyarakat yang aman,
sejahtera dan solidaritas.
Menurut Nurwardani,dkk (2016: 273) dalam buku Pendidikan Agama Hindu
tradisi ngayah diartikan sebagai suatu pekerjaan yang dilakukan tanpa mendapatkan
sebuah imbalan atau upah. Ngayah itu bagai “oksigen” dalam berbagai kegiatan
keagamaan Hindu yaitu suatu kebutuhan yang hakiki yang menghidupkan darah
religiusitas masyarakat Hindu. Istilah ngayah ini dilihat dari konteks kultural feudal pada
zaman kerajaan Bali, yang berakar dari kata “Ayah” yang berkaitan dengan sistem
pewarisan yang kemudian menjadi “Ayahan” yang mengacu pada tanah ayahan desa.
Masyarakat yang mendiami tanah ayahan ini memiliki kewajiban yang harus dijalani
salah satu tanggung jawab yang dimiliki. Kewajiban-kewajiban bagi masyarakat yang
mendiami tanah ayahan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Kewajiban religius-teritorial
terutama Pura Kahyangan Tiga yang biasanya masyarayakat Hindu melakukan
kegiatan ngayah di sebuah Pura atau dapat diartikan sebagai pengayah pura. Konsep
ini terbentuk atas dasar persamaan keyakinan atau agama, ngayah yang berkaitan
dengan religius sosial ini dibangun atas dasar komunikasi dan kerja sama atau gotong
royong dalam satu wilayah, misalnya ngayah pada saat piodalan di Pura.
2. Kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan sosiokultural
Banjar adat biasanya masyarakat Hindu melakukan kegiatan ngayah di banjar adat atau
dapat dikatakan sebagai pengayah banjar adat. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia
sosiokultural adalah berkenaan dengan segi sosial dan budaya masyarakat. Ini berarti
konsep sosiokultural adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat dan
kebudayaan. Contohnya adalah pada saat umat ngayah di banjar adat.
3. Kewajiban berupa dedikasi,
Loyalitas berkaitan dengan raja-raja yang memerintah pada masa itu dapat dikatakan
sebagai pengayah puri. Pengertian loyalitas adalah kesetiaan seseorang terhadap
sesuatu yang merupakan kesatuan antara kesetiaan fisik dan kesetiaan non fisik
seperti, pikiran dan perhatian. Loyalitas adalah kesetiaan. Sedangkan dedikasi adalah
suatu pengorbanan baik itu waktu, tenaga, pikiran dan biaya demi mewujudkan
sebuah tujuan. Kata lain dari definisi dedikasi secara umum adalah pengorbanan.
Ngayah yang berkaitan dengan loyalitas dan dedikasi adalah seseorang atau
sekelompok komunitas sebagai pengayah puri yang melakukan ngayah pada Raja di
sebuah Puri. Hal ini dilakukan karena tanah yang digunakan oleh masyarakat adalah
tanah pemberian Raja yang memerintah pada saat itu dan diperoleh atas penaklukan
daerah atau kerajaan lain. Pada zaman dulu Raja dapat menguasi sebuah daerah
dengan melakukan perang maka dengan itu tanah ayahan yang diberikan adalah hasil
dari sebuah perang.
Latar belakang sosiologis dan historis yang menunjukan tradisi ngayah yang
berakar dari kata ayah, ayahan, pengayah, ngayahang hal tersebut saling berkaitan dalam
satu kesatuan konsekuensi yang logis. Refleksi ethos ngayah dalam konteks budaya
global dapat dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan di mana segala aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat Hindu dilandasi dengan “Jiwa Dasyam” yang tulus dan iklas
kepada Tuhan. Salah satu tokoh masyarakat Hindu Bapak Nesawan di Bandung
(wawancara 9 September 2017) mengartikan ngayah sebagai tradisi gotong royong bagi
umat Hindu baik di Bali maupun di luar Bali, di dalam menyelesaikan segala keperluan
yang berkaitan dengan upacara yadnya sebagai rasa bakti kepada Tuhan.
Aktivitas ngayah tersebut dapat dipahami dengan kutipan dari Bhagavadgita
II.47, yang berbunyi:
“Karmany evadhikaras te ma phalesu
Kadacana ma karma phala hetur bhur ma
Te sanggostava akarmani” 4
Terjemahan:
“Berbuatlah hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu (yang kau
pikirkan), jangan sekali-kali pahala jadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya
berdiam diri tanpa kerja” (Bhagavad Gita, Gede Puja, 2004).
Pada tradisi ngayah memiliki awig-awig atau dapat disebut dengan aturan yang
dibuat oleh krama desa pakraman atau banjar adat yang dipakai sebagai pedoman dalam
melaksanakan ngayah bagi masing-masing banjar adat. Adanya awig-awig tersebut dapat
membantu sistem ngayah sesuai kondisi desa tersebut. Awig-awig yang berbeda di setiap
desa dapat membantu masyarakat yang tinggal di desa tersebut. Kendala ngayah pada
saat ini adalah terbentur rutinitas atau aktivitas kerja yang cukup padat maka dengan itu
dapat digantikan dengan dengan uang (ngayah dana).Bentuk ini memang tidak
disalahkan, tetapi yang terpenting adalah tumbuhnya kesadaran dalam diri masyarakat
Bali, agar mampu meluangkan waktunya untuk dapat melakukan kegiatan ngayah.
Kegiatan ngayah berkaitan dengan ritual keagamaan walaupun berbentuk
kegiatan kemasyarakatan. Sesibuk apapun, sebagai umat beragama, diwajibkan untuk
melakukan kegiatan ngayah sebagai wujud rasa bakti kepada Sang Pencipta. Tidak
adanya bentuk sumbangan secara materil. Dari kegiatan ngayah ini diharapkan
bagaimana masyarakat Bali dapat meluangkan waktu untuk melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawabnya sebagai bagian dari masyarakat dan ritual keagamaan. Dari
penjelasan di atas tradisi ngayah ini hanya dilakukan oleh umat Hindu saja di mana umat
Hindu yang mendiami tanah ayahan atau dapat disebut dengan banjar. Dalam kegiatan
ngayah juga ada batas etikanya seperti etika berpakain dan kebersihan. Kebersihan disini
diartikan sebagai keadaan yang di alami saat ini seperti yang wanita tidak boleh ngayah
jika sedang cuntaka, rambut yang tidak boleh di gerai dan lain sebagainya. Berpakain pun
ada ketetuan dengan menggunakan busana adat nista.
2.2 Ngayah dalam Kearifan Lokal Budaya Bali
Ngayah sebagai konsep gotong royong merupakan salah satu kearifan lokal di
Bali dalam membangun kebersamaan dan menguatkan kesatuan umat Hindu di Bali.
Hampir setiap waktu, segala kegiatan yang berorientasi pada peningkatan empati dan
toleransi umat Hindu di Bali berdasarkan pada konsep Tri Hita Karana.
Tri Hita Karana adalah tiga penyebab kebahagiaan/kesejahteraan. Penyebab
kesejahteraan/kebahagiaan itu bersumber pada keharmonisan. Tri Hita Karana terdiri dari
Parahyangan, Pawongan dan Palemahan. 7 Parahyangan merupakan hubungan yang
harmonis dengan Tuhan (vertikal ke atas), Pawongan adalah hubungan yang harmonis
antar sesama manusia (horisontal) dan Palemahan adalah hubungan yang harmonis
dengan lingkungan (vertikal ke bawah). Demi terciptanya keharmonisan dalam
sosiokultural tentunya implementasi ngayah dilandasi dalam hubungan yang penuh
toleransi dengan dasar asah, asih dan asuh. Saling menghargai, saling mengasihi dan
saling membimbing. Hubungan yang penuh empati antar manusia dalam praktek ngayah
di banjar-banjar yang tersebar di seluruh Bali tentunya sebagai modal utama dalam
menjaga dan meningkatkan toleransi intern umat beragama di Bali.
Dengan atau tanpa disadari jika ngayah yang dilakukan tidak hanya memberikan
pengaruh positif bagi kerukunan bermasyarakat namun juga dengan pelaksanaan ngayah
dapat memberikan kepuasan dan member hati yang lebih luas untuk menerima
keberagaman. Senada dengan hal tersebut di atas, toleransi kehidupan antar umat
beragama juga telah terlaksana dengan baik hingga saat ini. Sebagai salah satu contoh
ketika ada pembangunan tempat ibadah, jembatan, hingga yang terakhir bencana longsor
di Desa Songan, Kintamani, Bangli seluruh umat di Bali turut bahu membahu turun ke
lokasi bencana untuk ikut ngayah (memberikan bantuan biaya, tenaga, waktu, pikiran)
membantu korban longsor dan memperbaiki infrastruktur yang telah hancur dimakan
longsor tanpa menyinggung latar belakang agama, suku, ras antar golongan, status sosial,
dan budaya. Hal ini menjadi penguatan kebhinekaan dalam mengantisipasi intoleransi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara

DAFTAR PUSTAKA
Nurkancana, Wayan. 2000. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar: Bali Post.
Perwiranegara, Ratu Alamsjah. 1982. Kehidupan Beragama dan Pembangunan Nasional.
Jakarta: PT. Karya Unipress
Suwindia, I Gede. 2005. Pluralitas Kehidupan Umat Beragama Di Bali (Study Kasus Pola
Interaksi Komunitas Islam dan Hindu di Desa Pemogan Denpasar). Yogyakarta:
Monograf yang diperbanyak oleh Universitas Gajah Mada.

Anda mungkin juga menyukai